• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MIGRASI PENDUDUK DESA SIMANINGGIR DARI TAHUN 1954-2002:

4.2 Faktor Pendorong

4.2.3 Faktor Ekonomi

67

Dolok Sanggul serta untuk keluar dari Kecamatan Parlilitan, harus melewati Pusuk 1 sebagai desa yang menghubungkan dengan wilayah lainnya. Dengan demikian masyarakat Pasar Pusuk 1 telah melakukan perniagaan dengan daerah yang lebih maju seperti Dolok Sanggul dan Balige.

Dari Dolok Sanggul, Balige dan Sidikalang lah masyarakat atau para tengkulak mengetahui barang komoditi apa saja yang ada di daerah Simaninggir yang laris diperdagangkan oleh mereka ke wilayah lain bahkan sampai ke Pematang Siantar dan Medan. Berawal dari para tengkulak, para penduduk Simaninggir tahu bahwa hasil kerajinan mereka seperti hirang (keranjang yang terbuat dari rotan dan juga bambu), anduri atau tempayan yang juga terbuat dari bambu, sarung golok, tali polang yang terbuat dari riman yang digunakan sebagai tali untuk memanjat pohon aren, dan juga tumba atau alat ukur yang satu tumba sama dengan satu liter terbuat dari satu ruas bambu yang ukurannya sekarang adalah satu liter yang sangat laku di pasaran Balige dan Siantar.68

Penduduk Simaninggir menjual hasil kerajinan ini kepada para tengkulak yang menunggu di Pasar Pusuk 1 untuk kembali mereka pasarkan ke Balige, Dolok Sanggul, Siantar dan lainnya. Mereka membawa hasil kerajinan ini dengan memasukkan semuanya ke dalam hirang yang cukup besar dan menjunjung di atas kepalanya mulai dari rumah sampai ke pasar. Untuk menjual hasil ternak mereka, para tukang potong hewan rela datang ke kampung mereka dan memotong langsung ternaknya seperti daging babi dan kerbau kemudian baru membawanya dengan hirang turun ke pasar pusuk. Hal ini mereka lakukan untuk membiayai kehidupan anak dan sekolah mereka. Kontak dengan para tengkulak,

68

membuat mereka mengetahui banyak informasi tentang apa saja yang laku diperdagangkan di pasaran.

Selain kerajinan tangan mereka, juga terdapat hasil pertanian seperti kopi dan hasil hutan seperti haminjon atau kemenyan yang mereka dapat perdagangkan kepada para tengkulak. Kemenyan merupakan komoditi hutan yang paling mahal yang mereka perdagangkan. Untuk bisa mendapatkan haminjon atau kemenyan dari hutan, penduduk yang dominannya laki-laki dewasalah yang pergi ke hutan selama satu sampai dua minggu untuk mengambil getah dari kemenyan dan menjaganya agar tidak dicuri orang lain. Mereka mendirikan gubuk kecil di hutan, dan membawa perbekalan seperti beras dan ikan asin untuk persediaan hidup mereka selama di hutan. Setelah hasil getah haminjonnya sudah habis mereka ambil, barulah pulang ke rumah pada hari jumat, karena hari sabtu akan mereka jual ke pasar. Lama-kelamaan penduduk Simaninggir merasa terlalu bergantung pada kehidupan Pasar Pusuk 1, karena kalau tidak menjual hasil bumi dan kerajinan tangannya, mereka tidak akan bisa memiliki uang untuk membeli kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya.69

Kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat Pasar Pusuk 1 dalam berinteraksi dengan para pedagang dan tengkulak dari daerah lain saat terjadi pasar pada Hari Sabtu, juga merupakan faktor pendorong bagi penduduk Simaninggir untuk pindah dan membeli rumah di Desa Pusuk 1, agar anak mereka juga dapat tinggal di rumahnya yang ada di Pasar Pusuk 1 untuk lebih mudah ke sekolah SMP yang saat itu adalah SMP SATAHI PUSUK. Memang di satu pihak, hal ini menguras pendapatan penduduk, tetapi di pihak lain pendidikan dipandang sebagai salah satu cara yang strategis untuk memerangi kemiskinan mereka.

