• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekayaan bahan galian tambang Indonesia meliputi emas, perak, batubara, minyak dan gas bumi, dan lain-lainnya harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-nesarnya untuk kemakmuran rakyat. Kegiatan yang dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang berada dalam bumi Indonesia disebut usaha pertambangan. Usaha pertambangan dibedakan atas penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.

Pengusahaan bahan galian tambang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Apabila dikerjakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah adalah pihak yang memberikan izin kepada kontraktor. Izin yang diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor untuk melakukan pengusahaan bahan galian tambang dapat berupa kuasa pertambangan (KP), kontrak karya (KK), perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), dan kontrak production sharing (KPS).

Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Tanpa adanya kuasa pertambangan, perusahaan pertambangan belum dapat melaksanakan kegiatannya. Berdasarkan aspek usahanya kuasa pertambangan dibedakan atas kuasa pertambangan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Sedangkan KK, PKP2B, dan KPS merupakan suatu bentuk perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing atau patungan antara badan hukum hukum asing dengan badan hukum domestik masing-masing dalam pengusahaan pertambangan umum, batubara, serta minyak dan gas bumi.

Pejabat yang berwenang mengeluarkan izin pengusahaan bahan galian tambang tersebut sebelum otonomi daerah adalah pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sampai dengan tahun 1999, pemerintah Indonesia telah memberikan 908 izin pertambangan yang terdiri dari

126

KK, KKB dan KP dengan total luas konsesi 84 152 875.92 hektar atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia (Salim 2005). Jumlah tersebut belum termasuk bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa surat izin penambangan daerah (SIPD).

Namun sejak berlakunya otonomi daerah, kewenangan tersebut tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat tapi juga juga menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan yaitu bupati/walikota, gubernur, dan menteri sesuai dengan wilayah kekuasaan pertambangannya.

Bupati/walikota berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan terletak dalam wilayah kabupaten/kota. Gubernur berwenang menerbitkan kuasa pertambangan apabila kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota dan tidak dilakukan kerjasama antar kabupaten/kota maupun antar kabupaten/kota dengan provinsi. Untuk wilayah kuasa pertambangan yang terletak dalam beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerjasama antar provinsi maka kewenangan penerbitan kuasa pertambangan berada pada menteri berwenang.

Namun izin pengusahaan bahan galian tambang yang telah dimiliki oleh kontraktor tersebut bukan berarti telah membebaskan kontraktor untuk langsung melakukan kegiatan. Usaha pertambangan merupakan usaha yang berkaitan dengan tanah, baik tanah yang berstatus tanah hak maupun tanah negara. Pemberian izin pengusahaan bahan galian tambang umumnya tidak mempertimbangkan keberadaan hak dan status tanah sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dengan tanah/lahan garapan masyarakat dan kawasan hutan.

Untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan atau menggunakan kawasan hutan setiap orang harus memiliki izin. Sesuai dengan pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Untuk itu, sebelum memulai

127

kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan, kontraktor tersebut harus memiliki izin dari Menteri Kehutanan. Izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan khususnya dalam tahap eksploitasi diberikan dalam bentuk pinjam pakai kawasan hutan.

Kuasa Pertambangan

Untuk melakukan kegiatan pertambangan, setiap perusahaan pertambangan harus memiliki kuasa pertambangan. Adapun persyaratan untuk memperoleh izin pengusahaan pertambangan tersebut disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan

Kuasa Pertambangan (KP)* Kontrak Karya (KK) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)

Surat permohonan Surat permohonan Surat permohonan

Peta wilayah Peta lampiran dari Unit

Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP)

