• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Mata Pencaharian Penduduk

BAB II SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954

2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk

Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Dalam sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional, memiliki tanah terutama persawahan memberikan status yang tinggi bagi mereka. Tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya, setiap keluarga di

Simaninggir memperluas areal pertanian mereka. Ruang produksi adalah tanah untuk lahan pertanian berupa ladang dan sawah. kedua jenis lahan tersebut diharapkan akan menghasilkan kebutuhan sandang pangan dan keperluan untuk upacara sepanjang daur hidup. Hutan adalah tempat pengambilan kayu untuk rumah dan bangunan lainnya, peralatan rumah tangga, tempat berburu. Juga merupakan ruang untuk memperoleh bahan ramuan bagi kehidupan seperti obat-obatan dan kemenyan.

Pembagian ruang tersebut bila diklasifikasikan dari segi pemilikan, akan terlihat bahwa milik perorangan pada ruang pemukiman adalah pertapakan rumah, perladangan dan persawahan. Sedangkan jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian pemandian, adalah milik bersama dan dikelola secara bersama. Milik perorangan diurus, dimanfaatkan dan dialihkan oleh perorangan atau keluarga. Akan tetapi jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian untuk mandi, tidak dapat diwariskan atau dialihkan kepada perorangan atau kepada orang lain oleh seseorang termasuk pemimpin desa. Hal yang menyangkut tempat-tempat tersebut harus dikelola secara musyawarah, karena berkaitan dengan identitas dan kelengkapan desa sebagai milik bersama.

Hubungan manusia dengan tanah sangatlah erat, karena di atasnya manusia dilahirkan, dibesarkan, disosialisasikan, berketurunan serta pada akhir hayatnya dikuburkan ke dalam tanah. Hubungan itu mutlak dan tidak dapat dipisahkan. Disinilah pula ditemukan kehidupan dan perkembangan unsur kebudayaan universal yakni, sistem bahasa sebagai lambang komunikasi, sistem mata pencaharian hidup, sistem organisasi sosial, sistem

pengetahuan, sistem teknologi, sistem keberanian dan kepercayaan atau religi.28

Analog dengan cita-cita tersebut, dalam kehidupan mereka pada umumnya tersirat suatu falsafah hidup yang menggambarkan keterikatan hidupnya dengan tanah dan keturunan. Falsafah tersebut berbunyi, lulu anak, lulu tano; yang artinya bila tidak ada anak maka tidak ada tanah atau mencari anak, mencari tanah. Dengan dasar demikian maka anak sebagai pembawa marga adalah pemilik tanah. Tanah adalah lambang eksistensi marga,

Dari uraian tersebut tergambar bagaimana arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Desa Simanainggir. Tanah mengacu pada makna dan arti kehidupan dan penghidupan mereka, karena merupakan unsur penting dalam sistem dan nilai budayanya.

Hukum adat Batak Toba sebagai bagian mutlak dari kebudayaannya mengatur dengan baik mekanisme pertanahan yang utuh, yang keberadaannya dilegitimasi oleh orang Batak Toba. Di dalam hukum adat tersebut telah diatur bahwa setiap anggota marga atau komunitas yang turut memiiliki tanah diwajibkan untuk melestarikan tanah itu sebagai milik bersama dan sebagai simbol identitas bersama. Eratnya keterikatan orang Batak Toba khususnya penduduk Desa Simaninggir dengan tanah, tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup mereka yang mendasar. Bagi mereka, cita-cita itu adalah mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan) dan hagabeon (berketurunan). Dalam usaha mewujudkan cita-cita yang pertama yakni hamoraon (kekayaan), salah satu pendukungnya adalah tanah, karena semakin luas tanah yang dimiliki, dikuasai serta dikelola, maka peluang untuk mencari cita-cita akan semakin terbuka.

28

Bungaran Antonius Simanjuntak, dan Saur Tumiur Situmorang, Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak, Medan: Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat, 2004, hal. 27.

artinya dengan memiliki tanah berarti marga mempunyai kekuasaan ke dalam dan ke luar. Ungkapan ini mengandung arti, semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka. Lingkungan kampung dan areal pertanian yang terbatas mendorong petani untuk meninggalkan kampung halamannya.

