• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan (Kasus pembangunan hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok)"

Copied!
597
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN

(Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok)

BAMBANG DIPOKUSUMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

Toward Sustainable Forest Management: Case of Community Forest Management Development on Protected Forest Area in Lombok Island. Under Supervisory Team : Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman and Arya Hadi Dharmawan

The research objectives were (1) to study the dynamic of content and implementation of government policy in development of community forest management (CFM), (2) to study community participation and socio economic factors affecting the community participation and this relationship with the ecological condition of Community Forest Management Area, (3) to design model of participative management of sustainable social forestry. The research method was a combination among descriptive, explorative and participative. For collecting data used exploring document, observation, survey, FGD and Participatory Rapid Appraisal (PRA). The research locations were Community Forest Management Areas that saparate over on protected forest areas in three districts, namely West Lombok (Sesaot), Midle Lombok (North Batukliang) and East Lombok (Sekaroh) on Lombok Island. The 107 CFM respondent determined by quota sampling about 2 % of CFM members. The Content Analysis, Multinominal Logit Regression, Spearman’s Correlation Analysis and Analysis of Hierarchy Process Analysis and Interpretative Structural Modeling (ISM) were tools employed to analysis the data. The research results were (1) the policy of community forest management (CFM) has changed and followed by policy and interesting conflict and influenced the community participation and the ecological forest area, (2) the community participation level was dominated by medium level that affected by the socio economic factors and the institution, (3) the participation level has a positive correlation to ecological condition of the forest, and (4) Regarding the sustainable management model of social forestry was Integrated Agroforestry of Gaharu Basis. For establishing good ecological forest condition is suggested that policy intervention in financing and institution arrangement.

(4)

BAMBANG DIPOKUSUMO 2011. Model Partispatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok). Dibawah bimbingan Hariadi Kartodihardjo (selaku Ketua komisi), Dudung Darusman dan Arya Hadi Dharmawan (selaku Anggota Komisi)

Kasus kehancuran sumberdaya hutan di Indonesia telah lama terjadi yaitu laju kerusakan hutan lima tahun terakhir ini yang mengalami peningkatan sebesar 3,8 juta hektar pertahun dari angka semula yang kurang 2 juta hektar pertahun. Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72 % hutan asli Indonesia hilang dan dari sisa 28 % dari hutan asli tersebut ternyata 25 % atau sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah. Pembangunan hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GN-RHL) hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar, sementara itu kerusakan hutan dalam 5 tahun seluas 12 juta hektar sehingga 10,5 juta hektar akan terabaikan.

Dari beberapa hasil penelitian di Pulau Lombok memberikan bukti bahwa terjadi kerusakan bio-fisik kawasan dan pelanggaran aturan main (Awik-awik) yang telah dibangun bersama. Kerusakan bio-fisik kawasan terlihat dari rendahnya usaha konservasi lahan dan rendahnya tutupan lahan yang bersumber dari tanaman kayu-kayuan. Kawasan didominasi oleh tanaman pangan dan buah-buahan (Amiruddin et al. 2001; Kusumo et al. 2004). Sementara itu, Muktasam et al. (2003) menemukan bahwa kelembagaan yang terbangun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Humaidi (2006) menemukan bahwa lemahnya kohesifitas antara masyarakat sebagai akibat dari punahnya kearipan lokal yang ada sebagai faktor penyebab kehancuran tersebut

Bila dihubungkan kondisi hutan lindung di Pulau Lombok yang sempit, namun memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat Pulau Lombok terutama sebagai pensuplai air, maka dapat dianggap bahwa kehancuran hutan lindung merupakan ancaman yang cukup serius terhadap kehidupan penduduk. Luas hutan lindung di Pulau Lombok yaitu sekitar 162.749,14 hektar atau 15,16 % dari luas kawasan hutan di Propinsi Nusa Tenggara Barat (1.098.044,08 hektar) dan sekitar 22,68 % telah menjadi lahan kritis (Anonim 2002; Anonim 2006). Kondisi hutan lindung tersebut kedepan nampaknya sangat memprihatin. Kebijakan yang berhubungan dengan perhutanan sosial atau HKm belum mampu dijadikan contoh model untuk mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut (1) mempelajari dinamika isi dan implementasi kebijakan pemerintah tentang HKm, (2) mempelajari tingkat partisipasi masyarakat dan faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap pasrtisipasi masyarakat serta hubungannya dengan kondisi ekologi kawasan hutan dan (3) menyusun rancangan model berkelanjutan perhutanan sosial pada kasus pembangunan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok.

(5)

merupakan kawasan HKm hutan lindung di Pulau Lombok dengan sebaran daerah kawasan HKm Sesaot, Batukliang Utara dan Sekaroh. Responden dalam penelitian ini adalah pengelola HKm dan pakar. Cara pengambilan responden adalah kuota sampling dengan jumlah 107 responden pengelola HKm. Kemudian penentuan responden pakar melalui penelusuran pada kelompok pakar dari perguruan tinggi, dinas kehutanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Variabel yang diukur dalam penelitian ini meliputi (1) perubahan isi dan implementasi kebijakan tentang HKm, (2) kebutuhan dan kepentingan stakeholders (3) Karakteristik kelembagaan HKm, (4) Faktor sosial ekonomi pengelola HKm dan (5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan masyarakat. Sedangkan analisis data menggunakan analisis isi, statistik munltinominal logit, korelasi Spearman’s dan ISM (Interpretative Structural Modelling).

Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut (1) Kebijakan tentang pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mengalami perkembangan dalam beberapa komponen adalah konsep HKm dan hak serta kewajiban dari masyarakat dalam pengelolaan HKm. (2) Kebijakan HKm tingkat nasional berdampak terhadap terbangunnya kebijakan HKm pada tingkat provinsi dan kabupaten. Perjalanan kebijakan HKm diikuti dengan berbagai konflik kebijakan dan kepentingan. 3) Bentuk Partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm sebagian besar tidak aktif dalam program perencanaan dan monitoring/evaluasi, tetapi aktif dalam program implementasi. Namun tipe partisipasi masyarakat sebagian besar bersifat kolaboratif, baik dalam program perencanaan, implementasi dan monitoring dan evaluasi. Kemudian tingkat partisipasi masyarakat sebagian besar berada pada tingkatan sedang dan berdasarkan tangga partisipasi Arnstein termasuk pada tingkatan tokenism. (4) Faktor sosial ekonomi dan kelembagaan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan HKm. yaitu Tingkat Usia, Tingkat Pendidikan , Ukuran Rumahtangga, Persepsi, Kepengurusan Kelompok, Pendapatan HKm , Luas Lahan Dikelola, Jarak Rumah dengan Kawasan HKm dan Sejarah Aktivitas Ekonomi pengelola. Kemudian tingkat partisipasi masyarakat pengelola memiliki hubungan positif dengan kondisi ekologi kawasan HKm. (5) Model pengelolaan berkelanjutan dalam kawasan perhutanan sosial di Pulau Lombok adalah Model Agroforestri Basis Gaharu Terintegrasi. Kemudian strategi dalam implementasinya melalui pengembangan prioritas pada elemen kunci dalam orientasi hutan lestari, dukungan kebijakan, pengembangan modal usaha dan mendorong kinerja dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS).

(6)

(Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok)

BAMBANG DIPOKUSUMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan itu tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

Lombok)

Nama Mahasiswa : Bambang Dipokusumo NRP : P062050041

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A

Anggota Anggota

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB Bogor.

2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Ir. Rosiady H. Sayuti, MSc., Ph.D. Kepala BAPPEDA (Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. Departemen Silvikultur Fakultas

(10)

dan hidayah-Nya disertasi ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini fokus pada kajian partisipasi dan merancang model salah satu bentuk perhutanan sosial pada kasus pembangungan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Pulau Lombok. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan metodologi deskriptif, eksploratif dan partisipatif. Oleh karena itu sebagai konsekuensi dari metodologi tersebut, maka digunakan analisis yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Keterbaruan dari penelitian ini yaitu pada aspek kontribusinya terhadap teori partisipasi dan rancangan model partisipatif berkelanjutan yang terbangun.

Terselesaikannya disertasi ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari kontribusi pemikiran dan bimbingan dari bapak-bapak komisi pembimbing dan ketua program studi PSL serta rekan-rekan seperjuangan. Untuk itu pemulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. (Selaku Ketua Komisi Pembimbing)

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. (Selaku Anggota Komisi Pembimbing)

3. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (Selaku Anggota Komisi Pembimbing)

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Selaku Ketua Program Studi PSL)

5. Bapak-bapak Penguji Luar Komisi Pembimbing dan 6. Rekan-rekan seperjuangan PSL Angkatan Tahun 2005

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih tak terhingga, semoga amal dan ibadah bapak dan ibu mendapat balasan dan diterima Allah SWT, amin ...

