• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Komodifikasi Tabut Pada Masa Orde Baru

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 30-34)

Dari hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa, Dinas Pariwisata adalah institusi resmi yang ditunjuk oleh pemerintah pusat yang bertugas dalam melakukan pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Program yang dilakukan pemerintah tersebut, bertujuan untuk mengangkat tradisi ini menjadi sebuah aset produk wisata khas Bengkulu yang memiliki nilai jual bagi wisatawan. Komodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata

budaya di Provinsi B Visit

Indonesia Year pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru

tahun 1990-an. Pada saat itu, banyak investor asing yang menanamkan saham dan modalnya di Indonesia. Dari hal tersebut, pemerintah provinsi Bengkulu begitu tertarik untuk mengangkat tabut yang dimiliki oleh suku Sipai menjadi sebuah aset produk wisata yang memiliki nilai jual bagi wisatawan.

Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Pengelolaan, Perencanaan, dan Pengembangan Wisata (P3W) Provinsi Bengkulu Bapak Suparhim.S.E (56 tahun). Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

-an pemerintah Bengkulu ikut berpartisipasi Visit

Indonesia Year tabut kami pilih sebagai daya tarik wisata khas

Bengkulu, karena memang tradisi ini memang sangat unik dan tentunya memiliki

Dari penuturan informan di atas mengungkapkan bahwa, tradisi tabut mulai dikomodifikasi menjadi daya tarik wisata oleh pemerintah melalui program Visit

Indonesia Year Tradisi tabut dikomodifikasi oleh pemerintah

tradisi budaya yang memiliki nilai jual dan sebagai modal berharga bagi pengembangan ekonomi masyarakat Bengkulu dimasa mendatang.

Keikutsertaan pemangku tradisi yakni suku Sipai dalam mendukung kebijakan pemerintah menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu, merupakan perkara yang sulit karena hal ini menyangkut masalah tradisi nenek moyang yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat pendukungnya, bahkan akibat dari kebijakan tersebut menimbulkan konflik antara pemerintah dan pemangku tradisi. Pemangku tradisi yaitu, orang-orang Sipai awalnya menolak dengan dijadikannya tabut sebagai daya tarik wisata budaya ke dalam bentuk festival, karena hal ini secara tidak langsung dapat menghilangkan keaslian dan kesakralan dari tabut itu sendiri.

Ungkapan tersebut di atas senada dengan apa yang disampaiakan oleh Bapak Rustam Effendi. S.Sos (54 tahun) selaku pewaris budaya tabut. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

tersebut, sampai-sampai diantara dari kami dan termasuk saya sendiri kala itu merasa adanya unsur politik dibalik program itu yang justru dapat menghilangkan nilai kesakralan tabut, sehingga adanya sedikit konflik antara kami dengan

Dari penuturan informan di atas menunjukan bahwa, terjadinya konflik antara masyarakat lokal yaitu suku Sipai dengan pemerintah yaitu Dinas Pariwisata. Suku Sipai menolak terhadap perubahan kesakralan tabut ke arah profan menuju komersialisai tradisi melalui pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya. Pemangku tradisi yakni suku Sipai mengiginkan tradisi ini jangan dikomersialkan ke dalam bentuk daya tarik wisata, mereka tetap mengiginkan tabut tetap pada fungsi utamanya untuk menjaga nilai kesakralannya. Maka dari itu untuk mengatasi perkara yang sulit tersebut, dilakukan proses negosiasi antara pemerintah dan pemangku tradisi tabut.

Negosiasi dipilih dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa antara Dinas Pariwisata dan pemangku tradisi yakni suku Sipai, yaitu dengan cara melibatkan dua kelompok mediasi yaitu pemerintah pusat dan kelompok adat yang diwakili

oleh Rajo Bengkulu yaitu Datuk Malaban. Kedua kelompok ini menjadi penengah dari konflik kedua belah pihak dengan cara mempertemukan keduanya dalam seminar terbuka pada awal tahun 1991 guna membahas mengenai rencana pegembangan tabut sebagai daya tarik wisata budaya. Dalam proses negosiasi yang dilakukan, Drs. Agus Sumarno selaku Kepala Dinas Pariwisata kala itu mengkomunikasikan program yang mereka buat kepada pimpinan adat Rajo Bengkulu dan segenap para pelaku tradisi.