Pada masyarakat Batak Toba terdapat beragam jenis tanah, tetapi pada masyarakat Simaninggir hanya dikenal beberapa jenis tanah sesuai dengan pengelolaannya dan keadaan tanaman yang tumbuh di atasnya. Jenis-jenis tanah tersebut adalah:

a. Tano tarulang atau tano kosong, yakni tanah kosong yang belum pernah dikerjakan.

b. Tano na niulang, yakni jenis tanah untuk keperluan pertukaran penanaman yang

dibiarkan terlantar. Tanah yang demikian ini terdiri dari beberapa jenis. Apabila tanah tersebut dibiarkan terlantar untuk jangka waktu yang singkat misalnya selama dua tahun kemudian diusahai kembali, maka tanah yang demikian dinamakan tano dipaombal.

c. Jenis tanah lainnya adalah harangan dan tombak. Harangan adalah hutan asli yang belum pernah diolah, sedangkan tombak adalah hutan muda yang dulunya telah pernah dikerjakan.

d. Hauma dan pargadongan. Hauma adalah jenis tanah yang biasanya ditanami padi.

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut jenis tanah ini adalah tano maraek. Pargadongan adalah sebutan untuk lahan perladangan yang biasanya ditanami dengan ketela, ubi rambat, singkong, kopi dan lain-lain.

e. Tano parhutaan adalah jenis tanah perkampungan atau tempat pemukiman

f. Jalangan dan jampalan. Jalangan adalah tanah-tanah pengembalaan yang luas, di mana orang dapat membiarkan ternaknya merumput tanpa harus dijaga. Jampalan adalah tanah-tanah pengembalaan di mana ternak harus dijaga. Jenis tanah ini relatif lebih sempit dibandingkan dengan jalangan dan umumnya terletak di antara ladang dan persawahan.29

Dari uraian di atas, terlihat jenis-jenis tanah yang dikaitkan dengan jenis tanaman yang tumbuh di atasnya. Ada satu jenis tanah lagi yang dikenal oleh masyarakat Simaninggir yaitu parmualan (perairan yang biasanya berupa aliran sungai, mata air, atau pancuran).

Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi, yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Dilihat dari ketinggian dari permukaan laut berada antara 300 sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut dan topografi bergelombang sampai curam dengan kemiringan tanah antara nol sampai dengan di atas 40%.30

Selain membuka persawahan, penduduk Simaninggir juga memelihara ternak sebagai salah satu cara untuk menambah pendapatan keluarga. Hampir setiap rumah tangga memelihara kerbau, babi, ayam, itik dan juga sebagian ada yang membudidaya ikan. Dikemudian hari jumlahnya semakin menurun dan penyebabnya menurut mereka ialah, Keadaan permukaan tanah yang banyak bergunung dan berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanaian, seperti perluasan areal dan juga kesulitan dalam pembangunan jalan dan sarana pengairan.

29

Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1, 24 April 2013.

30

Purba. O.H.S., Purba. Elvis F, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): Sebab, Motif dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba, 1997, Medan: Monora, hal. 29-31.

karena pemerintah masa itu mengenakan pajak ternak. Ternak berkurang, pendapatan masyarakat juga berkurang.31

Menurut mereka kotoran kelelawar sangat ampuh dalam menyuburkan tanah dibanding dengan pupuk kimia yang dijual di onan atau pasar dengan harga yang sangat mahal pada masa itu. Selain mengumpulkan kotoran kelelawar, penduduk juga mengumpulkan takkal

Kopi robusta, padi dan ubi kayu adalah tumbuhan yang pertama ditanam oleh penduduk Simaninggir sebagai bahan pangan. Bibit kopi, dan jagung mereka dapatkan dari pasar, dan daerah asal mereka seperti dari Sipintu-pintu.

Wilayah Simaninggir tergolong wilayah yang kurang subur, terdiri atas perbukitan yang diapit batu-batu besar dan lembah. Tanahnya berjenis tanah liat berwarna merah. Pada umumnya juga terdiri dari bukit-bukit dan batu-batu tandus. karena itu sawah ladang harus diberi pupuk kompos agar tanah menjadi subur. Biasanya para petani mengambil kompos yaitu kotoran burung kelelawar yang berada dalam gua-gua di sekitar hutan Simaninggir. Untuk membawa kotoran kelelawar sampai ke ladang dan sawah membutuhkan waktu berminggu-minggu, karena bobot kotoran kelelawar itu sangat berat berbentuk menggumpal dan padat. Butuh tenaga dan waktu untuk mengumpulkannya sampai banyak.

32

1. Bertani(bersawah dan berladang)

untuk menyuburkan tanah. Penduduk memanfaatkan pegunungan yang berhutan lebat dengan menanam pohon kemenyan sebagai perkebunan tradisional sejak nenek moyang. Lembah-lembah di antara celah bukit-bukit dimanfaatkan sebagai areal persawahan. Pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah:

2. Berkebun

31

Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1 , 25 April 2013.

32

Takkal, selalu sebenarnya ditulis dengan tangkal tapi diucapkan dengan takkal. Artinya pupuk atau kompos dari kotoran kerbau, babi, ayam, juga sisa-sisa sampah yang sudah dibusukkan atau dibakar.

3. Beternak

4. dan Pengrajin atau bertukang

Pertanian sangat tergantung kepada keadaan atau jenis tanah, tingkat kelembapan, ketinggian tanah, banyaknya curah hujan dan lainnya.33

Di samping itu ladang sering dipergunakan untuk menanam padi yang dinamakan

hauma atau ladang kering. Mereka juga mengusahakan perkebunan kopi yang

diperdagangkan secara lokal, di onan. Para tengkulak mengumpulkan kopi-kopi tersebut lalu memasarkannya secara regional. Kadang-kadang, para tengkulak menyuruh mereka untuk menggongseng dan menumbuk kopi mentah menjadi kopi siap saji, sehingga para penduduk

Maka masyarakat desa atau petani mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi mereka terhadap berbagai kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat Desa Simaninggir terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan alamnya. Petani bekerja dengan alam. Semuanya serasa telah diatur dan ditentukan oleh alam, Sehingga penduduk Simaninggir tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru.

Mengusahakan persawahan berarti menghasilkan beras sebagai makanan utama. Disamping beras, sawah juga dipergunakan untuk memelihara ikan, terutama ikan mas yang pembibitannya selalu diselaraskan dengan musim bertanam padi. Makanan utamanya adalah nasi, akan tetapi makanan utama tersebut hanya dimakan pada siang dan sore hari, sedangkan makanan paginya ubi kayu (garinghau) atau ubi rambat (gadong) yang disebut dengan istilah manggadong yang kadangkala diberi lauk ikan asin. Mereka juga menanam nenas, tebu, pisang, pinasa (nangka). Perkebunan yang hasilnya banyak dijual ialah kopi, kemenyan.

33

Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999, hal.66.

tidak perlu membeli kopi siap saji dari pasar, karena beberapa rumah tangga juga dapat membuat kopi siap saji. Tentunya hal ini mendapatkan harga yang lebih tinggi dibanding dengan hanya menjual kopi mentah.

Ada perkebunan haminjon atau kemenyan terutama di gunung-gunung. Mata pencaharian lain yaitu menanam tusam (pinus) dan pohon nangka, sejenis kayu yang dapat dipergunakan sebagai papan rumah maupun sebagai alat penerangan (obor, lampu). Itulah sebabnya tusam ditanami juga oleh penduduk Simaninggir saat itu. Berburu juga pernah menjadi mata pencaharian yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Hampir seluruh kemenyan di desa ini diperoleh dari pohon yang sengaja ditanam oleh leluhur mereka. Kebun-kebunnya terletak di dalam hutan dan di ladang. Menurut seorang pengolah dari Desa Pusuk II Simaninggir34

Lebih baik jika getahnya dikutip (mangaluak haminjon) sewaktu cuaca mendung atau pagi maupun sore hari ketika matahari baru terbit atau mulai terbenam. Karena di bawah pengaruh matahari, getahnya akan mencair dan berwarna hitam. Warnanya juga tidak akan baik jika dikutip pada waktu hujan. Tali yang digunakan untuk memanjat terbuat dari serat kayu pohon aren (riman). Tali dari nilon tidak cocok karena terlalu licin. Tali riman ini dapat , Pohon kemenyan yang ditanam di ladang baru mulai menghasilkan getah setelah 20 tahun. Pernyataan ini perlu dikonfirmasi lagi, dan mengapa proses berkebun ini ditinggalkan perlu diteliti lebih lanjut. Di dalam hutan, pohon mulai menghasilkan getah sesudah delapan tahun dan terus menghasilkan hingga sekitar 60 tahun, asalkan cara menyadapnya betul.

34

Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk yang mendiami Desa Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh rumah. Dimana pada tahun 2002 Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya.

digunakan selama 15 tahun jika tidak disimpan di tempat yang basah. Pada waktu pohon kemenyan memerlukan perhatian yang lebih, petani tinggal beberapa hari bahkan berminggu-minggu di hutan dan tidur disebuah pondok atau gubuk kecil.35

35

Claude, Guillot (Terj. Daniel Perret), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 244.

Mereka membawa bekal makanan untuk seminggu, seperti beras dan ikan kering, yang diletakkan dalam sebuah hirang atau keranjang yang kemudian diisi getah kemenyan saat mereka pulang. Mereka kembali ke kampung pada waktu pasar mingguan. Untuk menjual getahnya biasanya mereka bertemu pada hari pasar di lapo tuak dan warung kopi -tempat pertemuan penting bagi pria dewasa. Pohon yang telah habis getahnya tidak diganti satu per satu, tetapi kebunnya ditinggalkan begitu saja dan menjadi hutan.

Mata pencaharian yang umum yang masih dilakukan adalah beternak. Terutama ternak yang erat hubungannya dengan manusia serta adat-istiadat, yaitu babi, kerbau, ayam, dan memelihara ikan. Peternakan ini dilakukan secara perseorangan, tetapi setiap orang memelihara semua jenis ternak. Kadang-kadang hanya beternak kerbau saja atau babi saja. Demikian juga dengan beternak ikan mas masih diusahakan oleh perseorangan dan tradisional. Perkembangan peternakan ikan mas terjadi terutama untuk kebutuhan umum secara komersial, karena pada umumnya orang Batak Toba selalu membutuhkan ikan mas untuk pesta adat. Peternakan kerbau merupakan kegiatan yang cukup penting. Masyarakat Simaninggir tidak menganggap kerbau sebagai binatang ternak biasa, sehingga tidak digunakan untuk bekerja. Kerbau mempunyai nilai simbolik yang tinggi, melambangkan kekayaan dan merupakan binatang kurban pilihan pada waktu upacara adat yang sering diadakan di kampung untuk menguatkan hubungan sosial.

Sebagian mengkhususkan diri dalam mata pencaharian bertukang, kerajinan tangan. Jenis lain yang dijadikan sebagai sumber penghidupan yaitu pekerja atau buruh. Mereka memiliki tenaga kerja berlebih karena sempitnya sawah dan ladang yang dapat dikelola, juga terbatasnya musim menanam padi yang hanya sekali setahun pada waktu itu, serta musim tanam yang berbeda-beda di setiap daerah, maka tenaga berlebih itu dapat menjadi buruh tani di tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan bermusim, artinya selama musim tanam atau musim menuai datang serombongan penjual tenaga ke daerah lain, kemudian setelah itu kembali lagi. Misalnya, Wilayah Silindung selalu menerima pekerja musim ini. Tawar-menawar tenaga kerja terjadi di onan atau di tepi jalan raya dengan istilah “nga lakku hamu amang” yang berarti: apakah bapak sudah laku? Pada umunya pekerja musim ini menerima upah padi dengan pembagian 1:8 atau 1:6, artinya dari setiap 6 ikatan si pekerja musim mendapat satu ikatan.

Faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti dikemukakan oleh O.E. Baker, sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya, mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas.36

36

Ibid., hal. 67.

Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat Desa Simaninggir, juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhayul dalam hal ini merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar.

Kebanyakan Jenis takhayul ini berkaitan dengan iklim, tanaman dan binatang. Misalnya, saat mata air di desa itu kering dan juga saat mata air tiba-tiba menjadi keruh, Raja adat yang mewakili penduduk memakai ulos. Mual atau mata air itu disembah atau dipele. Menurut Penduduk setempat di mata air atau mual tersebut terdapat seekor ular yang sangat besar sebagai penghuni mual tersebut, yang kadang-kadang menunjukkan dirinya kepada orang yang berbuat tidak sopan di desa tersebut. Takhayul yang berkaitan dengan pengaruh bulan terhadap pertanian juga mereka percayai, sehingga konsep kebudayaan tradisional di Desa Simaninggir ini mengacu pada gambaran tentang cara hidup masyarakatnya yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang pada masa itu sangat jarang.

Dengan rumusan lain, pola kebudayaan tradisional desa ini adalah produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat Simaninggir yang hidupnya tergantung pada alam yaitu pertanian. Tingkat teknologinya yang masih rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka atau ekonomi subsisten. Pada masyarakat Simaninggir yang belum menggunakan teknologi modern dalam sistem pertanian mereka, dan disamping itu juga belum menggunakan uang dalam sistem perekonomian mereka, maka dalam kehidupan sosial mereka ditandai oleh adanya hubungan-hubungan yang akrab, serba informal serta permisif atau bebas dan santai.

Kerukunan di antara mereka sangat kuat. Dengan tidak hadirnya teknologi modern, tercipta kondisi yang membuat mereka saling tolong-menolong satu sama lain atau barter tenaga, gotong-royong. Dengan sendirinya oleh suasana saling tolong-menolong secara langsung hal ini dapat menciptakan ketergantungan fungsional juga mengakibatkan terjadinya hubungan emosional yang erat antara penduduk Simaninggir. Kerukunan tersebut

juga disebabkan oleh kesamaan-kesamaan nasib yang ada di antara mereka. Seperti misalnya, sama-sama korban yang lari dan bersembunyi dari keganasan penjajah sebelum mereka tinggal di Simaninggir, sehingga terdapat solidaritas yang kuat di antara mereka.

BAB III

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT SIMANINGGIR (1954-2002)