• Tidak ada hasil yang ditemukan

JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

JASA LINGKUNGAN BUDAYA

SISTEM SUBAK

DI BALI

PENULIS

Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna, M.Si Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati, MP Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Pd

Prof. Dr. Ir. Euis Dewi Yuliana, M.Si Dr. Ir. I Wayan Kastawan, M. Eng

EDITOR

Dr. Ir Ida Bagus Suryawan, M.Si

KERJASAMA:

Yayasan Somya Pertiwi Bali

dan

Fauna & Flora International United Kingdom

UNHI PRESS

(2)

JASA LINGKUNGAN BUDAYA SISTEM SUBAK DI BALI

Penulis :

Ketua : Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna, M.Si

Anggota : Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati (Yayasan Somya Pertiwi, Bali) : Prof. Dr. I Ketut Suda (UNHI Denpasar)

: Prof. Dr. Ir. Euis Dewi Yuliana (UNHI Denpasar) : Dr. Ir. I Wayan Kastawan, M. Eng (UNUD Denpasar)

ISBN : 978-602-52255-6-7

Editor : Dr. Ir Ida Bagus Suryawan (BPTP Bali)

Penyunting : Nyoman Ngurah Arya, SP., M.Agb (BPTP Bali) Desain Sampul dan Tata Letak : I Gusti Made Widianta, SP (BPTP Bali)

Penerbit : UNHI Press

Redaksi :

J1. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar -Bali Telp. (0361) 464700/464800 Email :

unhipress@unhi.ac.id

Distributor Tunggal : UNHI Press

Jl. Sangalangit, Tembau Penatih, Denpasar-Bali Telp. (0361) 464700/464800

Email : unhipress@unhi.ac.id

Cetakan pertama, Desember 2018

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

(3)

KATA PENGANTAR

Subak merupakan salah satu budaya asli masyarakat Bali. Lahir ribuan tahun lalu dan kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO, pada tahun 2012. Penetapan subak sebagai WBD, karena subak memiliki berbagai keunikan dan berbagai nilai, yang bersifat nyata (tangible value), maupun tidak nyata (intangible value). Nilai-nilai sistem subak bersifat asli (authenticity) yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Juga bersifat universal, sebagai sebuah

outstanding values (nilai-nilai luar biasa).

Subak telah melahirkan berbagai bentuk kebudayaan asli masyarakat Bali. Namun subak kini mulai terkikis. Subak kini diambang kehancuran sejalan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali. Padahal sebagai sebuah WBD, maka subak perlu dilestarikan.

Penelitian tentang Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak di Bali, telah menghasilkan sebuah rekomendasi dalam mengelola sistem subak, sehingga dapat dilestarikan. Walaupun hasil penelitian ini bukan satu-satunya upaya yang harus dilakukan dalam pelestarian sistem subak, namun setidaknya hasil penelitian ini telah memberikan masukan kepada setiap stakeholder yang berperan dalam pelestarian sistem subak, sebagai sebuah identitas orang Bali.

Semoga hasil penelitian tentang Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak ini dapat diimplementasikan di masa mendatang, dalam upaya pelestarian Sistem Subak di Bali.

Kami ketua Yayasan Somya Pertiwi menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berperan aktif dalam penelitian ini, khususnya kepada Dr.

(4)

Mark Infield dari Fauna dan Flora International (FFI) United Kingdom, Bapak Dr. Kusworo dari FFI Indonesia dan seluruh tim peneliti, yang memberikan dukungan luar biasa dalam penelitian ini.

Denpasar, 10 Desember 2018 Yayasan Somya Pertiwi

Dr. Ir. Tatik Inggriati Ketua

(5)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.3.1 Tujuan Umum ... 4 1.3.2 Tujuan Khusus ... 4 1.4 Manfaat penelitian ... 5 1.4.1 Akademisi ... 5 1.4.2 Praktisi ... 5

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR PENELITIAN ... 6

2.1 Kajian Pustaka ... 6

2.1.1 Jasa Lingkungan Budaya dari Ekosistem Subak . 6 2.1.2 Kontribusi Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. ... 14

2.1.3 Perubahan Utama yang Terjadi dalam Ekosistem Subak dan Pengaruhnya Terhadap Penyediaan Jasa Lingkungan. ... 18

2.1.4 Hubungan antara Nilai-nilai Ekosistem Subak dan Masyarakat serta Pemangku Kepentingan Lainnya. ... 24

2.1.5 Dampak Intervensi yang Berbeda terhadap Kebijakan atau Perubahan Perilaku pada Jasa Lingkungan Budaya di Masa Depan. ... 27

3 METODE PENELITIAN ... 41

3.1 Strategi Penelitian ... 41

(6)

3.3 Penetapan Responden ... 47

3.4 Kumpulan Data ... 49

3.5 Analisis Data ... 51

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian ... 52

4.2 Karakteristik Responden Penelitian ... 54

4.2.3 Umur Responden ... 55

4.2.2 Pendidikan Formal Responden ... 58

4.2.3 Tanggungan Keluarga Responden ... 60

4.2.4 Pekerjaan Utama Responden ... 63

4.2.5 Penguasaan Lahan ... 65

4.3 Pengetahuan Petani Tentang Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak ... 68

4.3.1 Pengetahuan Petani tentang Alat yang Berkaitan dengan Subak ... 70

4.3.2 Pengetahuan Petani tentang Aktivitas yang Berkaitan dengan Bertani dalam Sistem Subak .. 75

4.3.3 Pengetahuan Petani tentang Bahasa yang Berkaitan dengan Subak ... 83

4.3.4 Pengetahuan Petani tentang Inspirasi dan Seni Sebagai Sebuah Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak. ... 87

4.3.5 Pengetahuan Petani tentang Subak yang Berkaitan dengan Atraksi Pariwisata ... 92

4.3.6 Pengetahuan Petani tentang Upacara Keagamaan Sebagai Sebuah Jasa Lingkungan Budaya yang Berkaitan dengan Subak ... 95

4.4 Kontribusi Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 105

4.4.1 Kontribusi Peralatan dalam Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 113

4.4.2 Kontribusi Mata Pencaharian dalam Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 116

4.4.3 Kontribusi Bahasa dalam Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat... 118

4.4.4 Kontribusi Seni dalam Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat... 120

(7)

4.4.5 Kontribusi Upacara sebagai Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap

Kesejahteraan Masyarakat ... 123 4.5 Perubahan Utama yang Terjadi dalam Subak

dan Pengaruhnya Terhadap Penyediaan Jasa

Lingkungan ... 125 4.5.1 Perubahan Peralatan yang Berkaitan dengan

Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak ... 129 4.5.2 Berubahnya Lanskap (Sistem Fisik) Subak

karena Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non

Sawah. ... 136 4.5.3 Perubahan Organisasi yang Berkaitan dengan

Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak ... 141 4.5.4 Perubahan Upacara yang Berkaitan dengan

Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak ... 147 4.6 Dampak Perubahan Subak Terhadap

Kesejahteraan Masyarakat ... 151 4.7 Jenis Dampak yang Terjadi sebagai akibat

Berubahnya Sistem Subak ... 154 4.8 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Berbagai Jasa Lingkungan Budaya

dari Sistem Subak. ... 156 4.8.1 Hilangnya Peralatan Tradisional yang

Berkaitan dengan Sistem Subak ... 156 4.8.2 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangan Aktivitas yang Berkaitan dengan

Mata Pencaharian Petani ... 159 4.8.3 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Karya Seni yang Berkaitan

dengan Subak ... 162 4.8.4 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Bahasa yang Berkaitan

dengan Subak ... 163 4.8.5 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Berbagai Organisasi yang

Berkaitan dengan Subak ... 166 4.8.6 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan Hilangnya

Beberapa Jenis Upacara yang

(8)

4.9 Sikap Masyarakat untuk Mempertahankan Sistem

Subak Tetap Seperti Saat Ini. ... 170

4.10 Sikap Masyarakat untuk Menjadikan Sistem Subak Sebagai Agrowisata. ... 171

4.11 Sikap Masyarakat untuk Menjadikan Sistem Subak Sebagai Resident atau Bisnis Center. ... 174

4.12 Harapan Orang Tua Agar Anak Menjadi Petani. ... 175

4.13 Kebijakan Manajemen Warisan Budaya Dunia dalam Penyediaan Jasa Lingkungan Budaya dari Ekosistem Subak. ... 177

5. PERAN SUMBERDAYA AIR DALAM MEMPERTAHANKAN SUBAK SEBAGAI SEBUAH BUDAYA MASYARAKAT BALI ... 185

6. SKENARIO SISTEM SUBAK DI MASA MENDATANG ... 189

6.1 Skenario yang Dibangun ... 189

6.2 Diskusi Skenario Melalui FGD ... 190

7. DISKUSI UMUM ... 208

8. SIMPULAN DAN SARAN ... 215

8.1 Simpulan ... 215

8.1 Saran ... 216

(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal

3.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 45 3.2 Jumlah Responden Petani untuk Kegiatan FGD

