• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan partisipatif memiliki landasan filosofis, etika dan dasar hukum. Landasan filosofis dan etika pembangunan partisipatif bersumber dari tiga teori etika yang mendasari pemikiran dan cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan manusia dengan alam. Adapun ketiga jenis teori etika tersebut yaitu Teori Antroposentrisme, Teori Biosentrisme dan Teori Ekosentrisme (Keraf 2002).

Teori Antroposentrisme beranggapan bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua sumberdaya alam yang ada untuk kepentingan umat manusia dan alam tidak mendapatkan nilai untuk dihargai. Sebagai konsekuensinya terjadi kerusakan sumberdaya alam hanya karena pemuasan kebutuhan manusia.

Teori Biosentrisme beranggapan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup memiliki nilai dan berharga bagi dirinya sendiri serta harus dilindungi dan

31

diselamatkan. Teori ini hanya memberikan nilai pada makhluk hidup saja dan tidak memberikan nilai pada benda mati yang juga merupakan komponen ekosistem dan lingkungan.

Teori Ekosentrisme merupakan perkembangan dari Teori Biosentrisme, namun memusatkan pada komunitas ekologi, baik makhluk hidup maupun benda mati diberikan nilai untuk dihargai. Dalam teori ini makhluk hidup dan benda mati merupakan komponen ekosistem atau ekologi yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya termasuk manusia didalamnya.

Dari teori etika lingkungan tersebut, nampaknya terjadi polarisasi pandangan yaitu antara kelompok pembangunan (developmentalist) dan deep ecologist. Teori Antroposentrisme dan cara berpikir positivism (kenyataan didasarkan pada fenomena alam yang mempunyai hubungan yang sudah diverifikasi secara nyata atau empiris) sering menjadi acuan dari kelompok

developmentalist (seperti kelompok intelektual dan birokrat yang didukung oleh lembaga donor internasional yaitu World Bank dan Asian Development Bank), sedangkan Teori Ekosentris menjadi acuan dari kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan dan ecological scienties (Kartodihardjo 2006b; Nurrochmat 2005).

Adanya dua kutup pandangan tersebut, menyebabkan perbedaan dalam penggunaan indikator keberhasilan pembangunan. Kelompok developmentalist sering menggunakan indikator konvensional yaitu pertumbuhan ekonomi, sementara itu deep ecologist menggunakan indikator kelestarian (penyelamatan) lingkungan. Perbedaan pandangan tersebut, nampaknya merupakan suatu yang baku dan sulit dikompromikan atau disinergikan. Nurrochmat (2005) menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak selalu benar karena masih terdapat wilayah abu- abu yang merupakan kepentingan sosial. Kepentingan sosial tersebut masuk sebagai salah satu tolok ukur dari pembangunan berkelanjutan yaitu kriteria

economically feasible (secara ekonomi layak atau menguntungkan), socially acceptable (dapat diterima oleh masyarakat) dan ecologically sustainable (dari aspek ekologi berkelanjutan atau lestari).

Adanya kepentingan sosial atau masyarakat harus masuk sebagai tolok ukur dari pembangunan berkelanjutan muncul juga dari pemikiran dan pandangan

holistik. Pandangan holistik menyatakan bahwa alam semesta beserta kehidupan merupakan interaksi dari bagian-bagiannya secara keseluruhan (organisme yang hidup) dan bukan sekedar penjumlahan dari bagian-bagian tersebut (Kartodihardjo 2006b). Soemarwoto (2004) menyatakan pandangan holistik yaitu manusia merupakan bagian dari lingkungan tempat hidupnya. Dalam pandangan ini, sistem sosial manusia bersama dengan biogeofisik membentuk satu kesatuan yang dapat disebut dengan ekosistem sosiobiogeofisik. Dengan demikian, manusia dalam hal ini masyarakat merupakan bagian dari ekosistem dan terdapat didalam ekosistem tersebut. Karena manusia berada dalam ekosistem tersebut, maka segala bentuk perubahan ekologi dan lingkungan termasuk dampak negatifnya akan dikembalikan kepadanya sebagai feedback (balikan). Sebagai concoh banjir dan tanah longsor diberbagai tempat di tanah air kita merupakan balikan dari perbuatan manusia yang mengeksploitasi hutan melebihi daya lenting sumberdaya tersebut. Usaha konservasi dan pembangunan hutan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu mengembalikan fungsi hutan dan bahkan sebaliknya muncul dan berkembangnya lahan-lahan kritis dalam kawasan hutan. Artinya bahwa pemanfaatan atau penggundulan hutan jauh lebih luas daripada usaha reboisasi dan konservasi yang dilakukan dalam kawasan hutan.

