• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Pencemaran Perairan Pesisir

2.2.4 Dampak Pencemaran

2.2.4.1 Pencemaran Sebagai Suatu Proses

Pencemaran yang terjadi pada suatu perairan akan berdampak baik kepada ekosistem dan komunitas di dalamnya, kesehatan manusia, estetika dan pariwisata maupun aspek ekonomi. Gambaran proses perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem perairan sebagai dampak dari terjadinya pencemaran dapat dilihat pada Gambar 2. Proses perubahan akibat masuknya suatu bahan pencemar ke dalam ekosistem perairan laut adalah sebagai berikut : bahan atau zat pencemar akan mengalami pengenceran, dipekatkan ataupun di sebarkan dengan bantuan arus, gelombang atau arus pasang surut ataupun oleh biota yang bermigrasi (beruaya) ke wilayah lain. Melalui proses biologis bahan/zat pencemar berpengaruh ke komponen rantai makanan, oleh karena bahan pencemar tersebut akan diserap oleh organisme laut seperti ikan, plankton, rumput laut dan algae, kemudian akan berpindah ketingkat tropik selanjutnya seperti zooplankton dan avertebrata, kemudian ke ikan dan mamalia. Sedangkan melalui proses fisik-kimia bahan/zat pencemar akan diabsorpsi, diendapkan dan terionisasi (pertukaran ion).

Secara biologis, tiga proses dasar yang menyusun struktur fungsional ekosistem pesisir dan laut adalah proses produksi, konsumsi dan dekomposisi atau mineralisasi yang terjadi terus menerus yang dipengaruhi oleh proses transportasi atau penyebaran bahan pencemar yang masuk ke ekosistem perairan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk menyatakan kandungan bahan organik dalam perairan dilakukan dengan mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan tersebut sehingga menjadi senyawa stabil. Hal ini dapat dijelaskan dengan pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) menurut Clark (1986) sebagai berikut :

Gambar 2 Bagan tentang proses yang terjadi bila bahan pencemar masuk ke ekosistem laut (EPA 1975,diacu dalam Moriarty 1983)

Masuk ke ekosistem laut

Di pekatkan oleh Dibawa oleh Diencerkan &

disebar oleh

Arus laut Arus laut Biota yg beruaya

Zat Pencemar Adukan turbulensi Proses fisik- kimia Proses biologi Diserap oleh plankton nabati

Diserap oleh rumput laut & tumbuhan

laut lainnya Diserap oleh

ikan Absorpsi Pengendapan Pertukaran ion

Plankton hewani Avertebrata Plankton hewani

1) Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama penghancuran bahan organik dalam waktu tertentu pada suhu 20oC. Oksigen biokimiawi ini merupakan proses yang lambat dan secara teoritis memerlukan reaksi sempurna. Dalam waktu 20 hari, oksidasi mencapai 95-99% sempurna dan dalam waktu 5 hari seperti yang umum digunakan untuk mengukur BOD kesempurnaan oksidasinya mencapai 60-70%. Suhu 20oC yang digunakan merupakan nilai rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di daerah iklim sedang dan mudah ditiru dalam incubator. Hasil yang berbeda akan diperoleh pada suhu yang berbeda karena kecepatan reaksi biokimia tergantung dari suhu,

2) Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen secara kimiawi. Pengukuran ini dilakukan dengan menambahkan oksidan seperti potassium permanganat (KMnO4) atau potassium dichromat (K2Cr2O7) dengan asam

sulfat pekat (H2SO4) ke bahan buangan yang dianalisis. Selanjutnya sampel

dititrasi sesudah interval standart dibuat untuk mendeterminasi jumlah oksidan yang tersisa. Kemudian jumlah bahan yang teroksidasi dalam sampel dapat dihitung. COD umumnya lebih besar dari BOD, karena jumlah senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan oksidasi secara biologis.

Selain itu menurut Clark (1986), degradasi bakterial adalah hasil dari oksidasi molekul-molekul organik menjadi senyawa anorganik. Bakteri aerobik menggunakan oksigen terlarut dalam perairan untuk mendapat yang berikut ini :

C6H12O6 + 6O2 6H2O + 6CO2

(glukosa) (oksigen) (air) (karbon dioksida)

Sebagai hasil dari aktivitas ini, konsentrasi oksigen dalam perairan menjadi berkurang dan hal ini menjadi baik lagi dengan mengambil oksigen dari atmosfer. Sedangkan bakteri anaerobik dapat mengoksidasi molekul-molekul organik tanpa menggunakan oksigen akan tetapi hasil akhirnya termasuk senyawa-senyawa seperti H2S (hidrogen sulfide) dan CH4 (methane) yang sangat berbau dan beracun

aerobik. Dikemukakan juga bahwa, komposisi kimia dari hampir sebahagian besar limbah organik adalah sangat kompleks dan berbeda unsur pokoknya akan membutuhkan jumlah oksigen yang berbeda pula untuk mencapai kesempurnaan oksidasi.

