• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

SIMANINGGIR DALAM INGATAN SEJARAH (1954-2002)

SKRIPSI

DIKERJAKAN

O

L

E H

TOTI NOVEN SINAGA 090706025

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

SIMANINGGIR DALAM INGATAN SEJARAH (1954-2002)

Yang diajukan oleh Nama : Toti Noven Sinaga

Nim : 090706025

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing,

Dra. Lila Pelita Hati, MSi. Tanggal, 21 Juni 2013 NIP. 196705231992032001

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal,

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

SIMANINGGIR DALAM INGATAN SEJARAH (1954-2002)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

TOTI NOVEN SINAGA 090706025

Pembimbing

Dra. Lila Pelita Hati, M.Si.

NIP. 196705231992032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum

NIP 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal : 18 Juli 2013 Hari : Kamis

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Syahron Lubis. M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (……….)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)

3. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si (……….)

4. Dra.Farida Hanum Ritonga, M.SP (……….)

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan segenap hati dan jiwa, penulis persembahkan puji dan syukur hanya ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyertaan, kekuatan, kesehatan, dan kasihNyalah, skripsi ini dapat penulis selesaikan dan sampai ke hadapan pembaca yang budiman. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Buah karya ini, sesungguhnya sudah lama menjadi obsesi penulis sejak berada di semester awal. Obsesi ini merupakan hasrat hati dan wujud tanggung jawab serta perjuangan moril dan akademik untuk menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan dan semangat untuk meningkatkan kemampuan diri dalam penelitian dan penulisan sejarah. Skripsi ini juga dikerjakan sebagai wujud tanggung jawab sejarawan dalam merekonstruksi masa lalu untuk dijadikan pelajaran bagi masa sekarang dan yang akan datang.

Judul skripsi ini adalah “ Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002)”. Tulisan ini menguraikan perjalanan sejarah masyarakat Simaninggir mulai dari latar belakang historisnya, aktivitas kehidupan sebelum tahun 1954, dinamika kehidupan yang terjadi selama kurun waktu 1954-2002, hingga kemudian masyarakat benar-benar meninggalkan Desa Simaninggir dan bermigrasi sampai ke luar daerah. Dalam tulisan ini akan diuraikan faktor-faktor penyebab migrasi masyarakat Simaninggir sampai daerah tersebut kembali menjadi belantara.

(7)

pembaca sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan tulisan yang sederhana ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

Penulis,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segenap hati dan jiwa penulis persembahkan puji dan syukur hanya ke hadirat Tuhan Yesus Kristus Yang Maha segalanya. Ia telah menciptakan manusia dengan baik bentuknya, menciptakan alam beserta isinya dengan tidak sia-sia, membuat segalanya indah pada waktunya, menguji dan member anugerah kepada umat dengan cara-Nya yang berbeda, dan menciptakan segalanya berpasangan, termasuk masalah dan solusinya. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, saran, bimbingan, dan ilmu dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak dan mamaku, Youngman Sinaga dan Timerlin Naibaho. Tanpa kalian saya tidak bisa menjadi seperti ini. Terima kasih karena telah membesarkan dan mendidikku hingga sekarang. Terima kasih buat doamu untuk kami anakmu mama. Tidak ada yang bisa membalas pengorbananmu. Terima kasih untuk pengajaran yang tersirat darimu bapak. Skripsi ini kupersembahkan khusus untuk kalian sebagai bukti cinta dan pengabdianku. Saya akan selalu menjaga nama baik kalian. Terima kasih mama dan bapak semoga kalian sehat dan bahagia selalu.

(9)

yang kutorehkan di hatimu. Untuk abangku Gunawan terima kasih untuk hati dan pengorbananmu untuk biaya pendidikanku hingga sarjana. Darimulah saya belajar tentang kasih dan pengorbanan. Suatu kebanggaan luar biasa bagiku menjadi adikmu. Untuk adikku Avrilina dan Marihot jadilah kebanggaan keluarga dan semoga kalian lebih baik dari saya. Buat keponakanku, Henna, Indah, Israel, Christian, Caesar dan Putri Sion, jadilah anak yang membanggakan dan menghormati orang tua. Tetaplah kibarkan bendera semangat juang untuk meraih cita. Semoga Tuhan selalu memberkati segala cita dan keluarga kita.

3. Bapak Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, dan Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si, selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah banyak memberikan nasehat dan saran kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku Dosen Wali penulis, atas nasehat dan sarannya. 6. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si, pembimbing skripsi yang perfeksionis. Terima kasih

telah menjadi pembimbing yang sangat membanggakan, atas waktu yang ibu luangkan disela-sela kepadatan jadwal, untuk mengarahkan dan membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Dra.Farida Hanum Ritonga, M.SP dan Ibu Dra. Ratna, M.S Selaku Dosen Penguji

yang telah banyak memberikan saran dan nasehat demi kesempurnaan skripsi ini. 8. Bapak dan Ibu Dosen di Departemen Sejarah, Terima kasih tak terhingga penulis

ucapkan karena telah mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.

(10)

10.Para Informan, Khususnya Bapak Martua Mahulae dan Parisan Nainggolan yang telah menyumbangkan kepingan Sejarah Simaninggir.

11.Senior dan junior saya di Departemen Sejarah USU. Terima kasih buat kebersamaan kita.

12.Teman seperjuangan saya angkatan 2009, khususnya sahabat saya Ronauli Sibagariang dan Shinta Silalahi, ingatlah hari ini.

13.The last but not least, kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, juga buat seseorang yang menempati ruang istimewa dalam hati saya. Terima kasih atas dukungan dan bantuan yang sangat berharga untuk penulis.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik pada Sejarah Kehidupan Masyarakat Simaninggir.

Medan, 21 Juni 2013

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

UCAPAN TERIMAKASIH………...ii

DAFTAR ISI ……….vi

ABSTRAK……….ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………1

1.2 Rumusan Masalah………..7

1.3 Tujuan dan Manfaat………...7

1.4 Tinjauan Pustaka………8

1.5 Metode Penelitian………..12

BAB II SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954 2.1 Kondisi Alam dan Geografis………15

2.2 Latar Belakang Historis Desa Simaninggir………..20

2.3 Komposisi Penduduk………...26

(12)

BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT SIMANINGGIR (1954-2002)

3.1 Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat dan Perkembangan Kepercayaan

Masyarakat………40

3.2 Struktur dan Sistem Sosial Masyarakat………...53

3.2.1. Susunan Masyarakat Simaninggir……….53

3.2.2. Sistem Kesatuan Hidup Simaniggir………...60

3.3 Kondisi Ekonomi………..61

BAB IV MIGRASI PENDUDUK DESA SIMANINGGIR DARI TAHUN 1954-2002: MOTIF DAN FAKTOR PENYEBAB 4.1 Faktor Budaya Batak Toba………...65

4.2 Faktor Pendorong ……….71

4.2.1 Faktor Fisik Geografis dan Transportasi………..71

4.2.2 Faktor Pendidikan………...73

4.2.3 Faktor Ekonomi………....82

4.2.4 Sarana Kesehatan………..87

4.3 Faktor Penarik………93

4.3.1 Rangsangan Baru dalam Sistem Mata Pencaharian………..93

4.3.2 Transportasi dan Iptek………..94

BAB V DAMPAK PERPINDAHAN PENDUDUK SIMANINGGIR 5.1 Dampak Terhadap Keluarga Sendiri………..97

(13)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan………..102 6.2 Saran………105

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

(14)

ABSTRAK

Simaninggir merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Aktivitas kehidupan budaya asli Batak Toba yang berlangsung pada masyarakat Simaninggir merupakan hasil budaya yang mereka bawa dari daerah masing-masing sebelum bermigrasi ke Simaninggir. Solidaritas di antara mereka sangat erat. Masyarakat menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam Simaninggir dan mengolah sekitarnya menjadi lahan pertanian.

Pada periodisasi penulisan ini, aktivitas kehidupan masyarakat Simaninggir sudah tidak ada lagi, disebabkan tidak dapatnya daerah ini dijangkau oleh transportasi dan penerangan listrik. Letak geografis yang terletak di Dolog Pinapan, membuat daerah ini terisolasi dan tidak dapat dijangkau oleh transportasi. Penduduk umumnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja atau ekonomi subsisten.