Pada Setiap Subak dan Kluster Petani ... 48 3.3 Responden untuk Interviu Mendalam

(In-Depth Interview) ... 49 4.1 Sebaran Responden Survei Dalam Penelitian Jasa

Lingkungan Budaya dari Sistem Subak di Bali ... 55 4.2 Katagori Umur Petani di Kawasan WBD Maupun

di Luar Kawasan WBD ... 56 4.3 Tingkat Pendidikan Formal Petani Responden ... 59 4.4 Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Responden

di Kawasan WBD dan di Luar Kawasan WBD ... 62 4.5 Pekerjaan Utama Responden Penelitian ... 64 4.6 Penguasaan Lahan oleh Petani di Kawasan

WBD Maupun di Luar WBD ... 66 4.7 Pengetahuan Petani Tentang Jasa Lingkungan

Budaya dari Sistem Subak di Bali ... 69 4.8 Tingkat Pengetahuan Petani Tentang Peralatan

Sebagai Sebuah Jasa Lingkungan Sistem Subak ... 74 4.9 Pengetahuan Petani Tentang Kegiatan yang

Berkaitan dengan Bertani Sebagai Mata Pencaharian yang Berhubungan dengan Sistem Subak ... . 82 4.10 Pengetahuan Petani Tentang Bahasa yang

Berkaitan dengan Sistem Subak ... 85 4.11 Pengetahuan Petani Tentang Seni yang Berkaitan

dengan Sistem Subak ... 92 4.12 Jenis Atraksi Wisata yang Berkaitan dengan

Sistem Subak ... 95 4.13 Jenis Upacara yang Dilakukan oleh Subak ... 97

(10)

4.14 Tingkat Pengetahuan Petani Tentang Upacara Sebagai Sebuah Jasa Lingkungan Budaya

Sistem Subak ... 104 4.15 Kontribusi Peralatan Sebagai Sebuah Jasa

LingkunganBudaya yang Berkaitan dengan Sistem

Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 115 4.16 Kontribusi Mata Pencaharian Bertani Terhadap

Kesejahteraan Masyarakat ... 117 4.18 Kontribusi Jasa Lingkungan Dalam Bentuk Seni dari

Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 122 4.19 Kontribusi Upacara Sebagai Salah Satu Bentuk

Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 124 4.20 Peralatan yang Berkaitan dengan Sistem Subak ... 131 4.21 Perubahan Peralatan yang Berkaitan dengan

Sistem Subak ... 132 4.22 Perubahan Fisik yang Terjadi Pada Ekosistem Subak . 140 4.23 Perubahan Organisasi yang Berkaitan dengan

Sistem Subak ... 146 4.24 Subak Tample Structures ... 148 4.25 Perubahan Upacara yang Berkaitan dengan

Sistem Subak ... 150 4.26 Dampak yang Dirasakan oleh Petani Terkait dengan

Perubahan Jasa Lingkungan Sistem Subak ... 153 4.27 Jenis Dampak yang Dirasakan Petani Sebagai

Akibat Adanya Perubahan Jasa Lingkungan

Budaya pada Sistem Subak ... 155 4.28 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Berbagai Jenis Peralatan yang

Berkaitan dengan Sistem Subak ... 158 4.29 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Berbagai Aktivitas yang Berkaitan

dengan Mata Pencarian Sebagai Petani ... 161 4.30 Sikap Petani Tentang Hilangnya Sistem Subak

Menyebabkan Hilangnya Berbagai Aktivitas Seni ... 163 4.31 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan Hilangnya

Berbagai Kosakata (Bahasa) yang Berkaitan

(11)

4.32 Sikap Petani Akan Hilangnya Subak Menyebabkan Hilangnya Berbagai Organisasi Tradisional yang

Berkaitan dengan Sistem Subak ... 167 4.33 Hilangnya Sistem Subak Menyebabkan

Hilangnya Berbagai Jenis Upacara Keagamaan

yang Berkaitan dengan Sistem Subak ... 169 4.34 Sikap Petani untuk Mempertahankan Sistem

Subak Tetap Seperti Saat Ini ... 171 4.35 Sikap Petani, untuk Mengembangkan Subak

Sebagai Agrowisata ... 171 4.36 Sikap Petani Apabila Subak Dikembangkan Menjadi

Kawasan Perumahan dan atau Kawasan Bisnis ... 175 4.47 Sikap Petani Tentang Harapan Terhadap Anak

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Tabel Hal

2.1 View Subak Jatiluwih, Salah Satu Tujuan

Wisata Dunia ... 9 2.2 Kerangka Pikir Pebelitian ... 35 2.3 Berbagai Jenis Tanaman Ditata Menjadi Sesajen

Sebagai Sebuah Karya Seni ... 37 3.1 Lokasi Penelitian CES di Kabupaten Tabanan, Bali ... 43 3.2 Subak di Dalam dan di Luar Kawasan

WBD Catur Angga ... 43 4.1 Seorang Petani di Kawasan WBD Sedang

Menjelaskan Penggunaan Ani-Ani untuk Panen Padi .. 71 4.2 Membajak Sawah Menggunakan Tenaga Sapi ... 76 4.3 Traktor Sebagai Pengganti Bajak ... 76 4.4 Burung Ceterung, Burung Pemangsa Ulat

Tanaman Padi ... 87 4.5 Seekor Burung Kerkuak ... 90 4.6 Lukisan Bernuansakan Sistem Subak, Sebagai

Sebuah Karya Seni ... 91 4.7 Sawah Berteras, Menghasilkan Pemandangan

yang Indah ... 93 4.8 Mangku Desa Jatiluwih Saat Wawancara Mendalam 107 4.9 Kandang Sapi di Areal Persawahan pada

(13)
(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Subak adalah organisasi petani di Bali, yang hingga kini tetap eksis, dan bahkan kini telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD) dalam katagori Landskap Budaya. Subak dengan filosofi Tri Hita Karana (THK), telah mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang luar biasa dalam menjaga budaya dan lingkungan, melalui konsep kebersamaan dan keselarasan. Kebersamaan merupakan suatu nilai kebudayaan yang menyokong keberlanjutan suatu Subak. Melalui kebersamaan dalam kehidupan agraris yang dilakukan petani, maka pelestarian sistem subak dapat terwujud.

Subak merupakan locus ˮhomo hominid sosialis” karena subak sebagai tempat berinteraksi untuk memaknai kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hingga kini subak tetap dipercaya sebagai tempat ditemukan semangat gotong-royong, saling bantu dan saling mengerti. Tidak dapat dibayangkan bila semua petani dalam subak hidup dalam spirit invidualistis, mungkin upacara ritual akan dilakukan sendiri-sendiri dan saling klaim kepemilikan air, sehingga air irigasi tidak akan mengalir sampai ke hilir.

Kebersamaan yang tetap terjaga hingga saat ini, adalah suatu modal untuk keberlanjutan subak. Wiguna dan Kaler (2008) menyatakan bahwa, subak memiliki multi fungsi. Subak tidak hanya sebagai penghasil pangan, namun juga sebagai konservasi tanah dan air, konservasi budaya, wahana pendidikan

(15)

lingkungan, pendidikan demokrasi, subak sebagai penghasil pemandangan yang indah dan berbagai fungsi lain. Terkait dengan fungsi tersebut, maka fungsi subak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1) fungsi yang berkaitan dengan nilai-nilai nyata (tangible value) dan (2) fungsi yang berkaitan dengan nilai-nilai tidak nyata (intangible value). Nilai-nilai tidak nyata yang dimiliki sistem subak merupakan salah satu jasa lingkungan sistem subak. Nilai-nilai tersebut dapat berkaitan dengan nilai-nilai estetika, spiritual dan keagamaan, pendidikan, warisan budaya, warisan intrinsik dan keberadaan, inspirasi, sistem pengetahuan, hubungan sosial, keragaman budaya, sistem ekonomi, pangan, nilai kreativitas atau inovasi.

Groot dan Ramakrishnan (2011) menyatakan bahwa kebudayaan manusia sangat dipengaruhi oleh ekosistem, dan perubahan ekosistem dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap identitas budaya dan stabilitas sosial. Budaya manusia, sistem pengetahuan, agama, nilai-nilai warisan, interaksi sosial, dan layanan kemudahan seperti: kenikmatan estetika, rekreasi, pemenuhan artistik, pemenuhan spiritual, dan pengembangan intelektual selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh sifat dan kondisi ekosistem. Pada saat yang sama, manusia selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya.

