• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Seni dalam Sistem Subak

Dalam dokumen JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI (Halaman 133-184)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Kontribusi Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak

4.4.4 Kontribusi Seni dalam Sistem Subak

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penelitian melalui FGD mendapatkan, bahwa beberapa jenis seni juga tercipta karena adanya sistem subak, seperti seni tari, seni suara, seni lukis dan seni pahat. Sebagai contoh lagu ”I Ceterung” dan ”I

Kurkuak” merupakan dua jenis lagu yang sangat berkaitan

dengan sistem subak. Berbagai jenis lukisan yang berkaitan dengan sistem pertanian, seperti lukisan tentang sebuah pemandangan terasering sawah yang indah, yang banyak dijual di pasaran, juga tercipta berkat adanya sistem subak. Demikian pula lukisan tentang seorang petani yang sedang membajak sawah juga tercipta berkat adanya sistem subak. Seni membuat ”lelakut36” juga merupakan salah satu jenis seni yang tercipta berkat adanya sistem subak.

Namun sebagian besar kesenian tersebut, hampir jarang ditemukan di lapangan saat ini. Sebagai contoh lagu ”I

Ceterung” dan lagu ”I Kurkuak” hampir tidak pernah

dinyanyikan lagi oleh masyarakat petani. Padahal kedua jenis lagu tersebut memiliki makna yang sangat penting dalam menginspirasi masyarakat untuk menjaga ekosistem subak. Demikian pula jenis seni lainnya seperti tarian ”Baris Dapdap” yang mengisahkan tentang kegembiraan petani saat panen sudah tiba. Kini tarian tersebut hampir tidak perah ditarikan lagi oleh masyarakat.

36 Lelakut atau sering disebut petakut adalah sebuah patung manusia yang umumnya terbuat dari kain atau dedaunan, yang ditempatkan di tengah-tengah sawah dengan padi yang menguning, bertujuan untuk menghalau burung yang sering makan biji padi.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa beberapa jenis seni yang berkaitan dengan sistem subak kurang atau bahkan tidak memiliki kontribusi dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian melalui survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar petani pria (37,9%) dan 46,9% petani wanita, serta 45,0% anak-anak petani di kawasan WBD, menyatakan bahwa jasa lingkungan dalam bentuk seni tidak berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat (Table 4.18).

Selanjutnya Tabel 4.18 juga menunjukkan bahwa sebagian besar petani pria (48,4%) dan 70,0% petani wanita, serta 41,4% anak-anak petani di luar kawasan WBD, juga menyatakan bahwa jasa lingkungan dalam bentuk seni dari sistem subak, tidak berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai seni sebagai sebuah jasa lingkungan yang bersumber dari sistem subak, belum dirasakan manfaatnya oleh masayakat di dalam kawasan WBD maupun di luar kawasan WBD.

Kurangnya kontribusi jasa lingkungan dalam bentuk seni yang bersumber dari sistem subak dirasakan oleh masyarakat, karena sebagian besar kesenian tersebut telah hilang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa lagu ”I

Ceterung” yang memiliki makna yang sangat penting dalam

pengendalian hama penyakit padi, kini hampir tidak pernah dinyanyikan lagi oleh masyarakat. Demikian pula halnya dengan lagu ”I Kurkuak”, yang memiliki arti penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Berbagai jenis lukisan tentang ekosistem subak, lukisan tentang petani yang sedang membajak,

petani yang sedang panen, petani yang sedang melaksanakan upacara di pura subak, sekalipun sesungguhnya banyak ditemukan di pasaran, namun tidak dirasakan kontribusinya oleh petani baik di kawasan WBD maupun di luar kawasan WBD.

Tabel 4.18 Kontribusi Jasa Lingkungan dalam Bentuk Seni Dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Lokasi Kontribusi seni terhadap kesejahteraan Kluster petani Total

Pria Wanita Anak-anak

Dalam WBD Tidak berkontribusi 37,9% 46,9% 45,0% 43,2% Kurang berkontribusi 17,2% 40,6% 20,0% 27,2% Cukup berkontribusi 10,3% 0,0% 20,0% 8,6% Banyak berkontribusi 27,6% 6,3% 10,0% 14,8% Sangat banyak berkontribusi 6,9% 6,3% 5,0% 6,2% Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% Luar WBD Tidak berkontribusi 48,4% 70,0% 41,4% 53,3% Kurang berkontribusi 38,7% 20,0% 31,0% 30,0% Cukup berkontribusi 12,9% 6,7% 27,6% 15,6% Banyak berkontribusi 0.0% 3,3% 1,1% Sangat banyak berkontribusi 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

