• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak dari kebijakan pemerintah pusat terlihat pada kondisi kawasan hutan seperti komposisi tanaman yang terbangun dalam kawasan HKm. Komposisi tanaman tersebut dapat berupa jenis tanaman kayu-kayuan, MPTS (Multi Purpose Tree Crop Species) dan tanaman pangan. Keadaan ini beragam antar kawasan HKm pada setiap kabupaten di Pulau Lombok.

Perbedaaan kondisi pertanaman dalam HKm pada setiap kabupaten berbeda dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan kawasan sebelumnya serta interpretasi dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/ 2007 khususnya pada pasal 1 ayat 15 – ayat 19 yang memberikan hal pada masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu dan melakukan penanaman tanaman serbaguna atau MPTS (Multi Purpose Tree Crop Species).

Adapun secara lengkap isi dari pasal 1 mengenai pemanfaatan kawasan sebagai berikut :

”Ayat 15. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu hasil penanaman dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.

Ayat 16. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.

Ayat 17. Pemungutan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan berupa kayu di Hutan Produksi dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu yang tersedia secara alami.

Ayat 18. Pemungutan hasi hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu yang tersedia secara alami atau hasil budidaya.

Ayat 19. Pohon serbaguna (Multi Purpose Tree Crop Species) adalah tumbuhan berkayu dimana buah, bunga, getah, daun dan/atau kulit dapat dimanfaatkan bagi penghidupan masyarakat, disamping berfungsi sebagai tanaman lindung, pencegah erosi, banjir, longsor. Budidaya tanaman tersebut tidak memerlukan pemeliharaan intensif. “

Dampak dari kebijakan tersebut terlihat dari jenis tanaman kayu dan MPTS yang terdapat pada masing-masing HKm di Pulau Lombok sangat beragam, demikian juga dengan persentase tumbuh tanaman. Dari kesepakatan dan ketentuan yang ada bahwa jumlah tanaman kayu-kayuan dan MPTS dalam setiap hektar lahan adalah 400 pohon. Dalam kawasan hutan lindung,

perbandingan antara tanaman kayu-kayuan dan MPTS adalah 30 % berbanding 70%, sehingga pada setiap hektar lahan HKm jumlah tanaman kayu adalah 120 batang dan 280 batang untuk tanaman MPTS melalui sistem tumpangsari dengan jarak tanam 5 x 5 m. Kemudian diantara barisan tanaman kayu-kayuan dan MPTS ditanam tanaman pangan. Lebih jelasnya komposisi tanaman pada setiap kawasan HKm disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 22. Komposisi Tanaman Hutan dan Persentase Tumbuh pada Kawasan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok

No Lokasi HKm Tanaman Kayu Persentase Tumbuh 1. Kawasan HKm Sesaot a. Tanaman Kayu : Randu, Rajumas,

Bajur dan Dadap

b. Tanaman MPTS : Mangga, Nangka, Alpukat, Rambutan, Durian, Manggis, Kemiri, Kakao dan Kepundung

c. Tanaman Pangan : Pisang, Pepaya, Ubi kayu, Talas dan Empon-empon

a. 8 % b. 92 %

2. Kawasan HKm Batukliang Utara

a. Tanaman Kayu : Mahoni, Sengon dan Albizia, b. Tanaman MPTS : Alpukat,

Rambutan, Mente, Mangga, Nangka, Jeruk Durian dan Vanili c. Tanaman Pangan : Pisang,

Pepaya, Singkong, Temulawak, Jahe, Empon- emponan

a. 32 % b. 60 %

3. Kawasan HKm Sekaroh a. Tanaman Kayu Jati, Imba Sengon dan Sonokleing b. Tanaman MPTS :Jambu Mente

c. Tanaman Pangan : Jagung, Padi Kacang Hijo, Kacang Tunggak dan Lebui

a. 5,00 % b. 26,84 %

Dari tabel di atas tergambar kondisi ekologi kawasan bila ditinjau dari aspek pertanamannya. Tanaman kayu-kayuan yang tumbuh pada setiap kawasan HKm adalah berbeda. Pada kawasan HKm Sesaot hanya 8% dari yang seharusnya, kemudian 32 % pada kawasan HKm Batukliang Utara dan 5% pada kawasan HKm Sekaroh. Sementara itu, untuk jenis MPTS memiliki persentase tumbuh cukup besar yaitu 92 % untuk kawasan HKm Sesaot, 60 % untuk HKm Batukliang Utara dan 26% pada kawasan HKm Sekaroh.