Topik permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) Simaniggir hingga Tahun 1954 (2) Dinamika Kehidupan Masyarakat Simaninggir (1954-2002) (3) Penyebab Masyarakat Simaninggir Meninggalkan kampung halamannya Tahun 1954-2002.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan latar belakang terbentuknya pemukiman masyarakat Simaninggir, Mengetahui dinamika kehidupan masyarakat Simaninggir, serta mengetahui faktor penyebab dari Desa Simaninggir yang ditinggalkan oleh penduduknya.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup tahapan: Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik sumber (kritik intern dan ekstern), interpretasi (penafsiran terhadap sumber), dan Histtoriografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan deskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Masyarakat yang bermukim di suatu wilayah, cenderung memilih daerah tempat tinggal yang aman, dan nyaman. (2) Masyarakat membentuk pemukiman tentunya dekat dengan tempat di mana mereka mencari nafkah hidup (3) Migrasi dilakukan oleh masyarakat karena faktor kehidupan dan ekonomi yang selalu dinamis, misi budaya serta faktor alam.

(15)

ABSTRAK

Simaninggir merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan. Aktivitas kehidupan budaya asli Batak Toba yang berlangsung pada masyarakat Simaninggir merupakan hasil budaya yang mereka bawa dari daerah masing-masing sebelum bermigrasi ke Simaninggir. Solidaritas di antara mereka sangat erat. Masyarakat menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam Simaninggir dan mengolah sekitarnya menjadi lahan pertanian.

Pada periodisasi penulisan ini, aktivitas kehidupan masyarakat Simaninggir sudah tidak ada lagi, disebabkan tidak dapatnya daerah ini dijangkau oleh transportasi dan penerangan listrik. Letak geografis yang terletak di Dolog Pinapan, membuat daerah ini terisolasi dan tidak dapat dijangkau oleh transportasi. Penduduk umumnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja atau ekonomi subsisten.

Topik permasalahan dalam tulisan ini adalah: (1) Simaniggir hingga Tahun 1954 (2) Dinamika Kehidupan Masyarakat Simaninggir (1954-2002) (3) Penyebab Masyarakat Simaninggir Meninggalkan kampung halamannya Tahun 1954-2002.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan latar belakang terbentuknya pemukiman masyarakat Simaninggir, Mengetahui dinamika kehidupan masyarakat Simaninggir, serta mengetahui faktor penyebab dari Desa Simaninggir yang ditinggalkan oleh penduduknya.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut mencakup tahapan: Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik sumber (kritik intern dan ekstern), interpretasi (penafsiran terhadap sumber), dan Histtoriografi (penulisan). Penulisan skripsi ini menggunakan deskriptif analisis untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Masyarakat yang bermukim di suatu wilayah, cenderung memilih daerah tempat tinggal yang aman, dan nyaman. (2) Masyarakat membentuk pemukiman tentunya dekat dengan tempat di mana mereka mencari nafkah hidup (3) Migrasi dilakukan oleh masyarakat karena faktor kehidupan dan ekonomi yang selalu dinamis, misi budaya serta faktor alam.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengertian sejarah menurut R. Moh Ali dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah adalah ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian atau peristiwa yang merupakan realita kehidupan manusia.1 Berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai dimensi sosial; seperti soal pakaian, makanan, pemukiman, rumah tangga, kesehatan, pendidikan dan kesenian serta upacara adat-istiadat juga kepercayaan dan lain sebagainya, merupakan sejarah sosial. Hal ini membawa angin segar bahwa ada hal lain dalam kehidupan suatu komunitas yang cukup menarik dan penting di samping kehidupan politik.2

Simaninggir merupakan daerah pedalaman

3

1

R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta: PT.LKiS Pelangi Aksara, 2005, hal. 6. 2

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1992, hal. 50

3

Daerah Pedalaman adalah suatu ranah pinggiran, yang secara sosial, ekonomi dan fisik jauh tersisih dari jalur utama, bersifat “tradisonal”, belum berkembang dan tertinggal. Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 2.

(17)

terletak di pinggir atau puncak dari Dolog Pinapan (Bukit Pinapan)4

Penduduk yang berlindung di Simaninggir tersebut berasal dari Bakkara, Balige, Sipintu-pintu, Dolok Sanggul, Parbuluan, Pandumaan dan lain sebagainya. Lama-kelamaan penduduk makin banyak yang tinggal dan menetap di tempat itu sampai akhirnya mereka membangun tempat tinggal seadanya dan menjadi sebuah pemukiman.

. Awalnya Simaninggir merupakan tempat persembunyian bagi Sisingamangaraja, beserta ajudannya yang bermarga Nainggolan dari daerah Samosir saat terjadi Perang Batak untuk menghindari serangan dari penjajah yakni Kolonial Belanda. Simaninggir merupakan tempat yang dapat melindungi mereka karena letak geografisnya yang mendukung yakni tepat di atas bukit dengan lembah yang curam dan hutan belantara sehingga sulit bahkan tidak dapat diketahui oleh penjajah.

Pada masa itu Sisingamangaraja bersembunyi di salah satu gua, di mana sekarang ini gua tersebut diberi nama “Liang Sisingamangaraja”. Setelah perang Batak usai dengan tertangkap dan meninggalnya Sisingamangaraja, maka ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir tersebut kehilangan seorang pemimpin, maka beliau tidak ada pilihan lain selain tinggal menetap di Simaninggir, karena beliau merasa situasi di luar Simaninggir sebagai tempat persembunyian yang aman masih sangat dikuasai oleh Belanda. Lama-kelamaan marga Nainggolan tersebut mendirikan tempat tinggal seadanya dan memulai aktivitas sehari-harinya dengan membuka lahan untuk bertani serta memanfaatkan hasil alam Simaninggir. Marga Nainggolan inilah yang kemudian menjadi Raja Huta atau Sipukka Huta yang dalam bahasa Sejarah kita sebut sebagai Primus interpares.

4

(18)

Dari pada menerima keterpinggiran daerah pedalaman itu sebagai suatu kenyataan “alami”, penulis berusaha menempatkan kondisi keterpinggiran itu dari segi ingatan historis dan dalam proses khusus yang menyebabkan daerah tersebut menjadi ditinggalkan oleh penduduknya. Sebagai latar kehidupan sosial yang pernah ada oleh penulis menarik untuk menelitinya dalam konteks kajian sejarah sosial.

Awalnya, lingkungan tempat tinggal mereka tersebut dipimpin oleh seorang Raja ihutan (primus interparesnya) bermarga Nainggolan.5

Tradisi ini menjadi adat kebiasaan mereka setiap kali mata air menjadi kering atau pun keruh. Sampai pada periodisasi penulisan ini, kehidupan di Simaninggir masih sangat terbelakang, disebabkan faktor letak dan kondisi geografis. Lokasi ini tidak dapat dijangkau oleh transportasi dan penerangan listrik sampai pada akhir penulisan skripsi ini. Hal inilah yang menjadi penghambat interaksi dengan lingkungan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari keterangan di atas menunjukkan Desa Simaninggir tergolong desa tertinggal

Dari persamaan nasib yang mereka alami menumbuhkan rasa solidaritas yang kuat di antara mereka, sehingga terjadi akulturasi budaya yang melahirkan kebudayaan baru yang berbeda dari sebelumnya. Seperti pada saat mual atau mata air di desa tersebut tiba-tiba menjadi kering bahkan pernah menjadi keruh,

raja huta dan raja adat akan mengumpulkan penduduk untuk memanggil roh leluhur yang mereka percayai sebagai penjaga mual tersebut dan menyiapkan sesajen sambil meminta untuk mengembalikan kejernihan mata air tersebut.

6

5

Wawancara dengan Tiomina Marbun, Hutari, 19 Agustus 2012.

. Dilihat dari isolasi geografisnya, juga rendahnya kualitas sumber daya dan

6

(19)

potensi manusianya, selain Desa Simaninggir bukan hanya kriterianya sebagai desa tertinggal, bahkan ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya setelah beberapa di antara warga berhasil dalam kehidupan pendidikan dan ekonominya, kemudian perlahan-lahan menarik anggota keluarga lainnya meninggalkan Desa Simaninggir. Hasil suatu proses transformasi pendidikan tidak pernah bersifat seluruhnya positif, yaitu kemajuan bahkan telah menjadi negatif yaitu kemunduran.