4.4.5 Kontribusi Upacara Sebagai Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Kondisi yang sangat berbeda dengan seni, terjadi terhadap upacara sebagai sebuah jasa lingkungan dari sistem subak. Hasil penelitian melaui FGD, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan WBD, bahwa sebagian besar petani pria, wanita dan anak-anak petani menyatakan bahwa upacara sebagai salah satu jasa lingkungan budaya sistem subak sangat berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setidaknya terdapat 13 jenis upacara yang berkaitan dengan sistem subak, yang diketahui oleh petani pria, petani wanita serta anak-anak petani.

Hasil penelitian melalui FGD sejalan dengan hasil penelitian melalui survei, yang menunjukkan bahwa sebagian besar (89,7%) petani pria, 65,6% petani wanita, dan 70,0% anak-anak petani di kawasan WBD menyatakan bahwa, jasa lingkungan budaya sistem subak dalam bentuk upacara sangat banyak berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat (Tabel 4.19). Selanjutnya Tabel 4.19 juga menunjukkan bahwa 51,6% petani pria, dan 56,7% petani wanita, serta 58,6% anak-anak petani menyatakan bahwa upacara sebagai salah satu jasa lingkungan budaya, dari sistem subak, sangat banyak berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat masih menempatkan upacara pada posisi yang sangat penting. Masyarakat petani, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk tidak melaksanakan upacara yang berkaitan dengan sistem subak. Masyarakat sangat taat dalam melaksanakan upacara yang

berkaitan dengan sistem subak. Hal tersebut merupakan, salah satu bentuk implementasi filosofi Tri Hita Karana dalam menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (Parahyangan).

Tabel 4.19 Kontribusi Upacara Sebagai Salah Satu Bentuk Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Lokasi

Kontribusi upcara terhadap

kesejahteraan

Kluster petani Total

Pria Wanita Anak-anak

Dalam WBD Tidak berkontribusi 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% Kurang berkontribusi 0,0% 0,0% 5,0% 1,2% Cukup berkontribusi 0,0% 31,3% 0,0% 12,3% Banyak berkontribusi 10,3% 3,1% 25,0% 11,1% Sangat banyak berkontribusi 89,7% 65,6% 70,0% 75,3% Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% Luar WBD Tidak berkontribusi 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% Kurang berkontribusi 3,2% 0,0% 0,0% 1,1% Cukup berkontribusi 0,0% 3,3% 17,2% 6,7% Banyak berkontribusi 45,2% 40,0% 24,1% 36,7% Sangat banyak berkontribusi 51,6% 56,7% 58,6% 55,6% Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

Hasil penelitian yang menunjukan bahwa kontribusi upacara terhadap kesejahteraan di kawasan WBD lebih tinggi dibandingkan dengan petani di luar kawasan WBD. Kondisi tersebut disebabkan, karena pelaksanaan upacara yang terkait dengan subak, kemungkinan lebih lebih baik dan lengkap dibandingkan dengan upacara oleh petani di luar kawasan WBD. Seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa banyak kawasan ekosistem subak di luar kawasan WBD yang telah beralih fungsi ke non pertanian.

4.5 Perubahan Utama yang Terjadi dalam Subak dan Pengaruhnya Terhadap Penyediaan Jasa Lingkungan

Berbagai peralatan pertanian tradisional yang tercipta, karena adanya sistem subak. Peralatan tersebut telah memberikan inspirasi kepada masyarakat pengelola sistem subak untuk menciptakan berbagai pendidikan, baik dalam membuat alat-alat pertanian tradisional, maupun dalam menggunakan peralatan tersebut. Bajak (tenggala) dengan berbagai perlengkapannya, merupakan sebuah alat yang sangat penting bagi petani untuk mengolah sawah. Membuat bajak memerlukan keterampilan khusus, sehingga alat tersebut sangat ergonomis digunakan oleh petani. Penggunaan bajak sebagai sebuah alat mengolah sawah, harus menggunakan bantuan ternak sapi atau kerbau sebagai tenaga kerja penarik bajak. Kondisi tersebut mengharuskan petani memelihara ternak sapi atau kerbau sebagai tenaga kerja yang umumnya dilakukan petani kawasan WBD, dengan menempatkan kandang sapi di dalam kawasan ekosistem subak (Gambar 4.9).