Dengan demikian, maka kepentingan sosial tersebut dapat dijadikan

sebagai common goal untuk dapat mensinergikan dua pemikiran

(antroposentrisme dan ekosentrisme). Oleh karena itu, kontek pemikiran kebutuhan antar generasi dari aspek sosial dan kontek hutan lestari dari aspek ekologi dan kontek kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonomi akan dapat dibuat sebagai common goal dalam pengelolaan kawasan hutan. Dengan ungkapan lainnya bahwa masyarakat secara ekonomi memperoleh manfaat dalam pengelolaan kawasan hutan baik untuk generasi sekarang dan akan datang, namun kawasan hutan tetap lestari untuk waktu sekarang dan akan datang.

Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa terdapat lima prinsip yaitu:

33

a. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatan pembangunan;

b. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat, kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan kegiatan atau agenda pembangunan;

c. Prinsip Pendekatan Integral adalah pembangunan berkelanjutan

mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya;

d. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan akan datang;

e. Prinsip Menuntut dan Menghargai Keanekaragaman Hayati.

Temuan Maring (2008) di Kawasan Hutan Egon Flores bahwa masyarakat memiliki kepentingan terlibat dalam pengelolaan hutan yaitu hutan merupakan sarana untuk kehidupan; hutan merupakan kekuasaan bagi masyarakat; hutan merupakan wujud tanggung jawab yang harus dipelihara karena merupakan warisan nenek moyang; dan hutan merupakan masa depan anak cucu. Berbeda dengan keterlibatan NGO (Non Government Organisation) Internasional dalam keterlibatan hutan lebih pada usaha konservasi dan reboisasi. Sementara itu, keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan hutan lebih pada mencari keuntungan dan untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kemudian filosopi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Karena hanya manusia yang diberikan nilai, membuka peluang untuk terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam dan lingkungan (biotik dan a biotik). Pandangan ini nampaknya dianut oleh kelompok pembangunan (developmentalist) termasuk pemerintah, sehingga pasal 33 UUD’45 diartikan dan diterjemahkan sesuai dengan pandangan kelompok pembangunan tersebut yang menganut paham antroposentrisme. Namun

bagaimanapun juga pemerintah memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang Dasar pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat.

Dengan amanat tersebut, pemerintah secara normatif sebagai agen pembangunan dapat memanfaatkan dan harus melindungi sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Peran tersebut dapat ditempuh melalui kebijakan politik dan pemerintahan melalui kebijakan pajak dan pengeluaran. Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Letey and Edmunds (1973) menyatakan bahwa peran pemerintah sebagai agen pembangunan berhubungan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yaitu transfer sumberdaya alam dari publik menuju swasta (privat), pemanfaatan sumberdaya alam secara luas (ekstensif) dan pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif. Peran lainnya dari pemerintah adalah melindungi dan monitor pemanfaatan sumberdaya alam termasuk kawasan hutan. Peluso (2006) dalam Maring (2008) menyatakan kepentingan negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan aspek ideologis.

Dalam usaha konservasi kawasan hutan sendiri, terdapat tiga aliran pemikiran yaitu Wittmer dan Bitmer (2005) di dalamKartodihardjo dan Jhamtani (2006): Konservasionis, Eko-populis dan Developmentalist. Aliran Konservasionis memiliki argumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi dari fungsi sumberdaya hutan. Ada anggapan bahwa penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi seumberdaya alam. Aliran Eko-Populis memiliki argumen bahwa masyarakat adat dan lokal merupakan penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi daripada pemerintah. Aliran Developmentalist memiliki argumen bahwa kerusakan sumberdaya alam disebabkan oleh kemiskinan. Aliran ini berpendapat bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat masyarakat lokal dan lebih jauh kaum konservatif tidak mempertimbangkan persoalan kemiskinan.