Bogor, Juli 2011

(11)

Penulis adalah anak ke 8 dari 11 bersaudara dari pasangan R. Surip Padmonobo dan Hj. Siti Zaenab, yang dilahirkan dibKabupaten Lombok Timur NTB tepatnya di Kota Selong pada tanggal 11 Desember 1963. Dalam perjalanan hidup ini, kami pernah memperoleh pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Tamat SMA pada periode tahun 1969-1982 di Kota Selong, kemudian melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Mataram pada tahun 1982 pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Pada tahun 1990 penulis diangkat menjadi tenaga pengajar pada perguruan tinggi Universitas Mataram sampai sekarang ini.

Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Ainul Hayati dan Alhamdulillah dikaruniai buah hati yang bernama Andika Gumilang Kushayadi yang dilahirkan pada tanggal 18 April 1994 dan Andini Rahma Safitri dilahirkan pada tanggal 17 Pebruari 2008. Pendidikan yang sedang ditempuh putra pertama penulis adalah pada kelas XI di SMA 5 Mataram, sedangkan putri kedua penulis baru berusia 3 tahun.

Pada tahun 1997 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan (PWD) pada Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1999. Sepulang sekolah kami aktif melakukan kegiatan akademik dan berbagai kegiatan penelitian pada lembaga Pusat Penelitian Pembangunan Perdesaan (P3P) Universitas Mataram.

Kesempatan pendidikan S3 penulis peroleh kembali pada tahun 2005 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dan berharap selesai pada tahun 2011.

Demikian dan terima kasih kepada semua pihak dan khususnya bapak-bapak pembimbing serta ketua program studi yang telah memberikan motivasi dan arahan selama proses belajar pada perguruan tinggi tercinta ini.

Bogor, Juli 2011 Hormat Penulis,

(12)

Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan

Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Produksi di Pulau Lombok) dapat

terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Institut

Pertanian Bogor.

Terselesaikannya Disertani ini penuh dengan perjuangan,dan pengorbanan

baik dari pribadi sendiri ataupun pengorbanan dari keluarga terutama kedua orang

tua [R. Surip Padmonobo(alm) dan Hj. Siti Zaenab] dan L. Djumudin (alm) dan

Budiati yang selama ini mendidik dan memberikan pelajaran sehingga Penulis

dapat meraih sukses dalam kehidupan dunia ini. Oleh karena itu, maka Ananda

persembahkan disertasi ini sebagai hasil jerih payah mu selama ini. Terimakasih

tak terhingga Penulis ucapkan untuk ayah dan ibu tercinta semoga amal dan

ibadahmu selama ini dapat diterima Allah SWT. Amin ...

Disertasi ini juga ku persembahkan kepada istri tercinta (Ainul Hayati) dan

ananda tersayang (Andika Gumilang Kushayadi) dan Andini Rahma Safitri

sebagai hasil dari perjuangan dan pengorbanan kalian. Kehadiran kalian selama

studi ini memberikan spirit yang dahsyat mendorong dapat terselesaikannya

disertasi ini dan dapat teraihnya gelar Doktor. Semoga baktimu selama ini dapat

menjadi amal dan ibadah dan diterima Allah SWT. Amin ...

Disertasi ini juga kupersembahkan kepada saudara-saudari ku tersayang.

Dengan doa kalian penulis dapat meraih sukses dan dapat menyelesaikan

Program Doktor pada Institut Pertanian Bogor. Terimakasih tak terhingga atas

segala bentuk bantuanmu selama ini, semoga menjadi amal dan ibadah dan

diterima Allah SWT. Amin ...

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih terhadap rekan-rekan yang selama

ini telah memberikan dorongan dan spirit dan semoga amal dan ibadah kalian

diterima Allah SWT. Amin ...

Bogor 5 Juli 2011

Hormat Penulis.

(13)

HALAMAN JUDUL ……… i

PERNYATAAN DISERTASI……… ii

ABSTRACT……….……… iii

RINGKASAN DISERTASI….……… iv

HAK CIPTA ... vi

HALAMAN DISERTASI ……….……… vii

PENGUJI LUAR UJIAN TERTUTUP DAN TERBUKA ... viii

HALAMAN PENGESAHAN ... ix

HALAMAN PERSEMBAHAN ... x

PRAKATA……….……… xi

RIWAYAT HIDUP…….……… xii

DAFTAR ISI ………. xiii

DAFTAR TABEL ……….. xvi

DAFTAR KOTAK ………... xix

DAFTAR GAMBAR……….. xx

DAFTAR LAMPIRAN………. xxiii

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Kerangka Pemikiran…...….………. 12

1.3. Perumusan Masalah……… 20

1.4. Tujuan Penelitian ……… 25

1.5. Manfaat Penelitian ……… 25

1.6. Novelty……….………. 25

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Pemikiran Pengelolaan Partisipatif .……… 27

2.1.1. Paradigma Pembangunan Partisipatif….……… 27

2.1.2. Landasan Filosofis dan Etika Pembangunan Partisipatif 30 2.1.3. Dasar Teori Pengelolaan Partisipatif ………. 36

2.2.Pengertian dan Bentuk Partisipasi………..………. 39

2.2.1. Pengertian Partisipasi ………. 39

2.2.2. Bentuk Partisipasi ... 41

2.2.3. Multipihak dan Aksi Kolektif dalam Sektor Kehutanan .. 45

2.3.Manajemen Pengelolaan Hutan di Indonesia ……… 52

2.3.1. Sejarah Pengelolaan Hutan …..………... 52

(14)

2.3.3. Kegiatan Operasional Pembangunan Hutan

Kemasyarakatan (Hkm)... 64

2.4. Tinjauan Pengelolaan Partisipatif Sektor Kehutanan ……… 68

2.5. Kajian Hasil-hasil Pembangunan Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan.. ……… 71

III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian………... 79

3.2. Rancangan Penelitian……… 79

3.2.1. Metode Pengumpulan Data……… 79

3.2.1.1. Teknik Pengumpulan Data……… 79

3.2.1.2. Metode Penentuan Wilayah Sampel dan Responden……… 80

3.3.2. Variabel yang Diamati……… 83

3.3.3. Metode Analisis Data……… 84

IV KONDISI UMUM PULAU LOMBOK 4.1. Wilayah Administrasi dan Kondisi Alam Pulau Lombok ... 93

4.2. Kondisi Penduduk dan Ketenagakerjaan Pulau Lombok... 94

4.3. Kondisi Perekonomian Pulau Lombok... 98

4.4. Kondisi Hutan di Pulau Lombok... 100

4.5. Kondisi Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 104

V DINAMIKA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK 5.1. Dinamika dan Isi Kebijakan Pemerintah tentang Hutan Kemasyarakatan ... 109

5.2. Perkembangan dan Implementasi Kebijakan Daerah tentang Hutan Kemasyarakatan... 118

5.3. Konflik Kebijakan dan Kepentingan Parapihak dalam Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 123

5.3.1. Konflik Kebijakan Hutan di Pulau Lombok ... 124

5.3.2. Konflik Kepentingan Para Pihak dalam Pembangunan HKm di Pulau Lombok ... 139

5.4. Dampak Kebijakan Hutan Kemasyarakatan Terhadap Kondisi Ekologi Kawasan ... 143

VI POLA PENGELOLAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK 6.1. Karakteristik Masyarakat Pengelola Hutan Kemasyarakatan .. 147

6.2. Pola Rekrutmen Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok ... 150

6.3. Kelembagaan Masyarakat dan Hutan Kemasyarakatan... 153

6 .3.1. Kelembagaan Masyarakat ... 155

6.3.2. Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan ... 159

6.3.2.1.Struktur Organisasi ... 159

6.3.2.2. Aturan Main ... 167

(15)

6.4.2. Pemberdayaan Masyarakat Kawasan Hutan

Kemasyarakatan ... 181

6.4.3. Perkembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat Pengelola Hutan Kemasyarakatan... 186

VII PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK 7.1. Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan ... 195

7.2.Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakat ... 204

7.2.1. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Masyarakat... 204

7.2.2. Pengaruh Faktor Kelembagaan Terhadap Partisipasi Mayarakat ... 214

7.3. Tingkat Partisipasi dan Kelembagaan dan Hubungannya dengan Kondisi Ekologi Kawasan ... 217

7.4. Paradoks Teori Partisipasi Dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan ... 222

VIII RANCANGAN ALTERNATIF MODEL PARTISIPATIF PERHUTANAN SOSIAL BEKELANJUTAN DI PULAU LOMBOK 8.1. Alternatif Model Dalam Kawasan Hutan Kemasyarakatan ... 227