Gambar 4.9 Kandang Sapi di Areal Persawahan pada Ekosistem Subak di Kawasan

WBD Jatiluwih (Foto: Wiguna, 2014)

Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa sistem subak telah berpengaruh tidak langsung terhadap budaya beternak sapi atau kerbau di kalangan petani. Budaya beternak sapi, mengharuskan petani memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyediakan pakan, membuat kandang, menjaga kesehatan dan mengawinkan ternak. Apabila hal tersebut ditelusuri lebih jauh, maka sistem subak mampu memunculkan berbagai bentuk budaya lain yang berkembang di masyarakat.

Semua stakeholder sepakat untuk mempertahankan sistem subak, karena telah disadari bahwa hilangnya sistem subak akan menghilangkan banyak segi-segi kehidupan masyarakat Bali. Untuk itu anak-anak muda petani di kawasan WBD khususnya menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan untuk mempertahankan sistem subak, antara lain: (1) diharapkan ada masyarakat yang tetap mau jadi petani; (2) mematuhi aturan subak; (3) menjaga sumber air untuk irigasi melalui awig-awig subak dan jaringan irigasi; (4) meningkatkan kesejahteraan petani; (5) menghindari alih fungsi lahan sawah; (6) subsidi

pajak oleh pemerintah; (7) menghindari menjual lahan sawah; (8) tidak mengimpor beras; (9) memelihara eksosistem sawah dengan baik; (10) melestarikan kegiatan upacara yang berkaitan dengan sistem subak.

Sekalipun secara tegas anak-anak petani di kawasan WBD, untuk mempertahankan sistem subak, namun hanya sebagian kecil yang mau menjadi petani, dengan alasan bahwa bertani merupakan: (1) pekerjaan yang melelahkan; (2) pekerjaan yang kotor; (3) pekerjaan yang tidak akan pernah membuat seseorang menjadi kaya, sehingga bertani diidentikan dengan kemiskinan; (4) pekerjaan bertani tidak diijinkan orang tua.

Fenomena tersebut telah memunculkan kekawatiran petani, baik pria, wanita maupun anak-anak petani di kawasan WBD Bali maupun di luar kawasan WBD, di Kabupaten Tabanan. Menurut petani wanita, hilangnya sistem subak akan menghilangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, seperti: mata pencaharian yang hilang, pemandangan yang indah akan hilang, ekosistem sawah hilang, kegiatan upacara hilang, sekehe (kelompok) dan organisasi subak hilang, sistim gotong royong hilang, sistem bagi hasil hilang, obyek wisata hilang, peralatan pertanian hilang, lumbung tidak terpakai, dan irigasi hilang. Hal tersebut dipertegas oleh anak-anak petani yang menyatakan bahwa hilangnya sistem subak akan menyebabkan hilangnya: padi sebagai penghasilan utama masyarakat Bali, hilangnya: (1) identitas masyarakat Bali, (2) lahan pertanian, (3) berbagai peralatan pertanian tradisional masyarakat Bali, (4) pemandangan yang indah, (5) pariwisata, (6) warisan leluhur masyarakat Bali, (7) predikat WBD.

Selain itu anak-anak petani juga memprediksi berkurangnya oksigen yang dihasilkan dari sawah dan

meningkatnya pengangguran, jika subak hilang dari budaya masyarakat Bali. Hasil pengamatan lapangan terutama di kawasan subak yang mengganti padi lokal dengan padi varietas unggul baru (VUB) sebagai tanaman utama dalam sistim subak, telah mengubah tatanan arsitektur tradisional bali. Lumbung sebagai sebuah bangunan dalam tatanan tradisional bali, mulai jarang ditemui dalam sebuah tatanan perumahan masyarakat Bali. Fenomena tersebut terjadi karena sebagian besar petani, tidak memanfaatkan lumbung untuk menyimpan padi. Petani lebih suka menjual secara langsung hasil panen (padi), saat masih di sawah. Sistem tersebut dikenal dengan sistem tebas. Hasil panen padi VUB, memerlukan lantai jemur yang khusus terbuat dari semen, yang jarang dimiliki petani. Berbeda dengan tanaman padi lokal, yang bisa langsung dikeringkan di sawah dan tidak memerlukan lantai jemur khusus dan tumpuk di sawah sebelum dinaikkan ke lumbung.

