• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Namun untuk mengelola dan memanfaatkan bahan tambang diperlukan penanaman modal yang cukup besar baik yang bersumber dari investor asing maupun investor dalam negeri. Penanaman modal merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dalam pengembangan wilayah. Disamping itu, penanaman modal harus ditempatkan pada wilayah-wilayah yang strategis dan memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial untuk dikembangkan serta harus dilakukan melalui jalinan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Daerah yang memiliki bahan tambang yang potensial dan telah mendapatkan penanaman modal dalam rangka eksploitasi bahan tambang tersebut antara lain Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah yang memiliki prime mover pada sektor pertambangan yaitu pengolahan gas cair di Kota Bontang dan tambang batubara di Kabupaten Kutai Timur. Menurut Priyatna (2003), Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur termasuk dalam Sistem Kesatuan Wilayah (SKW) Bontang yang pemanfaatan ruangnya di dominasi oleh hutan lebat, hutan belukar, hutan lindung, pertambangan, kawasan industri, perkebunan, sawah, dan pertanian lahan kering.

Salah satu karakteristik dari sumberdaya alam tambang adalah penyebarannya yang tidak merata untuk semua daerah dan keberadaannya yang selalu tumpang tindih dengan kawasan hutan dan pemukiman/lahan garapan masyarakat. Hal ini mengakibatkan kegiatan pertambangan memberikan dua dampak sekaligus yaitu dampak positif dan dampak negatif yang dapat dirasakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.

Untuk mengetahui dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah tidak hanya dipandang dari satu aspek. Dampak kegiatan pertambangan dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain pembangunan daerah, pembangunan manusia, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan kegiatan pertambangan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga

134

pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan.

Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain pertumbuhan perekonomian daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan masyarakat, dan kebijakan yang mendukung pengelolaan sumberdaya alam tambang tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Nelson (1993) bahwa pengembangan wilayah akan selalu mengarah pada langkah atau tindakan yang dapat merubah produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh dari industri. Perubahan tersebut juga terjadi pada pengembangan dari aspek sosial, seperti peningkatan kualitas prasarana sarana dan prasarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Pertumbuhan perekonomian Kota Bontang dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan khususnya pengolahan gas alam cair, sedangkan pertumbuhan perekonomian Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini dukung oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur.

Sebagai sektor basis, sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian memiliki keunggulan komparatif yang menjadikan sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sekaligus kebutuhan di luar daerahnya. Hal ini tercermin dari sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis LQ PDRB Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur tahun 2002-2003 mendukung hasil penelitian terdahulu yang

135

dilakukan oleh Priyatna (2003) yang menyatakan bahwa struktur perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki PDRB total dan pendapatan per kapita paling tinggi ternyata merupakan sumbangan dari hasil pengolahan sumberdaya alam seperti kehutanan, migas, dan pertambangan sehingga pembangunan ekonominya sangat dominan jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang hanya mengandalkan sektor pertanian, seperti tanaman pangan, perkebunan dan perikanan.

Kota Bontang merupakan satu-satunya daerah yang mampu masuk wilayah satu (W1) baik dengan migas maupun tanpa migas dan bahan galian. Kota Bontang merupakan kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar dari pertumbuhan PDRB provinsi dan memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita dengan/tanpa migas yang juga lebih besar dibandingkan dengan provinsi (Priyatna 2003). Hal ini mencerminkan bahwa Kota Bontang tidak tergantung hanya dari satu sektor ekonomi saja.

PDRB Kota Bontang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun PDRB dengan migas menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB tanpa migas yang cenderung tidak mengalami banyak peningkatan. PDRB Kota Bontang dengan atau tanpa migas menunjukkan perbedaan nilai yang cukup jauh dimana nilai PDRB migas jauh lebih besar dibandingkan nilai PDRB tanpa migas. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perekonomian Kota Bontang sangat dipengaruhi oleh keberadaan migas di daerah tersebut (Gambar 33).

Peranan sub sektor migas yang terdapat dalam sektor industri pengolahan terhadap pembangunan daerah Kota Bontang terlihat dari kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor industri pengolahan, termasuk di dalamnya industri pengolahan gas cair, sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1993 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 59.54% terhadap PDRB Kota Bontang. Sumbangan sektor pengolahan tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga pada tahun 2003 sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 86.46% terhadap PDRB Kota Bontang.