8.2. Rancangan Prioritas Alternatif Dalam Model Partisipatif Perhutanan Sosial Terintegrasi... 230

8.3. Strategi Pengelolaan Perhutanan Sosial Partisipatif Berkelanjutan ... 247

8.3.1. Elemen Tujuan Pengelolaan Berkelanjutan Model Partisipatif Perhutanan Sosial... 248

8.3.2. Elemen Kebutuhan Pengelolaan Berkelanjutan Model Partisipatif Perhutanan Sosial... 250

8.3.3. Elemen Kendala Utama Pengelolaan Berkelanjutan Model Partisipatif Perhutanan Sosial ... 253

8.3.4. Elemen Aktor yang Dilibatkan Pengelolaan Berkelanjutan Model Partisipatif Perhutanan Sosial. ... 254

IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan... 257

9.2. Saran... 259

DAFTAR PUSTAKA……….. 261

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kepentingan Pemerintah, Masyarakat, Swasta dan LSM dalam

Pengelolaan Sumberdaya Hutan ……….. 36

2 Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein (1969) …….. 42

3 Perbedaan Berbagai Aspek Model Perhutanan Sosial (Social

Forestry) di Indonesia ... 61

4 Isu Kehutanan Diberbagai Negara Asia dan Afrika ... 77

5 Distribusi Luas Areal HKm dan Jumlah Anggota (Pesanggem) di

Provinsi Nusa Tenggara Barat………. 82

Sebaran Wilayah Sampel dan Jumlah Responden Petani HKm di

Pulau Lombok ……… 82

7 Nilai Skor Partisipasi Masyarakat pada Setiap Tahapan

Perencanaan, Implementasi dan Monitoring dan Evaluasi ……… 85

8 Contoh Structural Self Interaction Matrix (SSIM) ……….. 90

9 Contoh Reachability Matrix (RM) ……… 91

10 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk pada Kabupaten Sample di

Pulau Lombok Tahun 1971-2007 ……….. 95

11 Jumlah Rumahtangga dan Anggota Rumahtangga yang Bekerja

pada Sub Sektor Kehutanan di Pulau Lombok. ... 96

12 Jumlah Anggota Rumahtangga > 10 tahun dan Bekerja pada

Lapangan Usaha di Sub Sektor Kehutanan di Pulau Lombok ... 97

13 Distribusi Nilai dan Laju Pertumbuhan PDRB pada Tiga Kabupaten Pulau Lombok Menurut Sektor Atas Dasar Harga

Konstan Tahun 2000 (dalam 000.000) ... 98

14 Luas Hutan Menurut Fungsinya pada Kabupaten di Pulau

Lombok Tahun 2009... 100

15 Luas Lahan Kritis di dalam dan di luar Kawasan Hutan pada

Setiap Kabupaten di Pulau Lombok ... 101

16 Neraca Air Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau

Lombok ... 103

17 Luas Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Distribusi Luas pada

Setiap Kabupaten di Pulau Lombok Tahun 2009. ... 105

18 Jenis Tanaman Kayu dan MPTS pada Kawasan HKm pada Hutan

Lindung dan Hutan Produksi di Pulau Lombok Tahun 2008... 107

19 Perubahan Konsep, Hak dan Kewajiban Kebijakan tentang HKm

mulai Tahun 1995 sampai dengan Tahun 2007... 113

(17)

20 Perbedaan Sistem Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Taman

Hutan Raya... 129 21 Kebutuhan dan Kepentingan Para Pihak Terlibat dalam

Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok...

140 22 Komposisi Tanaman Hutan dan Persentase Tumbuh pada

Kawasan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 144

23 Jumlah Peserta HKm Berdasarkan Inisiator dalam Program

PembangunanHutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 151

24 Fungsi dan Peranan Kelompok dalam Pembangunan pada

Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok ... 160

25 Pola Agroforestri yang Dikembangkan Pesanggem dalam

Kawasan HKm di Pulau Lombok ... 175

26 Komposisi dan Jenis Daya Tumbuh Tanaman pada Lokasi Sampel

HKm pada Hutan Lindung di Pulau Lombok... 179

27 Aktivitas Ekonomi Masyarakat Pesanggem HKm pada Kawasan

Hutan Lindung di Pulau Lombok ... 188

28 Distribusi Pendapatan Rumahtangga Pesanggem HKm Pada

Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 190

29 Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada

Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 198

30 Distribusi Tipe Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

HKm pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok ... 199

31 Tingkat Partisipasi Masarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau

Lombok... 201

32 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan

Hutan Lindung di Pulau Lombok... 205

33 Distribusi Partisipasi Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada

Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 210

34 Hasil Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 211

35 Komposisi Jenis dan Daya Tumbuh Tanaman pada Lokasi Sampel

HKm pada Hutan Lindung di Pulau Lombok... 219

36 Hasil Analisis Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dan Daya Tumbuh Tanaman Kayu dan MPTS Dalam Area HKm Hutan

(18)

37 Hasil Analisis AHP dalam Penyusunan Model Perhutanan Sosial Partisipatif dan Bekelanjutan pada Kawasan Hutan Lindung di

Pulau Lombok ……… 235

38 Uraian Tugas Stakeholder dalam Pembangunan Hutan

Kemasyarakatan di Pulau Lombok ... 240

39 Skenario Analisis Usahatani Tanaman Gaharu per Hektar Areal

(19)

DAFTAR KOTAK

Halaman

1 Perkembangan Kebijakan HKm pada Tingkat Nasional dan Daerah di Pulau Lombok ………

110

2 Kondisi Kelembagaan dan Sebaran Lokasi Kawasan HKm di Pulau

Lombok ...………...……… 117

3 Hak dan Tanggungjawab antara pemerintah dan Masyarakat dalam

Kelembagaan KMPH Sesaot ... 120

4 Perda Provinsi NTB Nomor 6 Tahun 2004 Tidak Menjadi Acuan

Implementasi HKm di Provinsi Nusa Tenggara Barat ………….. 126

5 Masyarakat dalam Kebimbangan dan Penuh Harapan Terhadap

Kawasan HKm ...…... 128

6 Kronologis Tahura Nuraksa Sesaot Kabupaten Lombok Barat…… 131

7 Sejarah Masyarakat Desa Seitar Kawasan Hutan Kemasyarakatan .... 149

8 Kelembagaan Komunikasi HKm Pasif Karena Pendanaan Kelompok... 162

9 Perubahan Awik-awik Melalui Pengaturan Benefit dan Komposisi Tanaman ...…...

170 10 Pengertian, Ciri dan Bentuk Agroforestri di Pulau Lombok... 174

11 Masyarakat Pesanggem Lebih Berpikir Ekonomi Jangka Pendek... 177

12 Tanaman Nilai Ekonomi Tinggi Lebih Penting daripada Tanaman

Konservasi ... ... 192

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ………... 12

2 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ……… 19

3 Skema Perumusan Masalah Penelitian ……….. 24

4 Skema Hubungan Antar Pihak dalam Proses Kehutanan

Multipihak …... 48

5 Skema Analisis Barang yang Bersifat Common ………. 52

6 Struktur Institusi Pengelolaan Sumberdaya ………. 60

7 Skema Perijinan Kawasan Hutan Kemasyarakatan ……… 66

8 Hubungan Simbolik Penglolaan Kawasan Hutan Sebagai Dasar dari Tujuan Perencanaan….………

71

9 Peta Wilayah Sampel Penelitian ………. 81

10 Contoh Grafik Hirarki dari Elemen-elemen Matriks Kanonikal .. 92

11 Contoh Grafik Hasil Analisis Interpretative Structral Modelling

(ISM)... 92

12 Peta Sebaran Lahan Kritis di Pulau Lombok ... 102

13 Alternatif Pendekatan Penyelesaian Konflik Kebijakan Tahura

Nuraksa Sesaot Pulau Lombok. ... 137

14 Tingkatan Kebutuhan dan Kepentingan Para Pihak dalam Pembangunan HKm di Pulau Lombok... 142

15 Hubungan Kelembagaan Sosial dan Kelembagaan Formal dengan Kelompok Masyarakat HKm dalam Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 154

16 Peran dan Kedekatan Hubungan Kelembagaan Masyarakat dengan Kawasan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 157

17 Bagan Struktur Organisasi Forum HKm Kawasan Hutan

Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat... 163

18 Bagan Struktur Organisasi HKm Desa Sesaot Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat... 164

19 Bagan Struktur Orgnisasi SPHKm Kepontren Darus Shiddiqien Desa Aikberik Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok

Tengah... 164

(21)

21 Hubungan Kerja Kelembagaan/Stakehoders dalam Program Pembangunan HKm di Pulau Lombok ...

215

22 Hirarki Prioritas Model Berkeanjutan Dalam Kawasan Hutan

Kemasyarakatan di Pulau Lombok... 228

23 Kontribusi Kriteria Dalam Pembangunan Model Agroforestri

pada Kawasan HKm di Pulau Lombok... 229

24 Bagan Alur Analisis AHP Model Perhutanan Sosial Berkelanjutan di Pulau Lombok. ... 233

25 Bagan Hirarki dari Hasil Analisis AHP dalam Penyusunan Model Perhutanan Sosial Partisipatifdan Berkelanjutan pada

Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok... 234

26 Grafik Kontribusi Tujuan Terhadap Model Partisipatf Perhutanan Sosial di Pulau Lombok... 236

27 Grafik Kontribusi Faktor Terhadap Model Partisipatf Perhutanan Sosial di Pulau Lombok... 237

28 Grafik Kontribusi Aktor Terhadap Model Partisipatf Perhutanan

Sosial di Pulau Lombok... 239

29 Grafik Kontribusi Alternatif Terhadap Model Partisipatf Perhutanan Sosial di Pulau Lombok... 241

30 Rekayasa Bagan Organisasi HKm di Pulau Lombok... 246

31 Struktur Hirarki Sub Elemen Tujuan Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan di Pulau Lombok... 249

32 Matrik Driver Power dan Dependence Sub Elemen Tujuan Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan

di Pulau Lombok... 249

33 Struktur Hirarki Sub Elemen Kebutuhan Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan di Pulau

Lombok... 250

34 Matrik Driver Power dan Dependence Sub Elemen Kebutuhan Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan

di Pulau Lombok... 251

35 Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala Pembangunan Perhutanan

Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan di Pulau Lombok... 253

36 Matrik Driver Power dan Dependence Sub Elemen Kendala Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan

di Pulau Lombok... 254

(22)

37 Struktur Hirarki Sub Elemen Aktor Pembangunan Perhutanan

Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan di Pulau Lombok... 255

38 Matrik Driver Power dan Dependence Sub Elemen Aktor Pembangunan Perhutanan Sosial Partisipatif dan Berkelanjutan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Sebaran Lokasi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Nusa Tenggara Barat……….

273

2. Perubahan Konsep, Hak dan Kewajiban Pesanggem Dalam

Kebijakan HKm mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2007…… 275 3 Hasil Analisis Multinominal Logit Tahap Perencanaan: Pengaruh

Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan

Hutan Lindung di Pulau Lombok ………. 277

4. Hasil Analisis Multinominal Logit TahapImplementasi: Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan

Hutan Lindung di Pulau Lombok ………. 278

5 Hasil Analisis Multinominal Logit Tahap Perencanaan: Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan

Hutan Lindung di Pulau Lombok ………. 279

6 Hasil Analisis Multinominal Logit: Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan

Lindung di Pulau Lombok ………. 280

7 Hasil Analisis Korelasi Antara Partisipasi dengan Pertumbuhan

Tanaman Kayu ... 281 8 Hasil Analisis AHP dalam Penilaian Pakar (Skor) Terhadap Model

Prioritas Sistem Agroforestri untuk Pengembangan Kawasan

HKm di Pulau Lombok ... 282 9 Hasil Analisis AHP dalam Penilaian Pakar (Skor) pada Kriteria

Fokus Terhadap Model Integrasi untuk Pengembangan Kawasan

HKm di Pulau Lombok... 282 10 Hasil Analisis AHP dalam Penilaian Pakar (Skor) Terhadap

Prioritas Model Integrasi Perhutanan Sosial Berkelanjutan dalam

(24)

Hutan memiliki peranan sangat penting dalam penyangga kehidupan di

bumi ini, sehingga ungkapan bahwa “Forest is the Mother of the Sea” adalah sangat pantas bagi salah satu sumberdaya yang keberadaannya cukup

memprihatinkan saat ini. Namun mengingat nilai ekonomi yang dimiliki

sumberdaya hutan yang cukup tinggi menyebabkan sumberdaya hutan dijadikan

sebagai sumber pendapatan nasional untuk menopang pembangunan lebih dari

tiga puluh tahun ini. Tingginya ketergantungan negara pada sumberdaya hutan

sebagai sumber pendapatan negara memberikan dampak yang cukup serius yaitu

kehilangan kawasan hutan di Indonesia sebesar 61 juta hektar (32,24 %) pada

periode tahun 1950-tahun 2003 yaitu dari luas 162.290.000 hektar menjadi

109.691.844,05 hektar (FWI and GWF. 2001; DIRJEN RLPS. 2003).

Banyak faktor yang menyebabkan kehilangan dan kehancuran sumberdaya

hutan di Indonesia. Selain karena kekeliruan manajemen masa lalu, namun

disebabkan juga oleh faktor lain seperti bencana alam, illegal logging dan perambahan hutan. Artinya, kehancuran sumberdaya hutan tersebut bukan hanya

karena kesalahan kebijakan pemerintah, namun terdapat juga karena kontribusi

masyarakat. Ironisnya kehancuran sumberdaya hutan tersebut semakin parah dan

mengalami peningkatan pada kondisi dimana sedang terjadi perubahan paradigma

pembangunan sektor kehutanan yaitu dari Forest Timber Management menuju

Forest Community Management. Selain itu juga, reformasi dan otonomi daerah

dapat dianggap cukup berkontribusi terhadap kehancuran hutan di Indonesia.

Keadaan ini tentunya berkaitan dengan ketergantungan daerah pada sumberdaya

hutan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah.

Kehancuran sumberdaya hutan terlihat dari laju kerusakan hutan lima tahun

terakhir ini yang mengalami peningkatan sebesar 3,8 juta hektar pertahun dari

angka semula yang kurang 2 juta hektar pertahun (Iskandar dan Nugraha 2004).

Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72 % hutan asli

Indonesia hilang dan dari sisa 28 % dari hutan asli tersebut ternyata 25 % atau

sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah (FWI. 2003). Pembangunan hutan

(25)

berjangka waktu lima tahun hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar,

sementara itu kerusakan hutan dalam 5 tahun seluas 12 juta hektar sehingga 10,5

juta hektar akan terabaikan.

Kehancuran sumberdaya hutan tersebut hampir terjadi pada seluruh provinsi

di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil konsorsium pada

tahun 1991 telah mengungkapkan bahwa kondisi sumberdaya hutan di Nusa

Tenggara khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat cukup memprihatinkan

akibat dari ancaman ledakan penduduk, perambahan, pencurian kayu (illegal logging), konflik perbatasan, kebakaran dan konflik perubahan status serta bencana alam (Fisher et al. 1999). Faktor-faktor tersebut mengakibatkan kerugian negara atau hilangnya nilai ekonomi sumberdaya hutan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Besarnya kerugian ekonomi untuk tahun 2005 diperkirakan

sebesar Rp. 341.180.228,04 (IDS. 2006).

Bila dikaji secara spasial bahwa luas kawasan hutan di Pulau Lombok yaitu

162.437,14 hektar atau 15,16 % dari luas kawasan hutan di Propinsi Nusa

Tenggara Barat (1.098.044,08 hektar). Dari luas kawasan hutan tersebut ternyata

48,08 % telah menjadi lahan ktritis dengan sebaran 22,86 % (120.681,76 hektar)

berada di Pulau Lombok. Gangguan biofisik tersebut berada dalam kawasan hutan

lindung dan sangat mengkhawatirkan, mengingat luas hutan lindung di Pulau

Lombok hanya 78.141,37 hektar atau 17.45 % (DEPHUT RI. 2002; DISHUT

NTB. 2006).

Hasil temuan Kusumo et al. (2004) bahwa kawasan hutan lindung di Kabupaten Lombok Timur mengalami kerusakan secara biofisik akibat dari

penyerobotan lahan atau perambahan (sekitar 300 hektar) dan kurang

berkembangnya teknologi serta dominan berkembangnya tanaman pangan

daripada tanaman multiguna dan hutan. Demikian juga dengan temuan Markum

el al. (2004) bahwa laju pertumbuhan lahan kritis dalam kawasan hutan diikuti juga oleh semakin berkurangnya atau kehilangan jumlah sumber mata air di Pulau

Lombok.