Kondisi tersebut menyebabkan petani yang menaman VUB lebih suka menjual hasil panen melalui penebas (broker padi), sehingga meringankan pekerjaan petani. Kenyataan tersebut menyebabkan peran lumbung padi sebagai tempat menyimpan padi, menjadi berkurang bahkan cenderung hilang terutama di luar kawasan WBD. Akhirnya bangunan lumbung tidak diperlukan petani, sehingga tergantikan oleh bangunan lainnya. Kenyataan tersebut menyebabkan berubahnya tatanan bangunan tradisional Bali, yang semula ada lumbung menjadi tidak ada lumbung. Namun fenomena tersebut tidak mengawatirkan bagi masyarakat petani di luar kawasan WBD. Karena menurut mereka kondisi tersebut merupakan tuntutan

bagi masyarakat di jaman modern ini. Masyarakat petani di luar kawasan WBD lebih suka bekerja secara cepat, sehingga tidak jarang pekerjaan di sektor pertanian, terutama dalam budidaya padi menjadi pekerjaan sampingan bagi petani.

Masyarakat lebih suka memilih pekerjaan di sektor jasa, seperti buruh bangunan, jasa pariwisata dan lainnya. Kondisi tersebut menjebabkan sektor pertanian mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Hampir seluruh anak-anak petani di luar kawasan WBD, sama sekali tidak mau bekerja di sektor pertanian. Pekerjaan bertani, kini sebagian besar dilakukan oleh petani yang berumur di atas 50 tahun. Kondisi tersebut diperparah oleh dorongan orang tua mereka yang tidak menginginkan anak-anaknya bekerja sebagai petani, karena petani diidentikan dengan masyarakat miskin.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa menurut penyuluh pertanian maupun petani, saat ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan pada beberapa ekosistem subak di Kecamatan Tabanan. Perubahan tersebut ada dalam beberapa bentuk antara lain:

4.5.1 Perubahan Peralatan yang Berkaitan dengan Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak

Beberapa peralatan pertanian tradisional yang berkaitan dengan sistem subak dengan fungsinya yang sangat spesifik tercipta berkat adanya sistem subak. Namun sebagian peralatan tersebut, telah tergantikan dengan mesin-mesin pertanian modern, terutama pada ekosistem subak di luar kawasan WBD. Seperti bajak dengan ternak sebagai tenaga kerja telah tergantikan oleh traktor.

Sekalipun sistem subak tidak hilang namun peralatan pertanian tradisional tersebut, mulai menghilang, karena jarang digunakan oleh petani. Demikian pula halnya ani-ani sebagai alat panen utama untuk tanaman padi dalam sistem pertanian tradisional telah tergantikan dengan trasher sebagai alat panen modern baik di kawasan WBD maupun di luar kawasan WBD. Fenomena tersebut muncul sejalan dengan berkembangan berbagai varietas padi unggul baru sebagai hasil rekayasa teknologi modern, yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan padi lokal. Penggunaan alat-alat pertanian modern dalam sistem pertanian di Bali, telah menghilangkan beberapa budaya masyarakat Bali, seperti budaya membuat dan menggunakan bajak, membuat dan menggunakan ani-ani. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sistem subak belum hilang, namun sebagian budaya tradisional masyarakat Bali telah hilang. Hilangnya budaya tersebut, terjadi tidak hanya di kawasan luar WBD namun juga di dalam kawasan WBD.

Penggunaan traktor sebagai alat utama mengolah sawah menggantikan sapi dengan bajaknya, serta hilangnya ani-ani dan tergantikan dengan sabit sebagai alat panen, sepenuhnya telah terjadi di luar kawasan WBD. Sedangkan di kawasan WBD, penggunaan sapi sebagai penarik bajak dan ani-ani sebagai alat panen utama relatif masih bertahan, terutama saat petani menanam dan panen padi lokal. Pada subak di luar kawasan WBD, padi lokal telah sepenuhnya tergantikan oleh padi varietas unggul, yang membutuhkan teknologi panen dan pasca panen yang relatif berbeda dengan padi lokal. Hasil penelitian melalui

FGD menunjukkan beberapa jenis peralatan yang tercipta karena adanya subak, namun beberapa jenis peralatan tersebut telah menghilang atau tidak digunakan lagi oleh petani (Tabel 4.20).

Tabel 4.20 Peralatan yang Berkaitan dengan Sistem Subak

No Nama alat Fungsi Digantikan oleh

1 Bajak dengan perlengkapannya

Membajak sawah Traktor 2 Lampit dengan

perlengkapannya

Meratakan tanah sawah sebelum tanam

Traktor 3 Penampad Membersihkan

pematang sawah

Mesin pemotong rumput 4 Ani-ani Panen padi Sabit, power tresher 5 Sanan Alat untuk mengangkut

padi dari sawah

Kampil dan kendaraan bermotor

6 Jepit bulih Untuk menjepit bibit padi sebelum dipotong

Tidak digunakan lagi, karena petani menanam bibit yang masih muda.

