• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Intervensi yang Berbeda terhadap

Dalam dokumen JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI (Halaman 40-54)

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

2.1 Kajian Pustaka

2.1.5 Dampak Intervensi yang Berbeda terhadap

Lingkungan Budaya di Masa Depan

Pembangunan Bali yang cenderung menjadikan pariwisata sebagai leading sektor, membuat pembangunan di sektor pertanian menjadi terabaikan. Ditambah lagi secara ekonomi pembangunan pariwisata tidak terdistribusi secara merata pada masyarakat Bali membuat pembangunan di sektor pertanian kurang diminati oleh masyarakat. Adanya rumahtanga miskin di semua kabupaten di Bali, termasuk kabupaten Badung, dan kota Denpasar merupakan bukti nyata bahwa pariwisata bukanlah untuk kesejahteraan semua masyarakat. Pariwisata bukan untuk orang kecil, mereka (baca: masyarakat miskin) sama sekali tidak dipersiapkan untuk ikut menikmati hasil dari pembangunan pariwisata. Mereka hanya dipersiapkan untuk ditonton dan menjadi penonton. Ibarat galeri, masyarakat Bali hanya diperlakukan sebagai barang atau koleksi seni yang harus "duduk manis" di etalase. Mereka hanya layak ditonton atau dibeli untuk dikoleksi oleh para peminat dan penikmat pariwisata tanpa pernah diberi kesempatan untuk berekspresi.

Sebagai bukti, bahwa sebagian besar produksi petani Bali tidak terserap di sektor pariwisata. Para pelaku pariwisata lebih tertarik dengan sayur, buah, dan daging yang dihasilkan oleh petani Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Amerika Serikat. Alasannya, kualitas produksi

petani lokal masih sangat rendah dan petani lokal belum mampu menghasilkan jenis sayur atau buah yang disukai oleh para wisatawan mancanegara (Bali Post, 2004:7-8). Namun hal tersebut bukanlah berarti, bahwa apabila seluruh produk pertanian diserap oleh sektor pariwisata akan menyebabkan seluruh lahan sawah tidak akan beralih fungsi menjadi lahan kering. Akan tetapi setidaknya bahwa nilai jual produk pertanian akan semakin baik dan pendapatan serta kesejahteraan petani akan menjadi lebih baik, sehingga sektor pertanian akan tetap memiliki daya tarik. Juga, menanam sayuran adalah bisnis yang berisiko, seperti harga sangat berfluktuasi tidak selalu cocok dengan investasi waktu dan uang.

Mengacu pada uraian sebelumnya dan mengikuti Stephen K. Sanderson (1993:60) dapat dikatakan bahwa ekosistem subak sebagai organisasi tradisional yang mengurus air irigasi pertanian dalam perjalanannya telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi pada ekosistem subak cenderung dimulai dari perubahan pada aspek infrastruktur material, kemudian mempengaruhi struktur sosial, dan pada akhirnya berpengaruh pula apa aspek struktur ideologis. Misalnya, pada aspek infrastrsuktur material banyak lahan persawahan yang telah berubah menjadi hotel, villa, restoran dan menjadi pemukiman penduduk, tentu perubahan pada aspek infrastruktur subak ini secara linier akan mempengaruhi pula aspek struktur sosial organisasi subak itu sendiri. Contoh berubahnya lahan pertanian menjadi hotel, villa, restoran, dan pemukiman

penduduk berakibat mata pencaharian penduduk juga ikut berubah, yang semula bergerak di bidang pertanian kini beralih menjadi pekerja di sektor pariwisata, sehingga berpengaruh pula pada tataran struktur sosial masyarakat di mana lahan pertaniannya telah dialihkan ke lahan pariwisata.

Selanjutnya, perubahan pada aspek infrastruktur material dan perubahan pada aspek struktur sosial masyarakat petani jika mengacu pada Stephen K. Sanderson (1993) di atas tentu akan mempengaruhi pula perubahan pada aspek superstruktur ideology masyarakat petani itu sendiri. Misalnya, ketika lahan pertanian telah diubah menjadi lahan pariwisata, dengan sendirinya struktur sosial masyarakat berubah dari masyarakat agraris akan menuju masyarakat industri, yakni industri pariwisata, berubahnya kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri akan mempengaruhi pula nilai-nilai atau norma-norma yang selama ini mereka anut, dari nilai-nilai sosioagraris dan bersifat religious akan berubah ke masyarakat sosio-industri yang cenderung bersifat, praksis, pragmatis, materialis dan individualis.

