• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam perjalanan pembangunan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok ditemukan bahwa kebijakan HKm yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengalami perkembangan isi yang mengarah pada pemberian hak yang semakin luas pada masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Kebijakan HKm tingkat nasional tersebut mendapat respon yang berbeda dari pemerintahan provinsi dan kabupaten. Perbedaan respon tersebut berkaitan dengan kepentingan dan spirit dalam pembangunan kebijakan tersebut. Kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam membangun kebijakan HKm di daerah. Namun kebijakan otonomi daerah tersebut juga menciptakan konflik kekuasaan/kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan antar pemerintahan provinsi dan kabupaten.

Konflik kebijakan lainnya juga muncul sebagai akibat diberlakukannya dua jenis kebijakan pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kebutanan tentang Taman Hutan Raya dan Hutan Kemasyarakatan pada lokasi yang sama yaitu Kawasan Hutan Lindung Sesaot. Kedua kebijakan tersebut menjadi pemicu

konflik antara Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan pesanggem HKm pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot.

Konflik kepentingan antar stakeholder juga terjadi sebagai akibat dari beragamnya kebutuhan dan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam memanfaatkan kawasan hutan. Pihak-pihak tersebut bersaing dalam pemanfaatan hutan dengan dalih adanya kebutuhan dan kepentingan melindungi kawasan hutan agar tetap lestari. Antara kebutuhan dan kepentingan pada setiap stakeholder memiliki jarak (gap) yang cukup lebar yang memberikan ancaman terhadap kondisi sumberdaya hutan. Kebutuhan dapat berupa pengambilan manfaat ekonomi dari dalam kawasan, sedangkan kepentingan berupa perlindungan terhadap hawasan hutan.

5.3.1. Konflik Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok

Kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan memiliki dinamika subtansi dan juga kepentingan para pihak, baik pada tatanan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah pada tingkatan nasional telah memberikan ruang bagi masyarakat terlibat dalam pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pemerintah pusat yang memuat tentang pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan hutan terdapat dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dan beberapa surat keputusan menteri dan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan.

Kebijakan pemerintah pusat tersebut mendapat respon yang berbeda dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Kebijakan otonomi daerah yaitu UU No. 22 tahun 1999 (direvisi melalui UU No. 32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan atau kewenangan yang lebih kepada pemerintahan kabupaten dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sebagai contoh yaitu dalam pemberian ijin (IUPHKm) cukup ditetapkan oleh SK Bupati dan Pencadangan Areal HKm melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan.

Kuatnya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya pengelolaan HKm, memberikan spirit terhadap terbitnya beberapa kebijakan HKm dan menjadi dasar implementasi pembangunan HKm pada tingkat kabupaten. Kebijakan tersebut adalah Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Hutan

125

Kemasyarakatan, Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 25 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat dan SK Kakanwil Dephutbun Provinsi NTB Nomor 06/Kpts/Kwl-4/2000 tentang pemberian ijin sementara kepada Kepontren Darus Shiddiqien untuk pemanfaatan hutan seluas 1.042 hektar yang tersebar pada 10 lokasi wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan Kecamatan Batukliang Kabupaten Lombok Tengah.(Markum 2006).

Terbitnya Perda tentang HKm pada beberapa kabupaten memberikan makna bahwa Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan bukan sebagai acuan penyelanggaraan HKm di Pulau Lombok atau di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Karena pada saat perda tingkat provinsi tersebut disyahkan, beberapa kabupaten telah memiliki perda sendiri. Meskipun Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 terkesan terlambat dalam implementasinya dan memiliki eksistensi yang lemah.

Namun bila dikaji bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya memiliki kepentingan dan spirit tertentu Menurut Zainal di dalam Markum (2006) mengungkapkan bahwa kepentingan dan spirit dari perda tersebut adalah ingin mengangkat berbagai bentuk praktik-praktik pengelolaan hutan, baik oleh masyarakat dan pihak pemerintah serta berbagai pihak lainnya dengan tetap konsisten pada istilah Hutan Kemasyarakatan. Selain itu, perda tersebut juga mencoba membawa pesan pentingnya wacana jasa lingkungan diangkat sebagai bagian pengelolaan hutan secara integral. Melalui perda tersebut, maka diharapkan dapat memberikan arahan kepada semua kabupaten ketika menyusun kebijakan HKm sehingga memiliki referensi dan koridor yang jelas dan tidak menabrak peraturan lainnya. Pendapat yang bertentanganpun muncul dari Sabani dan Taqiudin dari LSM Konsepsi Mataram dalam Markum (2006) menyatakan bahwa perda tersebut belum memadai untuk dijadikan spirit perubahan paradigma pengelolaan hutan pada tingkat kabupaten. Namun perda tersebut lebih mirip sebagai petunjuk pelaksanaan teknis PP Nomor 34 Tahun 2002.

