• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Komodifikasi Tabut Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Provinsi Bengkulu

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 80-92)

3. Pelaksanaan Ritual Tabut

4.2.1 Proses Komodifikasi Tabut Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Provinsi Bengkulu

Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga menjadi komoditi (Piliang, 2011:21). Proses komodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu seperti yang telah dijelaskan di hasil temuan penelitian, terjadi dalam dua tahap yakni (1) komodifikasi pada masa Orde baru dan (2) pada masa Reformasi. Tahapan inilah yang membentuk tradisi tabut oleh masyarakat Sipai menjadi produk wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya merupakan program yang dibuat secara sengaja oleh Dinas Pariwisata sebagai sebuah strategi menarik partisipasi pemangku tradisi yakni masyarakat Sipai untuk secara bersama-sama mendukung kebijakan pemerintah menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Giddens (2010:82) yang mengatakan bahwa, manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelsaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, dari penempatan struktur yang berdampak pada tindakan agen/manusia yang bertujuan untuk menguraikan alasan-alasan dari

setiap tujuannya. Untuk mencapai alasan dan tujuan tersebut, Dinas Pariwisata melakukan negosiasi dengan pemangku tradisi dengan tujuan menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu.

Komodifikasi tabut pada masa Orde baru terjadi pada tahun 90-an yang Visit Indonesia Year

investor asing yang menanamkan saham dan modalnya di Indonesia yang tentu secara tidak langsung dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi perkembangan kepariwisataan nasional. Alasan inilah yang menjadi motivasi tersendiri bagi pemerintah Bengkulu untuk menjadikan tabut sebagai produk wisata budaya, agar dapat terciptanya hubungan timbal balik, di mana agen mendominasi struktur, agar adanya hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain (Giddens, 2010:84).

Tradisi tabut memiliki daya tarik yang begitu khas dan unik sebagai sebuah tradisi budaya yang memiliki nilai jual dan sebagai modal berharga bagi pengembangan ekonomi masyarakat Bengkulu di masa mendatang. Keunikan dari tradisi tabut inilah yang menjadi alasan pemerintah melakukan komodifikasi yang merupakan sebuah proses mengubah nilai pada produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) di mana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen (Vincent Moscow, dalam Subandy, 2014:27).

Untuk memuluskan progam dalam menarik keikutsertaan masyarakat Sipai mendukung kebijakan pemerintah tersebut, merupakan perkara yang sulit karena hal ini menyangkut tradisi nenek moyang yang telah menjadi identitas kuat masyarakat Sipai di Provinsi Bengkulu. Bahkan akibat dari kebijakan yang dibuat tersebut, secara tidak langsung menimbulkan konflik antara kedua belah pihak yang merupakan bagian dari proses sosial yang terjadi karena perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi, kebudayaan dan prilaku. Dengan kata lain, konflik adalah salah satu proses interaksi sosial yang bersifat dosiatif (J.L. Gillin dan J.P. Gillin, dalam Koentjaraningrat, 1994:118).

Pemangku tradisi yakni orang-orang Sipai awalnya menolak terhadap perubahan kesakralan tabut ke arah profan menuju komersialisai tradisi melalui

pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya. Pemangku tradisi mengiginkan tradisi ini jangan dikomersialkan ke dalam bentuk daya tarik wisata dan tetap mengiginkan tabut pada fungsi utamanya dengan tujuan untuk menjaga nilai kesakralannya. Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah menginginkan adanya suatu penyelesaian agar adanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, maka dari itu untuk menemukan jalan keluar tersebut, dilakukannya proses negosiasi. Negosiasi merupakan suatu proses dimana dialog yang diselenggarakan antara dua atau lebih pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepahaman (setiap pihak dengan tujuan, kebutuhan, dan sudut pandang sendiri), menyelesaikan perbedaan-perbedaan, dan mencapai putusan atau hasil yang disetujui semua pihak.