Peta pencadangan wilayah dari Unit Pelayanan Wilayah pertambangan (UPIWP) Laporan lengkap eksplorasi Tanda bukti penyetoran

jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk

Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan dari bank yang ditunjuk Laporan studi kelayakan Tanda terima SPT tahun

terakhir

Tanda terima SPT tahun terakhir

Dokumen AMDAL atau UKL-UPL

Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik

Laporan keuangan PMA dan PMDN tiga tahun terakhir yang telah diaudit

Tanda bukti pembayaran iuran tetap

Kesepakatan pemohon (bila pemohon lebih dari dari satu orang)

Kesepakatan bersama (MOU) antara PMA dan PMDN

Akta pendirian perusahaan Laporan tahunan perusahaan

Laporan tahunan perusahaan PMA dan PMDN

Sumber: Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia Keterangan: * tahap eksploitasi

128

Tabel 29 menunjukkan bahwa dalam proses pemberian izin usaha pertambangan tidak ada koordinasi dengan instansi terkait. Salah satu persyaratan yang mengandung koordinasi antar beberapa instansi adalah dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Namun dokumen tersebut tidak memberikan informasi mengenai keberadaan pihak lain pada lokasi yang dimohon. Hal ini menyebabkan seringnya muncul permasalahan antara perusahaan pertambangan dengan pemegang hak lain yang telah terlebih dahulu mengelola atau memanfaatkan lokasi tersebut. Selain itu, pemberian lokasi pertambangan diberikan tanpa mempertimbangkan fungsi dan peruntukan kawasan serta status tanah di atasnya. Hal ini menyebabkan timbulnya tumpang tindih penggunaan lahan kawasan hutan dengan lokasi pertambangan atau tanah milik masyarakat dengan lokasi pertambangan.

Sebelum melaksanakan kegiatan pertambangan, tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat mengenai rencana pembukaan lahan untuk pertambangan khususnya masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan pertambangan. Hal ini memicu timbulnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan yang disebabkan antara lain oleh tumpang tindih lahan garapan masyarakat dengan lokasi pertambangan. Disamping itu, muncul persepsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa sumberdaya alam merupakan kekuasaan atau milik perusahaan dan pemerintah.

Setiap pemegang izin kuasa pertambangan memiliki kewajiban. Adapun kewajiban pemegang izin kuasa pertambangan sesuai dengan pasal 27 dan pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001 meliputi :

1. Membayar iuran tetap dan iuran eksploitasi;

2. Melaporkan rencana usaha penggalian serta target produksinya kepada menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya;

3. Menyampaikan laporan triwulan dan tahunan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukan kepada menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.

Jangka waktu kuasa pertambangan eksploitasi diberikan paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali yang untuk setiap kalinya sebanyak sepuluh tahun. Total jangka waktu pemberian izin kuasa pertambangan eksploitasi selama lima puluh tahun.

129

Salah satu tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan adalah menyusun dan melaksanakan program community development. Namun kewajiban tersebut belum tercantum secara jelas sebagai kewajiban perusahaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001. Hal ini menyebabkan perusahaan belum sepenuh hati dalam melaksanakan program community development sehingga sasaran dan hasilyang dicapai belum merupakan prioritas utama bagi perusahaan pertambangan.

Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Sesuai dengan pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pejabat yang berwenang untuk meberikan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah menteri terkait. Adapun tata cara perizinan pinjam pakai kawasan hutan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tanggal 7 Pebruari 1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Sebelum era otonomi daerah, permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diajukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bahan galian A dan B, sedangkan bahan galian C diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Kehutanan. Namun sejak otonomi daerah, permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat diajukan langsung oleh bupati/walikota atau oleh perusahaan dengan rekomendasi bupati.

