• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Terhadap Desa Simaninggir

Dalam dokumen Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002) (Halaman 114-136)

BAB V DAMPAK PERPINDAHAN PENDUDUK SIMANINGGIR

5.2 Dampak Terhadap Desa Simaninggir

5.2 Dampak Terhadap Desa Simaninggir

77

tujuan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa petani dan kaum terdidik yang pindah jika dilihat dari struktur umur adalah golongan usia produktif. Orang-orang yang produktif dan potensiallah yang pada umumnya lebih siap menghadapi tantangan di daerah yang akan dimasuki. Falsafah hidup yang memotivasi orang Batak Toba khusunya Simaninggir pindah dari kampung halamannya, dari kelompok petani atau golongan terdidik, menimbulkan kecenderungan bahwa penduduk yang tinggal di kampung halaman adalah orang yang sudah tua atau yang masih muda menunggu siap untuk pindah.

Walaupun perpindahan itu merupakan upaya mencapai cita-citanya, tetapi hal itu jelas mempengaruhi persediaan tenaga kerja di kampung halaman. Lebih jauh lagi menyebabkan potensi alam yang ada tidak digunakan lebih optimal. Desa Simaninggir semakin miskin karena arus dana yang keluar untuk membayar sewa lahan sawah yang dikelola dengan bagi hasil karena pemiliknya sudah ada yang tinggal di daerah perantauan. Kemudian pada lahan kering dibiarkan menjadi tarulang. Selanjutnya pelarian tenaga kerja terdidik, terampil dan potensial.78

Seperti uraian di atas, jelaslah bahwa perpindahan orang-orang yang berpendidikan lebih menonjol setelah tahun 1970-an. Ambisi mencari pendidikan ke mana-mana merupakan refleksi falsafah mereka bahwa ‘pendidikan’ sumber hikmah adalah kekayaan yang tertinggi, yang tidak dapat dicuri, dan diambil dari manusia terdidik itu. Ilmu dan pengalaman yang telah mereka peroleh setelah lulus dari pendidikannya tidak disalurkan di Tapanuli Utara khususnya di Desa Simaninggir. Mereka tidak kembali ke kampung halaman, karena tidak tersedia pekerjaan yang layak bagi mereka, tetapi sebaliknya mereka mencari pekerjaan di

78

kota-kota besar di mana mereka melanjutkan pendidikannya sebelumnya atau ke kota lainnya.

Di samping kesempatan kerja yang lebih banyak, juga dapat memberikan mengembalikan modal pendidikan yang telah mereka korbankan selama itu. Terakhir adalah kampung halaman menjadi sunyi yang lama kelamaan menjadi kosong. Desa Simaninggir kehilangan penduduknya karena perpindahan kaum tani dan kaum terdidik yang terus berlangsung sampai benar-benar ditinggalkan pada tahun 2002. Untuk menjalin hubungan dengan kampung halaman, mereka wujudkan dalam bentuk partisipasi pembangunan tugu karena tugu merupakan suatu kebanggaan bagi marga atau keluarga yang membangunnya. Kadang mereka kembali untuk berziarah dan berpartisipasi dalam upacara adat, seperti perkawinan, kematian, yang dilakukan oleh keluarga atau teman di kampung halaman.

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat pasca masyarakat Simaninggir mengecap dunia pendidikan, menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial mereka. Perkembangan itu disadari sepenuhnya adalah pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar sukubangsa. Perubahan yang terjadi akan berpengaruh kepada struktur dan sistem sosial masyarakat Batak Toba secara keseluruhan, khususnya terhadap kampung halamannya.