Kehilangan ekosistem budaya menyebabkan gangguan sosial dan marjinalisasi sosial, yang kini banyak terjadi di berbagai bagian dunia. Untuk itu Groot dan Ramakrishnan (2011) menyatakan perlunya memperkuat pengetahuan masyarakat tentang hubungan antara proses ekologi dan proses-proses sosial, dan nilai-nilai nyata dan tidak nyata

(16)

(seperti nilai-nilai spiritual dan agama), yang berpengaruh pada pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut maka, nilai-nilai terkait dengan kebersamaan petani, dalam menjaga keberlanjutan sistem subak akan digali, dikaji, dan dikembangkan, melalui penelitian dengan judul: Jasa Lingkungan Budaya Sistem Subak di Bali. 1.2 Rumusan Masalah

Sistem subak yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan pertanian di Bali, mulai menimbulkan kekuatiran berbagai pihak. Berbagai penelitian sebelum subak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) menunjukkan bahwa petani di Bali sebagian besar telah berusia tua. Generasi muda Bali, umumnya kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. Mereka lebih memilih pekerjaan di luar sektor pertanian, khususnya jasa pariwisata dibandingkan dengan bekerja sebagai petani di daerah pedesaan. Seperti penelitian Tatik (1994) menunjukan bahwa petani di daerah Kuta dan Mengwi Kabupaten Badung sebagian besar telah berumur lebih dari 50 tahun. Demikian pula penelitian Wiguna (2008), juga menyatakan bahwa petani di kawasan subak Wangaya Betan lebih dari 50% telah berumur lebih dari 50 tahun.

Kurangnya minat generasi muda untuk menekuni sektor pertanian menyebabkan nilai-nilai penting kearifan lokal dan praktek budaya yang berkaitan dengan subak mulai menghilang. Nilai-nilai kebersamaan dan berbagai konsep dasar filsafat kehidupan masyarakat Bali menjadi kurang penting. Nilai-nilai tersebut telah dimodifikasi dan digantikan oleh sistem berbasis modal (Masrin Kente ”t.t”; Sutrisno, 2010 dan Suda, 2014).

(17)

Masyarakat dan akademisi lokal serta politisi khawatir bahwa kondisi tersebut dapat menyebabkan hilangnya identitas Bali (Suda, 2014). Peluang hilangnya salah satu identitas orang Bali tersebut sejalan dengan hilangnya sistem subak, yang sangat potensial sebagai penyebab hilangnya sebagian budaya dan jasa ligkungan budaya (Culture Environmental Services-CES) dari sistem subak. Apakah penetapan subak menjadi WBD oleh UNESCO, mampu menjamin pelestarian sistem subak di Bali? Terkait dengan masalah tersebut maka akan dilakukan penelitian tetang CES dari sistem subak di dalam kawasan dan di luar kawasan WBD.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian tentang Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak di Bali, adalah untuk mengetahui jenis jasa lingkungan yang disediakan oleh ekosistem subak, kontribusi, perubahan utama, hubungan antar nilai, dan dampak intervensi terhadap kesejahteraan masyarakat, kebijakan atau perubahan perilaku pada CES di masa depan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian tentang Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak di Bali, bertujuan untuk:

1) Mengetahui jenis jasa lingkungan yang disediakan oleh ekosistem subak untuk masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

2) Mengetahui kontribusi jasa lingkungan budaya terhadap kesejahteraan masyarakat dan seberapa besar hal tersebut

(18)

dianggap penting oleh para pemangku kepentingan yang berbeda.

3) Mengetahui perubahan utama yang terjadi dalam ekosistem subak dan pengaruhnya terhadap penyediaan jasa lingkungan.

4) Mengetahui hubungan antara nilai-nilai dari ekosistem subak dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, dalam penyediaan jasa lingkungan dan kebijakan manajemen warisan budaya dunia pada berbagai keputusan.

5) Mengetahui dampak intervensi yang berbeda terhadap kebijakan atau perubahan perilaku pada jasa lingkungan budaya di masa depan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Akademisi

Hasil penelitian dapat memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya pada jasa budaya lingkungan (Culture Environmental

Services) dari sistem subak dan jasa lingkungan secara umum.

1.4.2 Praktisi

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada pengambil keputusan dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengelola subak di Bali secara berkelanjutan.

(19)

2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Jasa Lingkungan Budaya dari Ekosistem Subak Sri Mulayani (2014) menyatakan bahwa, jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yaitu tata daur air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon dan jasa lingkungan keindahan. Sedangkan Christie, et. all (2012) menyatakan bahwa jasa lingkungan umumnya dibedakan menjadi tiga macam, antara lain: (1) penyediaan, (2) pengatur dan (3) jasa budaya yang langsung mempengaruhi orang. Sedangkan jasa penunjang akan mendukung dan mempertahankan ketentuan yang lain.

Perhitungan jasa ekosistem dilakukan dengan menilai berbagai barang dan jasa dari tiga layanan ekosistem, yang dapat secara langsung dinikmati masyarakat. Jasa lingkungan sebagai penyedia adalah produk yang dihasilkan dari sebuah ekosistem seperti: pangan, air segar, kayu, karet, biochemicals, sumberdaya genetik. Jasa lingkungan sebagai pengatur adalah keuntungan yang didapat dari pengaturan oleh ekosistem, seperti: mengatur iklim, penyakit, air, pemurnian air, pencemaran. Selanjutnya jasa lingkungan dalam bentuk budaya, merupakan keuntungan non material dari sebuah ekosistem. Jasa lingkungan dalam bentuk budaya tersebut seperti: spiritual dan agama, rekreasi dan

(20)

ekowisata, keindahan, inspirasi, pendidikan, tempat yang menyenangkan, dan warisan budaya. Sedangkan jasa pendukung meliputi: informasi, siklus hara dan produksi primer. Jasa lingkungan tersebut juga dapat disediakan oleh sistem subak yang ada di Bali. Sejalan dengan Janiawati (2014) bahwa, lanskap budaya sistem Subak memiliki berbagai bentuk jasa lanskap salah satu diantaranya adalah jasa sistem Subak terhadap lingkungan.

Sutawan (2002) dan Groenfeld (2005) dalam Janiawati (2014) menyatakan bahwa sistem Subak, dalam tatanan lanskap budaya, dapat meminimalisir longsor dan erosi. Dengan sistem terasering yang dikembangkan maka peluang terjadinya longsor semakin kecil. Selain itu sistem ini juga sangat berperan terhadap pengelolaan air. Menurut Windia (2010) salah satu aturan yang terdapat dalam sistem Subak adalah mengatur air sehingga dapat didistribusikan secara merata kepada para petani anggota Subak.

Wiguna dan Lorenzen (2005) menyatakan bahwa Subak memerankan peranan penting seperti: (1) Fungsi lingkungan, dengan adanya Subak maka aliran sungai tidak akan terbuang percuma ke laut namun teralirkan ke lahan pertanian petani; (2) Fungsi sosial, budaya, dan religi, Subak memerankan peranan penting dalam pembudidayaan padi. Subak bertanggungjawab terhadap semua kegiatan upacara yang diselenggarakan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, sehingga hingga sekarang Subak memegang peranan penting dalam implementasi konsep Tri Hita Karana.

(21)

Windia dan Wiguna (2012) menyatakan subak merupakan organisasi petani yang memiliki peranan penting dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan pertanian di Bali. Lebih jauh juga disebutkan bahwa subak yang diperkirakan lahir pada abad ke-11, merupakan sebuah warisan budaya masyarakat Bali yang memiliki nilai budaya yang sangat luar biasa, seperti nilai-nilai keaslian (autentic), nilai-nilai universal (universal

value) atau nilai-nilai yang dapat diterima oleh semua golongan

(Teguh, 2008).

Subak sebagai sebuah karya agung nenek moyang masyarakat Bali, selain memiliki nilai-nilai yang dapat dilihat atau nilai nyata (tangible value) seperti sebagai penghasil pangan, juga memiliki nilai-nilai yang tidak nyata (intangible

value) seperti fungsi sawah sebagai kawasan konservasi air dan

tanah, keanekaragaman hayati, suplai oksigen, sarana rekreasi dan aset wisata (Wiguna dan Kaler, 2008). Nilai-nilai tersebut merupakan jasa ekosistem subak, yang diberikan kepada manusia, melalui implementasi filosofi Tri Hita Karana (THK). Bali Tour Guide (2011) yang dipertegas oleh Windia dan Wiguna (2012) menyatakan bahwa Tri Hita Karana adalah merupakan tiga pedoman atau konsep masyarakat Hindu dalam hal hubungan harmonis yang wajib dijaga umat manusia, yang terdiri dari: (1) Parahyangan, yaitu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa; (2) Pawongan, yaitu menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dan (3) Palemahan, yaitu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.

(22)

Gambar 2.1 View Subak Jatiluwih, Salah Satu Tujuan Wisata Dunia

(Photo: Wiguna, 2012) Nilai-nilai subak dalam katagori intangible value juga dapat dikatakan sebagai nilai yang tidak ditemukan di pasaran (non-market able value), seperti view ekosistem subak yang indah (Gambar 2.1), sehingga nilai tersebut sering sangat sulit untuk dihitung. Sangat berbeda jika memandang subak dari aspek market ablevalue, karena relatif mudah untuk dihitung. Terkait dengan nilai-nilai yang dimiliki sistem subak, maka

subak memiliki berbagai bentuk jasa lingkungan, yang dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori, seperti rekreasi dan ekowisata, spiritual dan agama, warisan budaya, hubungan sosial dan lain sebagainya.

Terkait dengan hal tersebut maka berbagai bentuk jasa lingkungan budaya yang dapat dihasilkan dari sistem subak, melalui implementasi filosofi THK. Jasa lingkungan budaya tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti: (1) pengetahuan tentang membuat berbagai jenis peralatan yang berkaitan dengan sistem subak; (2) pengetahuan membuat bajak dengan berbagai perlengkapannya, sehingga demikian ergonomis dan nyaman digunakan oleh petani dalam mengolah sawah; (3) pengetahuan membuat sarana upacara, yang berkaitan dengan sistem subak, yang demikian banyak dan rumitnya, dengan berbagai bentuk dan sarana yang harus disediakan oleh petani; (4) pengetahuan tentang

(23)

pembuatan saluran irigasi, termasuk dalam membuat terowongan yang terkadang harus menelusuri perbukitan, yang membutuhkan keterampilan khusus, dan pembagian air irigasi yang adil dan proporsional, sehingga tidak menimbulkan konflik di antara sesama anggota subak; (5) pengetahuan tentang pembuatan alat panen dan pasca panen padi, seperti ani-ani sebagai alat panen utama untuk tanaman padi lokal di Bali; (6) pengetahuan membuat lumbung padi sebagai tempat menyimpan padi. Bangunan lumbung dibuat sedemikian rupa agar tikus, tidak bisa menjangkau padi yang disimpan; (7) melaksanakan upacara keagamaan yang berkaitan dengan sistem subak; (8) pendidikan tentang pengelolaan ekosistem yang seimbang dan berkelanjutan, dan lain sebagainya.

Dalam hal melaksanakan upacara misalnya, maka dalam sistem subak semua aktivitas yang dilakukan petani sertai dengan upacara, mulai dari petani mencari dan mendapatkan air irigasi, ketika musim pengolahan lahan tiba. Demikian pula dalam hal mengolah lahan, menanam padi, memelihara padi, panen hingga ke penyimpanan dan pemanfaatan beras sebagai sumber pangan, tidak terlepas dari berbagai bentuk upacara. Anon (2013) bahwa upacara yang dilakukan oleh para petani pada dasarnya bertujuan untuk memohon kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa agar tanamannya tumbuh dengan subur serta memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan.

(24)

Menurut Anon (2011), upacara yang berkaitan dengan subak di Bali pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu: (1) upacara yang dilakukan secara perseorangan, dan (2) upacara yang dilakukan oleh kelompok (tempek/subak). Setidaknya terdapat 12 jenis upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh anggota subak pada setiap musim tanam dan atau dalam kurun waktu tertentu, antara lain:

1. Ngendagin yang dilakukan mulai melakukan pencangkulan

pertama.

2. Ngawiwit yang dilaksanakan pada waktu petani menabur

benih di pembibitan.

3. Mamula/nandur dilaksanakan pada saat menanam.

4. Neduh dilakukan pada saat padi berumur satu bulan dengan

harapan agar padi tidak diserang hama penyakit.

5. Biukukung dilakukan pada saat padi bunting.

6. Nyangket dilakukan pada saat panen.

7. Mantenin dilakukan pada saat padi disimpan di lumbung atau

tempat lainnya sebelum padi diolah menjadi beras untuk pertama kalinya.

8. Upacara Mapag Toya, dilakukan di dekat bendungan menjelang pengolahan tanah.

9. Upacara Nyaeb/Mecaru, dilakukan agar padi tidak diserang hama penyakit.

(25)

11. Nyepi sawah, hal ini dilakukan sebagai simbolis pembersihan buana agung dan buana alit yang nantinya akan menghasilkan keseimbangan dalam kehidupan manusia. 12. Nangluk Merana, merupakan suatu ritual dalam rangka

menolak hama yang ada di sawah dengan melaksanakan suatu upacara yang berkaitan dengan pura yang mempunyai hubungan dengan penguasa hama sehingga mereka tidak menggangu dan dapat melindungi setiap kegiatan di sawah dan ladang.

Selain dalam bentuk pengetahuan dan upacara keagamaan, jasa lingkungan budaya yang dihasilkan dari sistem subak juga ada dalam bentuk lainnya, seperti dalam bentuk seni. Beberapa bentuk seni sebagai jasa lingkungan budaya yang dihasilkan dari sistem subak, adalah seni suara (lagu), seni lukis, seni pahat (patung), seni tari. Lagu ”I Cetrung” contohnya, merupakan lagu yang sering dinyanyikan oleh petani. Sejalan dengan Nurbawa (2013) yang menyatakan bahwa lagu I Cetrung sering dialunkan oleh krama subak saat panen. Rasa lelah pun tak terasa selama bekerja di sawah. Lebih jauh Nurbawa (2013) juga mengatakan bahwa ada juga kisah I Cetrung dengan I

Lubak. Saat seorang pemburu mengejar seekor lubak (musang), I Cetrung membantu si Lubak dengan cara menaruh kotorangnya

di mata I Lubak. Setelah itu I Lubak disuruh tidur oleh I

Cetrung. Ketika si Pemburu mendekat, mengira I Lubak sudah

mati karena dari matanya keluar ulat. Si Pemburu pun pergi, maka selamatlah I Lubak. ”Memang kotoran atau feses I

(26)

Cetrung dalam membangun rasa persaudaraan dengan makhluk

lainnya.

Selain itu, burung Cetrung adalah burung pemangsa ulat, bukan pemakan biji-bijian termasuk biji padi. Sekalipun burung Cetrung bersarang pada tanaman padi, dia tidak makan padi, melainkan makan ulat, sehingga burung Cetrung berperan penting dalam menjaga padi dari serangan hama ulat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika petani tidak akan mengganggu burung Cetrung. Hal tersebut diwujudkan dalam perilaku petani yang tidak akan memanen padi yang diketahui berisi sarang burung Cetrung. Sejalan dengan Nurbawa (2013) yang menyatakan bahwa jika petani saat panen dan menyabit padi, mengetahui ada sarang burung Cetrung dengan telur atau anak-anaknya yang kecil, maka rumpun padi pun dibiarkan secukupnya. Krama atau anggota subak sadar bahwa tak akan menjadi miskin dengan membiarkan sedikit rumpun padi untuk kelangsungan hidup I Cetrung kecil. Karena dalam kehidupan harus hidup menghidupi. Salah satu wujud filosofi orang Hindu Bali ”Tat Twam Asi” yang bermakna ”Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku”. Oleh karena itu satu sama lain tidak boleh saling menyakiti, apalagi membunuh. Sejalan dengan pernyataan Windra (2009) dan Patri (2009) yang menyatakan bahwa Tat

Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang

identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi ”ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri.

(27)

Demikian banyaknya jasa lingkungan budaya yang dihasilkan dari sistem subak di Bali, sehingga tidak mengherankan jika sistem subak memiliki nilai-nilai keunikan yang sangat tinggi namun bersifat sangat universal, karena dapat diterima oleh semua lapisan kehidupan manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa implementasi ajaran Tri Hita Karana, Tat Twam Asi, lagu I Cetrung, jika dipahami dan diimplementasikan dengan baik dalam setiap sisi kehidupan umat manusia, maka mungkin dunia ini akan selalu ada dalam kedamaian.

2.1.2 Kontribusi Jasa Lingkungan Budaya dari Sistem Subak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

The Millennium Ecosistem Assessment (Sarukhán

and Whyte 2005) memberikan definisi tentang jasa lingkungan budaya adalah ”keuntungan non material manusia dari ekosistem melalui kekayaan spiritual, pengembangan kognitif, refleksi, rekreasi, dan pengalaman estetika. Jasa lingkungan budaya termasuk dalam beberapa tipologi jasa lingkungan dan berbagai jasa budaya (Constanza 1997), life-fulfilling functions (Daily 1999),

information functions (de Groot et al. 2002), amenities and fulfillment (Boyd and Banzhaf 2007), cultural and amenity services (de Groot et al. 2010, Kumar 2010), or sociocultural fulfillment (Wallace 2007). Selama ribuan

tahun kesejahteraan manusia telah mendapatkan manfaat jasa ekosistem, tidak hanya melalui barang berwujud, tetapi juga melalui aset tidak berwujud yang dikenal sebagai jasa ekosistem budaya. Subak sebagai salah satu aset budaya

(28)

masyarakat Bali memiliki berbagai bentuk jasa eksosistem budaya, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jasa ekosistem atau lingkungan budaya yang dihasilkan dari sistem subak, telah memberikan berbagai bentuk kesejahteraan bagi masyarakat Bali. Budaya menanam padi, yang disertai dengan berbagai bentuk upacara, telah memberikan rasa aman dan nyaman bagi petani pengelola sistem subak.