Perda NTB Nomor 6 Tahun 2004 tetap diberlakukan, walaupun tidak dijadikan sebagai acuan oleh pemerintah kabupaten dalam penyusunan perda yang berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatan. Dibalik kebijakan yang terkesan memaksakan tersebut, sesungguhnya terdapat kepentingan lain bila berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan memiliki potensi sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena berkaitan dengan kayu (log) dan jasa lingkungan yang mampu menghasilkan pendapatan baru bagi pemerintah daerah.

Pada kondisi lebih dominannya peran pemerintah kabupaten dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan, namun peran dan keterlibatan pemerintah pusat masih ada melalui institusi BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) sebagai perpanjangan tangan Dirjen RLPS (Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial). Peran tersebut terimplimentasi pada perencanaan pengelolaan kawasan dan monitoring dan evaluasi program pembangunan HKm. Dengan demikian kedua instansi yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten dan BPDAS memiliki peran yang lebih dominan daripada Dinas Kehutanan Provinsi dalam pembangunan Hutan Kemasyarakatan

Implikasinya adalah peranan BPDAS dan Dinas Kehutanan Kabupaten menjadi lebih dominan bila dibandingkan dengan Dinas Kehutanan Provinsi

Kotak 4. Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 Tidak Menjadi Acuan Implementasi HKm di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Perda Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki kepentingan politik, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal yang berada dibalik pengusungan agenda kebijakan pedoman penyelenggaraan hutan kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Secara politik Perda NTB No 6 Tahun 2004 adalah legal dan terkesan melibatkan semua pihak baik pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, lembaga masyarakat, tokoh masyarakat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sehingga terciptanya hutan yang lestari. Namun perda tersebut terkesan lamban dan tidak dijadikan sebagai pedoman implementasi pembangunan Hutan Kemasyarakatan. Adanya kewenangan yang lebih sejak otonomi daerah mendorong pemerintah kabupaten lebih dahulu merespon kebijakan pemerintah pusat dan menerbitkan perda tersendiri sebagai pedoman penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.

127

khususnya dalam pembangunan HKm. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memberikan dampak terhadap pelemahan kewenangan pemerintah provinsi (Dinas Kehutanan Provinsi) dalam pengelolaan sumberdaya hutan (khususnya HKm). Perda Provinsi NTB No. 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelengaraan Hutan Kemasyarakatan hanya menjadi pajangan belaka.

Konflik kebijakan lainnya di Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2000 dan berdampak pada terjadinya konflik vertikal (pemerintah dan masyarakat) dan konflik horizontal (antara masyarakat) telah diungkapkan oleh Rosdiana et al.

(2003). Sumber konflik adalah pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB Nomor 522.21/546/Dishut Prod Tanggal 15 Agustus 2000 yang bermaksud ingin memanfaatkan kayu bekas pencurian untuk peningkatan PAD. Namun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dengan kewenangan teritorial yang dimiliki melalui Surat Nomor 180/04/Kum/2000 tanggal 9 Oktober 2000 meminta Dinas Kehutanan Provinsi untuk menghentikan kegiatan eksploitasi di Hutan Lindung Sesaot. Kebijakan Gubernur tersebut bertentangan dengan PP 62 Ttahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. PP ini antara lain melimpahkan pekerjaan dan tata batas hutan serta rehabilitasi hutan kepada pemerintah kabupaten. Konflik teredam setelah kebijakan Gubernur tersebut dicabut dan kegiatan eksploitasi terhadap Hutan Lindung Sesaot terhenti.

Konflik kebijakan terjadi kembali di Kawasan Hutan Lindung Sesaot yang sekaligus merupakan kawasan HKm. Sumber konflik adalah kebijakan pemerintah pusat melalui surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan yang tumpang tindih. Fase awal konflik ditandai dengan munculnya sikap dan pernyataan masyarakat pengelola HKm atas penolakan kebijakan pemerintah tersebut. Masyarakat menilai bahwa kebijakan Taman Hutan Raya pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah tentang pencadangan areal HKm seluas 185 hektar pada kawasan yang sama.