Keputusan untuk meninggalkan Simaninggir merupakan pilihan yang ditawarkan oleh misi budaya untuk mencapai hamoraon, hagabeon dan hasangapon bagi penduduk Simaninggir, menyebabkan pemiskinan di kampung halaman mereka. Sebab mereka tidak merasa berkewajiban untuk memboyong sebagian hasil usaha di perantauan ke kampung halaman mereka kembali.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Simaninggir merupakan sebuah daerah tempat bermukim masyarakat Batak Toba yang bermigrasi dari beberapa daerah Tapanuli Utara pasca terjadinya Perang Batak. Mereka ada yang berasal dari Bakkara, Pandumaan, Samosir dan lain-lain. Awalnya Simaninggir merupakan tempat persembunyian Sisingamangaraja bersama ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir. Yaitu di salah satu liang atau gua yang ada di Simaninggir yang sekarang disebut dengan liang Sisingamangaraja oleh penduduk Desa Pusuk II Simaninggir. Letak Simaninggir yang berada di puncak Dolog Pinapan, membuat kondisi daerah ini sangat tersembunyi sehingga cocok sebagai tempat berlindung dari pihak penjajah karena letak geografisnya yang terisolasi.

Hal ini membuat penduduknya aman dari ancaman luar. Mereka berkumpul di Simaninggir dan menjadi komunitas masyarakat yang dipimpin oleh ajudan Sisingamangaraja marga Nainggolan, yaitu orang yang pertama sekali menetap di kampung tersebut. Penduduk yang tinggal di Simaninggir melangsungkan kehidupan mereka dengan tradisi budaya Batak Toba yang mereka laksanakan sewaktu di daerah asal masing-masing. Hal ini tergambar dari aktivitas yang dijalankan mereka, mulai dari sistem kepercayaan, sampai ke sendi-sendi kehidupan lainnya termasuk adat tradisi mereka.

Penduduk Simaninggir mengandalkan hasil alam dengan bertani dan pengrajin sebagai mata pencaharian utama mereka. Dengan begitu pembagian dan kepemilikan lahan menjadi bagian penting bagi mereka. Letak Simaninggir yang tersembunyi, menyebabkan

daerah ini terisolasi dan kemudian menjadi daerah yang tertinggal dan tidak terjangkau oleh pembangunan yang dilakukan pemerintah sama sekali. Suasana aktivitas kehidupan penduduk masih sangat sederhana karena minimnya sarana dan prasarana yang menopang kehidupan mereka. Kondisi ini mengalami perubahan sejak beberapa dari penduduk mulai merantau ke luar Simaninggir, saat mereka mendengar adanya berita manombang di Kisaran dan sekitarnya pada tahun 1940-an.

Perubahan yang semakin meningkat terjadi ketika anak-anak mereka yang tamat Sekolah Dasar harus keluar dari Simaninggir untuk mengecap pendidikan lanjutan karena di desa ini tidak terdapat sarana pendidikan lanjutan. Periode ini sudah dimulai sejak tahun 1950-an di mana anak-anak sudah banyak yang melanjutkan sekolah. Hak ini membuat interaksi dengan dunia luar semakin terbuka. Keberhasilan anak-anak yang disekolahkan ke luar daerah membawa pengaruh yang mendorong penduduk untuk meninggalkan Simaninggir dan tinggal menetap dengan anak-anak mereka yang berhasil di perantauan.

Pendidikan telah menjadi salah satu faktor yang mampu mengatasi kemiskinan bahkan merupakan langkah paling strategis untuk meraih hamoraon dan hasangapon di kalangan generasi muda Simaninggir. Pendidikan yang mereka tempuh menjadi salah satu faktor penentu untuk meninggalkan kampung halamannya. Mereka meninggalkan Desa Simaninggir dengan satu tekad dapat berhasil ‘menjadi anak’ di daerah perantauan. Mereka mencari sumber pendapatan yang lebih baik. Pendidikan menyebabkan wibawa sosial meningkat dan sekaligus ‘membuka jalan’ meninggalkan kampung halaman mereka yaitu Desa Simaninggir. Singkatnya, pendidikan bukan menahan orang tinggal di desanya, tetapi mempercepat mereka meninggalkan kampung halamannya.