Berbagai bentuk upacara yang dilakukan oleh petani pengelola sistem subak, merupakan salah satu wujud implementasi filosofi THK yang menjiwai sistem subak, dalam menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (parahyangan). Windia dan Wiguna (2012) menyatakan bahwa, puluhan jenis upacara dilakukan oleh petani pengelola sistem subak, yang semata-mata bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi petani, dalam melaksanakan usahatani. Dapat dinyatakan bahwa rasa aman dan nyaman merupakan salah satu bentuk tujuan yang didapat petani dari sistem subak.

Sawah berteras yang dihasilkan dalam ekosistem subak, dikembangkan menjadi sebuah agrowisata yang sangat menarik. Pengembangan agrowisata berbasiskan ekosistem subak, dapat memberikan manfaat ekonomi yang cukup besar bagi petani maupun masyarakat lainnya. Kunjungan wisatawan ke sebuah objek wisata, memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan ekonomi lokal di kawasan tersebut. Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan mampu memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata. Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses

(29)

pelayanan di bidang pariwisata juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk berperan dalam penyediaan barang dan jasa.

Subak sebagai sebuah lanskap budaya merupakan bagian dari warisan dalam setiap kehidupan manusia Bali. Lanskap budaya juga merupakan karya seni, narasi budaya, dan ekspresi identitas daerah http://tclf.org/landscapes/what-are-cultural-lanscapes, 2012). Lanskap juga sebagai sebuah warisan bagi semua orang, dan merupakan situs-situs khusus yang mampu menyediakan pemandangan yang indah, sumber ekonomi, sistem ekologi, kesempatan sosial, rekreasi, dan pendidikan. Dengan demikian sistem subak sebagai sebuah lanskap budaya masyarakat Bali, mampu memberikan berbagai bentuk manfaat bagi kehidupan masyarakat Bali sendiri, maupun masyarakat lainnya, seperti wisatawan, pengusaha biro perjalanan, hotel dan restoran.

Selain itu petani anggota subak, dalam setiap aktivitasnya, yang berkaitan dengan subak selalu mengedepankan konsep THK, akan memberikan makna kehidupan yang luar biasa bagi masyarakat Bali. Jasa lingkungan budaya yang dihasilkan dari sistem subak, akan mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, melalui keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Persoalannya sekarang adalah mulai terdegradasinya nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat anggota subak, sejalan dengan semakin tinggi alih fungsi lahan subak.

(30)

Kurangnya sosialisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat Bali, kemungkinan besar juga mendorong semakin menipisnya pemahaman masyarakat tentang berbagai ajaran kedamaian, yang demikian kental terdapat dalam ajaran agama Hindu. Masyarakat mulai terjebak dalam kehidupan modern yang penuh dengan nilai-nilai kapitalisme, yang mengedepankan kehidupan materialistik. Materi telah memperbudak kehidupan masyarakat, sehingga semua sisi kehidupan manusia dinilai dengan materi. Padahal sistem subak, yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan agraris masyarakat Bali, sesungguhnya telah mengajarkan berbagai bentuk kehidupan harmonis yang sejahtera. Oleh karena itu tidak alasan untuk tidak mempertahankan sistem subak di tengah-tengah kehidupan manusia, yang mulai menuju ke arah individualistik dan materilistik. Karena melalui kehidupan sistem subak, akan dapat dikembalikan berbagai bentuk kehidupan yang harmonis di antara sesama mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai wujud kersejahteraan umat manusia.

Sawah dalam ”ekosistem subak” unik karena merupakan sistem irigasi yang digunakan oleh orang-orang dengan filosofi Tri Hita Karana, sebagai landasan utama dalam berbagai kegiatan. Subak bertingkat tidak hanya estetika, tetapi juga menawarkan kenyamanan serta merevitalisasi tubuh dan jiwa. Hal ini telah menjadi salah satu fitur favorit dari lanskap Bali selama bertahun-tahun.

(31)

2.1.3 Perubahan Utama yang Terjadi dalam Ekosistem Subak dan Pengaruhnya Terhadap Penyediaan Jasa Lingkungan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa subak merupakan budaya pertanian masyarakat Bali, telah dikenal di berbagai belahan dunia. Subak demikian menarik dan sangat unik, sehingga banyak dikunjungi wisatawan. Sehingga subak, sering dikaitkan dan dijadikan sebagai objek pengembangan sektor pariwisata di Bali. Selain itu, pembangunan sektor pariwisata di Bali, telah berimbas demikian kuat terhadap keberadaan sistem subak. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan pariwisata di Bali, yang berbasiskan budaya tidak dapat dipisahkan dari sistem subak, karena subak merupakan salah satu budaya asli masyarakat Bali. Berkembangnya sektor pariwisata yang sangat pesat di Bali, telah menimbulkan berbagai dampak. Sektor pariwisata telah memberikan dampak positif dan negatif secara langsung maupun tidak langsung, yang cukup besar dalam perkembangan ekonomi masyarakat Bali. Kontribusi sektor pariwisata terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Bali, salah satunya dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Bali dari tahun ke tahun.

Produk Domestik Bruto (PDB) Provinsi Bali tahun 2007 sebesar 44 trililun rupiah. Kontribusi sektor pariwisata mencapai 28,88%. Selanjutnya PDB Provinsi Bali pada tahun 2008 (51,9 triliun rupiah), pada tahun 2009 (60,3 triliun rupiah) 2010 (67,2 triliun rupiah) 2011 (74,1 triliun rupiah); 2012 (83,9 triliun rupiah) dan tahun 2013 (94,6 triliun rupiah). Dari 9 sektor yang

(32)

berkontribusi dalam perekonomian Bali, sektor pariwisata memiliki peran yang sangat penting. Hal ini terbukti dari kontribusi sektor pariwisata masing-masing sebesar 30,06% (2010); 30,67% (2011); 30,23% (2012) dan 29,89% (2013) (BPS Bali, 2014). Sejalan dengan Pitana (2003) yang menyatakan bahwa, hingga 50% pekerja dari Bali secara langsung atau tidak langsung bekerja untuk industri pariwisata. Bendesa dan Sukarsa (1980) dalam Lorenzen (2015) juga menyatakan bahwa, antara tahun 1971 dan 2013, PDRB dan tenaga kerja bidang pertanian menurun dari sekitar 50% masing-masing menjadi 16% dan 24%. Sementara itu, PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran industri naik menjadi 30% dan tenaga kerja pariwisata menjadi 28% pada tahun 2013.

Perkembangan sektor pariwisata yang cukup pesat di Bali, selain memberikan dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi, juga memberikan dampak yang kurang menguntungkan. Terjadi kerusakan lingkungan yang cukup besar, karena meningkatnya perkembangan sektor pariwisata. Alih fungsi lahan, tidak dapat dihindari. Meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, menyebabkan meningkatnya kebutuhan fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran serta fasilitas penunjang lainnya seperti jalan dan perumahan. Windia (2012) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010, alih fungsi lahan mencapai lebih dari 5.000 ha, atau 1.000 ha per tahun, sehingga subak yang luasnya 87.850 ha tahun 2005 menjadi 82.664 ha tahun 2010. Sejalan dengan Daroesman (1973) dan BPS Bali (2014) yang menyatakan bahwa, Kabupaten Badung yang memiliki penduduk terpadat di Bali,

(33)

terdapat sangat banyak fasilitas pariwisata, menyebabkan sebagian lahan sawah telah hilang dalam 6 tahun terkahir. Hasil penelitian Lorenzen (2104) juga mendapatkan bahwa sekitar 20% lahan sawah di Kabupaten Badung, telah hilang antara 1990 dan 2005.

Anon (2011) menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang menuntut pertambahan pemukiman, transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya membutuhkan tanah. Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981-1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha/tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha sebanyak 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian, sedangkan sisanya sebanyak 44,23% berfungsi ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).

Hasil penelitian JICA dalam Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha (untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000ha). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun terakhir, areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Berkurangnya lahan sawah tersebut, sangat pesat, terutama di sekitar kota, karena dipicu oleh harga tanah yang

(34)

meningkat, sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa perkembangan sektor pariwisata, selain memberikan dampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat, juga menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi keberlanjutan sistem subak. Perubahan utama yang terjadi pada sistem subak adalah alih fungsi lahan sawah ke non-sawah, berkurangnya ketersediaan air irigasi subak. Alih fungsi lahan dan berkurangnya sumberdaya air irigasi, secara linier akan menyebabkan berkurang, atau hilangnya jasa lingkungan sistem subak, termasuk jasa lingkungan budaya. Jasa lingkungan budaya yang bersumber dari sistem subak, seperti pemandangan yang indah, budaya yang berkaitan dengan sistem agama dan relegi, seni, sistem sosial, warisan budaya akan hilang. Dampak lain, dari perkembangan sektor pariwisata adalah air irigasi subak. Great (2009) menyatakan bahwa industri pariwisata telah merusak sumberdaya air di Bali. Sektor pariwisata juga mengkonsumsi air sangat banyak, selain sektor pertanian dan domestik.