145

Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi ekologi kawasan HKm masih buruk dan memberikan peluang munculnya lahan kritis dalam kawasan HKm. Rendahnya persentase tumbuh tanaman kayu-kayuan tersebut tentunya memiliki implikasi dengan semakin tingginya persentase tumbuh tanaman MPTS dan tanaman pangan.

Masyarakat pengelola kawasan HKm melanggar kesepakatan yang ada terhadap komposisi tanaman 30 % kayu-kayuan dan 70 % tanaman MPTS, berkaitan dengan pertimbangan nilai ekonomi lahan. Pada luas lahan yang relatif sempit sangat kurang menguntungkan bila ditanaman jenis kayu-kayuan, sehingga cenderung digantikan dengan tanaman MPTS dan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti durian dan rambutan, kakao, pisang, manggis dan nangka. Khusus untuk kawasan HKm Sekaroh Kabupaten Lombok Timur dengan tanaman MPTS adalah Jambu Mete dan tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang hijo dan kacang tunggak.

Masyarakat pengelola kawasan HKm di Pulau Lombok cukup berat menerima untuk memperbanyak tanaman kayu-kayuan. Alasan tersebut muncul dikarenakan bahwa pada HKm yang berlokasi di dalam kawasan hutan lindung tidak boleh dipanen kayunya. Ahmad Muliadi (Ketua Forum HKm Sesaot) menceritakan bahwa ” masyarakat pengelola HKm enggan untuk menanam tanaman kayu-kayuan secara mandiri, demikian juga dengan pembagian bibit tanaman dari Proyek GERHAN dimana bibit tanaman kayu-kayuannya diabaikan dan hanya tanaman MPTS yang dipelihara dengan baik”

Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok memperoleh hasil bahwa untuk dapat memperbaiki kondisi ekologi kawasan HKm sebagai alternatif utama adalah dengan mengusahakan Tanaman Gaharu. Tanaman tersebut dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi. Sesuai dengan harapan masyarakat agar kawasan HKm harus mampu memberikan pendapatan yang mampu untuk mencukupi kebutuhan subsisten. Melalui politik bahwa menanam Gaharu dengan tanaman pelindung (tanaman konservasi), maka secara tidak langsung akan dapat memotivasi masyarakat untuk melakukan konservasi kawasan.

Meskipun Gaharunya sendiri dapat dipanen dalam jangka waktu 10-15 tahun, namun tanaman pelindungnya masih tetap utuh sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi yang dapat mengatur tata guna air pada kawasan hutan lindung. Pemanenan tanaman sengon dapat dilakukan dengan memanfaatkan cabang dan ranting sebagai kebutuhan kayu bakar sebagai sumber energi rumahtangga.

VI. POLA PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK

6.1. Karakteristik Masyarakat Pengelola Hutan Kemasyarakatan

Masyarakat pengelola HKm (pesanggem) memiliki karakteristik yang

cukup beragam, sehingga memiliki dampak terhadap beragamnya tipe dan bentuk partisipasi dan lebih jauh berdampak terhadap kondisi ekologi kawasan HKm. Karakteristik sosial ekonomi pengelola HKm adalah usia, pendidikan, demografi, luas lahan garapan dan kondisi kesejahteraan rumahtangga pengelola.

Tingkat usia pengelola HKm rata-rata dalam usia sebagian besar berada pada golongan usia setengah baya (30-59 tahun) dan hanya sebagian kecil saja pada usia tua (> 60 tahun). Demikian juga dengan kondisi demografi atau rumahtangga pesanggem dengan jumlah rata-rata anggota keluarga sekitar 5 orang dan sebagian besar dalam katagori menengah dengan jumlah anggota keluarga yaitu 5-6 orang (47,67%) dan 43,93% masuk dalam katagori keluarga kecil dan hanya sebagian kecil saja masuk dalam katagori keluarga besar yaitu lebih dari 7 orang (8,41%).