Didukung oleh faktor-faktor lain, seperti motivasi ingin merasakan pola konsumsi baru, seperti fasilitas kehidupan yang lebih layak dalam bidang teknologi, transportasi dan akomodasi serta ingin hidup lebih sejahtera maka migrasi penduduk ke luar Tapanuli Utara mengalami puncaknya pada tahun 1970-an dan benar-benar berakhir pada tahun 2002. Akibatnya, selain desa tertinggal, Simaninggir pada tahun 2002 benar-benar ditinggalkan oleh penduduknya. Simaninggir kembali menjadi daerah belantara dengan sisa-sisa kehidupan yang masih terlihat dari puing-puing pemukiman yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah penduduknya.

Sampai pada akhir periode penulisan ini, Simaninggir menjadi tempat pengembalaan hewan ternak kerbau milik penduduk Desa Banua Rea selaku desa tetangga Simaninggir, dan juga pemanfaatan hasil alam, yaitu sarang kelelawar yang terdapat di liang atau gua-gua Simaninggir yang dikelola oleh pemerintah dan penduduk setempat, yakni Pusuk II Simaninggir. Penduduk yang tinggal di perantauan ada juga yang kembali untuk berziarah ataupun memakamkan keluarga yang meninggal di perantauan. Sejarah sudah mengambil jalannya sendiri; apa yang seyogiyanya dapat menjadi suatu kesatuan yang baik, telah terpecah. Kita dapat menyayangkan kejadian itu, tapi sang waktu tidak dapat berbalik kembali.

6.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan untuk perbaikan ke depan dari skripsi ini sebagai berikut :

1) Perlunya perhatian pemerintah daerah untuk menjangkau masyarakat hingga ke daerah-daerah pelosok dalam pembangunan fisik maupun pengembangan masyarakat seperti sarana transportasi, kesehatan, penerangan listrik dan sebagainya. Dengan membangun pusat-pusat industri dan perdagangan di berbagai wilayah yang ditinggalkan oleh perantau itu, “otomatis” akan dapat menarik dan mengumpulkan kembali perantau dan kaum intelektual desa ke kampung halamannya. Sehingga tidak terjadi lagi kesenjangan sosial pada masyarakat yang bermukin di pelosok tanah air.

2) Penduduk Simaninggir seharusnya menerapkan himbauan dari almarhum Mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, himbauan ini merupakan inti gerakan pembaharuan desa terpadu yang disebut dengan istilah “Marsipature Hutanabe” artinya mari membangun desa masing-masing. Dimana penduduk Simaninggir yang terbuka terhadap perubahan dimana telah memiliki ilmu pengetahuan untuk menyejahterakan keluarganya, seharusnya mampu membangun kampung halamannya sebagai lingkungan tempat hidup. Dengan demikian mereka tidak sama dengan peribahasa ‘kacang lupa akan kulitnya’. Sehingga misi budaya perantauan mereka dapat bermanfaat bagi pembangunan kampung halamannya.

3) Pentingnya melestarikan dan mempertahankan warisan budaya dan lingkungan sebagai tempat hidup, agar tidak dicaplok oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990.

Abustan, Muhammad Idrus, Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial, Jakarta: UI Press, 1990.

Amaluddin, Moh, Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal Jawa Tengah, Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987. Badan Pusat Statistik, Tapanuli Utara 1990, 1991.

Badan Pusat Statistik, Parlilitan dalam Angka 1999, 2000.

Chambers, Robert, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES, 1988.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Pedesaan daerah Sumatera Utara, 1995.

Hasselgren, Johan, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan (1912-1965), Medan: Bina Media Perintis, 2008.

Guillot, Claude, (Terj. Daniel Perret), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Kansil, C.S.T. dan Julianto, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), Jakarta: Erlangga, 1991.

Kartodirjo, Sartono: Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kutoyo,Sutrisno dkk. (ed.), Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Utara, Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

Li, Tania Murray, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Napitupulu, O.L, Perang Batak: Perang Sisingamangaraja, Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja, 1971.

Panjaitan, Ade Putra Arif, Jejak Kehidupan Masyarakat Pedalaman Mariah Dolog Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun (1960-2005), Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011.