136

Perkembangan PDRB Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

-1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun J u m la h (j u ta ru p ia h ) Dengan Migas Tanpa Migas

Gambar 33 Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

Distribusi persentase PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (% ) tahun 1993-2003

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun J u m la h (% )

Pertanian Pertambangan dan penggalian

Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel

Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa

Gambar 34 Distribusi PDRB Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

137

Gambar 34 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan memiliki peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003.

Sedangkan Kabupaten Kutai Timur merupakan kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB dengan/tanpa migas yang relatif lebih besar dari pertumbuhan PDRB provinsi namun memiliki nilai rata-rata PDRB perkapita dengan migas yang lebih rendah dari provinsi dan nilai rata-rata PDRB perkapita tanpa migas yang lebih tinggi dari provinsi (Priyatna 2003). Hal ini mencerminkan bahwa Kabupaten Kutai Timur tidak bergantung dari migas, tetapi dari bahan galian. Pertambangan batubara yang dimiliki daerah ini memegang peranan yang sangat penting terhadap pembentukan PDRB-nya.

PDRB Kabupaten Kutai Timur mulai mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2001, sedangkan peningkatan PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993-2000 tidak terlalu mencolok. Pertumbuhan PDRB dengan migas dan tanpa migas tidak menunjukkan perbedaan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur tidak tergantung pada subsektor migas. Namun PDRB dengan/tanpa migas dan PDRB tanpa migas dan batubara menunjukkan perbedaan jarak yang cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Timur dipengaruhi oleh bahan galian batubara (Gambar 35).

Peranan bahan galian batubara yang termasuk dalam sektor pertambangan dan penggalian dalam PDRB Kabupaten Kutai Timur Bontang terlihat dari kontribusi yang disumbangkan pada PDRB. Sektor pertambangan dan penggalian sejak tahun 1993 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kota Bontang dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1993 sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 66.74% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur. Sumbangan sektor pertambangan dan penggalian tersebut mengalami peningkatan pada tahun 1998 dengan sumbangan sebesar 75.86% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur. Namun pada tahun-tahun berikutnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan hingga pada tahun 2003 hanya dapat memberikan sumbangan sebesar 65.66% terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur.

138

Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur atas dasar dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

-200,000.00 400,000.00 600,000.00 800,000.00 1,000,000.00 1,200,000.00 1,400,000.00 1,600,000.00 1,800,000.00 1993 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun J u m la h ( ju ta ru p ia h ) Dengan Migas Tanpa Migas Tanpa migas dan batubara

Gambar 35 Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

Distribusi persentase PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993(% ) tahun 1993-2003 -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 1993 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun J u m la h (% )

Pertanian Pertambangan dan penggalian

Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Bangunan dan konstruksi Perdagangan, restoran, dan hotel

Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa

Gambar 36 Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 tahun 1993-2003

139

Gambar 36 menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian memiliki peranan yang sangat dominan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya dalam pembentukan struktur perekonomian Kota Bontang sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2003.

Namun sejak tahun 2002, terdapat kecenderungan penurunan sumbangan sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kabuoaten Kutai Timur. Hal ini mencerminkan bahwa produksi eksploitasi bahan tambang tambang sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) akan suatu saat akan mengalami penurunan karena cadangan semakin berkurang hingga akhirnya terkuras habis. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan bahan tambang agar keberlangsungan pembangunan pasca tambang tetap berjalan.

Meskipun sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian memberikan konstribusi yang besar terhadap PDRB, namun penyerapan tenaga kerja relatif lebih kecil. Sektor industri pengolahan di Kota Bontang hanya menyerap tenaga kerja sebesar 14.21%, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Kutai Timur sebesar 9.54%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kehadiran perusahaan pertambangan di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal disebabkan sebagian besar karyawan perusahaan pertambangan berasal dari luar Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.

Disamping itu, kehadiran perusahaan pertambangan di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur tidak banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar tambang. Hal ini disebabkan hasil pengelolaan sumberdaya alam lebih banyak ditujukan kepada pembangunan fisik dan perekonomian secara makro, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek pembangunan manusia dan lebih menitikberatkan kepada pembangunan fisik daerah.

Meskipun perusahaan pertambangan telah menjalankan berbagai bentuk program community development sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan

140

(corporate social responsibility), namun tidak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Hal ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saleng (2004) yang menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan pertambangan terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and community development maupun program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan.