Luas Kawasan Tahura Nuraksa adalah 3.155 hektar, sementara itu luas HKm pada lokasi yang sama adalah 185 hektar dan belum termasuk luasan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang menamakan dirinya HKm non program (perambah menurut versi Dinas Kehutanan Provinsi NTB). Melihat kondisi

tersebut ada peluang dan potensi bahwa masyarakat HKm yang memiliki lahan terutama pada zona inti Tahura akan dikeluarkan. Dengan kata lain bahwa masyarakat kehilangan hak pengelolaan 35 tahun dan tidak mendapatkan kepastian hukum dalam pengelolaan kawasan HKm.

Memang dalam realitanya kedua kebijakan menteri tersebut memiliki kondisi tumpang tindih. Karena pada areal yang sama diberlakukan dua hal yang bertentangan dalam implementasinya yaitu kawasan hutan lindung Sesaot dibagi menjadi kawasan hutan konservasi (Tahura seluas 3.155 hektar) dimana tidak diperkenankan pengelolaannya dengan pola HKm. Tahura ditetapkan melalui SK Menhutbun No. 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 dengan luasan 3.155 hektar pada kawasan hutan lindung Sesaot Sementara itu, sepuluh tahun kemudian diterbitkan ijin pencadangan areal HKm melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 445/Menhut-II/2009 dengan luasan 185 hektar. Meskipun ijin pencadangan areal HKm terbit belakangan, namun implementasinya sudah dimulai sejak tahun 1995 yang dimulai dengan HKm uji coba 25 hektar di Kawasan Hutan Lindung Sesaot dan mendapat ijin sementara dari Bupati Kabupaten Lombok Barat.

Oleh karena itu, maka Taman Hutan Raya Sesaot menjadi ancaman terhadap kepastian hak masyarakat HKm. Acaman tersebut dikarenakan oleh

Kotak 5. Masyarakat Dalam Kebimbangan dan Penuh Harapan Terhadap Kawasan HKm.

Ahmad Muladi ketua Forum HKm Sesaot dan Marwi mantan kepala desa Aikberik, mengungkapkan bahwa masyarakat pengelola HKm menjadi bingung bahwa pada kawasan hutan lindung yang sama diberlakukan dua kebijakan dan memiliki manajemen yang berbeda. Pengalaman terdahulu mengingatkan kami bahwa dengan Pembangunan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) masyarakat yang telah masuk dalam kawasan TNGR dikeluarkan dari kawasan. Demikian juga dengan TAHURA nantinya, bahwa masyarakat yang mengelola hutan dalam bentuk HKm dan berada dalam kawasan TAHURA tentunya akan dikeluarkan juga, karena menurut kami bahwa manajemen TAHURA tidak berbeda jauh dengan TNGR. Kemudian kedepannya!!! Mau dibawa kemana kami-kami ini dan haruskah kami kehilangan kawasan hutan yang telah kami usahakan dengan berbagai jenis tanaman pangan dan MPTS. Apakah tanaman kami akan diganti rugi dan kami mendapat kawasan lainnya sebagai pengganti. Atau adakah menajemen baru TAHURA yang berpihak pada masyarakat.

129

terbedaan pola pengelolaan pada kedua kawasan hutan konservasi (TAHURA) dan hutan lindung (HKm). Perbedaan pengelolaan pada kedua jenis kawasan tersebut disajikan pada tabel berikut.

Tabel 20. Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Taman Hutan Raya

Dengan adanya perbedaan pola pengelolaan antara HKm dan Tahura membangun konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat yang telah eksis dalam Kawasan HKm dan berada dalam Kawasan Tahura tentunya harus keluar, karena hanya masyarakat tradisional yang diberikan kewenangan pengelolaan dalam Taman Hutan Raya.

Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini akan berkelanjutan bila kedua keputusan menteri kehutanan tersebut tetap dipertahankan karena masyarakat tetap bertahan demi keberlangsungan kehidupannya dan masyarakat berpandangan bahwa pengelolaan HKm adalah legal karena memiliki kekuatan hukum yang diperoleh melalui SK. Menteri dan SK Bupati.