Kebijakan pemerintah penempatkan sektor pariwisata sebagai lokomotif pembangunan Bali, telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pengembangan sektor pertanian, terutama keberlanjutan sistem subak. Kondisi tersebut menyebabkan banyak nilai-nilai budaya dan jasa lingkungan budaya dari sistem subak, mengalami perubahan, bahkan tidak sedikit yang mulai menghilang. Penetapan subak sebagai WBD,

juga mendorong perkembangan sektor pariwisata, yang membutuhkan berbagai fasilitas pendukung.

Kawasan subak Jatiluwih sebagai salah satu dari 14 subak di Kabupaten Tabanan yang ditetapkan sebagai WBD, telah menunjukan perubahan yang sangat pesat. Perubahan utama yang terjadi adalah berdirinya berbagai fasilitas pariwisata seperti vila dan restoran (rumah makan) yang berada dalam kawasan ekosistem subak, yang tidak boleh beralih fungsi. Kondisi tersebut telah mengubah lanskap subak di kawasan subak Jatiluwih. Perubahan lanskap subak akan diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat, termasuk petani. Uang telah menjadi indikator penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jasa lingkungan sistem subak di masa mendatang.

Kebijakan modernisasi di sektor pertanian juga mulai mengancam berbagai jasa lingkungan budaya dari sistem subak. Kebijakan pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, yang sarat akan modernisasi seperti penggunaan bibit unggul, pupuk dan pestisida kimia dan mekanisasi, telah mengubah berbagai bentuk nilai-nilai tradisional Bali, yang merupakan jasa lingkungan sistem subak.

Kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya air, juga dapat mengubah lanskap subak. Seperti kebijakan pemerintah, tentang undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, yang pelaksanaannya tidak konsisten juga mengubah lanskap subak. Kekurangan air berdampak pada produktivitas padi sehingga mendorong petani untuk menjual dan atau mengaktifkan untuk

mengkonversi lahan basah. Sejalan dengan Anon (2011) menyatakan bahwa di berbagai daerah yang merupakan sentra produksi beras, mengalami kesulitan air irigasi, sehingga petani mengubah lahan sawah menjadi non-pertanian. Banyak saluran air irigasi yang rusak, karena berkurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian khususnya penanganan sarana irigasi. Selain itu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga saluran irigasi juga menyebabkan sawah kekurangan air, yang mempercepat alih fungsi lahan sawah. Areal sawah yang jauh dari pintu-pintu utama saluran irigasi menyebabkan sawah tidak mendapatkan pasokan air yang memadai. Kondisi tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010), bahwa total lahan sawah di Bali yang telah menyusut 1.944 hektar, yaitu dari 81.931 hektar pada tahun 2009 menjadi 79.987 hektar pada tahun 2010. Jumlah produksi pun menurun dari 878.764 ton gabah (2009) menjadi 869.160 ton gabah. Kompas (5 Juni 2011) memberitakan bahwa Kabupaten Badung, terutama di bagian selatan, telah menjadi pusat pariwisata dan banyak sawah berubah menjadi hotel, vila, atau restoran. Sawah di Kota Denpasar berubah menjadi bangunan niaga dan perumahan. Lebih jauh juga disebutkan bahwa petani di desa Kerobokan, kecamatan Kuta Utara, kabupaten Badung, I Wayan Rencong Ardana (62 tahun), mengatakan, subak Kedampang di daerahnya kini hanya memiliki luas 97 hektar sawah, padahal tahun

2006, luasnya sekitar 125 hektar. Desa Kerobokan terletak di sebelah utara kawasan pariwisata Kuta, juga telah terjadi kondisi yang sama, banyak perumahan, toko benda seni, dan vila yang mengimpit persawahan.