Total ketersediaan air permukaan ke dalam sistem sungai di Bali mencapai 7.550.893 juta m3/tahun (Dinas

Pekerjaan Umum Provinsi Bali, 2008). Penggunaan air untuk kepentingan pariwisata di Bali terlihat sangat boros. Menurut laporan LP3B (Balai Penelitian Pengembangan dan Pemberdayaan Bali) dalam Dharma Putra (2009), kamar hotel membutuhkan 2.000 liter hingga 3.000 liter per kamar per hari

(35)

(tergantung kelas hotel/resort) dan setiap lapangan golf 18-hole membutuhkan 3.000.000 liter per hari. Kondisi tersebut terjadi terutama di dekat pusat-pusat kota dan tempat wisata, sehingga petani harus berjuang keras guna mendapatkan cukup air untuk tanaman padi (Strauß, 2011; RP Lorenzen, 2012: 222-3). Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengakui bahwa kebutuhan air untuk perhotelan sangat besar, mencapai 30 liter per orang. Di Badung saja ada 78.000 kamar. Jika tingkat hunian 50 persen, berarti sekitar 34.000 kamar berisi dua orang, dan itu ratusan ribu liter per hari dibutuhkan oleh pihak hotel di Kabupaten Badung (Muliarta, 2012).

Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (1997) menyebutkan bahwa Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Ahli hidrologi lingkungan Universitas Udayana, Wayan Sunartha, juga memperkirakan kondisi yang hampir sama bahwa Bali akan mengalami defisit air 26,7 miliar meter kubik pada 2015 (Muliarta, 2012). Keadaan tersebut kini mulai dirasakan oleh masyarakat Bali, di mana pada saat musim kering, banyak lahan sawah yang mengalami kekeringan, sehingga petani tidak bisa menanam padi. Sejalan dengan pernyataan Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali, Wisnu Wardhana (2014) bahwa kekeringan lahan sawah di Bali pada tahun 2014 mencapai 400 ha, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang hanya 350 ha, sebanyak 119 ha adalah gagal panen (fuso) dari 400 ha yang mengalami kekeringan tersebut. Bahkan angka yang sangat berbeda dikemukakan oleh Kepala Dinas

(36)

Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan dalam Bali Post (Edisi 12 September 2013) menyebutkan bahwa terjadi kekeringan lahan sawah yang mencapai 1.400 ha di Kabupaten Tabanan. Kekeringan tersebut terutama terjadi di subak Aseman III, desa Megati, Kecamatan Selemadeg Timur.

Suardana (2012) dalam Muliarta (2012) menyatakan bahwa penggunaan air di Bali kini telah melebihi kapasitas siklus hidrologi, sehingga secara kuantitas volume dan kualitas air, Bali telah mengalami krisis air.Bukti lapangan yang dapat menjadi petunjuk awal adalah mengeringnya beberapa sungai di Bali dan tingkat intrusi air laut yang semakin parah, ujarnya. ”Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) menunjukkan bahwa 200 lebih atau 60% daerah aliran sungai mengering dan itu potensi air permukaan. Data BLH juga yang menyatakan bahwa daerah Kuta (Badung) dan daerah Suwung (Denpasar) sudah mengalami intrusi, sejauh satu kilometer di daerah Sanur sampai ke Suwung dan 8 meter di daerah Kuta. Kondisi tersebut menunjukan adanya penggunaan air bawah tanah yang sifatnya eksploitatif.

Sesungguhnya pemerintah telah berusaha untuk melindungi sumber air. Misalnya pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, yang pada dasarnya mengutamakan air irigasi untuk pertanian (ke-2 setelah penggunaan air domestik) atas setiap penggunaan air. Terkait dengan upaya tersebut pada tahun 2007, sebuah bendungan besar Telaga

(37)

Tunjung selesai dibangun di Kabupaten Tabanan untuk mengatasi kekurangan air pada sistem subak di wilayah tersebut. Namun kondisi kekurangan air irigasi tetap terjadi. Anon (2011) menyatakan bahwa subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium dan tetap eksis sampai sekarang, mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistensinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali, karena globalisasi pembangunan pariwisata Bali. Lebih jauh juga disebutkan bahwa hilangnya sistem subak dapat mengancam stabilitas sosial dan kelestarian kebudayaan Bali. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keberadaan sistem subak, sangat penting bagi kehidupan masyararakat Bali, yang agraris.

2.1.4 Hubungan antara Nilai-nilai Ekosistem Subak dan Masyarakat serta Pemangku Kepentingan Lainnya Sumarta (1992) menyatakan bahwa subak memiliki fungsi ganda yakni (1) keterbukaannya menerima dan menyukseskan program pemerintah; (2) mendukung pengembangan sektor kepariwisataan di pusat-pusat tujuan wisata di Bali. Subak bukan hanya hamparan sawah yang mempesona, karena di dalamnya terdapat berbagai nilai, seperti: nilai manajemen, musyawarah, demokrasi, partisipasi, keuletan, keadilan, rasa kebersamaan atau gotong-royong, dan ketaatan

(38)

menjalankan ajaran agama Hindu, terutama sradha dan bhakti, tetapi subak juga merupakan organisasi tradisional pengelola air irigasi yang sekaligus menyiratkan nilai-nilai universal dan mendasari organisasi modern, sehingga organisasi subak dapat tetap bertahan dan eksis hingga kini.

Chambers (1983:106-118) dalam Bawa Atmadja (2010:31) diketahui bahwa masyarakat Bali memiliki pengetahuan dan teknologi tradisional yang disebut "pengetahuan rakyat pedesaan" yang diwariskan dari generasi ke generasi sehingga membentuk suatu tradisi. Lebih lanjut dijelaskan Atmadja bahwa tradisi, memiliki karakteristik, diantaranya adalah terkait dengan memori kolektif, tradisi melibatkan ritual sebagai strategi pertahanan. Sementara itu, yang terkait dengan gagasan kebenaran formulatif, tradisi memiliki muatan normative atau moral sebagai pembentukan krakter manusia.

Berangkat dari gagasan tersebut tampak bahwa kearifan tradisional, termasuk organisasi subak yang dikenal keberadaannya pada masyarakat Bali, dapat berbentuk kearifan sosial (berupa berbagai aktivitas krama subak) yang dapat menjadi pedoman hubungan manusia dengan manusia, dan dapat pula berupa kearifan lingkungan (berupa adat kebiasaan yang menjadi pedoman hubungan antar manusia dengan lingkungan sekitarnya). Namun, dalam perkembangan masyarakat modern dewasa ini, modernisasi dengan pola pikir oposisi biner (binary

opposition) yang berujung pada pemujaan budaya barat, tidak

saja memperkuat pengadopsian kebudayaan barat, tetapi juga mempengaruhi keberlangsungan tradisi.

(39)

Terkait dengan kondisi itu, banyak tradisi masyarakat Bali, termasuk berbagai tradisi yang terdapat di dalam ekosistem subak yang sesungguhnya memberikan jasa lingkungan yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat pendukungnya atau pemangku kepentingan lainnya juga diadaptasikan, dimarginalkan, atau disingkirkan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai modernitas. Hal ini menurut Fakih (2004:29-30) tidak hanya karena pengetahuan dan teknologi barat yang dominatif dan hegemonik, tetapi juga karena di dalam modernisasi tradisi dipahami sebagai bagian dari masalah yang harus ditransformasikan. Bahkan pandangan yang lebih ekstrim dikemukakan oleh Giddens (2005:43) yang mengatakan bahwa menerima modernitas berarti manusia harus mengontraskan dirinya dengan tradisi.

Jika gagasan Fakih (2004) dan Giddens (2005) di atas dianalogikan dengan kearifan lokal masyarakat Bali, yakni mengenai keberadaan tradisi masyarakat, maka subak sebagai salah satu tradisi masyarakat Bali juga nampak telah diadaptasikan, dan ditransformasikan, sehingga keberadaan subak saat ini boleh dibilang semakin terdesak oleh keberadaan nilai-nilai modernitas yang seakan telah menjalar hampir ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Menurut Bawa Atmadja (2010:32) pemarginalan, pelenyapan, pergantian atau apa yang disebut detradisionalisasi yang berkembang pada masyarakat Bali, berkait erat dengan refleksivitas sebagai ciri dinamis dari modernitas. Cita-cita modernisasi sebagaimana ditengarai Rich (1999:276) adalah mengembangkan institusi-institusi dengan cara melakukan reformasi cultural guna mewujudkan nilai-nilai efisiensi, ekonomis, efektif, tepat waktu, dan rasional (dalam

(40)

menentukan keputusan) yang terbebas dari tradisi, adat dan ikatan komunalisme.