Pelly, Usman, Sejarah Sosial Kotamadya Medan, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1984.

, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. 1994.

Purba, O.H.S, dan Elvis. F.Purba, Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara, Medan: Monora, 1998.

, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): Sebab, Motif, dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Daratan Tinggi Toba, Medan: Monora, 1997.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1999.

Sahur, Ahmad, dkk., Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988.

Sianipar, T, dkk.,Dukun Mantra Kepercayaan Masyarakat, Grafikatama Jaya, 1992.

Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Saur Tumiur Situmorang, Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak, Medan: Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat. 2004. Simanjuntak, Bungaran Antonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba: Bagian

Sejarah Batak, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

, Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya,

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

, Pemikiran tentang Batak : Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001.

, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2006. ,

Sjamsuddin, Helius, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007.

Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

, Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa secara Partisipatif,

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Soetomo, dan Sugiono, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Takari, Muhammad, dkk, Masyarakat Kesenian di Indonesia, Medan: Studi Kultural Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, 2008.

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Parisan Nainggolan Umur : 69 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Pusuk 1 Kecamatan Parlilitan

Status : Penduduk Desa Simaninggir yang telah pindah

2. Nama : Magdalena Simanullang Umur : 71 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Pusuk 1 Kecamatan Parlilitan

Status : Penduduk Desa Simaninggir yang telah pindah, berasal dari Sipagabu kecamatan Pakkat sekarang, karena menikah dengan bapak Parisan, maka beliau tinggal menetap di Simaninggir.

3. Nama : Nurma Simbolon Umur : 62

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Pusuk 1 Kecamatan Parlilitan

Status : Anak dari ibu boru Nainggolan yang asli penduduk Simaninggir dan cucu dari kepala desa pertama Simaninggir.

4. Nama : Herlina Nainggolan Umur : 34 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Raba-raba Kecamatan Parlilitan

Status : Penduduk Desa Simaninggir yang telah pindah, mengikuti

sekolah dasar di Simaninggir dan Sekolah Menengah Pertama di Pusuk I, serta Sekolah Menengah Atas di Dolok Sanggul.

5. Nama : Rusliana Simanullang Umur : 72 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Raba-raba Kecamatan Parlilitan

Status : Anak dari Banua Rea yang merupakan desa tetangga Simaninggir, lalu menikah dengan pemuda asli Simaninggir yaitu bapak Mudim Nainggolan, kemudian tinggal

menetap di Simaninggir.

6. Nama : Restina Simanullang Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Raba-raba Kecamatan Parlilitan

Status : Anak dari Desa Sijarango yang semasa kecilnya sering bermain ke Desa Simaninggir karena dari desa ini dapat

memandang langsung ke desa Banua Rea, dan pemandangan pegunungan yang mempesona.

7. Nama : Tiomina Marbun Umur : 71 Tahun

Pekerjaan : Ikut Suami

Alamat : Sipang, Desa yang harus dilalui menuju Desa Simaninggir Kecamatan Parlilitan.

Status : Penduduk Desa Simaninggir yang telah pindah, suaminya seorang guru di Desa Simaninggir.

8. Nama : Martua Mahulae Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Pusuk II Simaninggir Alamat : Desa Pusuk II Simaninggir

Status : Penduduk Desa Pusuk II Simaninggir yang semasa

kecilnya sering bermain ke Dolog Pinapan Simaninggir dan ke gua yang ada di Simaninggir.

9. Nama : Nurti Marbun Umur : 51 Tahun Pekerjaan : PNS Alamat : Banua Rea

Status : Anak dari desa Sihite yang menikah dengan pemuda asli Simaninggir dan tinggal menetap di desa Banua Rea desa

LAMPIRAN

Gambar.1

Jalan setapak menuju Desa Simaninggir dengan melewati perladangan milik penduduk Lumban Nauli salah satu desa di Pusuk II Simaninggir.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi Agustus, 2012.

Gambar. 2

Jalan Setapak Menuju Desa Simaninggir melewati kaki Dolog Pinapan yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua, dan Sappilpil.