35

Untuk dapat menjalankan perannya sebagai pemerintah untuk melindungi sumberdaya hutan dan kepentingan masyarakat, maka disusun dan diimplementasikan kebijakan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah. Adapun kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Pembangunan hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai berikut :

a. Untuk Propinsi NTB secara resmi dimulai sejak tahun 1994, yaitu berupa surat Menteri Kehutanan (Surat Edaran Nomor: 1031/Menhut/1994) yang ditujukan kepada Satuan Pembangunan Hutan Tanaman Industri Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, yang sedang melaksanakan program HTI di Pulau Sumbawa. Kegiatan HKm ini diartikan sebagai pengelolaan hutan untuk mendukung kehidupan masyarakat setempat tanpa mengurangi fungsi kawasan hutannya; b. Kemudian pada tahun 1995 terbit Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:

622/Kpts-II/1995 tentang pedoman hutan kemasyarakatan. Dalam keputusan ini, hutan kemasyarakatan dimaksudkan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat, namun dibatasi hanya pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan hutan produksi. Masyarakat diberi kuasa untuk mengelola lahan 4 Ha/kk untuk ditanami jenis pohon serbaguna (JPSG), dan diberi hak untuk memanfaatkan hasilnya (hasil bukan kayu) tanpa menebang pohon yang ditanamnya (Anonim 1995);

c. Pada tahun 1998 terbit kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 677/Kpts-II/1998 tentang hutan kemasyarakatan. Dalam keputusan ini, hutan kemasyarakatan dimaksudkan sebagai pengusaha hutan oleh masyarakat setempat melalui koperasi (masyarakat setempat diposisikan sebagai pengusaha). Pada kondisi masyarakat setempat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses kawasan secara mandiri. Oleh karena itu, maka terbentuklah koperasi-koperasi yang mengatasnamakan masyarakat setempat (Anonim 1998);

d. Dalam upaya penyempurnaan HKm dari kebijakan sebelumnya, pada tahun 2001 diterbitkan kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/Kpts- II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Keputusan ini bertolak dari prinsip bahwa masyarakat setempat adalah pihak yang harus

diayomi oleh pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga materi pengaturannya menjadi lebih luas (DEFHUT RI. 2001).

Dengan adanya perbedaan pemikiran dan filosofi yang dipengaruhi oleh perbedaan cara berpikir dan teori-teori yang berkembang dapat diringkas kepentinganan masing-masing para pihak atau stakeholder sebagai berikut :

Tabel 1. Kepentingan Pemerintah, Masyarakat, Swasta dan LSM dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan.

No Para Pihak (Stakeholders) Kepentingan

1 Pemerintah a. Menjalankan Amanat UUD’45 pasal 33 b. Melindungi Sumberdaya Hutan

c. Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

d. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Secara Intensif dan Ekstentif

e. Transfer Sumberdaya Hutan dari Publik - Privat 2 Masyarakat a. Hutan Merupakan Sarana Untuk Kehidupan

b. Hutan Merupakan Kekuasaan Bagi Masyarakat. c. Hutan Merupakan Wujud Tanggung Jawab yang

Harus Dipelihara Karena Merupakan Warisan Nenek Moyang.

d. Hutan Merupakan Masa Depan Anak Cucu.

3 LSM a. Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat atas Hak Lahan

b. Usaha konservasi dan Reboisasi.

4 Swasta Mencari Keuntungan dan Memenuhi Kebutuhan Pasar

2.1.3. Dasar Teori Pengelolaan Partisipatif

Munculnya teori partisipasi masyarakat (community participation theory) sebagai respon hasil pembangunan selama ini yang mengeksploitasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dan tentunya yang memberikan benefit atau manfaat pada masyarakat itu sendiri. Freudenburg dan Olsen (1983) dalam Howell et al. (1987) menyebutkan beberapa manfaat yang diperoleh dalam pelibatan masyarakat pada program pembangunan yaitu kontribusi yang nyata dalam demokrasi, meningkatkan pemahaman masyarakat dan komunikasi antar partisipan dan terjadinya effektifitas proses pengambilan keputusan sehingga terjadi keseimbangan posisi antar masyarakat dan pemerintah, serta dapat membangun legitimasi yang dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pihak pemerintah.

37

Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan (Karki 2001). Asumsi dari teori demokrasi bahwa masyarakat memliki hak sama dalam isu publik dan memiliki kompetensi dalam mengambil keputusan terhadap isu tersebut (Howell et al. 1987), namun untuk dapat berpartisipasi dengan baik dalam pembangunan, jelaslah bahwa hak bersuara saja sebagai wujud hak dari pengambilan keputusan ketidaklah cukup. Hemmati dalam Fahmi et al. (2003) menyebutkan bahwa efektivitas penyampaian aspirasi dan kepentingan ditentukan oleh kapasitas; kapasitas merupakan fungsi dari informasi dan pengetahuan, waktu, dan sumber daya. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya dipersiapkan dengan berbagai peluang dalam kehidupannya untuk memperoleh informasi dan keahlian tertentu dalam rangka meningkatkan peran masyarakat itu sendiri.

