• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Sistem Sosial Masyarakat

BAB II SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954

3.2 Struktur dan Sistem Sosial Masyarakat

Sebelum Indonesia dipersatukan oleh ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demokrasi republik di bumi nusantara pernah berdiri kerajaan (dinasti) merdeka yang sempat beberapa waktu ditaklukkan oleh kekuasaan kolonial, misalnya dinasti Sisingamangaraja yang memerintah kerajaan Batak di Sumatera Utara yang berkedudukan di Bakkara sebagai pusat pemerintahan Raja.46

46

Togap Robinson Siagian, Pahlawan Kemerdekaan Nasional Raja Sisingamangaraja XII, Jakarta: Yayasan Dinamika Pers, 1992, hal. 184.

Sistem kerajaan Dalihan Natolu Batak Toba, berbeda dengan konsep kerajaan Jawa. Kerajaan Dalihan Natolu Batak Toba tidak mengenal sistem pemerintahan dengan gelar kebangsawanan seperti yang berlaku di Kraton Jawa.

Sistem Dalihan Natolu juga diterapkan di Desa Simaninggir dalam menjalani aktivitas kehidupan penduduk setiap harinya. Hal ini semakin jelas terlihat saat salah satu dari penduduk melaksanakan pesta perkawinan atau adat untuk upacara kematian. Raja huta akan mengumpulkan para raja adat untuk menyusun upacara adat yang melibatkan hulahula,

dongan tubu dan boru. Ketaatan dan kepatuhan terhadap adat-istiadat dan tradisi di

Simaninggir berlangsung sampai tahun 1970-an. Pada 1985-an saat anak mereka pulang ke Desa Simaninggir untuk melaksanakan tradisi upacara perkawinan, upacaranya dilakukan dengan sederhana. Mereka tidak mempermasalahkan lagi kesalahan dalam pembagian jambar. Pihak hulahula juga turun tangan membantu pihak boru. Hal ini terus berlanjut dan makin memudar sampai tahun 2002, di mana Desa Simaninggir sudah ditinggalkan oleh penduduknya. 47

Apabila pemimpin tersebut memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, maka ia menjadi pemimpin patrimonial yang menjadi panutan serta penentu bentuk-bentuk aturan hubungan sosial, serta pusat solidaritas. Sebaliknya, untuk memperoleh Menurut Ralph Linton, status sosial ialah posisi dalam suatu pola tertentu masyarakat. Status diperoleh dengan cara warisan (ascribed), maupun dengan cara perolehan (achieved). Status warisan diperoleh dengan cara turun-temurun, sedangkan status perolehan diperoleh setelah menempuh tahapan kegiatan dan memenuhi persyaratan tertentu. Dalam masyarakat tradisional, status diperoleh dengan dukungan faktor-faktor fisik, non-fisik berupa kekayaan tanah, rumah, ternak, perhiasan maupun pusaka. Acapkali mereka yang memenuhi faktor-faktor tersebut, kata Weber kemudian memperoleh pengaruh dan menjadi pemimpin yang berkuasa.

47

status perolehan, diperlukan keahlian, ketrampilan dan rasionalitas. Jalur yang tepat untuk memperolehnya antara lain adalah jalur pendidikan.48

Dengan demikian dalam struktur sosial orang Batak Toba terdapat tiga unsur yang didasarkan pada garis keturunan dan sistem perkawinan. Ketiga unsur tersebut dinamakan dalihan na tolu. Ketiganya saling terikat dan saling membutuhkan. Pada dasarnya dari ketiga unsur itu tidak ada yang saling melebihi. Kenyataan dalam praktisi kehidupan yang sesuai dengan sistem sosial yang dianut itu dikukuhkan oleh budayanya, sehingga kedudukan hulahula lebih tinggi dan lebih istimewa. Wujud tingginya kedudukan sosial hulahula

Orang Batak Toba, khusunya Masyarakat Simaninggir, memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut, mengatur tata hubungan mereka sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Struktur sosial operasional yang dimiliki pada hakikatnya berdasarkan sistem sosial marga.

Dalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menentukan bentuk hubungan sosial partuturan setelah saling memberitahukan marga, masing-masing akan langsung mengingat latar belakang silsilah. Dengan cara ini mereka dapat menentukan referensi panggilan, kakak atau adik, bapak tua atau bapak uda, saudara perempuan atau namboru. Dari garis keturunan bapak yang dianut, mereka memiliki salah satu unsur struktur sosial yang dinamakan dongan tubu atau dongan sabutuha. Berdasarkan sistem perkawinan, maka sumber istri menjadi unsur kedua yang dinamakan hulahula dan kelompok sosial pengambil istri menjadi unsur sosial ketiga yang dinamakan boru.

48

Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba: Bagian Sejarah Batak, Op.Cit., hal. 21.

dibuktikan bahwa kelompok ini dipandang sebagai ‘sumber restu’ yang berniai kepercayaan agama. Restu tersebut berbobot jasmani, materi bahkan rohani. Restu itu berdampak bagi masa kini dan masa depan.

Hulahula dalam wujud kehidupan sosial semestinya dihormati, dan tidak diremehkan atau dipermalukan. Oleh karena itu hulahula tidak boleh diperintah, disuruh apalagi dipaksa oleh boru. Salah satu ungkapan budaya yang melegalisasi sikap sosial terhadap hulahula berbunyi: “somba marhulahula” artinya harus hormat kepada hulahula. Hormat disini maksudnya dalam konteks tingkah laku, sikap pandang, pemberian, pelayanan sosial, dan adat. Dongan tubu, atau dongan sabutuha atau dongan saina berarti teman semarga atau saudara seasal perut ibu, maupun saudara seibu. Karena masih keturunan satu bapak dan satu ibu moyang, maka satu marga diartikan sebagai satu perut (sumber kelahiran). Artinya, mereka masih satu darah. kelompok sosial ini dianggap bersaudara dekat, walaupun keturunan nenek moyang yang melahirkannya sudah tidak saling mengenal, terutama pada tingkatan generasi di bawahnya. 49

Ungkapan budaya yang mengukuhkan hubungan bersaudara semarga berbunyi: “manat mardongan tubu” artinya hati-hati dan bijaksana terhadap saudara semarga. Ungkapan budaya yang menekankan garis kebijaksanaan di dalam hubungan sosial dengan saudara semarga, sejak nenek moyang telah mengantisipasi bahwa hubungan bersaudara dapat menjadi buruk dan berbahaya, bahkan cenderung menimbulkan konflik yang mengarah pada perpecahan sosial. Oleh karena itu, ungkapan itu dapat dipandang sebagai ungkapan peringatan bagi orang yang satu marga, agar tetap waspada dan hati-hati demi menjaga keutuhan mereka.

49

Kelompok boru (pengambil istri), yaitu kelompok sosial yang dipandang secara fisik bertaraf lebih rendah dibanding hulahula. Kelompok ini dapat diperintah hulahula, dan wajib mematuhinya. Pada setiap perhelatan atau horja yang diselenggarakan oleh hulahula, boru adalah pelaksana dan penanggungjawab dalam pelaksanaannya. Demikian juga dalam hubungan sosial sehari-hari, termasuk dalam soal keamanan dan keselamatan hulahula, maka semua kelompok boru sangat dipercaya untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Situasi demikianlah yang terjadi pada masyarakat Simaninggir dalam susunan kemasyarakatannya.

Walaupun kedudukan boru tampak rendah, namun secara fungsional tugas dan tanggungjawab yang dilakukan oleh boru tersebut dianggap lambang kedudukan dan kehormatan yang tinggi. Mereka akan merasa terhina dan direndahkan derajatnya bila tidak diperintah untuk melakukan fungsi sosialnya sebagai boru. Bila mereka tidak dilibatkan dalam kinerja hulahula, maka itu merupakan petunjuk bahwa mereka sudah disepelekan atau bahkan sudah dianggap berada di luar lingkaran hubungan sosial dalihan natolu. Suatu kehormatan bagi boru apabila mereka diperintah dan dilibatkan dalam setiap kegiatan adat maupun sosial yang dilakukan hulahula, walaupun untuk itu ia akan mengeluarkan tenaga, pikiran, biaya, materi, bahkan keselamatannya.