69

Dalam memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya menjadi lebih mudah karena kondisi ekonomi mereka semakin membaik dari hasil perdagangan hasil bumi dan kerajinan mereka. Semakin terdorong keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersier yang dapat menggambarkan keberhasilan perekonomian mereka dalam membentuk stratifikasi sosial. Hal ini dilakukan oleh setiap keluarga, mengingat daerah Simaninggir sudah tidak dapat lagi menahan mereka untuk tetap tinggal, karena kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Seperti pentingnya pendidikan, akses jalan ke luar daerah, sarana transportasi untuk bisa bepergian ke luar daerah, alat penerangan rumah seperti listrik, dan pola konsumsi.

Seperti mereka harus membeli kebutuhan dapur rumah tangga yang tidak dapat mereka penuhi dari hasil ladang, seperti garam, ikan asin dan jenis lain dari laut, sayuran, beberapa pakaian, dan juga rokok bagi para pria dewasa yang semuanya itu tidak mereka dapatkan jika tetap harus tinggal menetap di Simaninggir. Mereka hanya bisa mendapatkannya di Pasar Pusuk 1, dimana para pedagang banyak tinggal menetap disana. Sehingga semakin membuat mereka bersemangat mengumpulkan uang agar bisa membeli tanah di Desa Pusuk 1 dan sekitarnya yang dapat mempermudah mereka untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup tanpa harus memikirkan perjalanan panjang menuruni bukit yang terjal dan curam selama berjam-jam. Kebutuhan tersier seperti fasilitas penerangan listrik sampai pada tahun 2000-an tidak terdapat di Desa Simaninggir, Mereka dapat menikmati listrik saat mereka membeli rumah di Desa Pusuk 1.70

Dorongan untuk meninggalkan kampung halaman karena alasan ekonomi tentu akan lebih kuat saat mereka menemukan lahan-lahan baru. Walaupun harus meninggalkan kampung halamannya, bahkan harus membiarkan tanahnya terlantar, semangat untuk

70

mengejar pangkat dan kekayaan di daerah lain setelah memperoleh pendidikan dilatarbelakangi oleh isolasi geografis Simaninggir yang secara fisik tidak memberikan harapan. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa faktor pendidikan seperti dijelaskan di atas, tidak dapat dipisahkan dari faktor ekonomi untuk menerangkan mengapa perpindahan itu terjadi.

Bagi sebagian besar penduduk Simaninggir yang pindah dari kampung halamannya, memilih alasan ekonomi karena keadaan Simaninggir yang tidak menggembirakan. Demikian juga dengan alasan mencari pekerjaan di luar sektor pertanian, menggambarkan perubahan lapangan kerja tetapi tetap merupakan bagian dari faktor ekonomi. Sehingga dari sudut pandang ekonomi, tampaknya intensitas perpindahan selalu berkaitan dan ditentukan oleh sarana kelangsungan hidup subsisten yang ada dan juga tingkat kebutuhan itu sendiri yang selalu dinamis dan berkembang.

Kondisi ini jugalah yang turut mendorong penduduk Simaninggir untuk meninggalkan kampung halamannya menuju daerah yang memiliki daya tarik seperti Kota Medan, Kisaran, Asahan, Pekanbaru dan Pulau Jawa dengan tujuan agar hidup mereka bisa lebih maju dan sejahtera. Perpindahan tersebut sebagai proses modernisasi tetap menjadi kekuatan yang sejalan dengan hak asasi manusia, yaitu sebagai suatu hak dari setiap individu untuk menjadi maju, sejahtera dan berkeadilan.71

71

Sugiono Sutomo, Urbanisasi dan Morfologi: Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, hal. 18.