Teori yang mendukung pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah Teori Mobilisasi Sosial (Social Mobilization Theory). Teori ini diterapkan dalam permasalahan politik dengan argumen bahwa orang dapat dimobilisasi dalam politik melalui bentuk partisipasi dengan berbagai jenis aktivitas masyarakat atau asosiasi tertentu yang menarik. Masyarakat yang terlibat dalam organisasi lokal dan aktivitas tertentu cenderung menjadi lebih sadar dan terbuka terhadap isu publik dan mengembangkan kemampuan mereka dalam pengambilan keputusan. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Verba dan Nie 1972; Olsen 1982 menemukan bahwa dengan memobilisasi masyarakat (sosial) memberikan hasil yang sangat efektif dalam partisipasinya dalam arena politik (Howell et al. 1987). Roger and Shoemaker (1987) menemukan bahwa program pembangunan manjadi efektif pada kondisi adanya dukungan dari pemimpin masyarakat lokal dan organisasi masyarakat baik yang bersifat publik ataupun privat.

Social exchange Theory juga memberikan dukungan pemikiran teori untuk pelibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Teori pertukaran secara umum dipengaruhi oleh prilaku seorang aktor terhadap lingkungan dan dampak aktor terhadap prilaku aktor. Bila prilaku telah menguntungkan aktor, prilaku yang sama mungkin diulang dimasa depan dalam situasi serupa. Teori

pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik (Adam Smith) yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori pilihan rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki tujuan atau memiliki maksud. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya pertukaran yaitu keterbatasan sumberdaya dan kelembagaan sosial. Penguasaan sumberdaya mempengaruhi tindakan aktor mencapai tujuannya, demikian pula dengan keberadaan kelembagaan akan mendorong dan mambatasi prilaku aktor dalam mencapai tujuannnya (Goodman and Rizzer 2003; Turner 1987).

Akan tetapi, dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987). Menurut Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964) yang mengkaji perkembangan Sosial Exchange Theory dalam Howell et al. (1987), menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari benefit. Benefit dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan. Masyarakat selalu berusaha untuk meminimumkan biaya yang dikeluarkan dan mencari keuntungan yang maksimum atas segala aktivitas dan keterlibannya dalam pembangunan. Pertimbangan ekonomi tersebut dapat berupa maksimisasi profit dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan dominannya faktor ekonomi sebagai faktor dalam pengambilan keputusan, maka tentunya hal tersebut akan berkaitan dengan harapan ekonomi dan rasionalisme individu (Turner 1987). Demikian juga Thibaut and Kelley (1959) menyatakan bahwa pengeluaran berupa biaya sangat mempengaruhi mental seseorang untuk terlibat dalam pembangunan. Frazer mengungkapkan bahwa struktur sosial khususnya budaya mereflesikan motif ekonomi dari siapa yang melakukan pertukaran untuk memuaskan kebutuhan dasar ekonomi.

Selain karena pertimbangan biaya, ternyata keterlibatan seseorang dalam pembangunan juga dipengaruhi oleh adanya harapan penghargaan (reward) dari berbagai sumber termasuk pihak pemerintah, swasta dan kelompok atau anggota masyarakat. Rasa percaya diri seseorang akan meningkat bila dilibatkan dalam konsultan, sehingga hal ini akan mendorong seseorang untuk terlibat dalam aktivitas pembangunan. Kenneth J. Arrow di dalam Dasgupta and Serageldin

39

(1999) mengungkapkan bahwa penghargaan dapat meningkatkan intraksi antara masyarakat bukan karena motif ekonomi, tapi masyarakat lebih pada membangun jaringan pertemanan atau persabahatan. Mengingat bahwa pertukaran sosial merupakan jaminan yang bersifat non formal, maka penghargaan sifatnya baku dan tidak ada jaminan bagi pihak tertentu untuk dapat memngajak seseorang terlibat dalam pembangunan. Bronislaw Malinowski di dalam Turner (1987) memperkenalkan bahwa pertukaran terjadi bukan disebabkan oleh faktor ekonomi (materi) saja tetapi disebabkan oleh faktor non ekonomi yaitu simbul pertukaran (symbolic exchange) berupa perekat hubungan jaringan sosial.

Faktor lainnya yang mendorong proses pertukaran dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam program pembangunan yaitu kepercayaan (trust). Howell et al. (1987) mengungkapkan bahwa banyak kegagalan implementasi demokrasi dan pelibatan masyarakat dalam program pembangunan diakibatkan oleh hilangnya legitimasi atau kepercayaan masyarakat.

2.2. Pengertian dan Bentuk Partisipasi