Proses negosiasi melibatkan diskusi yang panjang untuk membentuk kepercayaan dan rasa saling hormat dalam hubungan pihak terkait yakni masyarakat Sipai dan pemerintah. Selain itu, pihak terkait tidak disarankan untuk melakukan hal yang bersifat konfrontasi atau memberikan tekanan untuk memastikan kelanjutan proses negosiasi. Proses negosiasi pada masa Orde Baru dilakukan di balai adat Provinsi Bengkulu yang dihadiri oleh sejumlah elit pemerintah, pelaku tradisi, pemangku adat, dan tokoh masyarakat dengan cara melibatkan dua kelompok mediasi yaitu pemerintah pusat dan kelompok adat yang diwakili oleh Rajo Bengkulu, yaitu Datuk Malaban. Kedua kelompok ini yang akan meluruskan konflik kedua belah pihak dengan cara mempertemukan keduanya dalam seminar terbuka pada awal tahun 1991 untuk membahas mengenai rencana pegembangan tabut sebagai daya tarik wisata budaya.

Negosiasi dilakukan secara terbuka yaitu dengan tanya jawab satu sama lain, sehingga tidak ada hal-hal yang ditutup-tutupi baik dari pihak pemerintah yaitu Dinas Pariwisata maupun dari pihak pemangku tradisi yakni masyarakat Sipai. Drs. Agus Sumarno selaku Kepala Dinas Pariwisata kala itu, mengkomunikasikan program yang mereka buat kepada pimpinan adat Rajo Bengkulu dan segenap para pelaku tradisi. Komodifikasi tabut dibuat sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat Bengkulu dari sektor pariwisata, sedangkan dari pihak pelaku tradisi sendiri yakni masyarakat Sipai mengutarakan

kepada pemerintah tentang kejelasan mengenai status keberadaan masyarakat Sipai sebagai pemilik tradisi tabut. Adapun kesepakatan yang di ambil antara kedua belah pihak yang bersengketa dengan cara negosiasi, yaitu sebagai bentuk jalan tengah untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan (Giddens, 2010:21).

Maka dari itu, untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut implementasinya tidak dapat dilepaskan dari ketatalaksanaan program/kegiatan, di mana secara konseptual program diformulasikan untuk rancangan pengembangan tabut menjadi daya tarik wisata budaya yang selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan dan pelatihan yang disepakati pada tanggal 7 Mei 1994 dibentuklah kerja sama atau MoU (Mutual of Understanding) antara Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu dengan Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) secara resmi sesuai dengan Perda No 15 Tahun 1994 tentang pengembangan budaya tabut yang secara langsung diresmikan oleh Gubernur Bengkulu. Beberapa program/kegiatan kerjasama diantaranya adalah sebagai berikut: (1) dari pihak pemangku tradisi sendiri, diputuskan untuk dibentuknya organisasi Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) pada tanggal 19 April 1991 dengan Bapak Mulyono sebagai Ketua. Adapun tujuan dibentuknya Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) yaitu, sebagai wadah pemersatu seluruh masyarakat keturunan Sipai dalam menjalankan tradisi tabut dan sekaligus sebagai organisasi yang dapat memantau seluruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengembangan tabut. (2) dari pihak pemerintah sendiri, ditetapkannya tabut menjadi festival budaya tahunan yang merupakan bagian dari kinerja pemerintah meliputi memodifikasi tampilan bangunan tabut menjadi produk yang lebih menarik, pelaksanaan tabut dikombinasikan dengan kegiatan seni budaya (lomba telong-telong (lampion), ikan-ikan, lomba tari, lomba musik dhol), pasar malam selama 10 hari berturut-turut, dan pemerintah bertanggung jawab secara penuh memfasilitasi sarana dan prasarana acara festival budaya tabut.