Sikap hulahula yang dipandang meremehkan boru akan menimbulkan reaksi protes terhadap hulahula. Perlawanan dari pihak boru semakin keras dalam bentuk pengaduan kepada sesama boru dan kepada hulahula yang lain bila reaksi mereka tidak ditanggapi secara wajar. Jika hulahula masih tetap memandang remeh, maka konflik terbuka dalam bentuk pertengkaran maupun perkelahian fisik pasti akan muncul. Salah satu basis pandangan bahwa perintah hulahula harus dilaksanakan, dilatarbelakangi makna religi kelompok hulahula tersebut.

Dalam Batak Toba umumnya, hulahula dianggap sebagai sambariba langit, (separuh langit), debata natarida (tuhan yang kelihatan secara kasat mata) sehingga ada fungsi ketuhanan dalam diri para hulahula sehingga mereka pantang disepelekan atau diremehkan, termasuk perintahnya. Untuk fungsi yang dianggap mulia dan mengandung nilai religi tersebut, ada ungkapan budaya sebagai landasan sikap hulahula kepada boru yang berbunyi: ‘elek marboru’ (membujuk atau bersikap lembut kepada boru). Membujuk diartikan dalam konotasi menyayangi, menjaga perasaan, dan tidak menyakiti.

Dengan demikian, dukungan budaya terhadap fungsionalisasi struktur tersebut memberi dasar pada sistem sosial yang dianut. Ungkapan Batak Toba yang utuh yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari atas ketiga unsur struktur sosial tersebut adalah ‘somba marhulahula, manat mardongan tubu, elek marboru’. Ungkapan tersebut merupakan pedoman hubungan sosial masyarakat Simaninggir sebagai wujud nyata sistem sosial yang dianut. Meskipun dukungan fundamental kebudayaan demikian kuat terhadap hubungan dan struktur sosial dalihan natolu, namun tidak berarti hubungan sosial itu selalu mulus dan terjalin harmonis. Benturan sosial kerap kali terjadi antara sesama hulahula, sesama dongan tubu, maupun antara boru dengan hulahula.

Konflik di antara sesama hulahula terjadi jika ada ketidakseimbangan penerimaan jambar dan pelayanan di dalam upacara adat yang diselenggarakan oleh pihak boru dari semua hulahula tersebut. Konflik sesama saudara semarga dapat terjadi karena masalah pembagian tanah, batas ladang atau sawah, maupun pembagian warisan yang dianggap kurang adil dan lain sebagainya. Bila terjadi konflik antar hulahula, maka boru berkedudukan netral dan bertindak sebagai juru damai. Dengan memberikan makanan adat

atau sipanganon, kelompok boru mengunjungi rumah kedua belah pihak dan menyarankan perdamaian.

Sistem Dalihan Natolu juga diterapkan di Desa Simaninggir dalam menjalani aktivitas kehidupan penduduk setiap harinya. Hal ini semakin jelas terlihat saat salah satu dari penduduk melaksanakan pesta perkawinan atau adat untuk upacara kematian. Raja huta akan mengumpulkan para raja adat untuk menyusun upacara adat yang melibatkan hulahula,

dongan tubu dan boru. Ketaatan dan kepatuhan terhadap adat-istiadat dan tradisi di

Simaninggir berlangsung sampai tahun 1970-an. Pada 1985-an saat anak mereka pulang ke Desa Simaninggir untuk melaksanakan tradisi upacara perkawinan, upacaranya dilakukan dengan sederhana. Mereka tidak mempermasalahkan lagi kesalahan dalam pembagian jambar. Pihak hulahula juga turun tangan membantu pihak boru. Hal ini terus berlanjut dan makin memudar sampai tahun 2002, di mana Desa Simaninggir sudah ditinggalkan oleh penduduknya. 50

a. Raja Ihutan dan atau kepala desa

Dari sudut ukuran tingkat pekerjaan stratifikasinya adalah sebagai berikut:

b. Tokoh-tokoh adat atau pemimpin informal c. Sibaso atau datu

d. pengrajin e. Petani

f. Buruh atau pekerja lepas51

50

Wawancara dengan Magdalena Simanullang dan Tiomina Marbun, Pusuk I, 24 April 2013. 51