Secara historis bahwa pengelola atau pesanggem HKm merupakan

kelompok orang yang lahir dan besar di desa sekitar kawasan HKm atau disebut bukan migran, namun bagi kelompok migran adalah kelompok pesanggem yang berasal dari desa lainnya dan bahkan berasal dari kabupaten lainnya. Bagi pesanggem yang masuk dalam kelompok migran pada awalnya mengikuti orang tua dan ada juga yang memperoleh lahan dengan cara ganti rugi. Jumlah pesanggem yang tergolong sebagai migran adalah 24 orang atau 22,43 persen. Namun kelompok non migran tersebut sebenarnya merupakan migran juga (leluhur mereka) karena dari sejarah desa dan keberadaan awal masyarakat desa merupakan pendatang sebagai pekerja reboisasi dan peladang yang berasal dari desa dan kecamatan (distrik) seserta kabupaten lainnya. Masyarakat desa sekitar kawasan HKm berkembang sebagai akibat dari pemekaran wilayah desa dan faktor ekonomi yang menarik mereka untuk memasuki kawasan hutan.

Kondisi kualitas sumberdaya manusia dari pesanggem dapat dikelompokkan dalam katagori rendah. Hal ini ditunjukkan dari tingkat pendidikan yang pernah ditempuhnya yang sangat rendah yaitu tidak pernah

sekolah/tidak tamat Sekolah Dasar dan hanya Tamat Sekolah Dasar. Jumlah pengelola dengan tingkat pendidikan tersebut cukup besar yaitu 90 orang atau 74,77 persen dan hanya sebagian kecil saja yang berpendidikan tamat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) ke atas yaitu hanya 27 orang atau 25,23 persen. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah tersebut berkaitan dengan kemampuannya merespon objek atau memahami persoalan. Hal ini cukup berkaitan dengan kemampuan dari pesanggem dalam pemahamannya tentang HKm. Dari seluruh responden yang ada (107 orang), sebagian besar masuk dalam katagori kurang paham dengan HKm yaitu 87 orang (81,31%) dan hanya sebagian kecil saja yang paham yaitu sekitar 18,69 persen. Pemahaman umum masyarakat hanya terbatas bahwa HKm merupakan kawasan untuk masyarakat dan digunakan sebagai lahan usahatani. Kondisi pemahaman tersebut berdampak pada kondisi ekologi kawasan HKm yang sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman buah dan pangan.

Bila ditinjau dari aspek luas lahan garapan yang dikelola, maka sebagian besar pesanggem (58,88%) mengelola lahan garapan dalam katagori sedang yaitu antara 0,5 – 1 hektar dan 6,54 persen saja yang mengelola lahan sempit kurang dari 0,5 hektar serta 25,23 persen saja yang mengelola lahan lebih dari satu hektar. Adanya ketimpangan dari luas lahan garapan yang dikelola pesanggem dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu waktu keterlibatan pesanggem, ganti rugi, lokasi dan perbedaan hak lahan petani anggota dan pengurus kelompok. Untuk HKm Sesaot, pesanggem hanya memperoleh hak lahan rata-rata 0,25 hektar pada tahun 1998, sedangkan setelah tahun tersebut pemberian hak lahan berubah menjadi 0,5 hektar. Persoalan ganti rugi banyak terjadi HKm di Sesaot dan Sekaroh dengan jumlah 20 0rang (18,69%). Sementara itu, faktor ketimpangan pembagian lahan dengan pembagian 1 hektar lahan untuk pengurus kelompok dan 0,5 hektar untuk anggota kelompok sebagian besar terjadi di kawasan HKm Batukliang Utara yaitu Desa Aikberik, Stiling dan Lantan.

