2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1 Kajian Pustaka
2.1.3 Perubahan Utama yang Terjadi dalam
Lingkungan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa subak merupakan budaya pertanian masyarakat Bali, telah dikenal di berbagai belahan dunia. Subak demikian menarik dan sangat unik, sehingga banyak dikunjungi wisatawan. Sehingga subak, sering dikaitkan dan dijadikan sebagai objek pengembangan sektor pariwisata di Bali. Selain itu, pembangunan sektor pariwisata di Bali, telah berimbas demikian kuat terhadap keberadaan sistem subak. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan pariwisata di Bali, yang berbasiskan budaya tidak dapat dipisahkan dari sistem subak, karena subak merupakan salah satu budaya asli masyarakat Bali. Berkembangnya sektor pariwisata yang sangat pesat di Bali, telah menimbulkan berbagai dampak. Sektor pariwisata telah memberikan dampak positif dan negatif secara langsung maupun tidak langsung, yang cukup besar dalam perkembangan ekonomi masyarakat Bali. Kontribusi sektor pariwisata terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Bali, salah satunya dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Bali dari tahun ke tahun.
Produk Domestik Bruto (PDB) Provinsi Bali tahun 2007 sebesar 44 trililun rupiah. Kontribusi sektor pariwisata mencapai 28,88%. Selanjutnya PDB Provinsi Bali pada tahun 2008 (51,9 triliun rupiah), pada tahun 2009 (60,3 triliun rupiah) 2010 (67,2 triliun rupiah) 2011 (74,1 triliun rupiah); 2012 (83,9 triliun rupiah) dan tahun 2013 (94,6 triliun rupiah). Dari 9 sektor yang
berkontribusi dalam perekonomian Bali, sektor pariwisata memiliki peran yang sangat penting. Hal ini terbukti dari kontribusi sektor pariwisata masing-masing sebesar 30,06% (2010); 30,67% (2011); 30,23% (2012) dan 29,89% (2013) (BPS Bali, 2014). Sejalan dengan Pitana (2003) yang menyatakan bahwa, hingga 50% pekerja dari Bali secara langsung atau tidak langsung bekerja untuk industri pariwisata. Bendesa dan Sukarsa (1980) dalam Lorenzen (2015) juga menyatakan bahwa, antara tahun 1971 dan 2013, PDRB dan tenaga kerja bidang pertanian menurun dari sekitar 50% masing-masing menjadi 16% dan 24%. Sementara itu, PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran industri naik menjadi 30% dan tenaga kerja pariwisata menjadi 28% pada tahun 2013.
Perkembangan sektor pariwisata yang cukup pesat di Bali, selain memberikan dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi, juga memberikan dampak yang kurang menguntungkan. Terjadi kerusakan lingkungan yang cukup besar, karena meningkatnya perkembangan sektor pariwisata. Alih fungsi lahan, tidak dapat dihindari. Meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, menyebabkan meningkatnya kebutuhan fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran serta fasilitas penunjang lainnya seperti jalan dan perumahan. Windia (2012) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010, alih fungsi lahan mencapai lebih dari 5.000 ha, atau 1.000 ha per tahun, sehingga subak yang luasnya 87.850 ha tahun 2005 menjadi 82.664 ha tahun 2010. Sejalan dengan Daroesman (1973) dan BPS Bali (2014) yang menyatakan bahwa, Kabupaten Badung yang memiliki penduduk terpadat di Bali,
terdapat sangat banyak fasilitas pariwisata, menyebabkan sebagian lahan sawah telah hilang dalam 6 tahun terkahir. Hasil penelitian Lorenzen (2104) juga mendapatkan bahwa sekitar 20% lahan sawah di Kabupaten Badung, telah hilang antara 1990 dan 2005.
Anon (2011) menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang menuntut pertambahan pemukiman, transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya membutuhkan tanah. Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981-1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha/tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha sebanyak 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian, sedangkan sisanya sebanyak 44,23% berfungsi ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
Hasil penelitian JICA dalam Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha (untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000ha). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun terakhir, areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Berkurangnya lahan sawah tersebut, sangat pesat, terutama di sekitar kota, karena dipicu oleh harga tanah yang
meningkat, sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa perkembangan sektor pariwisata, selain memberikan dampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat, juga menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan sistem subak. Perubahan utama yang terjadi pada sistem subak adalah alih fungsi lahan sawah ke non-sawah, berkurangnya ketersediaan air irigasi subak. Alih fungsi lahan dan berkurangnya sumberdaya air irigasi, secara linier akan menyebabkan berkurang, atau hilangnya jasa lingkungan sistem subak, termasuk jasa lingkungan budaya. Jasa lingkungan budaya yang bersumber dari sistem subak, seperti pemandangan yang indah, budaya yang berkaitan dengan sistem agama dan relegi, seni, sistem sosial, warisan budaya akan hilang. Dampak lain, dari perkembangan sektor pariwisata adalah air irigasi subak. Great (2009) menyatakan bahwa industri pariwisata telah merusak sumberdaya air di Bali. Sektor pariwisata juga mengkonsumsi air sangat banyak, selain sektor pertanian dan domestik.