Lebih lanjut Ardana (Kompas, 5 Juni 2011) menyatakan, bahwa petani di daerah Kerobokan menjual atau mengontrakkan sawah dengan terpaksa karena mereka perlu uang. Gangguan air irigasi dan cuaca yang tidak menentu membuat bertani tidak lagi menguntungkan. Selain itu, biaya produksi juga cukup tinggi sehingga menyulitkan petani mempertahankan sawah mereka. Ardana menghitung, biaya produksi untuk 25 are (sekitar 2.500 meter persegi) dalam satu kali musim tanam mencapai sekitar Rp.800.000. Padahal, penghasilan dari satu musim tanam hanya sekitar Rp.1,3 juta. Setelah dipotong biaya produksi, petani hanya mendapat Rp.500.000 per musim tanam. Apabila dalam satu tahun ada tiga kali musim tanam, dalam satu tahun petani hanya mendapat 1,5 juta rupiah.

Menurut Ardana bahwa keuntungan yang sangat rendah tersebut menyebabkan generasi muda di desa Kerobokan tidak tertarik untuk bertani. Anak muda lebih tertarik bekerja di restoran atau hotel, sehingga hanya masyarakat yang sudah tua berumur lebih dari 40 tahun yang kini bertahan menjadi petani. Nengah Manis (50 tahun), petani di desa Kerobokan berencana menjual atau mengontrakkan sawahnya seluas 600 meter persegi jika ia sudah tidak kuat bertani lagi. Dua anaknya yang sedang belajar di sekolah pariwisata, tidak mau bertani.

Di subak Renon, desa Renon, kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sawah yang tersisa saat ini seluas 74 hektar dari total sawah seluas 194 hektar. Lahan terus menyusut karena ada konsolidasi tanah sejak tahun 1980 yang dilakukan pemerintah di daerah itu untuk membuat kawasan perumahan. Kondisi tersebut mendorong, hilangnya berbagai habitat mahluk hidup dalam tanah, berubahnya tatanan upacara yang berkaitan dengan subak, hilangnya budaya yang berbasiskan upacara pada sistem subak.

Bawa Atmadja (2010) dan Rich (1999) menyatakan bahwa organisasi subak sebagai organisasi yang berkaitan erat dengan tradisi, adat, dan ikatan komunalisme, tentu menjadi target utama bagi modernitas untuk direflesivitaskan ke arah yang modern. Sebab menurut Giddens (2005) "refleksivitas berarti praktik sosial yang dilakukan secara terus-menerus, diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis". Apapun bisa direfleksi entah yang modern atau pun yang tradisional untuk digantikan dengan yang baru agar nilai kepraktisannya semakin meningkat.

Modal kultural seperti pengetahuan masyarakat tentang pembuatan berbagai peralatan pertanian, tata cara mengolah lahan pertanian, tentang upacara keagamaan dalam bidang pertanian. Sedangkan modal sosial meliputi sikap gotong-royong dan tolong-menolong dalam hal mengolah lahan pertanian di sawah. Dalam konteks modal sosial, di lingkungan subak pada zaman dulu dikenal berbagai bentuk organisasi (perkumpulan) yang disebut sekaa, misalnya sekaa manyi (perkumpulan memanen padi) sekaa nandur (perkumpulan menanam padi),

sekaa numbeg (perkumpulan mencangkul), sekaa semal

(perkumpulan berburu tupai) yang menjadi hama tanaman kelapa, dan banyak lagi sekaa lainnya terkait dengan organisasi subak di Bali. Menurut Geertz (1977) sekaa pada masyarakat Bali berperan penting dalam menjaga tradisi yang sesungguhnya merupakan warisan budaya adi luhung nenek moyang.

Namun, dalam perkembangannya masuknya nilai-nilai modernisme ke dalam kehidupan masyarakat Bali berakibat terjadinya reflekisivitas terhadap berbagai tradisi masyarakat, termasuk tradisi subak. Akibatnya, banyak sekaa yang sebelumnya berfungsi sebagai penjaga tradisi sebagaimana dikatakan Geertz (1977) menjadi mati. Akibat lainnya, berbagai pekerjaan dalam bidang pertanian yang sebelumnya biasa dilakukan dengan sistem tolong-menolong dan dengan sistem gotong royong oleh sekaa-sekaa itu tadi, kini telah diganti dengan sistem upah. Hal ini terjadi karena dengan sistem upah mengerjakan sawah dan berbagai pekerjaan lainnya terkait dengan tradisi pada masyarakat Bali, dianggap lebih praktis dan lebih ekonomis, sehingga pekerjaan yang dulunya dianggap efektif dikerjakan oleh sekaa kini diganti oleh para buruh karena dianggap lebih praktis dan lebih ekonomis.

