• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sarana Kesehatan

Dalam dokumen Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002) (Halaman 102-108)

BAB IV MIGRASI PENDUDUK DESA SIMANINGGIR DARI TAHUN 1954-2002:

4.2 Faktor Pendorong

4.2.4 Sarana Kesehatan

Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, mereka tidak hanya mampu menyelaraskan diri dengan alam dan lingkungan, namun manusia juga merubah alam lingkungannya menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan sehari-hari sebab kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang pada gilirannya dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi dan menjawab seluruh tantangan alam dan lingkungan baik fisik maupun sosial.72

72

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Utara, 1995, hal. 1.

Pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh setiap manusia antara satu dengan yang lain bergantung pada pengetahuan yang dimiliki oleh warganya. Sehubungan dengan itu, masyarakat Simaninggir termasuk masyarakat yang awal peradabannya masih sederhana.

Konsep sehat dan sakit berbeda-beda pada setiap masyarakat sesuai dengan latar belakang budaya yang didukungnya. Demikian juga hal nya dengan masyarakat Desa Simaninggir. Bagi mereka sehat dan sakit itu ditanggapi secara berbeda-beda, akan tetapi umumnya mereka beranggapan bahwa orang yang sehat itu adalah orang yang dapat melakukan aktivitas hidupnya tanpa mendapat gangguan secara fisik. Persepsi penduduk Simaninggir tentang sakit lebih didasarkan pada pandangan yang sederhana yang dikaitkan dengan aktivitas hidup sehari-hari. Mereka beranggapan bahwa orang yang sakit itu adalah orang yang merasakan adanya gangguan dalam tubuhnya ketika melaksanakan aktivitas hidupnya.

Seseorang akan bertanya kepada temannya tentang ketidakhadiran seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan orang yang ditanya akan menjawab ‘sakit’ apabila kebetulan ada gangguan dalam fisiknya yang menghalanginya dalam melaksanakan aktivitasnya. Konsep sehat dan sakit yang sifatnya sangat sederhana juga sering dikaitkan dengan kondisi fisik/tubuh seseorang. Contoh: bila seseorang yang kelihatannya “gemuk” dalam arti tidak terganggu aktivitas hidupnya, seringkali orang yang demikian mereka sebut sehat. Konsepsi masyarakat tentang sakit adalah jika seseorang mengalami gangguan dalam tubuhnya, tetapi kalau seseorang masih mampu bekerja ke sawah atau ke ladang, mereka beranggapan bahwa hal yang demikian tidaklah dianggap sakit. Contoh: orang yang menderita ingusan, kudis, kurap tidak dianggap sakit karena orang yang bersangkutan tidak merasa terganggu dalam melaksanakan aktivitasnya. Hal demikian dianggap hal yang biasa dan bukan suatu ketidaknormalan.

Upaya pengobatan terhadap berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat Simaninggir sangat dipengaruhi oleh konsep masyarakat terhadap penyebab penyakit tersebut. Bagi masyarakat Simaninggir, penyebab penyakit itu berbeda-beda sesuai dengan konsep dan pandangan masyarakatnya. Pandangan yang pertama adalah berkaitan dengan konsep keseimbangan (equilibrium) yang dianut oleh masyarakat setempat yakni agama Kristen. Sesuai dengan konsep tersebut, seseorang yang menderita sakit, oleh pengobatnya diberi berbagai ramuan yang dalam bahasa setempat disebut “pulungan” yang bertujuan untuk membuat unsur-unsur menjadi seimbang kembali. Cepat tidaknya seseorang itu sembuh dari penyakitnya sangat tergantung pada berhasil tidaknya si pengobat dalam menentukan ramuan yang tepat. Berikut ini beberapa jenis penyakit tertentu serta ramuan yang dipergunakan oleh masyarakat simaninggir :

1. Bisul

Dalam bahasa daerah setempat penyakit ini dinamakan “baro”. Gejala dan ciri-cirinya adalah terjadi pembengkakan pada kulit, kemerah-merahan serta nyeri dan biasanya disertai dengan puncak yang bernanah. Menurut keyakinan mereka, penyakit ini disebabkan oleh darah kotor. Usaha pengobatannya dapat dilakukan dengan menggunakan ramuan daun bunga raya (dalam bahasa daerah) dan bahasa latinnya adalah Habiscus Rosasinensis. Bunga raya adalah jenis tanaman yang dipelihara, mempunyai bunga warna merah. Biasanya ditanam di pekarangan rumah. Tinggi pohon dapat mencapai dua meter. Bagian yang dipakai untuk ramuan obat adalah daunnya sebanyak sepuluh lembar. Daun bunga raya ditumbuk sampai halus, kemudian ditambah dengan air secukupnya lalu diaduk hingga rata. Obat ditempelkan pada kulit di sekitar tumbuhnya bisul.73