Dengan demikian, usaha pemerintah selama ini untuk mengatasi

permasalahan kerusakan sumberdaya hutan melalui pengembangan perhutanan

(26)

optimum. Model Perhutanan Sosial (social Forestry) tersebut merupakan salah satu bentuk atau wujud dari perubahan paradigma pembangunan sektor kehutanan

dari konsep forest timber management menjadi forest community management dengan melibatkan masyarakat dan para pihak lainnya dalam pengelolaan hutan,

sehingga pengelolaan kehutanan dapat berkelanjutan.

Meskipun perhutanan sosial telah diterapkan, namun sebaliknya masih juga

menyisakan keluarga miskin terutama yang berdomisili di dalam dan disekitar

kawasan hutan. Temuan CIFOR bahwa jumlah masyarakat tergolong dalam

katagori miskin sekitar 10,2 juta orang dari 48,8 juta orang yang berdomisili di

sekitar kawasan hutan (Siahaan 2007). Sementara itu, penduduk miskin di

Provinsi NTB diperkirakan sekitar 26 % dan 20-40 % (200.000-400.000 jiwa)

berdomisili disekitar hutan. Ironisnya kelompok masyarakat miskin tersebut

dituding oleh kelompok industri kehutanan sebagai faktor penyebab atau ancaman

terjadinya illegal logging dan kerusakan 40 % dari luas areal hutan di Indonesia pada tahun 2003 (Contreras and Hermosilla. 2005).

Perubahan paradigma pembangunan ini tentunya tidak terlepas dari

dorongan hasil kesepakatan internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia

di Stockholm (1972) mengenai degradasi lingkungan hidup; Kongres Kehutanan

Dunia Tahun 1978 di Jakarta yang bertema Forest for People; Laporan World

Commision on Environment and Development (Our Common Future) oleh

Brundtland (1987), mengenai pembangunan berkelanjutan, KTT Bumi di

Johanesburg tahun 2002 yang meninjau kembali dari konferensi PBB mengenai

lingkungan dan Pembangunan di Rio De Janeiro 1992 (WCED 1987 ; DEPHUT

RI 2003; Suthamihardja 2004).

Konsep pembangunan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi

masyarakat dalam proses pembangunan memiliki tujuan yaitu meningkatkan

kesejahteraan penduduk pedesaan termasuk yang berdomisili di dalam dan

disekitar kawasan hutan, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan

mampu merubah penghidupan mereka. Pendekatan yang sifatnya partisipatif dan

memihak pada masyarakat miskin dipedesaan dikenal sebagai pendekatan populis

(27)

Partisipatif dalam konteks penelitian ini merupakan proses pelibatan

masyarakat dalam program pembangunan, baik dalam proses pengambilan

keputusan dan kontrol terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang

mempengaruhi kehidupan mereka1

Keraf diacu dalam Siahaan (2007) menguraikan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan menjadi lima prinsip yaitu a).

Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial; b). Prinsip Demokrasi c). Prinsip

Pendekatan Integral; d). Prinsip Perspektif Hari Esok dan e). Prinsip Menuntut . Anderson (2000) di dalam Nurrochmat (2005)

menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki potensi menuju pengelolaan

hutan menjadi lebih baik, namun juga diingatkan bahwa partisipasi itu sendiri

tidak menjamin bahwa orang akan memperoleh lebih banyak benefit dan menjadi

lebih tertarik dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Tatanan ini berada

pada asumsi umum yaitu; (1) masyarakat lokal memiliki kemauan dan

kemampuan mengelola sumberdaya alam secara lestari, (2) masyarakat lokal

homogen dan stabil, (3) pengetahuan lokal yang spesifik sesuai untuk pengelolaan

sumberdaya alam secara lestari.

Keberpihakan pemerintah pada penduduk miskin pedesaan ini sangat

wajar karena kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pinggiran hutan yang

sangat rentan dengan perubahan ekonomi, sosial dan politik. Sebagai contoh,

dalam kasus terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 memberikan

dampak pada perubahan sosial ekonomi masyarakat yang memiliki usaha

dibidang kehutanan. Konflik sosial seperti perambahan, pencurian produk

kehutanan terjadi sebagai akibat dari ketimpangan distribusi pendapatan

masyarakat karena perubahan harga dari beberapa produk kehutanan. Meskipun

terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga akibat dari meningkatnya harga

produk kehutanan, namun sebaliknya terjadi peningkatan konsumsi masyarakat

akibat inflasi, sehingga menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat

(Darusman et al. 2001).

1

Definisi tersebut diturunkan dari konsep partisipasi meurut World Bank (1994) dan Jenning

(2000). Menurut World Bank (1994): 'Participation is a process through which stakeholders

(28)

dan Menghargai Keanekaragaman Hayati. Kemudian Mitchell, Setiawan dan

Rahmi (2003) menguraikan beberapa alasan pentingnya partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yaitu; a).

Merumuskan persoalan menjadi lebih efektif; b). Merumuskan alternatif

penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima; c). Mendapatkan

informasi dan pemahaman di luar jangkauan ilmiah; d). Membentuk perasaan

memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya.

Chambers (1983) menyatakan bahwa strategi untuk mendukung partisipasi

masyarakat dalam hal ini adalah melalui proses pembelajaran dan manajemen.

Efektifitas proses pembelajaran dan manajemen tersebut dapat dilaksanakan

melalui learning by doing (empowerment) atau pemberdayaan (Karki 2001).

Vandana Shiva (1991) diacu dalam Karki (2001) menemukan ada dua hal penting

dalam pelibatan masyarakat dalam pembangunan, yaitu (a) masyarakat sebagai

mayoritas marginal memiliki hak untuk menentukan bagian mereka dalam

pembangunan dan (b) masyarakat marginal pada hakekatnya tahan terhadap

persepsi ekologi ketika kelompok banyak kehilangan hak sebagai hasil interaksi

dengan lingkungan dimana mereka hidup. Menurut Cernea (1989) bila partisipasi

yang benar-benar terjadi, maka partisipasi masyarakat harus memberikan cara

untuk mengidentifikasi secara benar siapa orang yang berpartisipasi dan

bagaimana mereka diorganisasi.

Model partisipatif yang menggabungkan antara konservasi sumberdaya

alam dan pengembangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan berkembang

sejak tahun 1990-an, seperti program ICD (Integrated Conservation and

Development) yang didanai oleh USAID dan Bank Dunia dan IPAS

(Integrated Protected Area System) didanai ADB (Wells et al. 1992). Sementara itu, bentuk partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dimulai

sejak dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995

tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan dan direvisi oleh

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 dan

direvisi kembali dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001.

Kesemua keputusan menteri tersebut merupakan kekuatan hukum dalam pelibatan

(29)

lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak ataupun kawasan hutan

dengan kondisi kritis.

Jeffrey Y. Campbell menyatakan bahwa Hutan Kemasyarakatan (HKm)

merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial memberikan hak kepada

masyarakat atas produk hutan non kayu dari jenis pohon multiguna, tetapi tidak

punya hak dalam pengelolaan secara keseluruhan dan tidak punya hak untuk

memungut kayu. Penyerahan hak pada hakekatnya merupakan penyerahan

kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola

kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian

kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, peningkatan

akuntabilitas publik dan kepastian hukum (Colfer dan Resosudarmo 2003;

Munggoro et al. 2001).

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Teggara Barat Nomor 6

Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di

Propinsi Nusa Tenggara Barat memberikan definisi Hutan Kemasyarakatan

(HKm) sebagai kawasan hutan yang dikelola oleh kelompok usaha masyarakat

setempat dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa

mengganggu fungsi pokok hutan2

2

Definisi HKm berdasarkan Keputusan Menhut Nomor 31/Kpts-II/2001 dalam pasal 1 ayat 1.

. Secara umum pengembangan Hutan

Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan penting yaitu untuk mewujudkan

keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar hutan melalui

manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya dari hutan secara seimbang dan

berkelanjutan (PEMDA NTB. 2004).

Dalam lima tahun terakhir ini yaitu periode tahun 1999 - tahun 2003

realisasi HKm di Indonesia hanya 50.644 hektar dari luas yang hektar

direncanakan 53.894 hektar. (Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,

2004). Sementara itu, luas areal Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Provinsi Nusa

Tenggara Barat sampai dengan tahun 2005 sekitar 7.600 hektar. Jumlah ini sangat

jauh lebih kecil dibandingkan dengan laju kerusakan areal hutan yang berubah

lahan kritis seluas 527.962,11 hektar. Reboisasi dan GN-RHL hanya mampu

mengatasi 5,09 % (26.886,22 hektar) dari luas lahan kritis yang ada (DISHUT

(30)

Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang HKm tersebut

ternyata memberikan peluang terbentuknya pembangunan kehutanan partisipatif.

Selain pelibatan masyarakat lokal, juga dapat terlibat pihak lainnya. Para pihak

(stakeholders) itu sendiri merupakan individu maupun organisasi yang tertarik dalam pengambilan keputusan. Dengan terbangunnya pengelolaan hutan secara

partisipatif yang terimplementasi dalam Program Pembangunan Hutan

Kemasyarakatan (HKm) akan memberikan dampak terhadap model HKm dan

bentuk partisipasi masyarakat (sebagai pihak utama dalam pengelolaan) dalam

program pembangunan HKm itu sendiri.

Bentuk partisipasi tersebut disamping partisipasi individu, dapat juga

berupa aksi kolektif (collective action) yang merupakan kolaborasi kepentingan dan keputusan bersama. Aksi kolektif dapat mengendalikan prilaku opportunistic dan dapat juga menghilangkan penumpang gelap (free rider) dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi. Namun aksi kolektif memiliki

kelemahan pada kelompok terlalu besar, karena dapat menggagalkan tujuan

bersama. Setiap individu tidak dapat memberikan masukan untuk membangun

tujuan bersama, sehingga diibaratkan sebagai pasar persaingan sempurna (Olson

1977; Singleton 1999).

Tentunya perbedaan bentuk dan tingkat partisipasi tersebut mempengaruhi

partisipan dalam proses pengambilan keputusan. Creighton di dalam Howell et al. (1987) menyatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan ukuran dari

efektivitas pelibatan masyarakat dalam program pembangunan. Ketimpangan

kekuatan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kapasitas sumberdaya

manusia. Howell et al. (1987), menyatakan bahwa kapasitas sumberdaya manusia dapat berupa pengetahuan yang dimilikinya. Prabhu et al. (1999) diacu dalam Pokorny et al. (2003) menemukan bahwa kegagalan keberlanjutan pengelolaan hutan disebabkan juga oleh beberapa faktor yaitu adanya jarak informasi antar

stakeholders, lemahnya komunikasi termasuk nilai, pengetahuan dan gaya hidup,

ketidakjelasan dalam memfasilitasi masyarakat dan kurangnya penguatan

masyarakat (capacity building) pada tahap akhir proyek.

Dengan adanya kebijakan pemerintah yang berkaitan perhutanan sosial yang

(31)

telah memberikan peluang terbangunnya model-model HKm yang tergantung

pada inisiator dan bentuk kelembagaan serta mekanisme pemberdayaan yang

dilakukan. Model-model HKm tersebut dapat berupa HKm Koperasi, HKm

Perhutani HKm OECF, HKm LSM dan HKm Perguruan Tinggi. Sebagai

konsekuensi dari beragamnya model HKm tersebut dapat menciptakan bentuk

partisipasi masyarakat, pemberdayaan, pendapatan dan kondisi ekologi kawasan

hutan. Keadaan yang demikian ini dapat terjadi sebagai akibat dari adanya

perbedaan kebutuhan dan kepentingan dari masing-masing masyarakat ataupun

stakeholders lainnya.

Dari realita yang ada bahwa model HKm yang di kembangkan di Pulau

Lombok dan berlokasi sebagian besar dalam kawasan hutan lindung ternyata

masih menyisakan persoalan seperti lemahnya kemampuan tenaga teknis (staf)

dalam menterjemahkan kebijakan, lemahnya persoalan assistensi teknis dan

pendidikan, permasalahan ekonomi politik, persoalan kelembagaan (penguasaan

hak dan akses terhadap lahan), dan permasalahan partisipasi yang gagal serta

persoalan kerusakan ekologi sumberdaya hutan. Permasalahan tersebut,

menyebabkan pengelolaan hutan lindung melalui pembangunan HKm menjadi

tidak berkelanjutan. Gejala tidak berkelanjutan dan kegagalan perhutanan sosial

dalam hal ini Hutan Kemasyarakatan (HKm) tidak hanya terjadi di Pulau

Lombok, namun terjadi juga pada tempat lain seperti di luar negeri dan tempat

lain di Indonesia.

Beberapa kasus kegagalan perhutanan sosial diluar negeri ditunjukkan mulai

dari kasus kegagalan kelembagaan perhutanan sosial di India yaitu

pengembangan model JFM (Joint Forest Management) ternyata memberikan dampak negatif yaitu menyebabkan terjadinya degradasi lahan sebesar 42 % dari

luas hutan 633.400 hektar (Khare et al. 2000; Sinha dan Suar 2005). Kemudian pada kasus di Pakistan yaitu masih berlakunya kebijakan pemerintah Pakistan

(peninggalan penjajah) dalam sektor kehutanan tidak mampu mengatasi persoalan

perambahan hutan oleh mafia dan masyarakat tertentu serta konflik vertikal dan

horizontal (Ahmed dan Mahmood 1998). Kasus di Kameron yaitu model

(32)

Taman Nasional Lac Lobeke gagal mengendalikan illegal logging yaitu (Jell and Machado 2002). Lemahnya kontrol pemerintah di sektor kehutanan menyebabkan

terjadinya degradasi hutan seluas 1,4 juta hektar pada periode tahun 1973-1993.

Model kolaboratif tidak dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan Taman

Nasional Mount Elgon Norwegia. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran

masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan dalam taman

nasional. Konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan organisasi

taman nasional dan terbatasnya komunikasi masyarakat dengan pengelola

tanaman nasional menyebabkan hancurnya agroforestry yang dikembangkan oleh

masyarakat sendiri (Hinchley et al. 1998).

Untuk kasus kegagalan perhutanan sosial di Indonesia ditunjukkan oleh

kehancuran HKm pada beberapa tempat, seperti munculnya konflik yang terjadi

antara masyarakat di Kelurahan Sumber Agung Lampung. Konflik terjadi sebagai

akibat lemahnya kelembagaan yang mengatur kawasan HKm tersebut. Pasya dan

Nurka (2001) dalam Rahardjo et al. (2006) mengungkapkan bahwa dengan adanya dorongan motif ekonomi sebagian masyarakat melalui penjarangan pohon

sonokling hasil reboisasi dan diolah menjadi arang sonokling tanpa

mengkomunikasikannya dengan kelompok masyarakat lainnya sebagai faktor

penyebab timbulnya konflik tersebut.

Kemudian kasus HKm di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat yang

dihadapi oleh PT. Perhutani yaitu permasalahan kelembagaan, dimana

kelembagaan yang terbangun belum mampu untuk mengatasinya sebagai akibat

lemahnya aturan main dan implementasinya. Terjadinya alih pemilikan lahan dari

petani pesangem ke pihak luar atau bukan anggota kelompok memicu konflik antar masyarakat dengan pihak pemerintah (dinas kehutanan) setempat dan juga

antara petani pesangem dengan pihak luar. Persoalaan kelembagaan lainnya juga

ditemukan oleh Amiruddin (1998) bahwa Program Hutan Kemasyarakatan (HKm)

di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu lemahnya

kelembagaan yang terbentuk antara PT. Perhutani dengan masyarakat pesanggem

(pengelola) dalam sistem bagi hasil dari tanaman MPTS akan memberikan

(33)

yang dikelolanya secara tidak syah atau illegal (Amiruddin dalam Suhardjito 2006).

Kasus kegagalan kelembagaan HKm di Pulau Lombok terjadi pada

beberapa kebupaten, seperti kegagalan HKm pada Kawasan Hutan Lindung

Sesaot Kabupaten Lombok Barat. Permasalahan kebijakan pemerintah atau

kelembagaan yang ada belum mampu mengatasi persoalan perambahan hutan.

Kondisi ini terlihat dari luas awal kawasan HKm (25 hektar) yang dikelola oleh

masyarakat dengan status diakui pemerintah dan terjadi perambahan oleh

masyarakat sendiri seluas 211 hektar (Direktorat Bina HKm, 2003). Demikian

juga dengan temuan Kusumo et al. (2004) untuk Kasus PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Kabupaten Lombok Timur dan Muktazam et al. (2004) untuk Kasus Petani Lahan Kering di Pulau Lombok menemukan bahwa

kelembagaan dalam PHBM belum mampu untuk mengatasi persoalan biofisik dan

perambahan kawasan hutan serta kelembagaan. Permasalahan biofisik terlihat dari

erosi lahan cukup tinggi dan tutupan kawasan HKm yang cukup terbuka (20 %

-30%) dan bahkan temuan Amiruddin et al. (2001) bahwa tutupan lahan kolektif mencapai 21,5 % - 85 %.