Dengan demikian, maka akar permasalahannya adalah terdapat dua kebijakan menteri kehutanan dalam kawasan yang sama dengan pola pengelolaan yang berbeda. Tahura merupakan kawasan hutan konservasi, sedangkan HKm berada pada kawasan hutan lindung. Pada hutan konservasi tidak diperkenankan pola pengelolaan seperti pola Hutan Kemasyarakatan (Hkm) yang berkembang sekarang ini. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat, sehingga memiliki persepsi buruk terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan TAHURA.

Masyarakat menyadari permasalahan tersebut, sehingga bila TAHURA diimplementasikan pada Kawasan Hutan Sesaot, maka berimplikasi terhadap No Komponen Hutan Kemasyarakatan Taman Hutan Raya (Tahura)

1. Kewenangan Pemerintah

Pemerintah Kabupaten Pemerintah Provinsi

2. Pengelola Masyarakat Pemerintah dan masyarakat tradisional

3. Teknologi Pengelolaan Agroforestri Pengelolaan tradisional 4. Waktu Pengelolaan Diatur pemerintah (35 tahun) Tidak ditentukan 5. Lokasi Hutan Lindung Hutan Konservasi 6. Wilayah Kelola Pencadangan Areal Zona Pemanfaatan 7. Akses Masyarakat Terbatas sesuai dengan luas

Pencadangan Areal

Sangat terbatas sesuai dengan luas Zona Pemanfaatan

keberadaan pesanggem yang cukup lama dalam kawasan hutan (secara fakta sejak tahun 1995) sejak dimulainya perconcohan areal HKm dan bertambah seluas 211 hektar. Masuknya masyarakat lainnya dalam kawasan hutan (perambah/HKm Non Program) semakin memperluas kawasan hutan lindung yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya yang tidak masuk dalam kelompok HKm Program. Dari hasil estimasi, pemanfaatan kawasan hutan lindung Sesaot oleh kelompok HKm Non Program dengan jumlah 6000 orang, namun pemerintah melalui keputusan menteri kehutanan tentang pencadangan areal hanya mengijinkan luasan 185 hektar (Kronologis HKm dan Tahura dalam kotak 6).

131

Kotak 6. Kronologis Tahura Nuraksa Sesaot Kabupaten Lombok Barat

1. Kawasan Hutan Sesaot semula merupakan Kawasan Hutan

Tutupan/Hutan Negara berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor: 1-Sub I Tanggal 9 September 1929. Selanjutnya, pada Tahun 1982, sejalan dengan program pembagian air dari kabupaten Lombok Barat ke Lombok bagian selatan, maka fungsi hutan Sesaot diubah menjadi Hutan Lindung, dengan maksud agar kawasan hutan sesaot mampu mempertahankan sumber mata air yang tersedia, sesuai dengan SK. Menteri Pertanian No.756/Kpts/ 10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang TGHK Provinsi NTB.

2. Untuk meningkatkan nilai manfaat HL bagi masyarakat, maka mulai tahun 1986, dikembangkan pola-pola pembangunan kehutanan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola dan menerima manfaat ekonomi langsung dari kawasan hutan melalui berbagai program seperti Pembangunan Hutan Penyangga Kopi, Hutan Serbaguna (dengan mengembangkan jenis buah-buahan), dan beberapa model agroforestry lainnya.

3. Pada 1995, dengan difasilitasi oleh LP3ES, dilakukan Uji Coba Pengembangan HKm seluas 25 Ha (HKm Program) di sebagian Kawasan Sesaot. Berdasarkan hasil evaluasi, kegiatan tersebut dinyatakan berhasil menghutankan kembali hutan Sesaot dan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan sehingga kemudian diperluas menjadi 236 Ha. 4. Pembangunan HKm Program tersebut telah menimbulkan kecemburuan

dan ketidakadilan bagi sebagian masyarakat yang belum tergabung dalam HKm Program. Ditambah lagi dengan situasi politik nasional, euforia reformasi yang berlebihan dan berbagai permasalahan sosial ekonomi lainnya, memberikan tekanan dan gangguan yang cukup berat bagi Kawasan Hutan Sesaot.