2. Batuk

Dalam bahasa daerah setempat penyakit ini disebut “ batukon” yang biasanya disertai dengan tenggorokan terasa gatal dan influensa. Obat tradisional yang biasa dilakukan dengan menggunakan ramuan daun sirih segar. Banyak tumbuh di kebun mereka. Bagian yang diperlukan untuk bahan ramuan obat adalah daunnya sebanyak lima lembar. Kemudian ramuan direbus dengan air sampai mendidih lalu diminum tiga kali sehari. Selain cara tersebut, ada lagi cara lain yaitu dengan menggunakan air yang didapat dalam ruas bambu. Bambu tumbuh di kebun mereka dan juga di hutan. Air yang ada dalam bambu diminum setengah gelas. Pantangannya adalah menghindari makan pulut, jagung dan merokok.

Pandangan yang kedua berkaitan dengan konsep naturalistik dan personalistik atau faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik yang dimaksud disini adalah konsep penduduk

73

setempat yang mengatakan bahwa penyebab penyakit itu adalah gejala alam seperti angin, panas dan hujan. Faktor non fisik atau personalistik adalah yang berkaitan dengan konsep penduduk yang menyatakan bahwa penyebab penyakit adalah makhluk halus, seperti roh, kekuatan gaib yang dapat membuat sakit melalui seseorang yang mampu menguasai dan mengendalikannya. Berdasarkan pandangan ini, pengobatan dapat dilakukan menggunakan jampi atau mantra dan doa penolak atau pengusir. Kalau seseorang yang sakit disebabkan oleh faktor non fisik si pengobat akan berusaha menyembuhkannya dengan menggunakan ramuan atau pulungan, akan tetapi menurut mereka ramuan hanya berfungsi sebagai motor (pembawa) mantra ke dalam tubuh.

Jadi menurut mereka obat yang sebenarnya adalah mantra, sedangkan ramuan hanya berperan sebagai alat untuk membawa mantra supaya sampai ke sasaran yakni supaya masuk ke tubuh orang yang sedang sakit. Masyarakat Simaninggir awalnya masih mempercayai kekuatan-kekuatan dukun sebagai obat yang mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita oleh penduduk. Mereka percaya adapun berbagai jenis penyakit yang mereka alami, bersumber dari hal-hal mistik. Penyakit yang diderita oleh seseorang dapat disebabkan oleh pelanggaran terhadap adat-istiadat, guna-guna dari orang lain yang mengirimkan penyakit kronis karena ada perselisihan atau kecemburuan, melakukan hal yang tidak sopan pada tempat yang mereka anggap keramat, tidak menghormati roh leluhur, dan lain sebagainya. Peran sebagai penyembuh terhadap penyakit yang diderita oleh penduduk sering dimiliki oleh mereka yang dianggap memiliki kekuatan dan pengetahuan yang sakti, yaitu seorang dukun.

Dukunlah yang mengetahui penyebab penyakit yang diderita oleh penduduk. Selanjutnya dukun menyarankan berbagai aturan yang harus dilaksanakan dan juga

pantangan-pantangannya agar penyakit bisa sembuh total. Secara umum, saran dukun ialah menganjurkan agar pasien melakukan ritual permohonan maaf kepada roh leluhur dan meminta perlindungannya yang mereka percaya berkuasa dan mendiami Desa Simaninggir. Dalam ritualnya juga disediakan sesajen yang dulunya menjadi kesukaan dari leluhur atau sesuai saran dukun. Sesajen pada umumnya berupa itak gurgur, ayam yang berwarna putih atau hitam dan lainnya. Sesajen ditempatkan di beberapa titik yang disarankan dukun, sedangkan pasien dimandikan dengan air yang langsung dari mata air dan kadang ditambahkan dengan jeruk purut.