2.1.5 Dampak Intervensi yang Berbeda terhadap Kebijakan atau Perubahan Perilaku pada Jasa Lingkungan Budaya di Masa Depan

Pembangunan Bali yang cenderung menjadikan pariwisata sebagai leading sektor, membuat pembangunan di sektor pertanian menjadi terabaikan. Ditambah lagi secara ekonomi pembangunan pariwisata tidak terdistribusi secara merata pada masyarakat Bali membuat pembangunan di sektor pertanian kurang diminati oleh masyarakat. Adanya rumahtanga miskin di semua kabupaten di Bali, termasuk kabupaten Badung, dan kota Denpasar merupakan bukti nyata bahwa pariwisata bukanlah untuk kesejahteraan semua masyarakat. Pariwisata bukan untuk orang kecil, mereka (baca: masyarakat miskin) sama sekali tidak dipersiapkan untuk ikut menikmati hasil dari pembangunan pariwisata. Mereka hanya dipersiapkan untuk ditonton dan menjadi penonton. Ibarat galeri, masyarakat Bali hanya diperlakukan sebagai barang atau koleksi seni yang harus "duduk manis" di etalase. Mereka hanya layak ditonton atau dibeli untuk dikoleksi oleh para peminat dan penikmat pariwisata tanpa pernah diberi kesempatan untuk berekspresi.

Sebagai bukti, bahwa sebagian besar produksi petani Bali tidak terserap di sektor pariwisata. Para pelaku pariwisata lebih tertarik dengan sayur, buah, dan daging yang dihasilkan oleh petani Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Amerika Serikat. Alasannya, kualitas produksi

(41)

petani lokal masih sangat rendah dan petani lokal belum mampu menghasilkan jenis sayur atau buah yang disukai oleh para wisatawan mancanegara (Bali Post, 2004:7-8). Namun hal tersebut bukanlah berarti, bahwa apabila seluruh produk pertanian diserap oleh sektor pariwisata akan menyebabkan seluruh lahan sawah tidak akan beralih fungsi menjadi lahan kering. Akan tetapi setidaknya bahwa nilai jual produk pertanian akan semakin baik dan pendapatan serta kesejahteraan petani akan menjadi lebih baik, sehingga sektor pertanian akan tetap memiliki daya tarik. Juga, menanam sayuran adalah bisnis yang berisiko, seperti harga sangat berfluktuasi tidak selalu cocok dengan investasi waktu dan uang.

Mengacu pada uraian sebelumnya dan mengikuti Stephen K. Sanderson (1993:60) dapat dikatakan bahwa ekosistem subak sebagai organisasi tradisional yang mengurus air irigasi pertanian dalam perjalanannya telah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi pada ekosistem subak cenderung dimulai dari perubahan pada aspek infrastruktur material, kemudian mempengaruhi struktur sosial, dan pada akhirnya berpengaruh pula apa aspek struktur ideologis. Misalnya, pada aspek infrastrsuktur material banyak lahan persawahan yang telah berubah menjadi hotel, villa, restoran dan menjadi pemukiman penduduk, tentu perubahan pada aspek infrastruktur subak ini secara linier akan mempengaruhi pula aspek struktur sosial organisasi subak itu sendiri. Contoh berubahnya lahan pertanian menjadi hotel, villa, restoran, dan pemukiman

(42)

penduduk berakibat mata pencaharian penduduk juga ikut berubah, yang semula bergerak di bidang pertanian kini beralih menjadi pekerja di sektor pariwisata, sehingga berpengaruh pula pada tataran struktur sosial masyarakat di mana lahan pertaniannya telah dialihkan ke lahan pariwisata.

Selanjutnya, perubahan pada aspek infrastruktur material dan perubahan pada aspek struktur sosial masyarakat petani jika mengacu pada Stephen K. Sanderson (1993) di atas tentu akan mempengaruhi pula perubahan pada aspek superstruktur ideology masyarakat petani itu sendiri. Misalnya, ketika lahan pertanian telah diubah menjadi lahan pariwisata, dengan sendirinya struktur sosial masyarakat berubah dari masyarakat agraris akan menuju masyarakat industri, yakni industri pariwisata, berubahnya kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri akan mempengaruhi pula nilai-nilai atau norma-norma yang selama ini mereka anut, dari nilai-nilai sosioagraris dan bersifat religious akan berubah ke masyarakat sosio-industri yang cenderung bersifat, praksis, pragmatis, materialis dan individualis.

Kebijakan pemerintah penempatkan sektor pariwisata sebagai lokomotif pembangunan Bali, telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pengembangan sektor pertanian, terutama keberlanjutan sistem subak. Kondisi tersebut menyebabkan banyak nilai-nilai budaya dan jasa lingkungan budaya dari sistem subak, mengalami perubahan, bahkan tidak sedikit yang mulai menghilang. Penetapan subak sebagai WBD,

(43)

juga mendorong perkembangan sektor pariwisata, yang membutuhkan berbagai fasilitas pendukung.

Kawasan subak Jatiluwih sebagai salah satu dari 14 subak di Kabupaten Tabanan yang ditetapkan sebagai WBD, telah menunjukan perubahan yang sangat pesat. Perubahan utama yang terjadi adalah berdirinya berbagai fasilitas pariwisata seperti vila dan restoran (rumah makan) yang berada dalam kawasan ekosistem subak, yang tidak boleh beralih fungsi. Kondisi tersebut telah mengubah lanskap subak di kawasan subak Jatiluwih. Perubahan lanskap subak akan diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat, termasuk petani. Uang telah menjadi indikator penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jasa lingkungan sistem subak di masa mendatang.

Kebijakan modernisasi di sektor pertanian juga mulai mengancam berbagai jasa lingkungan budaya dari sistem subak. Kebijakan pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, yang sarat akan modernisasi seperti penggunaan bibit unggul, pupuk dan pestisida kimia dan mekanisasi, telah mengubah berbagai bentuk nilai-nilai tradisional Bali, yang merupakan jasa lingkungan sistem subak.

Kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya air, juga dapat mengubah lanskap subak. Seperti kebijakan pemerintah, tentang undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, yang pelaksanaannya tidak konsisten juga mengubah lanskap subak. Kekurangan air berdampak pada produktivitas padi sehingga mendorong petani untuk menjual dan atau mengaktifkan untuk

(44)

mengkonversi lahan basah. Sejalan dengan Anon (2011) menyatakan bahwa di berbagai daerah yang merupakan sentra produksi beras, mengalami kesulitan air irigasi, sehingga petani mengubah lahan sawah menjadi non-pertanian. Banyak saluran air irigasi yang rusak, karena berkurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian khususnya penanganan sarana irigasi. Selain itu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga saluran irigasi juga menyebabkan sawah kekurangan air, yang mempercepat alih fungsi lahan sawah. Areal sawah yang jauh dari pintu-pintu utama saluran irigasi menyebabkan sawah tidak mendapatkan pasokan air yang memadai. Kondisi tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010), bahwa total lahan sawah di Bali yang telah menyusut 1.944 hektar, yaitu dari 81.931 hektar pada tahun 2009 menjadi 79.987 hektar pada tahun 2010. Jumlah produksi pun menurun dari 878.764 ton gabah (2009) menjadi 869.160 ton gabah. Kompas (5 Juni 2011) memberitakan bahwa Kabupaten Badung, terutama di bagian selatan, telah menjadi pusat pariwisata dan banyak sawah berubah menjadi hotel, vila, atau restoran. Sawah di Kota Denpasar berubah menjadi bangunan niaga dan perumahan. Lebih jauh juga disebutkan bahwa petani di desa Kerobokan, kecamatan Kuta Utara, kabupaten Badung, I Wayan Rencong Ardana (62 tahun), mengatakan, subak Kedampang di daerahnya kini hanya memiliki luas 97 hektar sawah, padahal tahun

(45)

2006, luasnya sekitar 125 hektar. Desa Kerobokan terletak di sebelah utara kawasan pariwisata Kuta, juga telah terjadi kondisi yang sama, banyak perumahan, toko benda seni, dan vila yang mengimpit persawahan.

Lebih lanjut Ardana (Kompas, 5 Juni 2011) menyatakan, bahwa petani di daerah Kerobokan menjual atau mengontrakkan sawah dengan terpaksa karena mereka perlu uang. Gangguan air irigasi dan cuaca yang tidak menentu membuat bertani tidak lagi menguntungkan. Selain itu, biaya produksi juga cukup tinggi sehingga menyulitkan petani mempertahankan sawah mereka. Ardana menghitung, biaya produksi untuk 25 are (sekitar 2.500 meter persegi) dalam satu kali musim tanam mencapai sekitar Rp.800.000. Padahal, penghasilan dari satu musim tanam hanya sekitar Rp.1,3 juta. Setelah dipotong biaya produksi, petani hanya mendapat Rp.500.000 per musim tanam. Apabila dalam satu tahun ada tiga kali musim tanam, dalam satu tahun petani hanya mendapat 1,5 juta rupiah.