Total ketersediaan air permukaan ke dalam sistem sungai di Bali mencapai 7.550.893 juta m3/tahun (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, 2008). Penggunaan air untuk kepentingan pariwisata di Bali terlihat sangat boros. Menurut laporan LP3B (Balai Penelitian Pengembangan dan Pemberdayaan Bali) dalam Dharma Putra (2009), kamar hotel membutuhkan 2.000 liter hingga 3.000 liter per kamar per hari
(tergantung kelas hotel/resort) dan setiap lapangan golf 18-hole membutuhkan 3.000.000 liter per hari. Kondisi tersebut terjadi terutama di dekat pusat-pusat kota dan tempat wisata, sehingga petani harus berjuang keras guna mendapatkan cukup air untuk tanaman padi (Strauß, 2011; RP Lorenzen, 2012: 222-3). Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengakui bahwa kebutuhan air untuk perhotelan sangat besar, mencapai 30 liter per orang. Di Badung saja ada 78.000 kamar. Jika tingkat hunian 50 persen, berarti sekitar 34.000 kamar berisi dua orang, dan itu ratusan ribu liter per hari dibutuhkan oleh pihak hotel di Kabupaten Badung (Muliarta, 2012).
Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (1997) menyebutkan bahwa Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Ahli hidrologi lingkungan Universitas Udayana, Wayan Sunartha, juga memperkirakan kondisi yang hampir sama bahwa Bali akan mengalami defisit air 26,7 miliar meter kubik pada 2015 (Muliarta, 2012). Keadaan tersebut kini mulai dirasakan oleh masyarakat Bali, di mana pada saat musim kering, banyak lahan sawah yang mengalami kekeringan, sehingga petani tidak bisa menanam padi. Sejalan dengan pernyataan Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali, Wisnu Wardhana (2014) bahwa kekeringan lahan sawah di Bali pada tahun 2014 mencapai 400 ha, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang hanya 350 ha, sebanyak 119 ha adalah gagal panen (fuso) dari 400 ha yang mengalami kekeringan tersebut. Bahkan angka yang sangat berbeda dikemukakan oleh Kepala Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan dalam Bali Post (Edisi 12 September 2013) menyebutkan bahwa terjadi kekeringan lahan sawah yang mencapai 1.400 ha di Kabupaten Tabanan. Kekeringan tersebut terutama terjadi di subak Aseman III, desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur.
Suardana (2012) dalam Muliarta (2012) menyatakan bahwa penggunaan air di Bali kini telah melebihi kapasitas siklus hidrologi, sehingga secara kuantitas volume dan kualitas air, Bali telah mengalami krisis air.Bukti lapangan yang dapat menjadi petunjuk awal adalah mengeringnya beberapa sungai di Bali dan tingkat intrusi air laut yang semakin parah, ujarnya. ”Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) menunjukkan bahwa 200 lebih atau 60% daerah aliran sungai mengering dan itu potensi air permukaan. Data BLH juga yang menyatakan bahwa daerah Kuta (Badung) dan daerah Suwung (Denpasar) sudah mengalami intrusi, sejauh satu kilometer di daerah Sanur sampai ke Suwung dan 8 meter di daerah Kuta. Kondisi tersebut menunjukan adanya penggunaan air bawah tanah yang sifatnya eksploitatif.
Sesungguhnya pemerintah telah berusaha untuk melindungi sumber air. Misalnya pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, yang pada dasarnya mengutamakan air irigasi untuk pertanian (ke-2 setelah penggunaan air domestik) atas setiap penggunaan air. Terkait dengan upaya tersebut pada tahun 2007, sebuah bendungan besar Telaga
Tunjung selesai dibangun di Kabupaten Tabanan untuk mengatasi kekurangan air pada sistem subak di wilayah tersebut. Namun kondisi kekurangan air irigasi tetap terjadi. Anon (2011) menyatakan bahwa subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium dan tetap eksis sampai sekarang, mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistensinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali, karena globalisasi pembangunan pariwisata Bali. Lebih jauh juga disebutkan bahwa hilangnya sistem subak dapat mengancam stabilitas sosial dan kelestarian kebudayaan Bali. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keberadaan sistem subak, sangat penting bagi kehidupan masyararakat Bali, yang agraris.
2.1.4 Hubungan antara Nilai-nilai Ekosistem Subak dan