3.2.2. Sistem Kesatuan Hidup Simaninggir

Telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa Desa Simaninggir didirikan oleh marga Nainggolan yang merupakan salah satu panglima dari Sisingamangaraja. Marga boru52

Rumah-rumah mereka dirikan selalu dengan marhara atau gotong-royong. Rumah berdiri secara berbanjar berhadap-hadapan, di tengahnya terdapat halaman yang menjadi milik desa. Halaman berfungsi sebagai tempat upacara adat, tempat bermain anak-anak, hewan peliharaan juga berkeliaran secara bebas, tempat menjemur dan menumbuk padi dan dapat membantu marga pendiri huta. Marga pendiri desa dinamakan marga tano. Mereka adalah pemilik tanah desa dan tanah disekelilingnya. Orang yang menjadi pemimpin pendirian desa dinamakan sipukka huta yang biasanya orang inilah menjadi raja huta atau pemimpin desa tersebut. Dengan alasan peperangan yang terjadi antara bangso Batak terhadap Belanda, yang kemudian dimenangkan oleh Belanda membuat rakyat harus mengungsi karena rumah mereka ada yang dibakar, mereka disiksa.

Akhirnya mereka berbondong-bondong mencari tempat yang aman dan dapat melindungi mereka dari pihak penjajah, akhirnya mereka menemukan Desa Simaninggir sebagai tempat pengungsian dan persembunyian dari pihak musuh. Mereka berasal dari marga yang berbeda-beda, dan dapat tinggal menetap di Desa Simaninggir ada yang melalui perkawinan dengan putri raja huta. Mereka disebut dengan sonduk hela atau menantu yang diberi makan. Mereka tidak punya hak memiliki tanah, tetapi diberi hak pakai dan hak guna tanah selama mereka bermukim di Simaninggir. Tidak ada hak untuk menjual dan memindahtangankan tanah yang dikerjakannya kepada orang lain kecuali keturunannya, termasuk kelak jika mereka pindah.

52

kebutuhan lainnya. Biasanya ada sampai 90 rumah. Tiap-tiap rumah memiliki lumbung padi dan perlengkapan rumah tangga. Mereka juga memiliki tempat menumbuk padi bersama atau lesung yang bentuknya panjang dan memiliki lubang penumbukan sekitar lima sampai tujuh sehingga dapat dipakai oleh beberapa orang secara serentak.

Lesung terbuat dari batang kayu besar dan kuat, misalnya dari batang kayu nangka. Lesung didirikan di pinggir perumahan. Mereka juga memiliki suatu tempat untuk bermusyawarah yang dinamakan dengan partungkoan. Tempat musyawarah ini biasanya menjadi tempat beristirahat juga menjadi tempat menerima dan menyampaikan kabar berita.

Di partungkoan tersebut juga terdapat alat pukul seperti gong, yang berfungsi untuk

mengumpulkan dan memanggil penduduk saat terjadi kematian. Perlengkapan desa lainnya yaitu tapian mual yang memiliki tujuh mata air yang langsung dibuat pancurannya yang merupakan tempat untuk mandi, mencuci dan mengambil air minum. Tapian ini terletak di luar pemukiman yang jaraknya kira-kira 1 kilometer dari desa. 53

Mata pencaharian yang sudah sejak dahulu kala terkenal ialah berdagang. Perdagangan internasional waktu itu menurut penelitian para ahli, sudah terjadi antara Barus dengan negeri dan bangsa asing. Barang-barang yang diekspor ialah kemenyan (benzoe), kapur barus (kampfer), kopi dan karet. Barang-barang industri Eropa yang masuk antara lain garam, candu, ikan, besi.