Menurut Ardana bahwa keuntungan yang sangat rendah tersebut menyebabkan generasi muda di desa Kerobokan tidak tertarik untuk bertani. Anak muda lebih tertarik bekerja di restoran atau hotel, sehingga hanya masyarakat yang sudah tua berumur lebih dari 40 tahun yang kini bertahan menjadi petani. Nengah Manis (50 tahun), petani di desa Kerobokan berencana menjual atau mengontrakkan sawahnya seluas 600 meter persegi jika ia sudah tidak kuat bertani lagi. Dua anaknya yang sedang belajar di sekolah pariwisata, tidak mau bertani.

(46)

Di subak Renon, desa Renon, kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sawah yang tersisa saat ini seluas 74 hektar dari total sawah seluas 194 hektar. Lahan terus menyusut karena ada konsolidasi tanah sejak tahun 1980 yang dilakukan pemerintah di daerah itu untuk membuat kawasan perumahan. Kondisi tersebut mendorong, hilangnya berbagai habitat mahluk hidup dalam tanah, berubahnya tatanan upacara yang berkaitan dengan subak, hilangnya budaya yang berbasiskan upacara pada sistem subak.

Bawa Atmadja (2010) dan Rich (1999) menyatakan bahwa organisasi subak sebagai organisasi yang berkaitan erat dengan tradisi, adat, dan ikatan komunalisme, tentu menjadi target utama bagi modernitas untuk direflesivitaskan ke arah yang modern. Sebab menurut Giddens (2005) "refleksivitas berarti praktik sosial yang dilakukan secara terus-menerus, diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis". Apapun bisa direfleksi entah yang modern atau pun yang tradisional untuk digantikan dengan yang baru agar nilai kepraktisannya semakin meningkat.

Modal kultural seperti pengetahuan masyarakat tentang pembuatan berbagai peralatan pertanian, tata cara mengolah lahan pertanian, tentang upacara keagamaan dalam bidang pertanian. Sedangkan modal sosial meliputi sikap gotong-royong dan tolong-menolong dalam hal mengolah lahan pertanian di sawah. Dalam konteks modal sosial, di lingkungan subak pada zaman dulu dikenal berbagai bentuk organisasi (perkumpulan) yang disebut sekaa, misalnya sekaa manyi (perkumpulan memanen padi) sekaa nandur (perkumpulan menanam padi),

(47)

sekaa numbeg (perkumpulan mencangkul), sekaa semal

(perkumpulan berburu tupai) yang menjadi hama tanaman kelapa, dan banyak lagi sekaa lainnya terkait dengan organisasi subak di Bali. Menurut Geertz (1977) sekaa pada masyarakat Bali berperan penting dalam menjaga tradisi yang sesungguhnya merupakan warisan budaya adi luhung nenek moyang.

Namun, dalam perkembangannya masuknya nilai-nilai modernisme ke dalam kehidupan masyarakat Bali berakibat terjadinya reflekisivitas terhadap berbagai tradisi masyarakat, termasuk tradisi subak. Akibatnya, banyak sekaa yang sebelumnya berfungsi sebagai penjaga tradisi sebagaimana dikatakan Geertz (1977) menjadi mati. Akibat lainnya, berbagai pekerjaan dalam bidang pertanian yang sebelumnya biasa dilakukan dengan sistem tolong-menolong dan dengan sistem gotong royong oleh sekaa-sekaa itu tadi, kini telah diganti dengan sistem upah. Hal ini terjadi karena dengan sistem upah mengerjakan sawah dan berbagai pekerjaan lainnya terkait dengan tradisi pada masyarakat Bali, dianggap lebih praktis dan lebih ekonomis, sehingga pekerjaan yang dulunya dianggap efektif dikerjakan oleh sekaa kini diganti oleh para buruh karena dianggap lebih praktis dan lebih ekonomis.

Munculnya gagasan tentang refleksivitas tradisi pada masyarakat Bali ini, tidak dapat dilepaskan dari masuknya pengaruh modernisme ke dalam kehidupan masyarakat Bali. Paham modernisme selalu menekankan pada nilai kepraktisan dan nilai-nilai kemodernan, sehingga nilai-nilai tradisional, cenderung disingkirkan, dipinggirkan, dan dimarginalisasikan karena dianggap sebagai hal-hal yang bersifat menghambat. Padahal tidak semua nilai-nilai tradisional itu menghambat

(48)

proses modernisasi. Misalnya, berbagai nilai yang terdapat dalam ekosistem subak di Bali, justru dapat memberikan banyak jasa lingkungan terhadap para pendukungnya atau pihak pemangku kepentingan lainnya (stakeholder).

2.2 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir tentang pentingnya penelitian jasa lingkungan, nilai-nilai budaya dan konservasi biodiversiti pada ekosistem subak di kawasan WBD di Bali, ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Dari Gambar 2.2 nampak bahwa sistem subak terdiri dari tiga komponen

pokok antara lain: (1) eksosistem sawah dengan sistem irigasinya, (2) anggota subak, dan (3) pura subak. Ekosistem sawah melahirkan sebuah pemandangan yang sangat indah dari tatanan sawah berteras, yang di dalamnya hidup berbagai jenis tanaman (flora) dan hewan (fauna). Didukung oleh sistem irigasi yang apik, maka sistem subak dapat berperan dengan sangat baik dalam menghasilkan pangan, jasa lingkungan serta memelihara berbagai kehidupan

mahluk hidup di dalamnya. Pada ekosistem irigasi, di mana air irigasi mengalir melewati tebing, jurang, saluran irigasi, juga kaya akan berbagai keanekaragaman hayati. Tanaman

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

(49)

yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam ekosistem subak seperti padi, kelapa, pisang, bambu, tanaman hias, bunga dan lainnya sangat dibutuhkan dalam upacara subak. Demikian pula berbagai jenis hewan yang hidup di dalam ekosistem subak, seperti ayam, itik, sapi, babi, belut, jangkrik, kodok dan lainnya juga sangat dibutuhkan dalam kegiatan upacara subak.

Sebagian besar upacara dalam sistem subak menggunakan sarana upacara yang berasal dari tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bahwa pura memiliki peran yang sangat penting dalam sistem subak. Banyak pura yang terletak di luar ekosistem subak, memiliki keterkaitan dengan subak. Termasuk beberapa pura yang ada di kawasan hutan, karena hutan juga memiliki peran yang sangat penting untuk keberlanjutan sistem subak. Seperti Pura Taman Yeh Selem merupakan pura subak yang berada di dalam hutan Yeh Selem, desa Pangkung Paruk, kecamatan Seririt, kabupaten Buleleng, Bali. Hutan Yeh Selem termasuk hutan tua, sudah ada sejak jaman megalitikum dan sampai sekarang masih terjaga kelestariannya, sebagaimana telah ditulis oleh Maryati, dkk (1999). Status kepemilikan hutan yang berada ditangan Dewa menjadikan hutan Yeh Selem sebagai suatu kawasan yang bersifat sakral dan keramat atau

tenget, sehingga tidak diganggu. Lebih lanjut Maryati, dkk

(1999) menyatakan bahwa pura Taman Yeh Selem memiliki kedudukan yang sangat penting bagi masyarakat Desa Adat Pangkung Paruk, terlebih-lebih bagi organisasi subak yang ada di desa adat tersebut. Kedudukannya sebagai pura subak

Gambar

Gambar 2.2. Kerangka  Pikir Penelitian
Gambar 2.3. Berbagai Jenis  Tanaman Ditata Menjadi  Sesajen Sebagai Sebuah Karya
Gambar 3.2. Subak Di Dalam dan di  Luar Kawasan WBD Catur Angga
Tabel 3.2   Jumlah Responden Petani Untuk Kegiatan FGD  pada Setiap Subak dan Kluster Petani
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tim Independen Presiden Tak Disenangi yang Berkepentingan Tim independen yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan Upaya yang dilakukan oleh perempuan pengrajin tas dengan cara menanamkan dalam dirinya unsur a) seperasaan yang meliputi

Peneliti memberikan saran kepada guru kelas khususnya dan pemerhati pendidikan pada umunya hal- hal sebagai berikut (1) Guru diharapkan menerapkan variasi model

Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif untuk menentukan tahap pelaksanaan dan interpretasi penyerapan elemen falsafah bahasa untuk penyatupaduan

Analisis terhadap keefektivan dari Perangkat Pembelajaran Matematika berbasis konstruktivisme diperoleh hasil dari aktivitas, respon, hasil belajar siswa,

72 baik tidak merespo n dengan baik akan berdamp ak pada lingkung an ng peran masyarak at manapun T4 (Penanga nan dan Pengelol aan Sampah Belum Optimal) Respon

Oleh karena itu, perlu mengubah mindset bagi pelaku UKM untuk membiasakan diri melakukan pencatatan akuntansi hingga penyusunan laporan keuangan sesuai dengan

Wirausahawan lebih berpengaruh terhadap Produktivitas usaha pemuda di Kota Medan dibandingkan dengan Motivasi Wirausahawan yang memiliki pengaruh lebih kecil