7 Tempeh Tempat bibit padi saat tanam

Tidak digunakan lagi, kerena bibit cukup diikat

8 Kentungan Pemecah kulit padi dalam prosesing beras

Pemecah kulit dalam Penyosohan beras

9 Lesung Menghaluskan beras Polis dalam penyosohan beras 10 Alu Alat penumbuk padi Pemecah kulit dan polis dalam

penyosohan beras 11 Penaptapan Untuk meratakan ikatan

padi lokal setelah panen.

Tidak digunakan lagi, karena saat panen langsung diproses menjadi gabah melalui power trasher untuk VUB

12 Lumbung Untuk menyimpan padi setalah panen

Tidak digunakan, digantikan dengan kampil dan gudang

Hasil penelitian melalui survei, menunjukkan bahwa sebagian besar petani pria (44,8%) di kawasan WBD, menyatakan bahwa hanya sebagian kecil peralatan yang berkaitan dengan sistem subak, telah mengalami perubahan. Sedikit berbeda dengan pernyataan petani wanita di kawasan WBD yang sebagian besar (62,5%) menyatakan bahwa peralatan yang berkaitan dengan subak sama sekali belum mengalami perubahan(Tabel 4.21).

Tabel 4.21 Perubahan Peralatan yang Berkaitan dengan Sistem Subak

Lokasi Perubah peralatan terkait dengan subak Kluster Petani Total

Pria Wanita Anak-anak

Dalam WBD Telah berubah semua 0.0% 3.1% 0.0% 1.2% Sebagian besar berubah 10.3% 9.4% 40.0% 17.3% Sebagian berubah 3.4% 3.1% 20.0% 7.4% Sebagian kecil berubah 44.8% 21.9% 30.0% 32.1% Sama sekali tidak

berubah 41.4% 62.5% 10.0% 42.0% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Luar WBD Telah berubah semua 6.5% 0.0% 0.0% 2.2% Sebagian besar berubah 45.2% 53.3% 37.9% 45.6% Sebagian berubah 32.3% 23.3% 34.5% 30.0% Sebagian kecil berubah 16.1% 23.3% 27.6% 22.2% Total 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Namun anak-anak petani sebagian besar (40,0%) menyatakan bahwa sebagian besar peralatan yang berkaitan dengan subak telah mengalami perubahan (Tabel 4.21). Kondisi

tersebut menggambarkan bahwa peralatan yang berkaitan dengan subak relatif tetapi digunakan petani dan belum banyak mengalami perubahan. Hal tersebut sejalan dengan kenyataan di tingkat lapangan bahwa banyak peralatan tradisional yang berkaitan dengan subak seperti bajak, ani-ani dan lain sebagainya yang tetap digunakan oleh masyarakat petani di kawasan WBD.

Kondisi yang cukup berbeda terjadi pada petani di luar kawasan WBD, karena sebagian besar petani pria (45,2%), dan 53,3% petani wanita, serta 37,9% anak-anak petani menyatakan bahwa sebagian besar peralatan yang berkaitan dengan subak telah mengalami perubahan. Hasil penelitian melalui survei ini sejalan dengan hasil FGD, yang menyatakan bahwa sebagian besar peralatan pertanian yang berkaitan dengan subak, telah mengalami perubahan.

Mekanisasi merupakan salah satu bentuk perubahan yang sangat menonjol dalam sistem subak. Traktor merupakan salah satu alat yang kini banyak digunakan petani dalam mengolah sawah. Traktor telah menggantikan sapi sebagai tenaga atau alat kerja yang ramah lingkungan yang digunakan petani selama ratusan tahun. Namun kini digantikan oleh mesin yang justeru mencemari lingkungan. Sekalipun lanskap subak tidak berubah dengan adanya traktor dalam mengolah sawah, namun banyak budaya masyarakat Bali yang hilang dengan adanya mekanisasi dalam sistem subak.