Gambar. 3

Jalan setapak melewati sungai dan bebatuan Dolog Pinapan menuju Desa Simaninggir.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi Agustus, 2012.

Gambar.4

Jalan setapak menuju Simaninggir dengan dihubungkan oleh jembatan yang terbuat dari susunan kayu.

Gambar. 5

Desa Simaninggir yang kini telah ditumbuhi semak belukar dan menjadi tempat pengembalaan kerbau.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi Agustus, 2012.

Gambar. 6

Bekas pemukiman penduduk Simaninggir dengan sisa puing-puing rumah dan kini menjadi kubangan kerbau.

Gambar. 7

Bekas sarana pendidikan yaitu Sekolah Dasar Desa Simaninggir yang saat itu semi permanen.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi Agustus, 2012.

Gambar. 8

Tulang-belulang kerbau yang mati tanpa diketahui oleh pemiliknya.

Gambar. 9

Beberapa rumah penduduk Desa Simaninggir yang diangkat ke Lumban Nauli, kemudian mereka tinggal menetap disana sampai sekarang. Mereka memilih

tinggal di Lumban Nauli karena terdapat alat transportasi dan penerangan.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi Agustus, 2012.

Gambar. 10

Mata air atau mual Pancur sipitu sebagai sumber air kehidupan bagi masyarakat Simaninggir. Sekarang sudah ditutupi oleh semak belukar.

Gambar. 11

Bentuk rumah penduduk Simaninggir yang keseluruhan hampir sama. Seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dan juga ibu mertuanya tinggal bersama mereka. Di bawah kolong rumah tempat hewan peliharaan seperti babi dan ayam.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi dari Parisan Nainggolan, Agustus, 2012.

Gambar. 12

Penduduk Simaninggir sedang berkumpul dalam acara partangiangan dan kemudian makan bersama.

Gambar .13

Peserta Koor ibu-ibu Simaninggir di Depan Gereja HKBP di Simaninggir.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi dari Parisan Nainggolan, Agustus, 2012.

Gambar. 14

Beberapa penduduk Simaninggir yang kaum pria sedang bergotong - royong untuk memasak daging kerbau pada acara adat perkawinan.

Gambar. 15

Beberapa ibu-ibu Simaninggir sedang berjalan bersama menuju ke sawah dan ladang mereka sambil membawa bekal yang di buat di atas kepala dan ada juga yang

menggendong anaknya.

Gambar. 16

Gambar dari bentuk rumah yang pertama sekali di bangun di Desa Simaninggiryang terdapat pada bagian kiri atas sampai mengalami perubahan sebanyak 6 kali dan bentuk terakhir yaitu gambar rumah semi permanen paling bawah sebelah kanan yaitu rumah dari Parisan Nainggolan yang sebagian papannya adalah bekas rumah mereka yang di bongkar dan diangkat dari Desa Simaninggir dan kembali di bangun di Desa Pusuk 1pada tahun 2002. Rumah yang pertama yaitu sebelah kiri paling atas adalah rumah warisan dari leluhurnya. Di mana pada tahun 1945 di rumah pertama tersebut ayahnya meninggal dunia yaitu Jonathan Nainggolan. Sketsa rumah ini adalah hasil karya dari Bapak Parisan (Op.Riman) Nainggolan.

Gambar. 17

Salah satu bentuk hasil karya kerajinan tangan dari penduduk Simaninggir, yaitu liter sebagai alat untuk menimbang beras pada masa itu yang diperjual-belikan ke pasar.

Sumber: Repro dari koleksi pribadi dari Rusliana Simanullang, Agustus, 2012.

Gambar. 18

Tempat ikan air tawar beserta bibitnya, yang digunakan Penduduk Simaninggir pada masa itu untuk memboyong hasil ternak ikan mereka ke pasar. Sampai sekarang masih disimpan oleh informan kunci yaitu Parisan Nainggolan dan dijadikan sebagai tempat makan itik.

Dalam dokumen Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002) (Halaman 114-136)