Secara teoritik perubahan dalam kehidupan masyarakat dapat berdampak kemunduran (regress) dan kemajuan (progress).7

Ada satu motto hidup dalam masyarakat Batak Toba yang dituangkan dalam syair lagu ciptaan Nahum Situmorang yaitu “Anakkonhi do na Ummarga di Ahu”. Artinya: anak adalah harta yang paling berharga bagi saya. Realisasinya adalah biarlah orang tua menderita yang penting dapat menyekolahkan anaknya. Setelah melihat lingkungan dan pengalaman, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak mendapat tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lainnya. Tidak dapat diingkari pula, salah satu cara yang cukup penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Dorongan

Faktor pendidikan telah mengakibatkan dampak yang sangat kontras bagi Desa Simaninggir yaitu perubahan. Bahwa ada perubahan-perubahan yang merupakan hasil dari pendidikan yakni, membuka kemajuan bagi penduduk Desa Simaninggir sekaligus membawa kemunduran bagi Desa Simaninggir itu sendiri, yang mana saat ditinggalkan daerah tersebut kembali menjadi semak belukar dan telah menjadi saksi bisu dari kehidupan penduduk Desa Simaninggir yang pernah ada.

keduanya. Rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa. Robert, Chambers, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 56.

7

(20)

“hamajuon“ (kemajuan) yang menjadi semboyan orang Batak Toba pada akhir abad XIX sampai pertengahan abad ke XX bahkan sampai sekarang. Telah dapatnya masyarakat Batak Toba membaca dan menulis menyebabkan informasi tulisan melalui media pun dapat segera diketahui sehingga mempengaruhi sikap dan pemikiran mereka.8

Dalam tradisi orang Batak Toba, saat mereka sukses diperantauan tidak kembali membangun kampung halaman, melainkan membangun harajaon (kerajaan) di tempat mereka merantau. Produk dari pendidikan tersebut menimbulkan mobilitas sosial (vertikal dan horizontal). Secara vertikal menimbulkan golongan elit yang berperan dalam segala bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi) dan horizontal menimbulkan perpindahan penduduk (tetap dan sementara) dari tempat asal ke tempat baru yang lebih menjanjikan untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dan atau kehidupan yang lebih mapan. Berbeda dengan masyarakat Minangkabau khususnya yang lebih mengutamakan pembangunan kampung halamannya. Padahal dalam semboyan masyarakat Batak Toba ada disebutkan

Dorongan “hamajuon” keterbukaan tanah Batak Toba, serta berita yang sampai ke Tapanuli mengenai sumber penghasilan baru di Sumatera Timur yaitu adanya perkebunan tembakau, Berita ini sampai ke Desa Simaninggir dengan sebutan “panombangan”. Inilah awalnya masyarakat Simaninggir mulai berkompetisi untuk menyekolahkan anaknya demi meraih tingkat hidup yang lebih tinggi dan untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi semakin gencar. Motif pandang untuk kehidupan masa depan yang lebih cemerlang dan makmur merupakan pendorong bagi orang tua di Simaninggir. Setelah sukses dalam pendidikan dan berhasil di perantauan, anak-anak mereka malah meninggalkan kampung halamannya di Simaninggir.

8

(21)

“MARTABE” (Marsipature Hutana Be) yang artinya, membangun kampung halaman masing-masing. Realisasinya, masyarakat Simaninggir yang notabene adalah orang Batak Toba malah meninggalkan kampung halamannya demi kehidupan dan pendidikan yang mapan. Mengingat daerah pedalaman Simaninggir, telah tersisih melalui perjalanan sejarah dengan keterlibatan “pendidikan” sebagai pencerahan yang membawa kemajuan menjadi faktor penyebab utamanya, sebagai aktivitas kehidupan sosial yang pernah ada, oleh penulis menarik untuk menelitinya.

Migrasi penduduk ini dimulai sejak tahun 1947 dan mencapai puncak perpindahan pada tahun 1954 serta berakhirnya mobilisasi pada tahun 2002. Simaninggir setelah ditinggal pergi oleh penduduknya pada tahun 2002 kembali menjadi semak belukar yang menyimpan album kehidupan seperti puing-puing perumahan penduduk dan akses jalan setapak menuju desa tersebut serta lahan pertanian yang berubah menjadi padang ilalang sebagai tempat pengembalaan hewan ternak yaitu kerbau milik masyarakat Banuarea selaku desa tetangga Simaninggir.

(22)

1.2Rumusan Masalah

Dalam rangka melakukan sebuah penelitian yang menjadi landasan dari penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Berangkat dari latar belakang di atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga sinkronisasi dalam uraian penelitian. Untuk mempermudah penulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut :

1. Apa yang melatarbelakangi sejarah terbentuknya Desa Simaninggir sebelum tahun 1954?

2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial penduduk Simaninggir sampai periode 2002? 3. Mengapa kemudian Desa Simaninggir ditinggalkan oleh penduduknya selama

periode 1954-2002?

1.3Tujuan dan Manfaat Penulisan

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang telah dikaji oleh penulis maka yang menjadi permasalahan adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan. Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

(23)

2. Mengetahui dinamika kehidupan sosial penduduk Desa Simaninggir sampai periode 2002 .

3. Mengetahui sebab penduduk berangsur-angsur meninggalkan Desa Simaninggir selama periode 1954-2002 .

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menambah wawasan pembaca mengenai sejarah kehidupan masyarakat di Desa Simaninggir.

2. Menambah pengetahuan sekaligus memotivasi peneliti dan para pembaca dalam menghasilkan karya-karya historiografi yang berkaitan dengan sejarah daerah yang lebih lengkap, sehingga dapat memberikan referensi literatur yang berguna terhadap dunia akademis, terutama dalam studi Ilmu Sejarah.

3. Menjadi suatu deskripsi yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat Simaninggir dalam menyelenggarakan proses pembangunan sarana dan prasarana untuk desa tersebut.

1.4Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.

Tania Murray Li (2002) dalam bukunya yang berjudul Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia menjelaskan tentang perubahan yang berlangsung pada masyarakat

(24)

mencari nafkah, dan bergesernya hubungan dengan sumber daya alam, pasar, dan dengan negara. Buku ini membantu penulis mengetahui persoalan-persoalan mengenai proses perubahan dalam masyarakat pedalaman di Desa Simaninggir yang diteliti oleh penulis, yakni dalam perubahan ciri-ciri masyarakat pedalaman, khususnya dengan kaitan mencari nafkah.

Buku Sejarah Nasional Indonesia IV karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984), menguraikan tentang Perlawanan Daerah Sumatera Utara terhadap Kolonialisme Belanda, khususnya perang di Tanah Batak melawan penjajah. Buku ini menjelaskan perlawanan yang dilakukan oleh Sisingamangaraja beserta pasukannya dari berbagai daerah di Tapanuli Utara. Setiap kampung-kampung di Tapanuli Utara memiliki pemerintahan sendiri, dan di setiap kampung Sisingamangaraja mempunyai ajudan.

Dalam buku ini juga membahas setiap tindakan Pemerintah Belanda, terutama keganasan Kolonial Belanda yang mereka luapkan melalui pembakaran rumah-rumah penduduk, pemaksaan kepada kepala kampung untuk menyerahkan pajak dan lain sebagainya. Buku ini menjadi referensi bagi penulis dalam memahami latar belakang historis terbentuknya Desa Simaninggir. Dari Buku ini juga penulis ketahui faktor apa saja yang menyebabkan Masyarakat Batak Toba akhirnya memilih Desa Simaninggir sebagai tempat persembunyian dan lama-kelamaan menjadi tempat pemukiman mereka.

Buku Pemikiran tentang Batak : Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara karya Bungaran Antonius Simanjuntak (2001), menguraikan tentang pengenalan

(25)

bahwa pendidikan menjadi faktor pendorong dan perangsang sifat dinamika orang Batak memang terjadi. Terutama dengan dukungan munculnya sumber-sumber mata pencaharian yang baru di tanah perantauan. Buku ini menjadi referensi penulis dalam memahami permasalahan yang penulis teliti, yakni saat masyarakat Simaninggir telah mampu menulis dan membaca, berarti dapat mengetahui hal-hal baru dan berita di luar daerah Tapanuli Utara seperti gerakan melepaskan diri dari penjajah, pemberontakan, dan penindasan di negara lain. Dengan demikian, kaitannya dengan permasalahan penulis bahwa andai kata pendidikan modern tidak diperkenalkan oleh misionaris kepada orang Batak Toba khususnya masyarakat Simaninggir, ada persepsi bahwa masyarakatnya tetap terisolasi terutama dari berita nasional dan internasional.

Menurut Soetomo dalam bukunya Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat (2008), dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas antar wilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah kemiskinan.