Dinas Pariwisata sebagai pemangku kepentingan dalam memodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu memiliki posisi yang sangat sentral demi tercapainya program yang telah disepakati antara kedua belah

pihak. Maka dari itu, adanya pembagian tugas/kerja yang jelas antara Dinas Pariwisata dan KKT. Dinas Pariwisata secara langsung berperan sebagai aktor yang bertanggung jawab secara penuh melalui kekuasaan yang mereka miliki yaitu, sebagai penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas, dan advokasi, sedangkan masyarakat Sipai yang tergabung dalam KKT bertindak sebagai pelaku tradisi tabut.

Berkenaan dengan hal tersebut, menurut (Berry, dalam, Kebayantini 2013:31) kepemilikan merupakan salah satu aspek pembagian pekerjaan merupakan dasar hubungan kekuasaan. Kekuasaan yang dilakukan, dapat menarik keikutsertaan pemangku tradisi dalam mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini sejalan dengan teori strukturasi yang mengatakan bahwa agen adalah aktor yang memiliki kemampuan menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan, jadi secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Jadi teori strukturasi menempatkan kekuasaan pada agen (Giddens, dalam Priyono, 2002:20).

Setelah dilakukan negosiasi pada masa Orde Baru, proses komodifikasi dilanjutkan dengan cara negosiasi pada masa Reformasi yaitu awal tahun 2000. Komodifikasi masa Reformasi merupakan hasil dari negosiasi Orde Baru yang membawa banyak pengaruh terhadap perubahan tradisi tabut di Provinsi Bengkulu. Tradisi selalu berubah-ubah, dan akan tetap bertahan apabila masih mempertahankan sifat tradisional, yaitu sebuah kepercayaan atau praktik yang memiliki intergritas dan keberlanjutan yang menentang desakan perubahan. Perubahan dalam tradisi tabut disebabkan oleh lemahnya kemampuan masyarakat Sipai dalam mempertahankan sifat ketradisionalan tabut, akibat desakan pengaruh modernitas dapat menghancurkan tradisi (Giddens, dalam Said, 1994:18-19).

Tradisi tabut pada masa Reformasi tidak lagi dilakukan sebagai kewajiban untuk memenuhi wasiat leluhur mereka, akan tetapi lebih dianggap sebagai sebuah hiburan semata. Program pemerintah telah mengubah budaya masyarakat Sipai menjadi budaya konsumen melalui mekanisme paksaan oleh individu yang

berpengaruh atau berkuasa (Sztompka, 2004:72). Kekuasaan pemerintah melalui Dinas Pariwisata terlihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil yaitu, dijadikannya tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu melalui pendekatan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga membuat masyarakat Sipai masuk dalam konstruksi berpikir yang sama dengan pemerintah maka, pada awal tahun 1999 dikeluarkanlah Perda No 4 Tahun 1999 tentang pengembangan potensi budaya Bengkulu. Dari Perda yang dikeluarkan pemerintah tersebut, membuat semakin eratnya jalinan kerjasama antara pemerintah dan pihak KKT. Tidak hanya itu, pada masa ini tabut telah bergeser ke arah komodifikasi untuk kepentingan pariwisata yaitu, dilakukannya penambahan jumlah daya tarik wisata budaya tabut menjadi dua daya tarik yaitu tabut kkt merupakan tabut yang dibuat oleh keluarga yang dianggap sebagai pewaris tabut dengan jumlah 17 buah bangunan, sedangkan tabut pembangunan merupakan tabut yang dibuat oleh pemerintah berjumlah 16 buah bangunan. Kedua daya tarik tersebut baik tabut kkt maupun tabut pembangunan, kesemuanya merupakan daya tarik tabut yang berasal dari program pemerintah dengan tujuan untuk menambah daya tarik tabut sebagai wisata budaya di Provinsi Bengkulu.