2.2.4.2 Bahan Organik

Kehadiran bahan organik yang berlebihan di suatu perairan memberi pengaruh yang signifikan dengan pertumbuhan mikroorganisma serta kekurangan oksigen dalam perairan tersebut. Hasil penelitian Arisandi (2002), menunjukkan dampak destruktif limbah etanol terhadap lingkungan perairan kali Surabaya yaitu terbukti bahwa ribuan ikan ditemukan mati disepanjang aliran kali. Limbah PT Aneka Kimia Nusantara (AKN) saat masuk ke perairan awalnya dapat berperan menjadi bahan makanan yang diuraikan oleh mikroba, namun penguraian bahan organik ini membutuhkan oksigen terlarut dalam air yang lebih besar daripada jumlah oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis,sehingga menimbulkan dampak yang buruk bagi organisme perairan. Selain itu limbah organik PT AKN menimbulkan empat perubahan yang mengganggu kestabilan ekosistem perairan tawar, yaitu: 1) limbah organik yang mengandung padatan tersuspensi menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam badan air sehingga menghambat proses fotosintesis, 2) endapan bahan organik yang mengendap akan mengubah tekstur substrat dan menimbulkan habitat yang tidak sesuai bagi biota endemik di perairan, 3) terbentuknya amoniak yang memiliki toksisitas tinggi dan menimbulkan gangguan besar bagi organisme perairan serta berbau, dan 4) bahan pencemar organik terdiri dari senyawa protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat akan meningkatkan tingginya konsentrasi bakteri dan mikroorganisma patogen.

Saat terjadinya pencemaran, bahan organik secara bertahap diuraikan oleh aktivitas mikroba dengan menggunakan oksigen terlarut di dalam air untuk menguraikan senyawa organik yang kompleks menjadi senyawa anorganik yang lebih sederhana. Disamping pengenceran oleh air, sedimentasi ke dasar perairan dan penguraian oleh matahari juga merupakan faktor penting dalam penguraian senyawa organik di perairan. Penguraian oleh mikroba akan mengurangi

kandungan oksigen terlarut dalam air, sehingga kandungan oksigen yang ada tidak mampu mendukung kehidupan organisme perairan seperti ikan dan organisma lainnya, dampaknya dapat dilihat pada tanggal 8 September 2002 ribuan ikan menggelepar karena kekurangan oksigen dan akhirnya mati (Arisandi 2002).

Kelebihan unsur organik pupuk maupun nutrisi yang biasanya digunakan untuk menunjang pertumbuhan tanaman pada lahan pertanian maupun kebun memiliki mekanisme alamiah masuk ke dalam aliran air. Pada awalnya nutrisi ini mendorong pertumbuhan tumbuhan maupun ganggang dalam air, namun ketika tumbuhan maupun ganggang ini mati dan tenggelam, mereka mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisma dan di dalam proses ini mikroorganisma mengkonsumsi banyak oksigen yang tersedia di dalam air. Karena itu, tingkat oksigen dalam air menjadi turun ke tingkat yang membahayakan bagi kebutuhan oksigen organisme-organisme air (KLH RI 2004).

2.2.4.3 Sedimentasi

Berbagai pertentangan terjadi dalam hal pemanfaatan wilayah pesisir untuk berbagai kegiatan. Kontroversi terjadi antara pihak yang ingin membiarkan wilayah pantai itu sebagaimana adanya tanpa disentuh dengan pembangunan. Akan tetapi pada sisi lain ada yang gencar ingin memanfaatkan semua potensi yang ada pada wilayah ini seoptimal mungkin.Tentunya setiap upaya pembangunan pasti ada dampak yang ditimbulkan, entah bersifat positif tetapi juga yang bersifat negatif. Salah satu bentuk dampak negatif yang terjadi adalah terjadinya erosi dan sedimentasi disebahagian perairan pesisir akibat pemanfaatan ruang darat yang tidak terkendali. Disadari bahwa terjadinya sedimentasi bukan hanya karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia, tetapi juga dapat terjadi secara alamiah.

Sosrodarsono dan Takeda (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor meteorologis, sebagai berikut; 1) Jenis presipitasi; 2) Intensitas curah hujan, hal ini tergantung juga pada kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan; 3) Lamanya curah hujan. Lamanya curah hujan dapat mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi.Untuk

curah hujan yang jangka waktu panjang, limpasan permukaan akan menjadi besar meskipun intensitasnya relatif sedang; 4) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun intensitasnya kecil; 5) Arah pergerakan curah hujan. Umumnya curah hujan lebat bergerak sepanjang sistem aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit puncak dan lamanya limpasan permukaan; 6) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah.

Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi kecil. Demikian pula jika kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh evapotranspirasi, suatu curah hujan yang lebat tidak akan mengakibatkan kenaikan permukaan air, karena air hujan yang menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas kecil dapat mengakibatkan kenaikan permukaan air yang besar sehingga dapat terjadi banjir Sosrodarsono (2003).

Selanjutnya, Tomezak (2000) juga menjelaskan bahwa dilihat dari segi siklus geologi, formasi batuan dan erosi tidak dapat disangkal bahwa material- material itu berasal dari darat yang terbawa melalui sungai hingga mencapai laut. Pertanyaan yang muncul bila kita memahami prosesnya secara detail adalah bagaimana sedimen tersebut sampai di laut? Adalah memang benar bahwa air sungai mengalir ke laut tanpa kesulitan, tetapi air tawar densitasnya kecil dibandingkan dengan air laut dan dalam sirkulasinya lapisan atasnya mengalir dari estuary head ke estuary mouth. Densitas sedimen lebih tinggi dibanding air tawar dan air laut sehingga cenderung tenggelam ke dasar. Untuk kepentingan pergerakannya maka sedimen tersebut harus dalam bentuk suspensi. Di sungai, hal ini terjadi karena ada turbulensi, yang mendorong sedimen dari dasar ke permukaan dan mengalir ke bawah untuk beberapa jauh jaraknya, sehingga bila turbulensi berkurang maka sedimen akan menetap kembali. Partikel berukuran

kecil akan selalu sebagai suspensi, dan sering menjadikan sungai keruh. Akan tetapi situasi ini sedikit berbeda segera setelah sedimen memasuki daerah estuari. Aliran sungai akan dihadang oleh pasut dan arus pasut inilah yang berperan sebagai pembangkit turbulensi di daerah pantai. Adalah suatu periode waktu yang pendek antara pasang dan surut bila aliran mencapai akhir dan turbulensi minimum. Kondisi ini akan memberi peluang partikel besar untuk mengendap di dasar. Bila arus pasut meningkat lagi maka partikel-partikel akan terangkat ke kolum air lagi. Sedangkan di sungai, air mengalir terus ke estuari pada lapisan permukaan, dan partikel-partikel yang ada di lapisan bawah estuari dengan sirkulasi pergerakan air rata-rata akan bergerak dari laut ke estuari, sehingga sebahagian besar sedimen dapat ditemukan terakumulasi di daerah estuari.

Dalam kaitan dengan hal ini, hasil penelitian Tomezak (2000) di estuari Rappahanock yang merupakan salah satu sub-estuari dari teluk Chesapeake di perairan Atlantik, menemukan bahwa akumulasi suspended matter dekat dasar estuari, secepatnya mengalir ke lapisan bawah bersama masukan air tawar, dengan salinitas berkisar antara 2-10. Di dalam contoh ini akumulasi sedimen terjadi pada kedalaman 60 km ke arah atas. Pada estuari lain, akumulasi sedimen terjadi dekat ke mulut estuari tetapi lokasinya selalu bertepatan dengan kondisi salinitas rendah (0-15 ppt).