Proses negosiasi dilakukan di Balai Adat Provinsi Bengkulu dihadiri oleh sejumlah elit pemerintah, pelaku tradisi, pemangku adat, dan tokoh masyarakat. Ketua Dinas Pariwisata Drs. Agus Sumarno mengutarakan maksud dan tujuan dijadikannya tabut sebagai daya tarik wisata budaya, yaitu sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat Bengkulu dari sektor pariwisata yang secara tidak langsung sebagai bentuk penyelamatan tradisi budaya Bengkulu dari kepunahan. Proses negosiasi kala itu dilakukan secara terbuka dengan tanya jawab satu sama lain, sehingga tidak ada hal-hal yang ditutup-tutupi baik dari pihak pemerintah yaitu Dinas Pariwisata maupun dari pihak pemangku tradisi yaitu masyarakat Sipai.

Hal ini sejalan dengan apa yang dituturkan oleh Bapak Rustam Effendi. S.Sos (54 tahun) selaku pewaris budaya tabut. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

u terjadinya rundingan antara pemerintah dan pelaku tradisi tabut di Gedung Balai Adat. Mereka berbicara saling terbuka satu sama lain dalam membahas dijadikanya tabut sebagai daya tarik wisata budaya. Dari hasil pertemuan yang dilakukan, di sepakati dibentuknya KKT dan ditetapkanya tabut menjadi bagian dari kinerja pemerintah menjadi festival budaya yang

Dari penuturan informan di atas menunjukan bahwa, proses negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak berlangsung dengan baik. Hal ini dikarenakan pemerintah terus melakukan komunikasi dan pendekatan yang baik dengan pemangku tradisi dalam terus mensosialisasikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya. Adapun kesepakatan yang di ambil oleh masing-masing pihak baik pemerintah dan pemangku tradisi, yaitu sebagai berikut: (1) dari pihak pemangku

tradisi sendiri, diputuskan untuk dibentuknya organisasi Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) pada tanggal 19 April 1991 dengan Bapak Mulyono sebagai Ketua. Adapun tujuan dibentuknya Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) yaitu, sebagai wadah pemersatu seluruh masyarakat keturunan Sipai dalam menjalankan tradisi tabut dan sekaligus sebagai organisasi yang dapat memantau seluruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengembangan tabut. (2) dari pihak pemerintah sendiri, ditetapkannya tabut menjadi festival budaya tahunan yang juga merupakan bagian dari kinerja pemerintah.

Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut, implementasinya tidak dapat dilepaskan dari ketatalaksanaan program/kegiatan, dimana secara konseptual program diformulasikan untuk rancangan pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya yang selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan dan pelatihan. Dari hasil kesepakatan tersebut pada tanggal 7 Mei 1994 dibentuklah kerja sama atau MoU (Mutual of Understanding) antara Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu dengan Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) secara resmi sesuai dengan Perda No 15 Tahun 1994 tentang pengembangan budaya tabut yang secara langsung di tanda tangani oleh Gubernur Bengkulu.

Beberapa program/kegiatan kerjasama diantaranya adalah (1) memodifikasi tampilan bangunan tabut menjadi produk yang lebih menarik, maka dari itu disepakati bahwa bangunan tabut dibuat dengan menggunakan bahan dasar dari kayu, (2) malam sebelum dan sesudah ritual, diwajibkan dilakukan pembukaan dan penutupan secara resmi upacara ritual tabut oleh Gubernur atau Wali Kota Bengkulu, agar secara tidak langsung dapat menarik minat media untuk meliput tabut, (3) untuk memeriahkan acara, tabut dikombinasikan dengan pameran dan pasar malam selama 10 hari berturut-turut, (4) pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana dalam kegiatan pesta rakyat yang dikemas dalam acara festival budaya tabut, dan (5) pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan seni budaya daerah seperti lomba telong-telong (lampion), ikan-ikan, lomba tari, dan lomba musik dhol.

Untuk mencapai program itu semua, pemerintah sebagai pemangku kepentingan secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi yang sangat

penting atas keberlangsungan kegiatan pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Maka dari itu, pemerintah melalui Dinas Pariwisata secara implisit berperan sebagai aktor yang bertanggung jawab secara penuh dalam program tersebut, yaitu pemerintah berperan sebagai penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas, dan advokasi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat menarik keikutsertaan pemangku tradisi dalam mendukung kebijakan pemerintah tersebut.

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 30-34)