Pinjam pakai kawasan hutan terdiri atas pinjam pakai tanpa kompensasi dan pinjam pakai dengan kompensasi. Pinjam pakai dengan kompensasi berlaku bagi provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% luas daratan provinsi tersebut. Adapun persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan, yaitu: 1. Peta lokasi dan luas kawasan hutan yang dimohon;

2. Rencana penggunaan dan rencana kerja; 3. Rekomendasi Gubernur/Bupati; dan

4. Pernyataan kesanggupan untuk menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan tersebut.

130

Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, lokasi yang dimohon akan ditelaah khususnya untuk melihat keberadaan pemegang hak atau izin pemanfaatan kawasan hutan pada lokasi yang sama. Apabila di dalam areal yang dimohon terdapat pemegang hak lain seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), atau hak ulayat/adat masyarakat lokal, maka pemegang izin berkewajiban menyelesaikan sendiri permasalahan tersebut dengan pihak pemegang hak.

Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dibebani kewajiban sesuai dengan Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai berikut:

1. Membayar ganti rugi nilai tegakan atas hutan tanaman atau pungutan berupa IHH dan DR atas tegakan hutan alam;

2. Menanggung biaya pengukuran, pemetaan dan pemancangan tanda batas atas kawasan hutan yang dipinjam;

3. Menanggung biaya reboisasi dan reklamasi atas kawasan hutan yang dipinjam;

4. Membuat dan menandatangani perjanjian pinjam pakai;

5. Membantu menjaga keamanan di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dipinjam; dan

6. Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah sewaktu melakukan pengawasan di lapangan.

Untuk pinjam pakai dengan kompensasi ditambahkan kewajiban menyediakan dan menyerahkan tanah lain kepada Departemen Kehutanan yang ”clear and clean” sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang dipinjam serta menanggung biaya penataan batas dan biaya reboisasi atas lahan kompensasi.

Dalam proses pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan, apabila dianggap perlu maka Departemen Kehutanan akan melakukan penelitian terpadu pada lokasi yang dimohon dengan melibatkan instansi terkait lain. Tim terpadu terdiri dari unsur Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Perguruan Tinggi, dan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas Kehutanan atau instansi lainnya yang menangani bidang Kehutanan. Pembentukan tim terpadu tersebut umumnya dilakukan apabila pada lokasi yang

131

dimohon terdapat permasalahan atau berada dalam kawasan hutan lindung dalam areal yang cukup luas.

Jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan diberikan selama lima tahun dan dapat diperpanjang setelah diadakan evaluasi atas penerapan kewajiban yang telah dipersyaratkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa dalam pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar kehutanan khususnya untuk kegiatan pertambangan belum dilakukan koordinasi antar instansi terkait baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Koordinasi yang dilakukan terbatas untuk kasus tertentu yang memerlukan penanganan lebih serius atau berada dalam kawasan hutan lindung. Seharusnya prosedur yang sama dilakukan untuk semua permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mengingat dampak kegiatan pertambangan terhadap kawasan hutan secara umum adalah sama.

Salah satu unsur yang harus dipertimbangkan oleh Departemen Kehutanan dalam memberikan ijin pinjam pakai kawasan hutan adalah persyaratan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang areal yang dimohon dengan RTRW. Persyaratan ini lebih khusus lagi bagi areal yang akan dijadikan lokasi pembangunan sarana penunjang seperti perkantoran, perumahan, dan industri pengolahan. Disamping itu, pemegang ijin pinjam pakai belum diberikan kewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap desa-desa yang berada di sekitar lokasi pertambangan.

Ikhtisar

Pola perijinan lokasi pertambangan yaitu kuasa pertambangan dan ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mencerminkan lemahnya koordinasi antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Disamping itu, penggunaan lahan untuk kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Pemberian ijin lokasi pertambangan tidak melalui kegiatan sosialisasi terhadap

132

masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.

Adapun dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan

No Dampak pola perijinan Kota Bontang Kabupaten Kutai Timur 1 Tumpang tindih lahan

masyarakat dengan lokasi pertambangan

Tidak ada Ada

2 Tumpang tindih kawasan hutan dengan lokasi pertambangan

Tidak ada Ada

3 Perubahan kawasan hutan menjadi non hutan

Ada Tidak ada

4 Konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan

Tidak ada Ada

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP