• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Komodifikasi Terhadap Nilai KesakralanTabut Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Provinsi Bengkulu

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 95-106)

3. Pelaksanaan Ritual Tabut

4.2.3 Dampak Komodifikasi Terhadap Nilai KesakralanTabut Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Provinsi Bengkulu

Harus diakui bahwa dunia pariwisata memberikan dampak positif pada keuntungan ekonomi. Bentuk keuntungan perekonomian selalu lebih penting dari pada kebudayaan dan religiusitas. Hal ini yang kemudian menyebabkan antara budaya dan pariwisata tidak berjalan secara bersama dalam menikmati keuntungan. Perubahan pola pikir masyarakat ke arah modern mengakibatkan logika kapitalis menjadi unsur yang paling dominan dalam perkembangan industri pariwisata (Anom, 2010:1994). Dalam kerangka idealnya masyarakat Sipai, saat ini lebih mengutamakan pariwisata dari pada memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan dari komodifikasi terhadap nilai kesakralan tabut yang pada akhirnya secara tidak langsung dapat menghilangkan akar budaya dan identitas masyarakat Sipai sebagai pemilik tradisi.

Dampak komodifikasi tabut yang dibuat oleh pemerintah, sebenarnya berpengaruh terhadap nilai kesakralan tabut. Hal tersebut terlihat dari kesepakatan proses negosiasi yang telah dilakukan antara pihak pemangku tradisi yakni KKT dengan pihak Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu pada masa Orde Baru pada 90-an melalui jalin90-an kerjasama atau MoU (Mutual of Underst90-anding) sesuai deng90-an Perda No 15 Tahun 1994. Perda tersebut berisi, bahwa tabut tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Sipai, akan tetapi telah menjadi aset berharga bagi seluruh

masyarakat Bengkulu, karena memiliki potensi sebagai wisata budaya yang bernilai jual bagi wisatawan.

Hal berbeda dilakukan ketika masa Orde Baru, yaitu sebelum adanya campur tangan pemerintah tabut yang dilakukan masih bersifat sakral oleh masyarakat suku Sipai. Tradisi tabut tidak hanya dilakukan untuk kegiatan ritual keagamaan sebagai wujud rasa berkabung atas kematian Husain cucu Nabi Muhammad S.A.W, akan tetapi ada makna lain yaitu sebagai simbol pengajaran ilmu tasawuf melalui bentuk bangunan tabut yang disampaikan oleh Syekh Burhanuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Senggolo ketika datang ke Provinsi Bengkulu. Namun sejak orang-orang Sipai (keluarga tabut) lepas dari pengaruh kemajuan teknologi dan globalisasi, membuat tradisi ini dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk memenuhi wasiat leluhur mereka. Banyak warga Sipai yang tidak lagi menjalankan tradisi ini sesuai dengan makna aslinya, sehingga ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang (2011:336).

Tradisi tabut setelah menjadi wisata budaya kini dalam praktiknya tidak lagi dilakukan secara tertutup, akan tetapi lebih dilakukan secara terbuka guna mengikuti selera pasar (wisatawan) karena pemerintah melalui Dinas Pariwisata bertanggung jawab secara penuh dalam mendukung komodifikasi tabut menjadi daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Terkait dengan hal tersebut, nampaknya perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kultur kapitalis, tak lain merupakan bentuk manipulasi dan penguasaan yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial (Beilharz, dalam Piliang, 2011:115).

Kultur kapitalis yang semakin mendominasi masyarakat Sipai membuat pergeseran kesakralan tabut pada masa sekarang tidak bisa dihindari, akibat kebijakan pemerintah sebagai stakeholder dalam menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut terkesan dipaksakan akibat tuntutan modernitas, sehingga masyarakat Sipai sebagai pemilik tradisi harus turut ikut berpartisipasi dalam program

tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sztompka (2004:73), perubahan tradisi disebabkan adanya benturan antara tradisi masyarakat atau antara kultur yang berbeda dalam masyarakat tertentu yang masuk dalam lingkup moderniasi yang dipaksakan. Pengaruh moderinisasi inilah yang mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai kesakralan tabut. Pergeseran kesakralan tabut terjadi hampir diseluruh aspek penting dari tabut, meliputi bentuk dan jenis bangunan tabut, pelengkapan ritual tabut, dan pelaksanaan ritual tabut. Pergeseran kesakralan tabut tersebut mengidentifikasi bahwa komodifikasi budaya dapat mengakibatkan bergesernya batas-batas budaya melalui kekuatan ekonomi dalam praktik-praktik kapitalis (Yoeti, 1996:262).

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa, pergeseran nilai kesakralan tabut pada masa Orde Baru menuju era Reformasi yakni ketika tabut telah dikomodifikasi oleh pemerintah menjadi daya tarik wisata budaya yaitu dari segi bentuk dan jenis bangunan, peralatan, dan pelaksanaan ritual yang tidak lagi sama dilakukan. Dari segi bentuk dan jenis bangunan tabut pada masa Orde Baru ketika belum dijadikan produk komoditi oleh pemerintah, sebenarnya tabut yang dimiliki oleh suku Sipai hanya terdiri dari dua bangunan sederhana. Bangunan tabut sebelum dilakukan komodifikasi, atapnya hanya terbuat dari daun rumbia dan badan serta rangka tabut hanya terbuat dari bambu. Bangunan tabut dahulu hanya terdiri dari dua buah bangunan, yakni tabut berkas memiliki simbol manusia bersosok pria yang secara esensial bersumber dari Nabi Adam.as dan tabut bangsal memiliki simbol manusia bersosok wanita yang secara esensial berasal dari Siti Hawa. Kedua tabut sakral tersebut, masing-masing memiliki 4 tingkatan. Tingkatan 1 makrifat, tingkatan 2 tarekat, tigkatan 3 hakikat, dan tingkatan 4 syariat. Tingkatan yang telah disebutkan di atas, merupakan tingkatan ilmu dalam ajaran islam tasawuf yang pernah diajarkan oleh Syekh Burhanuddin kepada masyarakat Sipai. Tingkatan dalam tabut tersebut memiliki makna, bahwa secara esensi jika manusia hendak mencapai derajat tertinggi di hadapan Allah S.W.T hendaklah seorang muslim harus dapat mengamalkan 4 tingkatan ilmu tersebut, namun semenjak dilakukannya proses negosiasi antara pemerintah dan

masyarakat Sipai, bangunan tabut tidak lagi berjumlah 2 buah akan tetapi berjumlah sebanyak 33 buah.

Bangunan tabut pada masa sekarang tidak lagi bersifat sederhana, karena pihak KKT bersama pemerintah telah mengubah bentuk tabut menjadi bangunan yang lebih menarik dan indah dengan cara melakukan penambahan jumlah tabut menjadi tabut pembangunan dan tabut kkt . Kedua tabut tersebut merupakan tabut yang dibuat secara sengaja oleh pemerintah dan pihak KKT dengan tujuan untuk menambah jumlah atraksi tabut agar terlihat lebih banyak dan menarik. Seperti yang dikatakan Nurhayati (2004:19), bahwa dilihat dari sudut pandang kesenian, maka berkembangnya industri pariwisata secara nyata telah mendorong tumbuhnya kreativitas pelaku seni untuk mengembangkan karya ciptanya sehingga mampu menarik minat pengunjung atau wisatawan.

Keberadaan tabut pembangunan dan tabut kkt sendiri sebenarnya tidak termasuk dalam tradisi tabut, hanya saja setelah dilakukan komodifikasi oleh pemerintah, maka kedua tabut tersebut masuk dalam bagian ritual, bahkan tabut sakral pada masa reformasi ini tidak pernah ditampilkan lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara perlahan dominasi pemerintah telah berhasil menguasai masyarakat Sipai melalui negosiasi untuk mau menampilkan tabut pembangunan dan tabut kkt sebagai bagian dari ritual. Hal ini sejalan dengan teori strukturasi yang mengatakan bahwa, agen-agen menciptakan struktur yang sudah ada dan dapat diubah sesuai dengan kemauan agen. Agen dan struktur memiliki pola prinsip struktural yaitu signifikasi yang menyangkut simbol, dominasi dapat berupa dominasi ekonomi dan politik yang mencakup penguasaan barang atau material maupun dalam hal ruang (politik) dan legitimasi menyangkut ketentuan normatif (Giddens, 2010:25).

Dampak komodifikasi juga terjadi dalam perlengkapan tabut. Perlengkapan ritual tabut pada masa saat ini banyak mengalami perubahan akibat kebijakan pemerintah melalui Dinas Pariwisata dalam menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya. Pemerintah dan masyarakat Sipai begitu aktif mengembangkan tradisi tabut menjadi sebuah aset berharga Provinsi Bengkulu dalam bidang pariwisata, walaupun harus merubah aspek sakral dari perlengkapan ritual tabut.

Hal ini sejalan dengan teori strukturasi yang mengatakan bahwa proses perubahan struktur yang terjadi, karena adanya orang-orang yang aktif dalam proses reproduksi struktur yang telah berlangsung dan membagi hubungan-hubungan dalam masyarakat, sehingga terjadinya perubahan dan stabilitas terjadi dalam satu konstruksi yang bersambungan (Albrow, dalam Priyono, 2002:28).

Perubahan yang terjadi, dapat dilihat dari penambahan perlengkapan wajib yang harus disediakan saat ritual tabut yaitu perlengkapan musik dhol dan tassa. Alat musik ini, merupakan perlengkapan ritual tabut yang berfungsi sebagai musik pengiring saat tabut diritualkan seperti pada saat prosesi ambik tanah, duduk penja, menjara, meradai, arak penja, arak seroban, tabut naik puncak, arak gedang, arak tabut, dan tabut tebuang. Hanya satu ritual saja yang tidak mengunakan musik pengiring dhol dan tassa yaitu pada ritual gham, karena ritual ini merupakan ritual yang mewajibkan orang-orang sipai untuk hening, sehingga musik dhol dan tassa dilarang untuk dibunyikan. Musik dhol dan tassa merupakan musik tradisional dari masyarakat Bengkulu. Musik ini biasa dimainkan pada saat pergelaran seperti tradisi ikan-ikan, musik pengiring tari pedang, dan musik yang digunakan sebagai upacara peresmian dalam menyambut tamu-tamu/pejabat yang datang ke Bengkulu. Namun dalam perkembanganya, musik dhol dan tassa sering kali digunakan dalam perayaan tabut oleh masyarakat Sipai.Hal ini menunjukkan bahwa budaya kapital (selera pasar) mempengaruhi estetika masyarakat sebagaimana yang dinyatakan oleh Piliang (2011: 98) budaya global (kapital) masuk ke segala lini kehidupan masyarakat dunia tidak terkecuali pada bidang seni dan estetika masyarakat.

Musik dhol dan tassa awalnya bukan merupakan bagian perlengkapan tabut, hanya saja pada awal tahun 90-an setelah dilakukannya negosiasi pemerintah dengan masyarakat Sipai yang tergabung dalam KKT memutuskan bahwa diusulkannya kedua musik tersebut menjadi bagian dari festival tabut dengan alasan, bahwa musik dhol dan tassa merupakan musik perkusi yang sangat cocok digunakan dalam membawa bangunan tabut, karena menimbulkan efek suara yang cukup mengundang perhatian masyarakat atau wisatawan untuk menyaksikan tabut ketika di arak/dibawa.

Pergesaran kesakralan tabut tidak hanya berdampak pada bentuk dan jenis bangunan, pelengkapan ritual saja, akan tetapi juga terjadi pada beberapa pelaksanaan ritual tabut yang kini sebagian sudah tidak lagi dijalankan sebagaimana mestinya, karena adanya alasan serta pertimbangan tersendiri baik dari pemerintah maupun KKT. Beberapa alasan dan pertimbangan tersebut sangat erat kaitannya dengan proses komodifikasi menurut Barker (2000:517) sebagai sebuah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas belaka, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.

Progam wisata budaya yang dibentuk oleh pemerintah, memberikan banyak perubahan dalam ritual tabut. Perubahan terjadi terutama dalam hal jadwal maupun tempat pelaksanaan ritual yang sudah tidak lagi sama dilaksanakan ketika pada masa sebelum dilakukannya komodifikasi. Aspek kesakralan ritual tabut tidak terlalu diperhatikan lagi oleh pemangku tradisi, yakni masyarakat Sipai yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Tabut (KKT), karena pola pikir masyarakat setempat yang telah berubah, sehingga berakibat hilangnya nilai dan makna dari tabut sebagai ritual agama yaitu untuk memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad S.A.W dan ajaran ilmu tasawuf. Sekarang tabut hanya dijadikan sebagai tontonan yang memberikan hiburan semata bagi pengunjung atau wisatawan. Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2011:336). Berikut adalah beberapa bagian dari ritual tabut yang telah mengalami pergeseran kesakralan baik dari segi tempat, waktu, dan cara pelaksanaan yang berbeda dilakukan saat sebelum dilakukan komodifikasi oleh pemerintah.

1. Ritual Ambik Tanah

Proses ritual ambik tanah yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pelaku tradisi yakni masyarakat Sipai yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) melaksanakan ritual ini pada pukul 22.00 WIB pada malam hari, padahal ritual ambik tanah sebenarnya dilaksanakan pada pukul 00.00 WIB pertengahan

malam tanggal 1 Muharam, dengan alasan agar suasana ritual lebih mistik, tenang, dan juga untuk menghindari orang diluar masyarakat Sipai untuk menyaksikan

ritual ini - harus dilakukan secara

khusyuk oleh dukun tabut.

Namun setelah dilakukan komodifikasi oleh pemerintah bersama KKT, aspek kekhusyukan ritual tidak lagi diperhatikan oleh pemangku tradisi, sehingga ritual ambik tanah kini banyak disaksikan oleh masyarakat dari luar suku Sipai dan wisatawan asing. Tidak hanya itu, bahkan KKT dengan sengaja mengundang media untuk meliput prosesi ritual, agar ritual ini dapat dimuat di media cetak sebagai ajang promosi. Hal ini sangat erat kaitannya sesuai dengan objek seni dalam kebudayaan moderen dan post modern merupakan dari kebudayaan materi. Produk seni tidak hanya diproduksi, dikonsumsi, namun juga didistribusikan melalui media khususnya dalam bentuk iklan atau koran (Piliang, 2011:63). 2. Ritual Duduk Penja

Ritual kedua dalam tradisi tabut yang telah mengalami perubahan pergeseran terhadap kesakralan akibat komodifikasi yang dilakukan pemerintah bersama pemangku tradisi adalah ritual duduk penja. Pergesaran nilai kesakralan ritual duduk penja tidak jauh berbeda dengan pergeseran kesakralan pada ritual ambik tanah. Pada ritual ambik tanah yang telah dijelaskan sebelumnya, pergeseran kesakralan terjadi pada jadwal pelaksanaan ritual yang secara kakiki berbeda saat sebelum dijadikan komodifikasi oleh pemerintah, sedangkan pada ritual duduk penja pergesaran kesakralan tidak hanya jadwal pelaksanaan yang berubah, tetapi juga pada tata pelaksanaan yang tidak lagi sesuai, yaitu pada saat sebelum dilakukan ritual duduk penja, adanya segelintir oknum yang memanfaatkan ritual ini untuk berkampanye dengan mendatangi ketua Kerukunan Keluarga Tabut (KKT). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat Sipai dalam mendukung salah satu calon Gubernur Bengkulu periode tahun 2015-2021. Tidak hanya itu saja, tokoh politik tersebut berjanji akan memberikan bantuan dalam bentuk dana kepada KKT, apabila tokoh politik tersebut terpilih menjadi Gubernur Bengkulu.

Jika kita bandingkan masyarakat Sipai saat belum masuk menjadi anggota KKT seperti saat sekarang ini, tentu sangat berbeda. Masyarakat Sipai yang cenderung tertutup kini, lebih terbuka menerima perkembangan zaman. Perubahan tersebut terjadi dari sebuah rentetan proses yang panjang dimana ideologi-ideologi baru dan berkembang pada era globalisasi sekarang merasuki budaya lokal, sehingga memungkinkan perubahan pola pikir masyarakatnya untuk bisa berbuat sesuatu yang lebih dengan maksud mendapatkan nilai guna. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern (Garna, 1992:1-2).

Tradis tabut yang dahulunya tidak hanya berfungsi untuk memperingati kematian cucu nabi Muhammad S.A.W, akan tetapi juga memiliki simbol ajaran tasawuf di dalamnya yang kini telah berubah menjadi lahan empuk bagi segelintir oknum untuk berpolitik, yaitu untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat sipai dalam pemilihan Gubernur yang sudah tidak lama lagi dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Akibat dari kedatangan tokoh politik tersebut, membuat jadwal pelaksanaan ritual duduk penja berubah, yaitu yang semula dilaksanakan pukul 15.30 WIB kini bergeser menjadi pukul 17.00 WIB.

3. Ritual Arak Penja dan Arak Seroban

Selanjutnya ritual yang mengalami pergesaran nilai kesakralan setelah dilakukan komodifikasi adalah ritual arak penja dan arak seroban. Kedua ritual ini mengalami pergeseran dari segi tempat dan jadwal pelaksanaan yang tidak lagi sesuai dengan aslinya. Ritual arak penja dan arak seroban sebelum dilakukan komodifikasi oleh pemerintah bersama masyarakat Sipai yang terabung dalam KKT, dilaksanakan di tempat dan waktu yang berbeda yaitu dilaksanakan di tanah terbuka pada sore hari pada pukul 15.30 WIB. Namun saat ini, kedua ritual tersebut di laksanakan secara bersamaan baik dari segi waktu dan tempat dengan tujuan, agar kedua ritual ini dapat dikombinasikan dengan acara-acara hiburan lainnya, sehingga tidak terkesan menonton.

Kombinasi antar kedua ritual ini dianggap sebagai langkah yang paling efisien, karena waktu pelaksanaan ritual arak penja dan arak seroban, jika tidak dikombinasikan durasi waktu yang ditampilkan hanya sebentar dan menonton. Oleh sebab itu, langkah ini menurut pemerintah dan pihak KKT merupakan strategi yang paling tepat untuk menarik antusias pengunjung ataupun wisatawan dalam menyaksikan ritual. Maka dari itu, untuk mendukung hal tersebut pemerintah menyediakan panggung modern secara khusus. Proses komodifikasi yang menjadikan panggung, pementasan bukan lagi menjadi objek utama yang dibeli dan mendapatkan nilai guna (sesuai fungsinya) melainkan dibeli (panggung digunakan) sebagai tanda suatu komoditas (Barker, 2000:145-146).

Walaupun strategi ini berhasil dalam menarik minat wisatawan untuk menyaksikan ritual arak penja dan arak seroban, tetapi justru dari segi kesakralan ritual yang dilaksanakan dulu dan sekarang sangat jauh berbeda, karena adanya perubahan waktu dan tempat dalam pelaksanaan ritual yang secara sengaja di ubah sesuai dengan keinginan pemerintah dan pihak KKT. Maka dari itu, secara esensial ritual arak penja dan arak seroban telah mengalami pergeseran nilai kesakralan akibat dari komodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu.

4. Ritual Arak Gedang

Tradisi tabut yang mengalami pergeseran kesakralan selanjutnya adalah ritual arak gedang akibat dari komodifikasi tabut oleh pemerintah dan pemangku tradisi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ritual arak gedang merupakan ritual membawa tabut menuju tempat yang telah ditentukan oleh pemangku tradisi untuk dikumpulkan secara bersama-sama menuju pembuangan akhir di Padang Karbala. Bangunan tabut yang di arak/bawa awalnya hanya dua saja yakni tabut induk yang merupakan tabut sakral yakni terbuat dari bambu dan daun rumbia, kemudian tabut tersebut dikumpulkan di lapangan terbuka selama 1 malam untuk selanjutnya di bawa ke pembuangan.

Namun setelah dilakukan komodifikasi, pemerintah melalui Dinas Pariwisata juga ikut berpartisipasi dalam ritual arak gedang ini. Pemerintah juga menampilkan tabut pembangunan dan tabut kkt dalam ritual arak gedang, bahkan

pada awal tahun 2002 tabut sakral sudah tidak ditampilkan lagi. Ritual arak gedang yang ditampilkan adalah tabut pembangunan dan tabut kkt dengan total bangunan berjumlah 33 buah bangunan tabut yang disandingkan/ditampilkan secara bersamaan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk semakin memeriahkan malam ritual arak gedang, karena dari segi ragam hias, tabut pembangunan dan tabut kkt memiliki banyak ornamen disetiap sisi bangunan. Dari banyaknya ornamen tersebut itulah yang membuat ritual arak gedang semakin menarik untuk disaksikan oleh wisatawan. Hal ini semakin jelas bahwa, modifikasi bangunan tabut dilakukan untuk mengikuti selera pasar agar memiliki nilai jual, hal ini sejalan dengan pandangan Barker (2000:517) yang mengatakan bahwa, komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.

5. Arak Tabut

Sebelum dilakukan komodifikasi, arak tabut dibawa menunju ke pemakaman melalui jalan-jalan yang jauh dari keramaian dengan tujuan untuk memudahkan proses membawa tabut, akan tetapi setelah dilakukan komodifikasi proses arak tabut dibawa melalui jalan-jalan pusat kota Bengkulu. Hal ini dilakukan, agar semua warga Bengkulu diluar keturunan Sipai dapat menyaksikan prosesi ritual arak tabut, walaupun pada akhirnya pemindahan proses ritual arak tabut menuju jalan utama kota Bengkulu menimbulkan dampak negatif, yaitu kemacetan dan banyak fasilitas-fasilitas milik warga yang rusak, seperti banyak-kabel-kabel yang diputus oleh pemangku tradisi karena menghambat jalanya prosesi arak tabut. ini mengindikasikan bahwa, industri kepariwisataan merupakan salah satu bidang yang sangat komplek, maka sektor ini tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi positifnya saja, yaitu seperti mengharapkan datangnya perolehan pendapatan, tetapi sisi negatifnya juga harus diperhitungkan (De Kadt dalam, Nugroho, 2001:23). Dari hasil penjelasan tersebut di atas, menunjukan arak tabut merupakan bagian dari ritual yang mengalami pergeseran nilai kesakralan akibat dari komodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu.

Hal tersebut dapat dilihat dari berbedanya pelaksanaan ritual arak tabut dulu dan sekarang.

6. Tabut Tebuang

Ritual tabut tebuang merupakan ritual terakhir dari tradisi tabut yang mengalami pergeserana nilai kesakralan akibat dari komodifikasi yang dilakukan pemerintah bersama dengan masayarakat Sipai. Pergeseran nilai kesakralan pada ritual tabut tebuang ini, terjadi pada tempat dan tata cara pelaksanaan yang tidak sama lagi dilakukan ketika saat sebelum dilakukan komodifikasi oleh pemerintah, yaitu pembuangan tabut tidak lagi dibuang di laut (Pantai Panjang), akan tetapi dibuang di makam Syekh Burhanuddin, demi terwujudnya tabut sebagai daya tarik wisata budaya.

Pemindahan tempat pelaksanaan ritual tabut sebelumnya telah dirundingkan dan disepakati bersama dalam proses negosiasi pada masa Orde Baru yakni, antara masyarakat Sipai yang tergabung dalam KKT dengan pihak Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu. Paradigma dalam konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan sehari-hari (Ratna, 2010:2).

Adapun alasan dipilihnya makam Syekh Burhanuddin sebagai tempat pembuangan tabut, karena (1) Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pelopor tradisi tabut pertama di Provinsi Bengkulu, (2) Syekh Burhanuddin dianggap sebagai cikal bakal pertama suku Sipai, (3) makam Syekh Burhanuddin dianggap sebagai makam yang keramat bagi orang Sipai, (4) keberadaan makam Syekh Burhanuddin berada tidak jauh dari pusat Kota Bengkulu, dan (5) pembuangan tabut di makam Syekh Burhanuddin dapat menghidari pencemaran air laut di objek wisata alam Pantai Panjang Kota Bengkulu, karena tabut saat ini sudah

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 95-106)