(26)

Salah satu faktor penyebab utama mengapa kawasan tersebut masih belum berkembang adalah karena terbatasnya potensi dan sumber daya manusia, maka kondisi kemiskinan yang diakibatkan sering disebut sebagai kemiskinan alamiah. Di antara beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pengembangan kawasan demikian misalnya dengan mengembangkan kualitas sumber daya manusianya agar dapat bersaing dalam mencari peluang kerja di daerah lain.9

Robert Chambers (1988) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, mendeskripsikan tentang kondisi golongan masyarakat miskin di pedesaan.

Dari gambaran tersebut, membantu penulis untuk menggolongkan penduduk desa Simaninggir ke dalam golongan rumah tangga tersisih dari arus kehidupan, karena keberadaannya yang jauh terpencil, atau tidak memadainya sumber daya, atau karena keduanya. Rumah tangga yang terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa.10

9

Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. 276-279.

10

Robert Chambers, Memahami Desa secara Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 41-48.

Robert Chambers (1996) dalam buku selanjutnya dengan judul Memahami Desa secara Partisipatif, menyebutkan kecakapan dan pengetahuan warga desa. Warga desa

(27)

Sumber yang membantu penulis selanjutnya yakni, skripsi dari Ade Putera Arif Panjaitan dengan judul Jejak Kehidupan Masyarakat Pedalaman Mariah Dolog Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun (1960-2005). Penulis jadikan sebagai bahan perbandingan dan

refrensi dalam penelitian yang penulis laksanakan, karena topik yang kami angkat sama-sama tentang perubahan yang terjadi akibat pendidikan. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan yakni: penelitian ini lebih berfokus pada pemukiman yang ditinggalkan dan berbagai dampak yang terjadi terhadap Desa Simaninggir setelah ditinggalkan oleh penduduknya, sedangkan skripsi dari Ade Putera lebih berfokus pada masyarakatnya yang meninggalkan desa Mariah Dolog.

1.5Metode Penelitian

Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Sebelum melakukan penelitian lapangan, terlebih dahulu penulis lakukan studi kepustakaan. Penulis mulai mengumpulkan sumber pada bulan pertama, hal ini untuk memperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang ada relevansinya dengan masalah yang penulis teliti. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa literatur, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

(28)

Kemudian penulis juga menggunakan teknik snow ball (bola salju) yakni informan pertama dapat menunjukkan informan-informan lain yang mengetahui lebih dalam, tentang penelitian yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

Tahap wawancara ini penulis lakukan pada bulan kedua setelah beberapa literatur buku terkumpul. Tahap ini merupakan masa tersulit bagi penulis karena harus mencari dan menemui informan ke beberapa desa yang berbeda-beda dengan tingkat ikatan emosional yang berbeda pula. Wawancara awal dengan Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, beliau menjelaskan tentang letak administratif dari Desa Simaninggir dan juga perbatasannya, beserta latar belakang historis dari Simaninggir sendiri. Beliau juga menunjukkan informan selanjutnya yakni, Parisan Nainggolan selaku penduduk yang tumbuh dewasa dan berkeluarga di Simaninggir. Mereka berdualah yang menjadi informan kunci bagi penulis dalam melakukan wawancara selanjutnya.

Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari segi substansial atau isinya yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan, apakah sumber melaporkan fakta yang sebenarnya. Kritik ini disebut kritik intern.

(29)

mendukung data yang diperoleh melalui wawancara, dengan kata lain hasil pengamatan akan penulis jadikan sebagai sumber untuk melengkapi data yang didapatkan melalui wawancara.

Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Tahap ini penulis kerjakan pada bulan ketiga.

(30)

BAB II

SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954

2.1. Kondisi Alam dan Geografis

Desa Simaninggir secara administratif berada di wilayah Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukotanya adalah Tarutung. Di Kecamatan Parlilitan terdapat 17 (tujuh belas) desa, yang salah satunya adalah Desa Simaninggir. Letak geografis kecamatan Parlilitan ini, 300-2000 meter di atas permukaan laut. Dengan luas wilayah 858,50 km. Kecamatan Parlilitan berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kec. Harian dan Dairi Sebelah Selatan : Kec. Pakkat

Sebelah Barat : Kabupaten Tapanuli Tengah Sebelah Timur : Kec. Dolok Sanggul11

Simaninggir sendiri pernah menjadi sebuah desa sampai tahun 1993, untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk yang mendiami Desa Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh rumah tangga. Di mana pada tahun 2002 Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya. 12

11

BPS, Parlilitan dalam angka 1990, Parlilitan: BPS, 1991, hal.1. 12

Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan Tiomina Marbun, Pusuk 1, 25 April 2013.

(31)

dalam penelitian ini, penulis lebih tertarik dan fokus untuk meneliti pemukiman yang pernah ada di Desa Simaninggir, bukan desa tersebut secara administratif.

Berdasarkan letak geografis Kecamatan Parlilitan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kawasan Kecamatan Parlilitan terdapat di dataran tinggi yang memiliki hutan yang cukup karena terletak di perbukitan. Kawasan Parlilitan ini juga memiliki sumber daya alam yang dapat dinikmati oleh masyarakatnya. Disebabkan daerah ini terdapat di perbukitan, maka sejumlah desa, letaknya terdapat di balik bukit-bukit yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan. Penyebabnya karena harus melewati bukit-bukit yang berlembah curam dan juga dipisahkan oleh jurang yang dalam.

Penduduk desa dapat menyesuaikan kehidupan mereka, dan tetap dapat mempertahankan lahan mereka, khususnya di lereng gunung yang lebih terjal, dan sangat sulit dicapai.13 Untuk dapat mengakses desa Simaninggir, maka terlebih dahulu dari simpang tiga Desa Pusuk I dengan jarak sekitar 3 km hingga ke Desa Hutari yang sekarang menjadi Desa Pusuk II Simaninggir14

1. Desa Sampean

. Sepanjang jalan tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor roda empat. Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Simaninggir:

2. Hutari (Pusuk II Simaninggir) 3. Pusuk 1

(32)

Desa Pusuk II Simaninggir merupakan satu-satunya desa yang dilalui menuju Simaninggir meskipun ada jalan setapak dari Desa Banua Rea yang secara administratif berbeda kecamatan dengan Desa Simaninggir. Adapun jarak dari Desa Pusuk II Simaninggir menuju Desa Simaninggir sekitar 6 km dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor karena letaknya yang berada di atas bukit dengan medan jalan setapak, curam di pinggiran jurang dan terjal. Masyarakat akan melalui akses jalan ini hanya dengan berjalan kaki serta melalui jurang yang dihubungkan dengan jembatan terbuat dari susunan batang kayu.15

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Banua Rea, dengan Aek Mas Adapun batas administratif dari desa Simaninggir ini adalah :

16

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sijarango, dengan Aek Sipang sebagai pembatas administratif antar desa.

di bawah Dolog Pinapan sebagai pembatas administratif antar Desa.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sampean, dengan Dolog Sipahutu-hutu sebagai sambungan dari Dolog Pinapan menjadi pembatas administratif antar desa. 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pusuk I, dengan Aek Sisira sebagai

Pembatas Administratif antar desa.17

Gambaran geografis yang dimaksud oleh penulis, yaitu penggambaran wilayah-wilayah tanah Batak Toba khususnya desa Simaninggir, sekaligus dengan hasil-hasil bumi

15

Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan Magdalena Simanullang, Pusuk 1, 25 April 2013. Penulis juga melakukan observasi ke daerah yang dimaksud, lihat lampiran gambar 4.

16

Disebut sebagai Aek Mas karena memang Dolok Pinapan mengandung emas yang dibawa mengalir oleh Aek Mas tersebut. Hal ini telah disurvei oleh orang Jerman yang pada tahun 2007. Masyarakat Banua Rea juga sering mandulang (mencari emas dari aek mas tersebut dengan cara membuat lubang-lubang dan kemudian mengayak pasir tersebut sampai menemukan biji emas. Ibid., Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 25 April 2013.

17

(33)

serta peternakan yang terdapat di daerah itu. Maksud penggambaran yang demikian untuk dapat diketahui hubungan keadaan wilayah tempat tinggal dengan mata pencaharian, serta kepada latar belakang migrasi mereka yang terjadi kemudian hari.

Kampung Simaninggir ini sulit untuk diketahui oleh masyarakat yang mendengar nama Simaninggir. Hal ini disebabkan sangat minimnya sarana yang tersedia dengan ditandai akses jalan yang seadanya untuk bisa menuju Simaninggir, disebabkan kondisi alam yang sulit untuk dijangkau. Dari Observasi yang penulis lakukan, ternyata menuju Simaninggir harus mendaki Dolog Pinapan dengan akses jalan setapak yang curam juga sangat tersembunyi di antara hutan belantara dikurung oleh sungai dan jurang, dan bukit-bukit yang menghalangi pemandangan wajah kampung juga ditutupi oleh batu-batu besar.