Munculnya gagasan tentang refleksivitas tradisi pada masyarakat Bali ini, tidak dapat dilepaskan dari masuknya pengaruh modernisme ke dalam kehidupan masyarakat Bali. Paham modernisme selalu menekankan pada nilai kepraktisan dan nilai-nilai kemodernan, sehingga nilai-nilai tradisional, cenderung disingkirkan, dipinggirkan, dan dimarginalisasikan karena dianggap sebagai hal-hal yang bersifat menghambat. Padahal tidak semua nilai-nilai tradisional itu menghambat

proses modernisasi. Misalnya, berbagai nilai yang terdapat dalam ekosistem subak di Bali, justru dapat memberikan banyak jasa lingkungan terhadap para pendukungnya atau pihak pemangku kepentingan lainnya (stakeholder).

2.2 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir tentang pentingnya penelitian jasa lingkungan, nilai-nilai budaya dan konservasi biodiversiti pada ekosistem subak di kawasan WBD di Bali, ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Dari Gambar 2.2 nampak bahwa sistem subak terdiri dari tiga komponen

pokok antara lain: (1) eksosistem sawah dengan sistem irigasinya, (2) anggota subak, dan (3) pura subak. Ekosistem sawah melahirkan sebuah pemandangan yang sangat indah dari tatanan sawah berteras, yang di dalamnya hidup berbagai jenis tanaman (flora) dan hewan (fauna). Didukung oleh sistem irigasi yang apik, maka sistem subak dapat berperan dengan sangat baik dalam menghasilkan pangan, jasa lingkungan serta memelihara berbagai kehidupan

mahluk hidup di dalamnya. Pada ekosistem irigasi, di mana air irigasi mengalir melewati tebing, jurang, saluran irigasi, juga kaya akan berbagai keanekaragaman hayati. Tanaman

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam ekosistem subak seperti padi, kelapa, pisang, bambu, tanaman hias, bunga dan lainnya sangat dibutuhkan dalam upacara subak. Demikian pula berbagai jenis hewan yang hidup di dalam ekosistem subak, seperti ayam, itik, sapi, babi, belut, jangkrik, kodok dan lainnya juga sangat dibutuhkan dalam kegiatan upacara subak.

Sebagian besar upacara dalam sistem subak menggunakan sarana upacara yang berasal dari tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bahwa pura memiliki peran yang sangat penting dalam sistem subak. Banyak pura yang terletak di luar ekosistem subak, memiliki keterkaitan dengan subak. Termasuk beberapa pura yang ada di kawasan hutan, karena hutan juga memiliki peran yang sangat penting untuk keberlanjutan sistem subak. Seperti Pura Taman Yeh Selem merupakan pura subak yang berada di dalam hutan Yeh Selem, desa Pangkung Paruk, kecamatan Seririt, kabupaten Buleleng, Bali. Hutan Yeh Selem termasuk hutan tua, sudah ada sejak jaman megalitikum dan sampai sekarang masih terjaga kelestariannya, sebagaimana telah ditulis oleh Maryati, dkk (1999). Status kepemilikan hutan yang berada ditangan Dewa menjadikan hutan Yeh Selem sebagai suatu kawasan yang bersifat sakral dan keramat atau

tenget, sehingga tidak diganggu. Lebih lanjut Maryati, dkk

(1999) menyatakan bahwa pura Taman Yeh Selem memiliki kedudukan yang sangat penting bagi masyarakat Desa Adat Pangkung Paruk, terlebih-lebih bagi organisasi subak yang ada di desa adat tersebut. Kedudukannya sebagai pura subak

Gambar 2.3. Berbagai Jenis Tanaman Ditata Menjadi Sesajen Sebagai Sebuah Karya

Seni

(Ulun Suwi), juga diperkuat dengan adanya dua sungai yang mengapit pura Taman Yeh Selem, yakni tukad Salak dan

tukad Bayuh.