Komodifikasi tabut pada masa Reformasi juga dilakukan dengan pengembangan sarana dan prasarana pendukung tabut yaitu dilakukannya perbaikan makam Syekh Burhanuddin sebagai tempat/lokasi pembuangan tabut. Pembuangan tabut yang semula dibuang di laut (Pantai Panjang) kini dibuang di makam Syekh Burhanuddin yang merupakan pelopor tradisi tabut di Bengkulu. Hal tersebut dilakukan atas pertimbangan bahwa, apabila tabut di buang di laut dapat mengotori objek wisata alam di Pantai Panjang. Tidak hanya itu, pemerintah bersama KKT juga melakukan perbaikan lapangan merdeka Kota Bengkulu sebagai lokasi pergelaran seni budaya seperti, lomba telong-telong (lampion), ikan-ikan, lomba tari, dan lomba musik dhol untuk dikombinasikan dengan tradisi tabut. Dalam realisasi pengembangan sarana dan prasarana tabut pemerintah menggunakan dana APBD tahun 2004-2005 meliputi pembangunan panggung, pembangunan tribun penonton di lapangan merdeka, pembangunan gapura di

sekitar makam, dan perbaikan akses jalan menuju pemakaman Syekh Burhanuddin dengan menghabiskan dana kurang lebih sebanyak Rp 3,5 Miliar.

Selain pengembangan sarana dan prasarana pendukung tabut, pada masa ini pemerintah juga melakukan pengembangan promosi tabut yang dilakukan dengan teknik media komunikasi pemasaran. Komunikasi pemasaran adalah salah satu kegiatan pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi atau mengingatkan pasar atas perusahaan ataupun produk agar bersedia menerima dan membeli produk yang ditawarkan produsen. Media komunikasi pemasaran merupakan konsep sentral komodifikasi ritual tabut dalam kemasan pariwisata dengan menggunakan media sebagai alat promosi (Pendit, 2002:271). Dalam mempromosikan tabut pemerintah menggunakan komunikator yang berasal dari KKT sebagai pewaris tradisi sekaligus sebagai pelaksana ritual sedangkan, pemerintah melalui Dinas Pariwisata berperan sebagai lembaga atau instansi yang memfasilitasi seluruh kegiatan KKT dan memberikan pemikiran berupa ide/gagasan rencana penjualan produk wisata tabut. Hal tersebut dilakukan karena, komunikasi dikatakan berhasil apabila adanya kepercayaan komunikan terhadap komunikator. Kepercayaan ini banyak bersangkutan dengan profesi atau keahlian yang dimiliki oleh seorang komunikator (Effendy, 2004:13).

Promosi tabut dilakukan dengan menggunakan teknik personal selling, yaitu dengan cara mengirimkan perwakilan dari KKT untuk mempromosikan tabut di pekan budaya nasional, bahkan tradisi tabut pernah dipromosikan sampai ke Inggris pada tahun 2007 silam tidak hanya itu, tabut sebagai produk budaya juga dipromosikan melalui media massa. Hal ini sangat jelas, bahwa pengaruh modernisasi berdampak positif bagi kelangsungan dan perkembangan budaya lokal yang semakin terpinggirkan atau terancam punah. Promo media semacam ini cukup efektif untuk digunakan, mengingat manusia memiliki keterbatasan dalam mempromosikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Piliang (2011:63) objek seni dalam kebudayaan moderen dan post modern merupakan dari kebudayaan materi. Produk seni tidak hanya diproduksi, dikonsumsi namun juga dipromosikan melalui media khususnya dalam bentuk iklan atau koran, dan booklet.

Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa proses komodifikasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu negosiasi pada masa Orde Baru lebih kepada tahap pendekatan antara pemerintah dengan pemangku tadisi, sedangkan pada masa Reformasi lebih pada tahap lanjutan dari proses negosiasi sebelumnya. Dari kesimpulan tersebut di atas, maka dapat dijelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya negosiasi antara pemerintah dan pemangku tradisi dalam menjadikan tabut sebagai komodifikasi wisata budaya di Provinsi Bengkulu yaitu sebagai berikut:

1. Sikap Terbuka

Sikap terbuka masyarakat Sipai merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perubahan tabut dari sakral ke arah profan. Perubahan tradisi tabut tidak hanya berasal dari program pemerintah saja, melainkan juga tidak lepas dari akulturasi budaya serta keinginan dari masyarakat pendukung untuk bisa mensejajarkan diri dengan kebudayaan lainnya. Perubahan tersebut tentunya dilakukan dengan kesadaran yang rasional sehingga, harapan dari masyarakat Sipai bisa tercapai. Dengan tindakan-tindakan yang rasional tersebut, membuat masyarakat bergerak dengan sejumlah tindakan untuk memuaskan kebutuhannya seperti, memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang atau jasa dari ritual tabut dengan berbagai macam kepentingan. Praktik seperti ini yang memungkinkan adanya praktek komodifikasi dalam kebudayaan. Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, masyarakat lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak untuk melakukannya. Motif kesadaran dan dorongan dari masyarakat Sipai dalam menjadikan tabut sebagai ajang promosi identitas budaya yang pada akhirnya membawa nilai ekonomi pada masyarakatnya.

Hal ini tentunya tidak lepas dari peran pemerintah yang dapat mempengaruhi perubahan paradigma masyarakatnya yang menginginkan sesuatu yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Proses perubahan tersebut tidak hanya terkait dengan program pemerintah saja dalam menjadikan tabut sebagai daya tarik wisata, nampaknya juga berasal dari keterbukaan masyarakat Sipai akan sesuatu yang dianggap baik dan perlu untuk dikembangkan. Oleh karena itu, ideologi atau

paradigma yang mereka miliki baik berasal dari ilmu pengetahuan atau pengalaman hidup mereka mendorong perubahan tersebut semakin cepat. Paradigma dalam konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan sehari-hari (Ratna, 2008:2).

Globalisasi yang masuk ke lingkup kebudayaan masyarakat Sipai telah mempengaruhi ideologi tradisional ke arah pemikiran kreatif dan moderen, sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat. Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol, sementara pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi. Tradisi kultur pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga menyebabkan kultur konsumen atau budaya model barat menjalar dalam kehidupan masyarakat. Hal seperti itu menurut Saifullah (1994:12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Cara pandang atau paradigma masyarakat yang mampu mengolah sesuatu yang sebelumnya bukan sebuah komoditas menjadi barang yang bernilai guna (ekonomis), nampaknya terjadi pada masyarakat Sipai yang menjadikan ritual tabut yang sebelumnya merupakan ritual untuk memperingati meninggalnya cucu Nabi Muhammad S.A.W yang bernama Husain, kini menjadi produk wisata budaya yang memiliki nilai jual bagi wisatawan.

2. Kreativitas Masyarakat

Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2008:313). Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya. Terkait dengan kreativitas masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan masyarakat Sipai untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan mengubah, menambah struktur/bentuk tabut sehingga menjadi sebuah pertunjukkan seni budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata budaya dengan harapan mendapatkan keuntungan.

Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan masyarakat Sipai, khususnya pengembangan tradisi tabut. Pengembangan tabut sendiri menimbulkan pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan serta menumbuhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya. Komodifikasi tabut dalam perkembangannya tidak terlepas dari kreator, yakni pemerintah dalam mendorong kreativitas masyarakat Sipai menampilkan tampilan tabut menjadi produk budaya yang menarik. Kreativitas tersebut dituangkan dalam pemikiran-pemikiran masyarakat Sipai yang terangkum dalam seni budaya yang indah.