Budaya membajak dengan ternak, budaya membuat peralatan yang berkaitan dengan membajak, budaya memelihara

ternak sapi juga mulai berkurang di kalangan petani. Bahkan di beberapa subak, petani menjadi sangat tergantung dengan mesin-mesin pertanian. Demikian pula halnya saat panen, petani juga menggunakan mesin-mesin panen dan bukan lagi menggunakan

ani-ani, sejalan dengan perkembangan jenis tanaman padi yang

ditanam petani. Ketika belum ada jenis padi varietas unggul, petani menanam padi lokal, yang panennya harus menggunakan

ani-ani. Namun padi varietas unggul, maka ani-ani tidak dapat

digunakan untuk memanen padi. Kondisi tersebut menyebabkan budaya membuat dan menggunakan ani-ani menjadi hilang karena tidak diperlukan lagi. Namun sekalipun budaya membuat ani-ani telah hilang, namun bukan berarti sistem subak menghilang. Akan tetapi jika sistem subak hilang, maka budaya membuat dan menggunakan ani-ani pasti akan hilang.

Banyak peralatan yang berkaitan dengan subak, kini sudah mulai menghilang, tergantikan dengan peralatan modern. Selain bajak yang tergantikan dengan traktor, ani-ani tergantikan dengan trasher dan mesin panen. Kentungan dan alu tergantikan dengan mesin penyosohan beras, pengeringan dengan matahari tergantikan dengan alat pengering padi. Budaya gotong royong mengangkut hasil panen dari sawah ke rumah pemilik (mebleseng: Bhs. Bali) tergantikan dengan transportasi dengan kendaraan bermotor. Kondisi tersebut telah menghilangkan budaya membuat dan menggunakan ”sanan”, hilangnya budaya kebersamaan, hilangnya budaya saling membantu seperti saat menanam padi yang tergantikan dengan alat dan mesin tanam, yang pada akhirnya justeru memunculkan sikap individualism yang tinggi, sikap egoisme yang semakin besar.

Penggunaan padi varietas unggul, juga menyebabkan petani sangat jarang menyimpan padinya di lumbung. Fenomena tersebut telah menyebabkan hilangnya sebagian arsitektur Bali, khususnya karena hilangnya bangunan lumbung sebagai tempat penyimpan padi. Banyak lumbung padi telah hilang dari arsitektur Bali, atau banyak juga bangunan lumbung yang berubah fungsi, tidak lagi sebagai tempat menyimpan padi, melainkan hanya sebagai tempat beristirahat saja.

Kebiasaan petani menempatkan sapi di lahan sawah juga mulai ditinggalkan petani, karena mereka tidak memerlukan sapi lagi sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah. Sapi telah tergantikan dengan traktor. Dengan demikian tidak hanya budaya membuat dan menggunakan bajak saja yang hilang dengan adanya traktor, namun juga budaya pelestarian lingkungan ekosistem subak juga mulai menghilang, karena petani tidak lagi melakukan sistem integrasi usahatani antara ternak sapi dan tanaman padi. Padahal sistem usahatani tersebut memberikan banyak keuntungan bagi petani dan ekosistem subak, seperti pengembangan sistem pertanian organik, memperbaiki tingkat kesuburan lahan sawah, meningkatkan keragaman hayati (flora dan fauna) dalam ekosistem sawah.

4.5.2 Berubahnya Lanskap (Sistem Fisik) Subak Karena Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non Sawah

Kecenderungan alih fungsi lahan sawah ke non pertanian, nampak semakin besar. Menurut PPL kecamatan Tabanan, bahwa sebagian subak di wilayah kerjanya telah mengalami alih fungsi ke non pertanian, khususnya menjadi bangunan, seperti yang terjadi di subak Empas Kubontingguh, dan subak Babakan Wanasari. Kondisi tersebut telah mengubah lanskap ekosistem subak. Meningkatnya jumlah penduduk di Bali, merupakan faktor utama pendorong alih fungsi lahan sawah, demikian dinyatakan oleh PPL melalui FGD di BPP Kecamatan Tabanan, maupun Kecamatan Penebel.

Perkembangan sektor pariwisata yang demikian pesat di Bali, telah mendorong meningkatnya jumlah penduduk pendatang yang ingin mendapatkan pekerjaan di Bali. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk membangun berbagai infrastruktur seperti: jalan, perumahan, hotel, rumah makan, yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan subak.

Kebijakan pemerintah pusat dalam bentuk Undang Undang No 41 tahun 2009, maupun kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan Bupati No 74 tahun 2013 tentang sawah berkelanjutan nampaknya belum banyak membantu dalam menekan alih fungsi lahan sawah. Seperti yang terjadi di Subak Babakan Wanasari dari luas awal 53 ha, yang terdiri atas 3 tempek (tempek Babakan Wanasari 1, Babakan Wanasari 2, dan tempek Celebuh, kini

Dalam dokumen JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI (Halaman 133-184)