Pada 1950-an perjalanan menuju kampung Simaninggir kadangkala ditandai dengan suara-suara burung dan binatang lain di antara bukit-bukit dan hutan-hutan. Semakin terdengar jelas suara anjing menggonggong, ayam berkokok, dan ternak lain seperti babi yang masih berkeliaran di halaman rumah penduduk. Kegirangan anak-anak yang sedang bermain-main seperti permainan tradisional Marbilon, marbende-bende, margaltuk, marsitekka dan lain sebagainya serta suara lesung penumbuk padi yang dilakukan oleh

muda-mudi secara gotong-royong masih jelas terlihat saat berkunjung ke desa ini. Rumah-rumah penduduk yang khas terbuat dari papan yang telah berwarna coklat hingga kehitam-hitaman dengan atap jerami sebagiannya ada yang berlumut warna hijau. Dibuat bertingkat karena hewan peliharaan dapat dibuat di bawah kolong rumah.18

Pada umumnya, tanah Batak Toba adalah daerah pegunungan. Bila dibandingkan luas wilayah pegunungan dan dataran rendah, maka dataran rendahnya sempit saja. Karena itu

18

(34)

hutan merupakan wajah tanah Simaninggir, walaupun pada beberapa bagian hanya merupakan hutan ilalang dan sampilpil.19

Adapun jenis ternak yang digembalakan yaitu hanya kerbau, yang bebas berkeliaran di perbukitan tersebut tanpa diikat dengan tali tambatan. Penduduk yang rata-rata memiliki ternak kerbau hanya menempelkan kalung di leher si kerbau, yang terbuat dari kayu berbentuk seperti lesung dengan ukuran mini, dan diberi lubang di tengah lesung tersebut layaknya seperti lonceng yang menimbulkan bunyi saat kerbau bergerak. Masing-masing pengembala kerbau cukup kreatif untuk membuat jenis kalung kerbau yang berbeda-beda, Hamparan hutan tropis sebagai sumber daya alam yang menghasilkan kemenyan, rotan, batu kapur, sarang wallet dan kotoran wallet. Dolog Pinapan yang aliran airnya mengandung emas serta tersedianya flora dan fauna yang dapat dinikmati oleh masyarakat Simaninggir menjadikan desa ini sebagai tempat yang layak untuk dijadikan sebagai pemukiman.

Awalnya daerah ini ditumbuhi oleh semak belukar dan berbagai jenis pepohonan. Salah satu jenis pohon yang tumbuh yaitu rotan. Rotan ini kemudian dibentuk menjadi barang jadi untuk diperdagangkan di pasar. Seiring dengan makin meningkatnya aktivitas kehidupan penduduk di desa ini, hutan belantara tersebut mereka eksploitasi untuk dijadikan lahan pertanian seperti persawahan dan perladangan. Adapun prosesnya yakni dengan cara ditebangi dan kayunya dijadikan papan dan tiang untuk rumah-rumah mereka, serta ada juga dengan membakar hutan. Sebagian wilayah perbukitan yang hanya ditumbuhi oleh rerumputan liar dianggap layak sebagai tempat pengembalaan ternak.

19

(35)

sehingga mereka tetap bisa mengetahui kerbau gembalaan mereka. Rumput liar yang tumbuh subur di perbukitan menjadi santapan kerbau yang diternakkan di sana.

Daerah pengembalaan kerbau tersebut lama-kelamaan terbentuk kubangan yang berisi genangan air serta terlihat seperti lapangan, sehingga Desa Banua Rea yang merupakan desa tetangga Simaninggir ikut menjadikan perbukitan ini sebagai lahan pengembalaan ternak mereka. Berbeda hal nya dengan pengembala Simaninggir, para pengembala kerbau dari Desa Banua Rea memberikan tanda dengan mengikat setiap tanduk kerbau tersebut dan juga ada yang mengecat dengan warna hitam di punggung kerbau.

Mengandalkan kekayaan alam menjadi ciri khas masyarakat Simaninggir untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, dan papan maka akan mengambilnya dari hutan di sekitar pemukiman mereka. Kegiatan mencari rotan untuk kemudian dijual di pasar pada akhir pekan yang merupakan waktu untuk melakukan transaksi jual-beli dengan penduduk dari desa lain yang akan datang ke pasar, yang pada saat itu ada di Desa Pusuk 1.

2.2 Latar Belakang Historis Desa Simaninggir

(36)

serangan untuk menguasai Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke

Ketika pasukan Belanda berhasil menduduk i Daerah Dolok Sanggul, kepala-kepala kampung di sini dipaksa membayar denda. Pasukan Belanda terus bergerak ke kampung-kampung dan membakar beberapa kampung-kampung yang dilewatinya, sehingga selalu menimbulkan perlawanan dari pejuang-pejuang Batak Toba setempat. Dengan meluasnya daerah yang tunduk kepada Pemerintah Belanda, maka daerah gerak Sisingamangaraja semakin sempit dan pengikutnya semakin berkurang. Sekarang pasukannya bertahan di sebelah Barat Daerah Danau Toba, yaitu daerah Pak-pak dan Dairi.20

Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke Hutan Simsim.

Sampai dengan akhir abad ke-19 Sisingamangaraja XII masih giat melakukan perlawanan-perlawanan. Akan tetapi perlawanan yang dilakukannya tidak lagi bersifat menyerang lawan, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri dari serangan lawan.

21

20

Ibid., hal. 266. 21

Keturunan dari ajudan Sisingamangaraja yakni marga Nainggolan yang menjadi raja huta Simaninggir memperkirakan bahwa Hutan Simsim yang dimaksud adalah daerah tempat mereka bersembunyi yang pasca perang menjadi pemukiman mereka dan akhirnya Hutan Simsim tersebut mereka beri nama menjadi Desa Simaninggir. Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 24 April 2013.

(37)

Perang Tapanuli.22

Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi hingga akhirnya tewas. Marga Nainggolan yang merupakan panglima Sisingamangaraja tersebut, memilih untuk tetap diam di sekitar gua tersebut, agar terlindung dari penjajahan Belanda. Tersebar ke mana-mana keganasan pasukan Belanda serta penghancuran dan pembakaran pertahanan Sisingamangaraja. Rakyat pun telah menjadi korban keganasan pasukan Belanda, serta rumah-rumah dan kampung-kampung rakyat dibakar. Rakyat mengungsi selama pertempuran berkecamuk. Mereka berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri dari malapetaka pertempuran. Dengan berjalan kaki mereka pergi menuju kampung saudaranya yang aman dari pertempuran.

Dengan gugurnya Sisingamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak Toba jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu rodi, penarikan pajak yang berat, serta berbagai peraturan pemerintahan kolonial yang merugikan rakyat masuk ke daerah ini. Struktur kehidupan tradisional dari masyarakat Batak Toba pun menjadi runtuh.

Awal terbentuknya Desa Simaninggir ini terjadi pasca Perang Sisingamangaraja yang berkecamuk pada tahun 1907 sebelum akhirnya Sisingamangaraja gugur di Dairi pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan Batalion Marsuse Belanda, Kapten Christofel. Pada saat itu Raja Sisingamangaraja dikawal oleh ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir, menemukan tempat persembunyian di dalam gua yang berada di Desa Simaninggir ini. Kemudian Sisingamangaraja beserta panglimanya selanjutnya melakukan gerilya sampai ke Dairi, karena wilayah Bakkara dan wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda.

22

(38)

Di antara mereka ada juga yang tak tentu arah tujuannya ke mana. Keluarga-keluarga yang hari demi hari terus berjalan menuju jarak yang jauh, sampai ke kampung-kampung Humbang, dan akhirnya bertemu dengan mantan ajudan Sisingamangaja yang bermarga Nainggolan tersebut. Beliau mengajak mereka untuk bersembunyi sementara waktu di sekitar gua Simaninggir tempat Sisingamangaraja dulu bersembunyi. Marga yang awalnya menduduki Simaninggir yaitu Nainggolan.

Marga yang lain kemudian ada karena proses pernikahan dan akhirnya tinggal menetap di Simaninggir tersebut.23

Secara kepemilikan, Tanah Simaninggir merupakan daerah yang diklaim sebagai tempat persembunyian Sisingamangaraja bersama panglimanya yakni marga Nainggolan tersebut. Dalam bahasa Batak Toba beliau disebut sebagai “Raja Ihutan sipukka huta ”, yakni orang yang pertama sekali menemukan dan menduduki pemukiman tersebut. Setelah mendiami dan mendirikan rumah di daerah tersebut bersama dengan keluarganya, beliau menawarkan bantuan tempat persembunyian kepada saudara semarga yang lain yang beliau jumpai di pasar dan di jalan yang membutuhkan tempat persembunyian sementara dari

Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan Batak Toba (Marserak) dari beberapa daerah di Tapanuli Utara yang bergejolak pasca gugurnya Sisingamangaraja ke Desa Simaninggir. Simaninggir dengan isolasi wilayahnya, sangat menjanjikan menjadi tempat yang nyaman dan aman dari jangkauan musuh, terutama Belanda. Daerah ini hanya dapat ditelusuri dengan mendaki, karena letaknya yang berada di atas bukit, sehingga tidak dapat dijangkau oleh Belanda yang menggunakan kendaraan tempur untuk menduduki wilayah jajahannya pada masa itu.

23

(39)

peperangan. Maka, terbentuklah suatu pemukiman baru yang diberi nama Simaninggir. Awal mula perkembangan Simaninggir, penduduknya tentu tidak terlepas dari tradisi mereka sebelumnya, yakni dari tempat asal mereka. Masing-masing penduduk masih mengamalkan tradisi budaya asal mereka. Dalam masyarakat Batak Toba, di daerah asal (bona pasogit) hukum atas pemilikan tanah dan pendirian kampung didasarkan atas marga. Marga sebagai identitas yang cukup mendasar, membentuk norma-norma hubungan dalam tatanan kehidupan. Marga yang pertama datang ke daerah yang belum ada pemiliknya akan menjadi raja huta di sana, dan merekalah kelak disebut sebagai marga tanah. Pemilikan atas tanah

disebut “golat” dan yang memilikinya disebut “pargolat”. Dengan demikian, dalam hal ini hak atas golat Desa Simaninggir adalah marga Nainggolan tersebut, yang membuka dan memerintah di Desa Simaninggir.

Tanah seperti ini dengan bebas dapat diberikan kepada anak-anaknya, dan diwariskan jika dia meninggal kelak. Betapapun jauhnya beliau pergi dan bermukim di tempat lain, tanah itu tetap menjadi miliknya. Dalam hal ini marganya mengukuhkan hak nya, itu adalah hak penguasaan tanah asli yang dipegang oleh marganya. Merekalah yang dapat menukarkan, meminjamkan tanahnya kepada orang lain yang datang ke daerah tersebut. Bagi generasi selanjutnya pembagian lahan terutama terjadi atas dasar pemberian orang tua. Pemberian sebidang tanah dilakukan setelah anak menikah atau berumah tangga.

Keluarga muda berpisah dan berdiri sendiri dari lingkungan keluarga orang tua disebut manjae. Pemberian tanah kepada anak laki-laki yang sudah berkeluarga disebut panjaean dan kepada anak perempuan disebut pauseang. Masih ada bentuk pemberian tanah

(40)

mengawini anak perempuan marga tanah dan atau mempunyai jasa terhadap marga tanah. Mereka dapat mendirikan satu atau lebih kampung sendiri di tengah kampung hula-hulanya atau di tanah pembagian harta pusaka yang diberikan kepadanya.

Sekitar tahun 1958 juga pernah terjadi pergolakan politik antara PRRI dengan TRI yang melibatkan Desa Simaninggir.24

Setelah TRI tiba di Simaninggir, mereka lalu mencari pasukan PRRI ke rumah-rumah penduduk dan bertanya apakah ada yang melihat pemberontak atau pasukan PRRI, tapi anak-anak yang tinggal di rumah yang tidak ikut mengungsi dengan orang tua mereka menjawab tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka menjawab saat pemberontak datang mereka Penduduk Simaninggir menyebutnya dengan “masa pemberontakan“. Kala itu musim perang antara pasukan PRRI dengan TRI. Kemudian pasukan PRRI mundur dan lari ke hutan, saat mengetahui TRI telah tiba di Simaninggir. Saat PRRI masih ada di Simaninggir, para penduduk pergi ke hutan untuk bersembunyi, agar tidak diajak oleh Pasukan PRRI dan anak-anak mereka ada yang bersembunyi di gua yang ada di Simaninggir saat mendengar ada suara tembakan dari luar.

24

(41)

berada di ladang. Pasukan TRI menjadi marah dan memasak ubi dan mengambil beras milik penduduk dengan tetap mengarahkan senapan ke arah mereka. Kemudian karena tidak mendapat hasil apa-apa pasukan TRI kembali ke Pusuk 1 yang merupakan markas mereka, dengan tetap menembaki semua arah Simaninggir.

Kejadian itu menorehkan ingatan traumatis bagi penduduk yang menyaksikan masa itu.25

Masyarakat Simaninggir secara keseluruhan adalah bersuku Batak Toba. Setiap orang Batak Toba, memakai marganya di belakang namanya. Di mana pun mereka berada marga itu selalu dipakai. Bagi orang Batak, marga

Desa Simaninggir dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian sementara dan juga sebagai tempat bergerilya untuk melawan Tentara Rakyat Indonesia. Anggota PRRI tidak mengganggu dan mengancam penduduk Simaninggir bahkan para informan berkata pemberontak adalah teman mereka. Kadang pemberontak mengajak anak-anak menari (marsitumba) dan memberikan mereka sebagian makanannya juga membagikan uang mereka kepada anak-anak Simaninggir. Pasukan PRRI di antaranya ada yang bermarga Pardede, Panjaitan, Simanjuntak.

2.3. Komposisi Penduduk

26

25

Wawancara Rusliana Simanullang dan Tiomina Marbun, Dusun Raba-raba, 25 April 2013.

26

Menurut W. Hutagalung, marga berasal dari bahasa Sanskrit yaitu “warga” yang diartikan dengan keluarga, sekaum, satu keturunan yang dalam bahasa Batak dinamakan dengan “ sabutuha”.

(42)

kampung, satu laki-laki dan yang satu perempuan, maka secara otomatis mereka berhubungan sosial secara namarito atau kakak beradik.

Setelah mereka mengetahui derajat keturunan masing-masing dari raja Nainggolan, maka hubungan itu bisa menjadi hubungan bapak dan boru atau anak atau ama naposo (bapak muda) dan namboru (bibi). Setelah mengetahui partuturan atau hubungan kekeluargaan adat, maka dengan sendirinya berlaku adat persaudaraan dan tanggung jawab secara adat. Berlaku adat hak dan kewajiban, yang boleh dan tidak boleh di dalam hubungan sosial mereka. Perasaan persaudaraan, semarga seketurunan dan senenek moyang itu muncul dengan sendirinya. Manifestasinya terwujud di dalam hubungan sosial sehari-hari.27

Salah satu satuan pemukiman pada masyarakat Simaninggir disebut huta, karena pusat aktivitas hidup mereka yang berhubungan dengan tanah adalah huta. Huta terdiri dari tanah yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar pemukiman, tepian (MCK), lumbung, pekuburan, tempat pemujaan, tempat permusyawaratan, tempat

Marga yang terdapat pada masyarakat Simaninggir diantaranya adalah: Nainggolan, Munte, Sihotang, Situmorang, Silalahi, Simanullang, Sitohang. Semua marga tersebut datang dari berbagai daerah di Tapanuli Utara karena berbagai alasan pasca perang Sisingamangaraja dan juga pemuda-pemudi Simaninggir menikahi penduduk dari luar Simaninggir yang kemudian tinggal menetap di Simaninggir. Mereka hidup dengan rasa kekeluargaan dalam satu kampung yang tumbuh dengan erat, karena persamaan nasib yang mereka rasakan solidaritas telah terpupuk terus dan silsilah dapat dipelihara dengan baik.

27

(43)

menjemur peralatan dan hasil produksi, tempat menumbuk padi, bertukang, tempat melaksanakan upacara adat dan aspek kehidupan lainnya.

Penduduk Simaninggir hidup dari hasil pertanian seperti persawahan untuk menanam padi, perladangan untuk menanam kopi robusta yang sangat menjamur di Simaninggir masa itu. Selain mengharapkan hasil pertanian, mereka juga masih memanfaatkan hasil alam, didukung dengan keahlian keterampilan sampingan sebagai pengrajin bambu, rotan, dan riman yang dibentuk menjadi beberapa peralatan rumah tangga seperti: sarung golok, tempayan yang terbuat dari bambu, keranjang yang terbuat dari rotan dan lainnya. Begitu juga hal nya dengan pengembalaan ternak yang biasa dilakukan oleh pemuda dan pemudi biasanya bergotong-royong pada malam minggu untuk menumbuk padi di lesung yang sengaja dibuat panjang agar dapat ditumbuk secara bersamaan.

Keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap penduduk Simaninggir untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berbeda-beda. Hal ini karena mereka berasal dari daerah yang berbeda pula, sehingga di Desa Simaninggir terdapat beragam hasil pertanian dan kerajinan seperti yang disebut di atas. Meskipun hasil pertanian beragam, hal tersebut tetap tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhan mereka karena kondisi geografis Simaninggir yang tidak memungkinkan untuk memiliki lahan pertanian yang luas.

2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk

(44)

Simaninggir memperluas areal pertanian mereka. Ruang produksi adalah tanah untuk lahan pertanian berupa ladang dan sawah. kedua jenis lahan tersebut diharapkan akan menghasilkan kebutuhan sandang pangan dan keperluan untuk upacara sepanjang daur hidup. Hutan adalah tempat pengambilan kayu untuk rumah dan bangunan lainnya, peralatan rumah tangga, tempat berburu. Juga merupakan ruang untuk memperoleh bahan ramuan bagi kehidupan seperti obat-obatan dan kemenyan.

Pembagian ruang tersebut bila diklasifikasikan dari segi pemilikan, akan terlihat bahwa milik perorangan pada ruang pemukiman adalah pertapakan rumah, perladangan dan persawahan. Sedangkan jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian pemandian, adalah milik bersama dan dikelola secara bersama. Milik perorangan diurus, dimanfaatkan dan dialihkan oleh perorangan atau keluarga. Akan tetapi jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian untuk mandi, tidak dapat diwariskan atau dialihkan kepada perorangan atau kepada orang lain oleh seseorang termasuk pemimpin desa. Hal yang menyangkut tempat-tempat tersebut harus dikelola secara musyawarah, karena berkaitan dengan identitas dan kelengkapan desa sebagai milik bersama.

(45)

pengetahuan, sistem teknologi, sistem keberanian dan kepercayaan atau religi.28

Analog dengan cita-cita tersebut, dalam kehidupan mereka pada umumnya tersirat suatu falsafah hidup yang menggambarkan keterikatan hidupnya dengan tanah dan keturunan. Falsafah tersebut berbunyi, lulu anak, lulu tano; yang artinya bila tidak ada anak maka tidak ada tanah atau mencari anak, mencari tanah. Dengan dasar demikian maka anak sebagai pembawa marga adalah pemilik tanah. Tanah adalah lambang eksistensi marga,

Dari uraian tersebut tergambar bagaimana arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Desa Simanainggir. Tanah mengacu pada makna dan arti kehidupan dan penghidupan mereka, karena merupakan unsur penting dalam sistem dan nilai budayanya.

Hukum adat Batak Toba sebagai bagian mutlak dari kebudayaannya mengatur dengan baik mekanisme pertanahan yang utuh, yang keberadaannya dilegitimasi oleh orang Batak Toba. Di dalam hukum adat tersebut telah diatur bahwa setiap anggota marga atau komunitas yang turut memiiliki tanah diwajibkan untuk melestarikan tanah itu sebagai milik bersama dan sebagai simbol identitas bersama. Eratnya keterikatan orang Batak Toba khususnya penduduk Desa Simaninggir dengan tanah, tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup mereka yang mendasar. Bagi mereka, cita-cita itu adalah mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan) dan hagabeon (berketurunan). Dalam usaha mewujudkan cita-cita

yang pertama yakni hamoraon (kekayaan), salah satu pendukungnya adalah tanah, karena semakin luas tanah yang dimiliki, dikuasai serta dikelola, maka peluang untuk mencari cita-cita akan semakin terbuka.

28

(46)

artinya dengan memiliki tanah berarti marga mempunyai kekuasaan ke dalam dan ke luar. Ungkapan ini mengandung arti, semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka. Lingkungan kampung dan areal pertanian yang terbatas mendorong petani untuk meninggalkan kampung halamannya.

Pada masyarakat Batak Toba terdapat beragam jenis tanah, tetapi pada masyarakat Simaninggir hanya dikenal beberapa jenis tanah sesuai dengan pengelolaannya dan keadaan tanaman yang tumbuh di atasnya. Jenis-jenis tanah tersebut adalah:

a. Tano tarulang atau tano kosong, yakni tanah kosong yang belum pernah dikerjakan.

b. Tano na niulang, yakni jenis tanah untuk keperluan pertukaran penanaman yang

dibiarkan terlantar. Tanah yang demikian ini terdiri dari beberapa jenis. Apabila tanah tersebut dibiarkan terlantar untuk jangka waktu yang singkat misalnya selama dua tahun kemudian diusahai kembali, maka tanah yang demikian dinamakan tano dipaombal.

c. Jenis tanah lainnya adalah harangan dan tombak. Harangan adalah hutan asli yang belum pernah diolah, sedangkan tombak adalah hutan muda yang dulunya telah pernah dikerjakan.

d. Hauma dan pargadongan. Hauma adalah jenis tanah yang biasanya ditanami padi.

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut jenis tanah ini adalah tano maraek. Pargadongan adalah sebutan untuk lahan perladangan yang biasanya ditanami

dengan ketela, ubi rambat, singkong, kopi dan lain-lain.

e. Tano parhutaan adalah jenis tanah perkampungan atau tempat pemukiman

(47)

f. Jalangan dan jampalan. Jalangan adalah tanah-tanah pengembalaan yang luas, di mana orang dapat membiarkan ternaknya merumput tanpa harus dijaga. Jampalan adalah tanah-tanah pengembalaan di mana ternak harus dijaga. Jenis tanah ini relatif lebih sempit dibandingkan dengan jalangan dan umumnya terletak di antara ladang dan persawahan.29

Dari uraian di atas, terlihat jenis-jenis tanah yang dikaitkan dengan jenis tanaman yang tumbuh di atasnya. Ada satu jenis tanah lagi yang dikenal oleh masyarakat Simaninggir yaitu parmualan (perairan yang biasanya berupa aliran sungai, mata air, atau pancuran).

Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi, yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Dilihat dari ketinggian dari permukaan laut berada antara 300 sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut dan topografi bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan di atas 40%.30

Selain membuka persawahan, penduduk Simaninggir juga memelihara ternak sebagai salah satu cara untuk menambah pendapatan keluarga. Hampir setiap rumah tangga memelihara kerbau, babi, ayam, itik dan juga sebagian ada yang membudidaya ikan. Dikemudian hari jumlahnya semakin menurun dan penyebabnya menurut mereka ialah, Keadaan permukaan tanah yang banyak bergunung dan berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanaian, seperti perluasan areal dan juga kesulitan dalam pembangunan jalan dan sarana pengairan.

29

Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1, 24 April 2013.

30

(48)

karena pemerintah masa itu mengenakan pajak ternak. Ternak berkurang, pendapatan masyarakat juga berkurang.31

Menurut mereka kotoran kelelawar sangat ampuh dalam menyuburkan tanah dibanding dengan pupuk kimia yang dijual di onan atau pasar dengan harga yang sangat mahal pada masa itu. Selain mengumpulkan kotoran kelelawar, penduduk juga mengumpulkan takkal

Kopi robusta, padi dan ubi kayu adalah tumbuhan yang pertama ditanam oleh penduduk Simaninggir sebagai bahan pangan. Bibit kopi, dan jagung mereka dapatkan dari pasar, dan daerah asal mereka seperti dari Sipintu-pintu.

Wilayah Simaninggir tergolong wilayah yang kurang subur, terdiri atas perbukitan yang diapit batu-batu besar dan lembah. Tanahnya berjenis tanah liat berwarna merah. Pada umumnya juga terdiri dari bukit-bukit dan batu-batu tandus. karena itu sawah ladang harus diberi pupuk kompos agar tanah menjadi subur. Biasanya para petani mengambil kompos yaitu kotoran burung kelelawar yang berada dalam gua-gua di sekitar hutan Simaninggir. Untuk membawa kotoran kelelawar sampai ke ladang dan sawah membutuhkan waktu berminggu-minggu, karena bobot kotoran kelelawar itu sangat berat berbentuk menggumpal dan padat. Butuh tenaga dan waktu untuk mengumpulkannya sampai banyak.

32

1. Bertani(bersawah dan berladang)

untuk menyuburkan tanah. Penduduk memanfaatkan pegunungan yang berhutan lebat dengan menanam pohon kemenyan sebagai perkebunan tradisional sejak nenek moyang. Lembah-lembah di antara celah bukit-bukit dimanfaatkan sebagai areal persawahan. Pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah:

2. Berkebun

31

Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1 , 25 April 2013.

32

(49)

3. Beternak

4. dan Pengrajin atau bertukang

Pertanian sangat tergantung kepada keadaan atau jenis tanah, tingkat kelembapan, ketinggian tanah, banyaknya curah hujan dan lainnya.33

Di samping itu ladang sering dipergunakan untuk menanam padi yang dinamakan

hauma atau ladang kering. Mereka juga mengusahakan perkebunan kopi yang

diperdagangkan secara lokal, di onan. Para tengkulak mengumpulkan kopi-kopi tersebut lalu memasarkannya secara regional. Kadang-kadang, para tengkulak menyuruh mereka untuk menggongseng dan menumbuk kopi mentah menjadi kopi siap saji, sehingga para penduduk

Maka masyarakat desa atau petani mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi mereka terhadap berbagai kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat Desa Simaninggir terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan alamnya. Petani bekerja dengan alam. Semuanya serasa telah diatur dan ditentukan oleh alam, Sehingga penduduk Simaninggir tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru.

Mengusahakan persawahan berarti menghasilkan beras sebagai makanan utama. Disamping beras, sawah juga dipergunakan untuk memelihara ikan, terutama ikan mas yang pembibitannya selalu diselaraskan dengan musim bertanam padi. Makanan utamanya adalah nasi, akan tetapi makanan utama tersebut hanya dimakan pada siang dan sore hari, sedangkan makanan paginya ubi kayu (garinghau) atau ubi rambat (gadong) yang disebut dengan istilah manggadong yang kadangkala diberi lauk ikan asin. Mereka juga menanam nenas, tebu,

pisang, pinasa (nangka). Perkebunan yang hasilnya banyak dijual ialah kopi, kemenyan.

33

(50)

tidak perlu membeli kopi siap saji dari pasar, karena beberapa rumah tangga juga dapat membuat kopi siap saji. Tentunya hal ini mendapatkan harga yang lebih tinggi dibanding dengan hanya menjual kopi mentah.

Ada perkebunan haminjon atau kemenyan terutama di gunung-gunung. Mata pencaharian lain yaitu menanam tusam (pinus) dan pohon nangka, sejenis kayu yang dapat dipergunakan sebagai papan rumah maupun sebagai alat penerangan (obor, lampu). Itulah sebabnya tusam ditanami juga oleh penduduk Simaninggir saat itu. Berburu juga pernah menjadi mata pencaharian yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Hampir seluruh kemenyan di desa ini diperoleh dari pohon yang sengaja ditanam oleh leluhur mereka. Kebun-kebunnya terletak di dalam hutan dan di ladang. Menurut seorang pengolah dari Desa Pusuk II Simaninggir34

Lebih baik jika getahnya dikutip (mangaluak haminjon) sewaktu cuaca mendung atau pagi maupun sore hari ketika matahari baru terbit atau mulai terbenam. Karena di bawah pengaruh matahari, getahnya akan mencair dan berwarna hitam. Warnanya juga tidak akan baik jika dikutip pada waktu hujan. Tali yang digunakan untuk memanjat terbuat dari serat kayu pohon aren (riman). Tali dari nilon tidak cocok karena terlalu licin. Tali riman ini dapat , Pohon kemenyan yang ditanam di ladang baru mulai menghasilkan getah setelah 20 tahun. Pernyataan ini perlu dikonfirmasi lagi, dan mengapa proses berkebun ini ditinggalkan perlu diteliti lebih lanjut. Di dalam hutan, pohon mulai menghasilkan getah sesudah delapan tahun dan terus menghasilkan hingga sekitar 60 tahun, asalkan cara menyadapnya betul.

34

Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk yang mendiami Desa Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh rumah. Dimana pada tahun 2002 Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya.

(51)

digunakan selama 15 tahun jika tidak disimpan di tempat yang basah. Pada waktu pohon kemenyan memerlukan perhatian yang lebih, petani tinggal beberapa hari bahkan berminggu-minggu di hutan dan tidur disebuah pondok atau gubuk kecil.35

35

Claude, Guillot (Terj. Daniel Perret), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 244.

Mereka membawa bekal makanan untuk seminggu, seperti beras dan ikan kering, yang diletakkan dalam sebuah hirang atau keranjang yang kemudian diisi getah kemenyan saat mereka pulang. Mereka kembali ke kampung pada waktu pasar mingguan. Untuk menjual getahnya biasanya mereka bertemu pada hari pasar di lapo tuak dan warung kopi -tempat pertemuan penting bagi pria dewasa. Pohon yang telah habis getahnya tidak diganti satu per satu, tetapi kebunnya ditinggalkan begitu saja dan menjadi hutan.

(52)

Sebagian mengkhususkan diri dalam mata pencaharian bertukang, kerajinan tangan. Jenis lain yang dijadikan sebagai sumber penghidupan yaitu pekerja atau buruh. Mereka memiliki tenaga kerja berlebih karena sempitnya sawah dan ladang yang dapat dikelola, juga terbatasnya musim menanam padi yang hanya sekali setahun pada waktu itu, serta musim tanam yang berbeda-beda di setiap daerah, maka tenaga berlebih itu dapat menjadi buruh tani di tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan bermusim, artinya selama musim tanam atau musim menuai datang serombongan penjual tenaga ke daerah lain, kemudian setelah itu kembali lagi. Misalnya, Wilayah Silindung selalu menerima pekerja musim ini. Tawar-menawar tenaga kerja terjadi di onan atau di tepi jalan raya dengan istilah “nga lakku hamu amang” yang berarti: apakah bapak sudah laku? Pada umunya pekerja

musim ini menerima upah padi dengan pembagian 1:8 atau 1:6, artinya dari setiap 6 ikatan si pekerja musim mendapat satu ikatan.

Faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti dikemukakan oleh O.E. Baker, sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya, mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas.36

36

Ibid., hal. 67.

(53)

Kebanyakan Jenis takhayul ini berkaitan dengan iklim, tanaman dan binatang. Misalnya, saat mata air di desa itu kering dan juga saat mata air tiba-tiba menjadi keruh, Raja adat yang mewakili penduduk memakai ulos. Mual atau mata air itu disembah atau dipele. Menurut Penduduk setempat di mata air atau mual tersebut terdapat seekor ular yang sangat besar sebagai penghuni mual tersebut, yang kadang-kadang menunjukkan dirinya kepada orang yang berbuat tidak sopan di desa tersebut. Takhayul yang berkaitan dengan pengaruh bulan terhadap pertanian juga mereka percayai, sehingga konsep kebudayaan tradisional di Desa Simaninggir ini mengacu pada gambaran tentang cara hidup masyarakatnya yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang pada masa itu sangat jarang.

Dengan rumusan lain, pola kebudayaan tradisional desa ini adalah produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat Simaninggir yang hidupnya tergantung pada alam yaitu pertanian. Tingkat teknologinya yang masih rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka atau ekonomi subsisten. Pada masyarakat Simaninggir yang belum menggunakan teknologi modern dalam sistem pertanian mereka, dan disamping itu juga belum menggunakan uang dalam sistem perekonomian mereka, maka dalam kehidupan sosial mereka ditandai oleh adanya hubungan-hubungan yang akrab, serba informal serta permisif atau bebas dan santai.

(54)

Gambar

Tabel I
Tabel II
Tabel III
Gambar.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Pelaksanaan KKN -PPM akan dibim bing oleh D osen Pem bim bing Lapangan yang akan m endam pingi m asing-m asing unit KKN - PPM dan untuk pelaksanaan kegiatan KKN -PPM di tingkat D

Annual Working Plan and Company's Budgeting is a management contract between directors and the commissioners as the supervisory body, in order to protect interests

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Konfik merupakan hal yang tidak bisa dihindari dalam sebuah organisasi, disebabkan oleh banyak faktor yang pada intinya karena organisasi terbentuk dari banyak

The results of this research are: first, the R1 treatment results the digestibility of dry material and organic material as well as the best performance;

[r]

Pada unadjusted ternyata kemungkinan untuk keberhasilan penanganan abortus inkomplit yang Puskesmas PONED lengkap lebih besar 3,8 kali dibandingkan dengan Puskesmas PONED