Tabel III

Banyak Sarana Kesehatan di Kecamatan Parlilitan Tahun 1990

No . Jenis Sarana Jumlah

1. Balai Pengobatan 3

2. Puskesmas 1

3. Tenaga Medis 12

4. Posyandu 46

Sumber: BPS Kecamatan Parlilitan (2013)

Minimnya fasilitas kehidupan yang mendukung kesehatan, menjadi salah satu penyebab penyakit yang diderita oleh penduduk tidak mendapat perawatan medis. Makanan yang dikonsumsi juga jarang dicuci terlebih dahulu sampai bersih. Dalam hal pola pemukiman penduduk juga kurang meninjau segi kesehatan karena kandang ternak terdapat

di tombara atau kolong rumah. Pakaian juga yang jarang diganti akibat minimnya

ketersediaan pakaian pengganti sering menyebabkan penyakit kulit seperti gatal-gatal, borok atau baroon. Jenis penyakit pada umumnya yang sering diderita oleh penduduk Simaninggir

yaitu penyakit kulit, gatal-gatal, muntaber, cacingan, malaria, flu bahkan ada juga penyakit beri-beri serta penyakit lain yang disebabkan oleh lingkungan yang kurang bersih.

Setiap rumah jarang memiliki tempat untuk buang air besar seperti toilet, karena pada umumnya saat ingin buang air besar mereka pergi ke semak-semak dan kadang diikuti oleh hewan peliharaan mereka seperti anjing dan babi. Hal ini juga semakin membuat lingkungan mereka dipenuhi lalat yang sewaktu-waktu dapat hinggap pada makanan mereka dan menyebabkan sakit perut. Sehubungan dengan aktivitas zending yang sampai ke Simaninggir dengan tujuan penyebaran injil, mereka juga mengajarkan dan menanamkan pola hidup sehat kepada penduduk. Seperti membuat mck (mandi, cuci, kakus) di belakang rumah agar buang air besar dan kecil tidak disembarang tempat. Penduduk juga memperoleh pengetahuan tentang pengobatan dan pola hidup sehat untuk terhindar dari penyakit. Pengobatan tersebut lebih bersifat medis dan tidak mengaitkan dengan hal-hal mistis.

Anak-anak yang telah merantau ke luar Simaninggir, mencari pekerjaan dan berhasil di perantauan tidak lagi kembali ke kampung halamannya. Mereka bahkan tinggal menetap di daerah perantauan tempat mereka bekerja. Akibatnya para orang tua yang masih tetap tinggal di kampung halaman tidak mendapat perhatian dan perawatan yang cukup dari anak-anak mereka.

Semakin lama usia para orang tua mereka semakin lanjut, dan menderita berbagai macam penyakit orang tua. Sebagai bentuk nyata dari balas budi atas perjuangan orang tua dalam membesarkan dan menyekolahkan anak mereka sampai mendapat pekerjaan yang layak, anak-anaknya tersebut membawa orang tua mereka untuk ikut dan tinggal menetap bersama mereka di perantauan tempat mereka berdomisili. Orang tua mereka diasuh dan dirawat oleh anaknya, bahkan hingga akhir hayatnya tidak kembali lagi ke kampung

halamannya. Jasadnya dikuburkan di perantauan tempat tinggal mereka. Beberapa dari mereka ada juga yang membawa jasad orang tua mereka untuk dimakamkan di Simaninggir sebagai kampung halamannya.

Hal ini menjadi salah satu jalan untuk anak-anak mereka dapat kembali ke kampung halamannya untuk berkunjung ke Simaninggir yang telah kembali menjadi semak belukar. Di Desa Pusuk 1 sekitar tahun 1990-an telah terdapat posyandu sebagai fasilitas untuk kesehatan masyarakat yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk berobat. Penduduk yang sakit kronis sudah bisa dirujuk ke puskesmas kecamatan. Maka hal ini juga menjadi faktor yang menyebabkan sebagian penduduk Simaninggir meninggalkan kampung mereka menuju daerah yang lebih layak untuk kesehatan. Mereka bermigrasi kebanyakan ke daerah Pusuk 1, Pakkat, Dolok Sanggul yaitu daerah yang tersedia sarana kesehatannya.74

Hasil wawancara di lapangan yang penulis peroleh, terdapat beberapa faktor penarik yang secara bersamaan dengan faktor pendorong menyebabkan penduduk Simaninggir pindah. Mereka menyebutkan bahwa peningkatan taraf kesejahteraan hidup saudara mereka yang sudah pindah ke luar Tapanuli Utara merupakan faktor penarik yang paling dominan bagi mereka. Hal ini dapat dipahami karena hingga sekarang faktor ekonomi tidak dapat diabaikan untuk menjelaskan mengapa seseorang atau sekelompok masyarakat pindah dari kampung halamannya dan tinggal sementara atau menetap di daerah lain di luar Tapanuli Utara. Namun demikian keadaan seperti ini tidak berlaku secara umum.

Dalam dokumen Simaninggir dalam Ingatan Sejarah (1954-2002) (Halaman 102-108)