Sementara itu, permasalahan perambahan terlihat dari meningkatnya luas

pengelolaan lahan masyarakat yang mencapai lebih dari 100 % dari luas lahan

yang diakui pemerintah. Demikian juga dengan temuan Humaidi (2006) bahwa

kasus kehancuran sumberdaya hutan berhubungan dengan terpasung dan

kehancuran institusi adat. Masyarakat adat kehilangan haknya atas pengelolaan

sumberdaya hutan. Kehilangan hak tersebut disebabkan oleh kebijakan

pemerintah yang merubah lahan yang statusnya Hak Ulayat menjadi Tanah Gege.

Perubahan status hak tersebut memicu terjadinya perambahan oleh oknum pejabat

pemerintah dan masyarakat sejak tahun 1980-an (Humaidi dalam Suharjito 2006) Kondisi yang demikian tersebut telah diungkapkan oleh Chambers (1991) di

dalam Karki (2001) bahwa kegagalan sejumlah program pengelolaan sumberdaya

alam berkaitan dengan tidak dihargainya budaya lokal atau kearifan lokal yang

merupakan kelembagaan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Menurut

Schmid (1987), kelembagaan dapat berupa aturan main dan organisasi, sehingga

(34)

interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui

inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi

(Kartodihardjo 2006a; Peters 2000).

Dari temuan berbagai hasil penelitian dan fakta bahwa model-model HKm

yang berkembang di Pulau Lombok, baik yang diinisiasi oleh pemerintah, swasta,

LSM dan perguruan tinggi belum mencapai prinsip yang ada dalam konteks

pembangunan berkelanjutan dalam sektor kehutanan yaitu dari aspek sosial dapat

diterima oleh masyarakat, dari aspek ekonomi memberikan keuntungan (feasible) dan dari aspek ekologi adalah hutan lestari. Konsep yang menggabungkan antara

tiga pilar pembangunan kehutanan yang ada saat ini ternyata belum optimal

terbangun dan terimplementasi. Sebagai akibatnya menghasilkan berbagai

persoalan dengan gejala kerusakan biofisik, sosial dan kelembagaan, ekonomi

dan ekologi muncul pada kawasan pembangunan HKm. Persoalan tersebut dapat

juga terjadi sebagai akibat dari lemahnya manajemen pada ruang perencanaan

awal, implementasi dan monitoring/evaluasi hasil pembangunan HKm. Seperti

yang diungkapkan oleh Dagne (2001) bahwa perencanaan kiranya merupakan

faktor penting dalam proses pembangunan dan keberhasilan pembangunan itu

sendiri.

Dengan masih terjadinya kegagalan model-model pembangunan

perhutanan sosial yang telah berkembang saat ini, maka diperlukan suatu

pembangunan konsep atau model perhutanan sosial yang berkelanjutan dengan

mempertimbangkan tiga aspek penting yaitu aspek sosial, ekonomi dan ekologi.

Dengan demikian, maka penting dilakukan suatu kajian tentang “Model

Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Kasus

Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau

(35)

1.2. Kerangka Pemikiran

Konsep pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan hasil dari

beberapa pertemuan lingkungan hidup sedunia dan pertemuan tingkat tinggi dunia

seperti Konperensi PBB di Stockholm 16 Juni 1972 yang menghasilkan konsep

Ecological Development atau Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Kemudian

pada tahun 1987 Laporan Brundtland PBB mengeluarkan laporan berupa sebuah

buku dengan judul Our Common Future. Dalam laporan ini untuk pertama kalinya dicetuskan istilah atau konsep pembangunan berkelanjutan secara tegas yaitu :

meeting the need of present without compromising the ability of future

generation to meet their own needs” (WCED. 1987).

Dalam pembangunan berkelanjutan hubungan ketiga aspek tersebut.

Hubungan antara aspek sosial dan lingkungan berkaitan dengan partisipasi dan

keadilan antar generasi. Sedangkan hubungan antara aspek sosial dan ekonomi

berkaitan dengan kesempatan kerja dan keadilan antara generasi. Sementara itu

hubungan antara aspek lingkungan dan ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomi

yang disediakan oleh lingkungan. Hubungan ketiga aspek tersebut disajikan pada

gambar berikut ini.

EKONOMI

SOSIAL

Keadilan intra-generasi Kesempatan Kerja

Nilai Ekonomi Kawasan Hutan

Equity inter-generasi Partisipasi

Kemiskinan, Pemberdayaan,

Hutan Lestari Kesejahteraan

Masyarakat dan PAD

LINGKUNGAN

Pembangunan Berkelanjutan Kehutanan

(36)

Sejak saat itu, pembangunan berkelanjutan menjadi agenda penting dalam

pembangunan, karena menjadi acuan pokok berbagai bangsa dan negara dalam

mencapai kesejahteraan rakyat dan bangsanya yang selalu berhadapan dengan

kepentingan lingkungan.Globalisasi kepentingan dunia ini juga tertuang dalam

hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mengenai lingkungan (Earth Summmit) di Rio di Jenairo 14 Juni 1992 yang berhasil merumuskan mengenai hutan dan

beberapa isu lingkungan. Hasil KTT Rio tersusun dalam Agenda 21 dimana bab

11 dirumuskan tindakan-tindakan yang perlu dengan tujuan untuk memberantas

deforestasi hutan (Siahaan 2007). Rumusan ini mengedepankan pengelolaan hutan

secara integral, bukan hannya pada aspek teknis (kayunya), tetapi juga meliputi

aspek ekologi (lingkungan), kemasyarakatan dan juga kepentingan global.

Pengelolaan hutan yang mengedepankan aspek manajemen, aspek ekologi

dan pelibatan masyarakat telah tertuang dalam kongres kehutanan dunia. Konteks

pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah

dirumuskan dalam Kongres Kehutanan Sedunia keVIII tahun 1978 di Jakarta

dengan konsep “Forest for People”, dan berkembang menjadi beberapa istilah dan lebih dikenal dengan istilah “Forestry for Local Community Development”. Kemudian hasil Kongres Kehutanan Sedunia ke XX di Finlandia dimana hasil

rumusannya mengedapankan pada aspek manajemen terutama aspek ekologi

(Kartodihardjo 2006a; Siahaan 2007).

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mendapat perhatian dan

dianggap penting, mengingat bahwa masyarakat yang berdomisili di dalam dan

disekitar kawasan hutan merupakan masyarakat miskin dan rentan terhadap

perubahan pembangunan serta dianggap merupakan ancaman terhadap

lingkungan. Pelibatan masyarakat yang berdomisili disekitar hutan dalam

pembangunan telah pula diimpementasikan oleh FAO dengan tujuan untuk

peningkatan kesejahteraan penduduk pedesaan dan mengikutsertakan dalam

pengambilan keputusan yang mampu merubah penghidupan mereka

(Kartodihardjo 2006a).

Kawasan hutan yang dikelola masyarakat merupakan kawasan hutan

lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak ataupun kawasan hutan

(37)

common-pool resources menurut Agrawal and Ostrom (2001) bahwa hak (bundle

of right) mengandung empat unsur penting yaitu withdrawal, management,

exclusion dan alienation. Hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang

melibatkan masyarakat di Indonesia Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Bentuk kebijakan pemerintah yang melibatkan masyarakat dalam

pengelolaan hutan diatur dalam beberapa SK Menteri Kehutanan yaitu mulai dari

SK Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan

Hutan Kemasyarakatan. Kemudian direvisi oleh SK Menhutbun Nomor 677/1998

dan direvisi kembali dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

31/Kpts-II/2001. Untuk level daerah, telah ditetapkan Perda Nomor 6 Tahun 2004 Tentang

Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara

Barat.

Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa

tujuan penting yaitu untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan

masyarakat di dalam dan disekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi dan

sosial budaya dari hutan secara seimbang dan berkelanjutan (PEMDA NTB.

2004). Sementara itu, Jeffrey Y. Campbell menyatakan bahwa masyarakat

diberikan hak atas produk hutan non kayu dari jenis pohon multiguna, tetapi tidak

punya hak dalam pengelolaan secara keseluruhan dan tidak punya hak untuk

memungut kayu. Penyerahan hak pada hakekatnya merupakan penyerahan

kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola

kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian

kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, peningkatan

akuntabilitas publik dan kepastian hukum (Colfer dan Resosudarmo 2003 ;

Munggoro et al. 2001).