5. Untuk mengantisipasi meluasnya tekanan dan memberikan keadilan bagi sebagian masyarakat tersebut, ditempuh kebijakan untuk mengembangkan Hkm Non Program. Sampai dengan akhir tahun 2010, keseluruhan areal mencapai ± 6.000 orang, dimana dari luasan tersebut sudah dicadangkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HKm seluas 185 Ha melalui SK.Nomor : 445/Menhut-II/2009 tanggal 4 Agustus 2009

6. Pada 1990-an, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan bahwa setiap Provinsi diharapkan dapat mengembangkan minimal satu TAHURA pada setiap provinsi. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi, yang difasilitasi oleh BAPEDALDA Provinsi NTB, mengusulkan beberapa calon lokasi dan yang terpilih adalah Kawasan Sesaot, karena memenuhi kriteria sebagai TAHURA. Pada tanggal 27 April 1999, Menhutbun menetapkan Kawasan Sesaot sebagai TAHURA ”NURAKSA” SESAOT melalui Keputusan Menhutbun No. 244/kpts- II/1999 seluas 3.155 Ha.

Sumber. Wawancara Dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kotak 6. Lanjutan

7. Pada 1999, Terbit SK.Menhutbun Nomor.418/kpts-II/1999, tgl 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan NTB, yang menunjuk kembali kawasan Sesaot sebagai Kawasan Hutan Lindung. Terbitnya SK.Menhutbun tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan tenurial dan ketidakpastian kawasan (41 MASALAH) karena banyak kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan, termasuk Kawasan TAHURA yang sudah ditetapkan sebelumnya serta hilangnya kawasan hutan KH.Gunung Sasak.

8. Berdasarkan SK.Menhut Nomor.598/MENHUT-II/2009 tanggal 2

oktober 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Provinsi NTB, yang merupakan review terhadap SK.Nomor.418/KPTS-II/1999, menetapkan kembali Kawasan Hutan Sesaot sebagai Kawasan Konservasi dalam bentuk TAHURA.

Persoalan muncul bahwa dengan ditetapkannya kembali sesaot sebagai TAHURA, terjadi kesalahpahaman pada masyarakat yang menganggap bahwa akses yang sudah berlangsung akan diputus dan masyarakat yang telah beraktivitas dalam kawasan hutan akan dikeluarkan dan tidak dapat diberikan lagi pencadangan areal sebagai HKm.

9. Berdasarkan Permenhut Nomor:P.37/Menhut-II/2007 tentang HKm bahwa kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm adalah Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi.

Berdasarkan Pasal 92 PP. Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta Pemanfaatan Hutan menyatakan bahwa Hkm dalam Kawasan Konservasi akan diatur dengan PP tersendiri. Namun, sampai saat ini PP.tentang HKm dalam Kawasan Konservasi belum ada.

10.Untuk menyamakan persepsi tentang hal-hal tersebut di atas, maka telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Pada tanggal 21 agustus 2010, diadakan pertemuan diruang pertemuan Dishut Provinsi NTB, yang difalitasi oleh SCBFWM NTB, yaitu ada 5 (lima) hal penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai pengelolaan TAHURA berbaris masyarakat, yaitu:

•Mendorong percepatan proses tata batas tahura secara partisipatif; •Mendesain Tahura model yang mencakup aspek : pengelolaan

Jasling

dan

HHBK;

•Proses pembelajaran HHBK di kawasan sesaot tetap diakomodasi dalam pengelolaa Tahura model, dan

•Diperlukan payung hukum bagi Tahura model.

(surat Kepala BPDAS ke Dirjen RLPS Nomor.S.392/BPDAS XXIV- 3/2010 tgl 27-9-2010)

Sumber. Wawancara dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat

133

Kotak 6. Lanjutan

b. Pada tanggal 26 agustus 2010 diadakan Workshop tentang Rencana Pengelolaan TAHURA Model, yang dihadiri oleh instansi terkait, LSM, dan masyarakat Sesaot, dengan pembicara: 3 (tiga) narasumber dari Kementerian Kehutanan dan Kadishut NTB. Hasil workshop tersebut antara lain bahwa pengelolaan TAHURA akan dikembangkan dalam 3 opsi Model Pengelolaan Tahura:

1. Ada Tahura tapi masyarakat masih mempunyai akses terhadap kelola Tahura (tidak ada ijin hkm), namun akan disusun payung hukum untuk Tahura model.

2. Ada Tahura berdamping dengan hkm

3. Ada icon yang menjadi kesatuan di wilayah hkm sebagai obyek Tahura (camping ground, goa, air terjun, tempat rekreasi).

c. Pada tanggal 4 September 2010, diruang pertemuan LSM Mitra Samiya. Hasilnya adalah:

1. Kelompok masyarakat menolak Tahura/inisiatif lain (Tahura model) diterapkan dilahan kelompok masyarakat (pokoknya- pokoknya).