Adapun penyebab rendahnya pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan antara lain adalah program community development yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih bersifat top-down. Hal ini tercermin dari bentuk program community development yang umumnya bersifat proyek dan masyarakat sebagai obyek atau penerima. Disamping itu, program community development

yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyentuh sebagian masyarakat saja, yaitu masyarakat yang berada pada lapisan atas. Hal ini disebabkan perencanaan program tidak melibatkan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat tidak tertampung dalam program-program tersebut. Padahal menurut Conyers (1994), partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja setempat dan pengembangan masyarakat masih rendah. Hal ini disebabkan oleh program community develolopment perusahaan pertambangan yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan kepentingan pembangunan sumberdaya manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan fisik dan perekonomian daerah.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan suatu daerah. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif yang jauh lebih besar

141

dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dan hanya dapat dinikmati secara sesaat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara tepat dan bijaksana untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Salah satu media perencanaan pengelolaan sumberdaya alam adalah melalui perencanaan tata guna lahan (land use planning). Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna dikembangkan atau dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Hal ini disebabkan struktur ruang atau penggunaan lahan dapat mengalami perubahan seiring perkembangan pembangunan dan meningkatnya kebutuhan akan lahan.

Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam seyogyanya telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sebagai bentuk tata ruang yang detil. Pembagian pemanfaatan ruang didasarkan atas potensi dan masalah yang dimiliki masing-masing kawasan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan penyelesaian permasalahannya. Misalnya, lokasi-lokasi yang memiliki potensi atau cadangan mineral dan gas bumi jenis pemanfaatan ruangnya sudah ditetapkan sedemikian rupa dalam RTRW sehingga memudahkan dalam pengembangan wilayah. Namun kenyataan yang ada sekarang menunjukkan bahwa masih banyak lokasi pertambangan dan pemukiman masyarakat yang belum terakomodir di dalam RTRW antara lain lokasi pertambangan PT Indominco Mandiri dan pemukiman masyarakat Desa Suka Damai, Desa Suka Rahmat, dan Desa Kandolo di Kabupaten Kutai Timur.

Pada dasarnya, penataan ruang dilakukan untuk mengelola konflik dalam alokasi dan/atau distribusi pemanfaatan berbagai sumberdaya secara efesien, adil dan berkelanjutan. Konflik yang dimaksud baik konflik terpendam maupun yang terbuka karena salah satu pihak telah bertindak untuk melaksanakan tujuannya yang berbenturan dengan tujuan dan kepentingan pihak lainnya. Untuk menghindari ataupun mengatasi konflik demikian diperlukan peran serta semua pihak. Namun dalam pemberian ijin lokasi pertambangan baik dalam bentuk kuasa pertambangan maupun pinjam pakai kawasan hutan belum melibatkan

142

peranserta masyarakat baik secara langsung masupun dalam bentuk perwakilan. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih lahan masyarakat sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.

Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan daerah dan pemanfaatan ruang kepentingan semua pihak termasuk kepentingan masyarakat harus dapat diakomodir untuk menghindari terjadinya konflik dan benturan kepentingan. Untuk dapat mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut maka masyarakat harus diikutsertakan dalam penyusunan rencana tata ruang termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Saat ini sudah saatnya meninggalkan cara pandang bahwa pengelolaan sumberdaya alam merupakan wewenang ekslusif dari pemerintah. Pengelolaan sumberdaya alam harus dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang berprinsip pembangunan berkelanjutan dan berwasasan lingkungan serta berbasis kerakyatan.

Partisipasi masyarakat dan transparansi perencanaan pembangunan daerah diharapkan mulai mewarnai kehidupan bernegara khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat diikutsertakan dalam perumusan kebijakan dan penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam sehingga pembangunan yang dilakukan benar-benar merupakan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada kalanya pembangunan yang dilaksanakan pada suatu wilayah, lebih berpihak dan mengakomodir kepentingan suatu kelompok tertentu sehingga masyarakat yang berada di sekitar lokasi tersebut tidak menikmati hasilnya. Misalnya, pembukaan tambang disuatu wilayah biasanya bersifat enclave sehingga masyarakat yang berada disekitar lokasi tambang tidak mengalami perubahan berarti dalam peningkatan kesejahteraan. Namun setelah kegiatan tambang tutup, maka yang harus menerima dampak yang ditimbulkan pasca tambang tersebut adalah masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah relatif masih rendah. Menurut Zen (2001), pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang

143

bersangkutan. Namun pengelolaan sumberdaya alam berupa bahan tambang di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur belum memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, program community development yang belum menyentuh semua lapisan masyarakat, serta ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.