Annon (2011) juga menyatakan, bahwa subak sebagai WBD, meliputi beberapa kawasan pura dan hutan. Seperti: (1) Pura Ulun Danu

Batur dan Danau Batur di Kabupaten Bangli. Pura ini merupakan pura suci bagi pengelola subak di Bali; (2) Lanskap Budaya Subak dan pura di DAS Pakerisan di kabupaten Gianyar. Meru-pakan kawasan arkeologi yang membuktikan adanya

tradisi subak sejak abad 9 Masehi, juga meliputi setidaknya empat pura yang berkaitan dengan sistem subak, antara lain pura Pegulingan, pura Tirta Empul, pura Gunung Kawi dan pura Mengening; (3) Lanskap Budaya Subak kawasan Catur Angga Batukaru, meliputi Taman Wisata Alam (TWA) danau Tamblingan dan danau Buyan di kabupaten Buleleng dan Kawasan Cagar Alam Batukahu di kabupaten Tabanan, beserta lima subak utama antara lain: pura Luhur Batukaru, pura Luhur Pucak Petani, pura Besikalung, pura Tambawaras dan pura Muncaksari. Sebuah gambaran utuh ekosistem Subak di Bali; (4) Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung. Pura kerajaan yang berperan sebagai pura subak bagi kawasan Mengwi – Badung. Dengan

demikian nampak dengan jelas bahwa hutan dan pura memiliki peran yang sangat penting dalam mempertahankan sistem subak di Bali.

Kegiatan subak yang dilakukan oleh anggota subak seperti membajak, menanam padi, panen, juga merupakan bagian dari sebuah pemandangan yang sangat disukai oleh wisatawan, karena mampu melahirkan pemandangan yang indah, ketika padi telah tumbuh dengan subur dan akhirnya menguning serta siap untuk dipanen. Aktivitas anggota subak berupa kegiatan upacara di subak merupakan sebuah budaya asli masyarakat Bali, sebagai salah satu implementasi nilai-nilai Tri Hita Karana dalam menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Nilai-nilai seni tersebut sangat sulit ditemukan di belahan dunia lainnya. Demikian pula dengan jasa lingkungan yang disediakan ekosistem subak seperti penyedia oksigen dan penyerap CO2, serta menyediakan pemandangan yang indah. Dari gambar 2.2 juga nampak bahwa sistem subak tidak bisa lepas dari keberadaan ekosistem danau dan ekosistem danau sendiri juga sangat tergantung dari keberadaan ekosistem hutan. Tingkat hubungan dan ketergantungan tersebut menunjukkan bahwa pelestarian ekosistem subak akan mampu melestarikan berbagai nilai-nilai budaya asli masyarakat Bali dan keaneka ragaman hayati yang hidup dan memiliki keterkaitan dengan sistem subak. Berbagai keanekaragaman hayati dalam ekosistem daerah aliran sungai, danau dan hutan akan dapat

hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik karena lestarinya ekosistem subak. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada subak tanpa air irigasi.

Demikian sebaliknya kerusakan ekosistem subak akan menghilangkan berbagai nilai-nilai budaya dan keanekaragaman hayati serta jasa lingkungan yang disediakan oleh ekosistem subak. Rusaknya ekosistem subak menyebabkan hilangnya berbagai jenis upacara dalam subak, yang membutuhkan berbagai jenis tanaman dan hewan. Hilangnya upacara dalam sistem subak, sangat berpeluang akan hilangnya berbagai jenis tanaman dan hewan yang dibutuhkan dalam upacara. Kehilangan tersebut dapat terjadi karena masyarakat mungkin tidak mengusahakannya lagi karena tidak dibutuhkan. Di lain pihak bahwa sistem subak di Bali telah ditetapkan oleh UNESCO menjadi salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD). Oleh karena itu masyarakat Bali harus mempertahankan sistem subak tersebut sepanjang masa, di tengah-tengah maraknya alih fungsi lahan sawah, karena dampak pembangunan sektor pariwisata.

Upaya mempertahankan sistem subak, pada saat pesatnya alih fungsi lahan sawah, harus dilakukan dengan baik dan benar. Karena subak dipercaya memiliki berbagai jenis jasa lingkungan budaya, yang berperan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun hingga saat ini belum ada data dan informasi yang benar tentang jasa lingkungan budaya dari sistem subak. Untuk itu akan dilakukan penelitian tentang Jasa Lingkungan Budaya dari sistem di Bali. Penelitian tersebut sangat penting dilakukan

untuk mengetahui upaya yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah dalam mempertahankan subak sebagai sebuah WBD.

3 METODE PENELITIAN

Dalam dokumen JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI (Halaman 40-54)