149

Perbedaan luas lahan garapan HKm merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya pendapatan dari HKm, sedangkan tingkat kesejahteraan rumahtangga ditentukan oleh besarnya pendapatan rumahtangga dan anggota keluarga. Rata-rata pendapatan rumahtangga per tahun yang bersumber dari HKm yaitu Rp 2 952.724,-, sementara itu rata-rata pendapatan per tahun dari luar HKm sebesar Rp 827 570,- dan pendapatan rumahtangga per tahun dari industri sebesar Rp 35.888 serta pendapatan rumahtangga per tahun dari kegiatan dagang dan jasa sebesar Rp 382.294,- . Dengan jumlah anggota keluarga sebesar 5 orang sehingga diperoleh pendapatan per kapita per tahun sebesar Rp 235.171,-. Nilai tersebut

Kotak 7. Sejarah Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Hutan Kemasyarakatan

Masyarakat Desa Sesaot merupakan pendatang yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat dan Mataram (sekarang) serta pendatang dari Karang Asem Bali. Mereka pada awalnya didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai pekerja dalam reboisasi hutan tutupan (hutan lindung). Pemerintah Belanda memberikan hak kelola masyarakat dalam bentuk tumpang sari dibawah tegakan pohon kayu-kayuan. Adanya hak pengelolaan tersebut mendorong masyarakat untuk membangun rumah tempat berteduh di luar kawasan hutan tutupan. Adanya insentif yang tinggi dari dalam kawasan hutan merupakan faktor penarik masyarakat luar mendekat dan berdomisili disekitar hutan.

Masyarakat Desa Aikberik dan sekitarnya dulunya merupakan pengelola kawasan hutan yang diijinkan oleh pemerintah atas perintah Distrik Kopang. Kepala Distrik Kopang mendatangkan masyarakat dari Kopang dan wilayah Kedistrikan Kopang lainnya untuk membuka lahan hutan (Dusun Aikberik)

pada wilayah Desa Teratak. Banyaknya sumber air kecil (berik) mendorong

masyarakat untuk membangun sawah. Kemudian terjadi pemekaran wilayah menjadi Desa Aikberik dan faktor ekonomi yang menjanjikan dari dalam kawasan hutan menjadi faktor penarik masyarakat bermigrasi ke Desa Aikberik.Berbeda halnya dengan Kawasan Hutan Lindung Sekaroh Kabupaten Lombok Timur yang dulunya masuk dalam Desa Pemongkong merupakan hutan dan penuh belukar sebelum tahun 1982. Namun setelah Proyek JIFRO tahun 1986 yang mendatangkan pekerja dari Pujut (Kabupaten Lombok Tengah) dan Sakra (Kabupaten Lombok Timur) menyebabkan perubahan kondisi kawasan yaitu Reboisasi berhasil, namun pekerja tersebut berladang dan mengembalakan ternak dalam areal hutan disekitarnya. Dalam waktu yang singkat yaitu sekitar tahun 1999 kawasan hutan lindung Sekaroh sudah dihuni oleh migran yang sebagian besar berasal dari Pujut Kabupaten Lombok Tengah

dan sekarang menjadi pesanggem HKm.

Sumber. Wawancara Mendalam dengan Masyarakat dan Kepala UPTD Dishut Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur

mengelompokkan rumahtangga petani pesanggem dalam katagori miskin dengan pertimbangan bahwa garis kemiskinan berada pada tingkat konsumsi kalori setara 320 kg beras per tahun atau dengan harga beras diasumsikan Rp 5.000,- per kilogram, maka garis kemiskinan pada nilai beras Rp 1.600.000,- per kapita per tahun.

Keterbatasan aset produktif yang dimiliki menyebabkan masyarakat

pesanggem terbelenggu dalam kemiskinan. Sejarah pembagian lahan dan persyaratan tidak memiliki areal kelola atau hanya merupakan buruh tani merupakan indikasi bahwa masyarakat pengelola HKm merupakan kelompok orang miskin. Dengan adanya pembangian kelola lahan yang bersumber dari program pembangunan HKm memberikan cukup memberikan sedikit sumbangan ekonomi rumahtangga. Namun pada beberapa lokasi (baik di Sesaot, Aikberik, Stiling dan Sekaroh) setelah tanaman kayu-kayuan tumbuh besar memberikan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman pangan seperti pisang (sebagai sumber utama pendapatan) menyebabkan penurunan pendapatan rumahtangga. Kondisi

ini membangun kegelisahan pesanggem dan berakibat pada munculnya gejala

ganti rugi dan perluasan kawasan masuk ke dalam kawasan hutan.