Pada perkembangannya ritual tabut selalu mengalami perubahan baik dari segi bentuk dan makna yang merupakan efek dari selera pasar yang telah mengglobal. Hal tersebut mengakibatkan berbagai macam ide-ide dan inisiatif akan kebutuhan bermunculan dalam pemikiran manusia. Berbagai bentuk ide kreatif seniman Sipai yang bekerja sama dengan pemerintah yaitu Dinas Pariwisata untuk memberikan unsur kebaharuan dalam segi bentuk tampilan agar mengundang selera wisatawan untuk mengonsumsinya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Nurhayati (2004: 19), bahwa dilihat dari sudut pandang kesenian, maka berkembangnya industri pariwisata secara nyata telah mendorong tumbuhnya kreativitas pelaku seni untuk mengembangkan karya ciptanya sehingga mampu menarik minat pengunjung atau wisatawan.

3. Media massa

Media massa memegang peran penting dalam proses komodifikasi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Melalui media massa tabut dikomodifikasi menjadi budaya populer. Media massa disatu sisi merupakan salah satu hasil budaya, namun disisi lain juga merupakan sarana untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad S.A.W yang bernama Husain. Melalui sarana media massa inilah, tabut dapat terpublikasikan secara luas. Media massa dapat diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang melahirkan banyak relasi dan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana agen publikasi, baik secara visual maupun secara tertulis untuk menyampaikan pesan (Adorno, 1979:123) .

Sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai kekuatan tersendiri, karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai. Media massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya) yang efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat dari pada pendidikan formal sebagai sarana pembudayaan. Dalam hal ini media massa baik elektronik maupun cetak memegang peran penting dalam proses promosi tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Kasali (2001:95) yang mengatakan bahwa penggunaan media massa seperti media cetak lokal, media elektronik, dan media tertentu lainnya merupakan cara pencapaian komunikasi pemasaran yang sangat efektif dan potensial dalam mencapai pangsa pasar.

Tradisi tabut mengalami perubahan akibat perkembangan media. Tradisi tabut dahulunya saat sebelum dilakukan komodifikasi, tidak memperbolehkan media untuk meliput setiap ritual karena dapat menghilangkan kesakralan dari ritual, namun sekarang para pelaku tradisi yakni masyarakat Sipai yang berkerjasama dengan pemerintah secara sengaja mengundang wartawan untuk meliputi, agar tabut dapat terpublikasi secara luas baik dari media cetak maupun elektronik. Dari hal tersebut inilah, membuat tabut yang disakralkan dalam hal untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad S.A.W bernama Husain, kini perlahan-lahan memiliki fungsi lain yakni sebagai kepentingan seni pertunjukan yang tujuanya untuk dipertontonkan.

4. Ekonomi

Masyarakat Sipai yang tergabung dalam anggota Kerukunan Keluarga Tabut (KKT) kini telah menjadikan ritual tabut sebagai barang komoditas yang bisa memberikan keuntungan secara ekonomi. Setiap tahunnya anggota KKT diberi dana oleh pemerintah sebesar Rp 400 juta, tentu ini merupakan keuntungan tersendiri bagi pemangku tradisi setelah tabut dijadikan produk wisata budaya oleh pemerintah. Masyarakat Sipai memandang tabut menjadi dua fungsi, yaitu sebagai tradisi leluhur dan sebagai sumber mata pencaharian baru yang dapat menguntungkan mereka dari sisi ekonomi.

Masyarakat Sipai dalam perkembangannya, sudah terperangkap dalam dekapan modernisasi yang tidak bisa dihindari. Salah satu wujud moderinisasi adalah kapitalisme dalam fokus penekanannya dalam bidang ekonomi. Wacana globalisasi ini turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker 2000:133). Pengaruh arus budaya global dan modernisasi berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme yang mengikuti ideologi pasar, sehingga tabut menjadi produk budaya yang secara sengaja dibuat untuk tujuan komersil. Dampak globalisasi ekonomi telah menggiring manusia ke dalam suatu arena interaksi sosial baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Banyaknya tingkat konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan seni tradisi menjadikan tabut semakin menunjukan eksistensinya. Komodifikasi tabut dilakukan perubahan, agar ritual mempunyai nilai ekonomis yang menghasilkan uang.

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 80-92)