2. Disusun Tim kecil terdiri Dishut NTB, Dishut Lobar dan Loteng,Unram, LSM Konsepsi, dan SCBFWM NTB.

3. Tugas Tim kecil merumuskan berdasarkan 3 pilihan solus (10b): • Kewenangan berbagai pihak (Dishut Provinsi dan Kabupaten) • Peran masyarakat dan para pihak

• Hak dan kewajiban para pihak • Pola pemanfaatannya

• Zonasi kawasan

• Bentuk payung hukum.

d. Pada tanggal 13 Nopember 2010, Pertemuan di Kantor DPRD Lombok Barat, yang dihadiri oleh DPRD Lobar, Dishut Prov.NTB, Dishut Kab.Lobar, LSM Konsepsi, Forum Kawasan, dan masyarakat Sesaot. Salah satu hasilnya adalah perlu dilakukan pertemuan kelembagaan dalam rangka mencari titik temu terjadinya dualisme aturan yang ada di kawasan sesaot, yaitu pengelolaa Tahura dengan HKm).

e. Karena pertemuan kelembagaan itu tidak kunjung datang, maka Dishut Provinsi NTB berinisiatif mengudang: LMS Konsepsi, BPDAS, BKSDA, WWF, Tranfom, dan SCBFWM. (LSM Konsepsi tidak hadir)

f. Dishut NTB melalui surat Nomor.522/1310/PPH-Dishut/2010 tanggal 10 Desember 2010 bersurat ke Dinas Kehutanan Kab.Lombok Barat, Perihalnya mohon Dishut Kab.Lobar untuk fasilitasi pertemuan pemecahan masalah kawasan hutan Sesaot.

Sumber. Wawancara dengan Staf Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kotak 6. Lanjutan

11. Permintaan Gubernur kepada Dinas Kehutanan Provinsi NTB, sbb:

a. Tidak ada penambahan areal HKm selain hasil verifikasi dari BPKH Wilayah VIII Denpasar.

b. Cari model yang menguntungkan semua pihak.

12.Dengan adanya kondisi tersebut di atas, maka untuk mengakomodir akses masyarakat yang telah berlangsung kurang lebih 10 tahun dalam mengelola Kawasan Sesaot secara partisipatif akan dikembangkan melalui alternatif dan Dinas Kehutanan Provinsi NTB menawarkan, sebagai berikut :

a. Kolaborasi Pengelolaan Tahura dengan masyarakat, sesuai dengan prinsip dan ketentuan Pengelolaan Kawasan Konservasi (seperti Tahura R.Soerjo Jawa Timur), yang mengatur:

•Peran para pihak (Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping) •Kewajiban para pihak (Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping). •Hak para pihak (Pempro, Kabupaten, Masyarakat, dan Pendamping)

•Pola pengelolaan dibagi dalam Blok/zonasi (Blok perlindungan, Blok koleksi tumbuhan, Blok pemanfaatan intensif, Blok pemanfaatan tradisional/bersama masyarakat)

•Sistem perijinan •Payung hukum

b. Mengusulkan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan :

•Perubahan fungsi kawasan hutan dari Konservasi ke Hutan Lindung (HL) dengan mengikuti ketentuan dalam Permenhut No.P.34/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.

•Perubahan fungsi kawasan hutan ini disamping membutuhkan jangka waktu yang relatif panjang dan biaya yang relatif besar karena memelukan Tim Terpadu (biaya ditanggung pemohon).

•Wacana perubahan fungsi kawasan hutan Konservasi ke Hutan Lindung, Dinas Kehutanan Provinsi NTB sudah didiskusikan dengan Kementerian Kehutanan.

13.Dinas Kehutanan Provinsi NTB tidak pernah menolak HKm tetapi yang ditolak adalah HKm tidak boleh dalam kawasan konservasi, karena dalam kawasan konservasi tidak boleh ada HKm.

HKm dalam kawasan konservasi akan diatur dengan PP tersendiri (Pasal 92 PP. Nomor 6 Tahun 2007) sampai sekarang belum ada.

14.Akses yang ada dalam Tahura semuanya diakses oleh Dinas Kehutanan Provinsi