Menurut Schmid (1987): kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk

mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu,

kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau

batas yurisdiksi. Sebagai konseksuensinya, kelembagaan dapat menjadi peubah

eksogen dalam proses pembangunan dan dengan demikian kelembagaanlah yang

(38)

endogen dalam proses pembangunan, sehingga perubahan kelembagaan

merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang lain. Sementara itu,

Parsons (1942) di dalam Schmid (1987) mendefinisikan kelembagaan sebagai : “ Property is set of social relationships which ties the future to the present through expectations of stabilized behavior regarding other persons and things.” Menurut Samuel Hutingon dalam Peters (2000) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi yaitu; (a) otonomi yaitu kemampuan dari institusi untuk

membuat dan menjalankan keputusan yang dibuatnya; (b) adaptabilitas yaitu

kesanggupan dari institusi beradaptasi dengan lingkungan; (c) kompleksitas yaitu

mampu untuk membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai

tujuan yang ditetapkan dan (d) koheren yaitu kemampuan institusi untuk

mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya

selesai dengan tepat waktu (Peters 2000).

Dengan adanya kelembagaan yang mengatur dan mengendalikan

partisipan dalam pengelolaan sumberdaya hutan tentunya akan memberikan

hubungan kedepan yang berkaitan dengan bentuk partisipasi dan selanjutnya akan

memberikan dampak kondisi terhadap sumberdaya hutan dan keberlanjutan

pembangunan HKm. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melibatkan

masyarakat dalam pembangunan HKm ternyata memberikan implikasi yaitu

munculnya berbagai model-model HKm yang tergantung dari partisipan sebagai

inisiatornya. Abas (2005) menemukan berdasarkan pada pihak yang terlibat

bahwa model pengelolaan hutan dalam Kawasan Taman Nasional Rinjani di

Pulau Lombok yaitu Pengelolaan Oleh Pemerintah (POP), Pengelolaan Oleh

Masyarakat (POM) dan Co-Management..

Menurut Walters et al. (1999) bahwa tingkat partisipasi dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara faktor sosial ekonomi dan sejarah atau peristiwa.

Tingkat pengetahuan lokal, keamanan dari pengelolaan lahan dan tingkat kohesi

(keeratan hubungan masyararakat) secara umum mempengaruhi partisipasi

masyarakat. Faktor sejarah sering menjadi pelengkap dalam mempengaruhi

partisipasi masyarakat, seperti sejarah migrasi dan pemukiman, pengelompokan

keluarga, sosial politik dan konflik, sejarah isolasi penduduk, tenaga kerja, dan

(39)

Partisipasi menurut Bank Dunia (1996) adalah proses dinamis melalui

institusi pengelolaan hutan dan memberikan kontrol terhadap semua inisiatif

pembangunan, keputusan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka atau para

pihak (World Bank 1996), dan kemudian White (1996) memberikan definisi

partisipasi dalam kelompok adalah jumlah anggota dalam proses dimana memiliki

suara dan mempengaruhi dalam mengambil keputusan (Sinha and Suar 2005).

Partisipasi dapat memiliki dua dimensi yaitu partisipasi langsung (direct participation) dan partisipasi tidak langsung (indirect participation). Partisipasi langsung mencakup keterlibatan para pihak (stakehoders) dalam aktivitas yang

ada, sedangkan partisipasi tidak langsung adalah kepatuhan para pihak pada peran

kelembagaan seperti memotivasi anggota keluarga untuk melindungi hutan,

memberikan dukungan moral pada masyarakat dalam memcapai keadilan dan

transparansi pengelolaan hutan.

Partisipasi dalam aktivitas tertentu atau dalam bentuk aktivitas kolekrif

(collective action) dipengaruhi pertimbangan insentif (biaya dan benefit) yang diperoleh dari hasil aktivitas tersebut. Pertimbangan ekonomi tersebut disebabkan

karena manusia berpikir rasional terhadap berbagai alternatif yang ada (Thibaut

dan Kelly 1959; Homans (1961) dan Blau (1964) di dalamHowell et al. 1987). Selain pertimbangan ekonomi yang mendorong partisapasi masyarakat

dalam pembangunan didorong atau dipengaruhi pula faktor penghargaan dan

kepercayaan. Kenneth J. Arrow dalam Dasgupta and Serageldin (1999) mengungkapkan bahwa penghargaan dapat meningkatkan intraksi antara

masyarakat bukan karena motif ekonomi, tetapi masyarakat lebih pada

membangun jaringan pertemanan atau persabahatan. Mengingat bahwa pertukaran

sosial merupakan jaminan yang bersifat non formal, maka penghargaan sifatnya

baku dan tidak ada jaminan bagi pihak tertentu untuk dapat memngajak seseorang

terlibat dalam pembangunan.

Bronislaw Malinowski dalam Turner (1987) memperkenalkan bahwa pertukaran terjadi bukan disebabkan oleh faktor ekonomi (materi) saja tetapi

disebabkan oleh faktor non ekonomi atau material yaitu simbul pertukaran

(40)

program pembangunan yaitu kepercayaan (trust). Howell et al. (1987) mengungkapkan bahwa banyak kegagalan implementasi demokrasi dan pelibatan

masyarakat dalam program pembangunan diakibatkan oleh hilangnya legitimasi

atau kepercayaan masyarakat.

Dampak dari faktor sosial ekonomi yang melahirkan kebutuhan dan

keinginan masyarakat, baik sebagai faktor internal ataupun faktor eksternal

tentunya akan memberikan pengaruh terhadap tingkat partisipasi dan tipe

partisipasi yaitu aktif dan non aktif. Level dari partisipasi masyarakat dalam

pembangunan telah diuraikan oleh Arnstein 1969 dalam Setyowati ( 2006) bahwa bentuk tangga partisipasi yaitu mulai dari non participation (manipulation dan

therapy); tokenism (informing, consultation dan placation); dan citizen power partnership, delegated power dan citizen control). Menurut Arnstein bahwa masyarakat berpartisipasi bila berada pada tahapan yaitu pada tangga 3-5

(informing, consultation dan placation).

Meskipun pembangunan HKm di Provinsi NTB telah melibatkan

masyarakat dan stakeholder lainnya, namun masih menyisakan persoalan biofisik,

sosial ekonomi dan ekologi. Hasil penelitian Kusumo et al. (2004) pada dua desa di Pulau Lombok yaitu terjadi perambahan hutan oleh masyarakat masuk menuju

Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani seluas 300 hektar. Perambahan

kawasan hutan tersebut merupakan salah satu faktor yang memicu semakin

meluasnya lahan kritis. Lahan kritis sampai dengan tahun 2005 tercatat seluas

159.343, 46 hektar (14,51 %) berada dalam kawasan hutan dan sekitar 85,49 %

berada di luar kawasan hutan (DISHUT NTB. 2006).

Munculnya gejala perambahan kawasan hutan, konflik dan terjadinya

degradasi secara biofisik merupakan indikasi bahwa pola pengelolaan hutan

partisipatif atau Model HKm yang telah terbangun selama ini belum memberikan

hasil yang optimal. Warner (1997) telah memberikan solusi untuk mencapai

keberlanjutan dalam pengelolaan hutan yaitu melalui kombinasi institusi dan

partisipasi masyarakat. Mengingat bahwa kompleksnya persoalan yang ada dalam

pengelolaan hutan, sehingga sangat diperlukan pertimbangan atau pendapat pakar

Gambar

gambar berikut ini.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 3. Skema Perumusan Masalah Penelitian
Gambar 6. Struktur Institusi Pengelolaan Sumberdaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sudah dibahas diatas bahwa model bisnis jual beli salam adalah membayar secara penuh pesanan sayur warga perumahan kepada petani diawal sebagai modal petani untuk memproduksi

kegiatan mereka sendiri atau menjadikan peserta didik sebagai students center dapat saling berhubungan dengan pendekatan dan model pembelajaran yang

Berdasarkan hasil analisis data dan simulasi kerja koordinasi proteksi dengan menggunakan software ETAP pada jaringan distribusi di Gardu Induk Majenang 150 kV yang

Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Bea Meterai Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi di Indonesia di

Karena karakteristik yang ada pada barang industri berbeda dengan barang konsumsi, maka saluran distribusi yang dipakainya juga agak berbeda. Saluran distribusi barang industri

Dalam predicate calculus di atas, pengetahuan yang tersirat adalah : Jika dua orang pria menyukai wanita yang sama, maka kedua pria itu pasti tidak saling suka (saling membenci)....

Untuk penciptaan karya seni lukis kinetik dengan gagasan permasalahan dalam lukisan pemandangan Indonesia maka tujuan penciptaan dapat dibuat sebagai berikut:?. Untuk

Corak dari gaya seni lukis kita masih suatu corak dalam keadaan pseudo-morphose, sebab oleh karena keadaan kultur Barat yang tebal melengket pada kita, kita tidak mempunyai