Dahuri et al. (1996), mengemukakan bahwa selain dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan sungai atau limpasan (run off), maka parameter lingkungan yang mempengaruhi proses sedimentasi dan erosi yang terjadi di pantai adalah gelombang, arus menyusur pantai, pasang surut, perubahan muka laut, angin, geologi dan parameter lain seperti kegiatan manusia dan biologis. Transportasi sedimen pada suatu wilayah pantai dapat dikuantifikasi melalui pendekatan sediment budget yaitu dengan cara mengkuantifikasi transportasi sedimen, erosi dan deposit dari suatu volume yang telah ditentukan. Pada umumnya, kuantitas sedimen dibagi dalam beberapa kategori seperti sumber, hilang (sink) dan proses- proses penambahan /pengurangan. Pada suatu sistem sediment budget yang lengkap, perbedaan antara sedimen yang bertambah dari berbagai sumber sedimen yang hilang haruslah sama dengan nol atau : TSs – TSr = ES

TSr = total sedimen yang hilang

ES = proses erosi/sedimentasi yang diketahui

Gambaran permasalahan pembangunan dalam kaitan dengan terjadinya sedimentasi pada bagian perairan pantai, tidak dapat dipisahkan dari kemungkinan dampak negatif yang mungkin terjadi pada seluruh ekosistem khas daerah tropis yang hidup pada perairan pesisir. Wilayah pesisir dan laut menyediakan sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan wisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan hidupnya dimasa datang. Pembangunan di pesisir dan laut yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada sumber daya alam. Perubahan- perubahan dilakukan tentunya akan berpengaruh ke lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup (Bengen 2001).

Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa dampak negatif sedimentasi terhadap biota perairan pesisir secara garis besar melalui tiga mekanisma. Pertama, bahan sedimen menutupi tubuh biota laut, terutama yang hidup di dasar perairan (benthic organisms), seperti hewan karang, lamun dan rumput laut, atau menyelimuti sistem pernapasannya (insang). Akibatnya biota-biota tersebut akan sulit bernapas dan akhirnya akan mati lemas (asphyxia). Kedua, sedimentasi menimbulkan peningkatan kekeruhan air. Kekeruhan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisma yang memerlukan cahaya. Ketiga, bahan sedimen yang berasal dari lahan pertanian dan pengikisan tanah dapat pula mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi, sehingga dapat terjadi eutrofikasi (pengkayaan nutrien di perairan), dengan demikian akan terjadi blooming (peledakan populasi) algae dan tanaman air lainnya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pembukaan lahan atas dan pesisir dengan jalan menebang habis hutan untuk kegiatan pertanian, pemukiman, jaringan jalan baru, penambangan di daerah DAS, akan menjadi

sumber beban sedimen dan pencemaran ke ekosistem pesisir. Akibatnya banyak terjadi perubahan pada beberapa ekosistem produktif yang ada di perairan pesisir. Adapun ekosistem-ekosistem yang terkena dampak tersebut adalah mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ketiga ekosistem ini memiliki fungsi ekologis maupun dapat dimanfaatkan untuk banyak kebutuhan.

a. Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut. Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dan lain-lain). Sebagai serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara terlarut yang dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun oleh tumbuhan mangrove sendiri dalam proses fotosintesa, sebahagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanan (Bengen 2004). Adapun fungsi dan manfaat hutan mangrove, sebagai berikut; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, penghasil sejumlah besar detritus, daerah asuhan, mencari makan dan sebagai daerah pemijahan berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Sebagai penghasil kayu, sebagai tempat pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya dan sebagai tempat pariwisata.

Adapun dampak kegiatan manusia dalam hal ini, yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di daerah hutan mangove yaitu bahwa apabila pengendapan sedimen secara berlebihan pada daerah ini maka dapat mengakibatkan terlapisnya pneumatopora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan tumbuhan mangrove. Selain itu kemungkinan lain yaitu dapat mematikan semua larva yang berada pada hutan ini, akibat terlapisinya lapisan permukaan tanah disekitar

tumbuhan mangrove dengan lapisan sedimen yang tebal, sehingga mengacam regenerasi stok ikan dan udang serta dapat terjadi pendangkalan perairan di depan ekosistem ini.

Secara umum mangrove cukup tahan terhadap berbagai tekanan lingkungan. Namun demikian, mangrove sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini menyebabkan penurunan kandungan oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi, dan dapat menyebabkan kematian mangrove.

b. Ekosistem Lamun

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rizhoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang yang luas di dasar perairan yang masih dijangkau oleh sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dengan air yang jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Sirkulasi air yang baik dapat menghantarkan zat-zat makanan dan oksigen, serta dapat mengangkut hasil metabolisma ke luar daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun. Namun padang lamun yang luas sering ditemukan pada tipe substrat lumpur berpasir. Padang lamun secara ekologis mempunyai fungsi penting bagi wilayah pesisir yaitu :1) Sebagai produsen detritus dan zat hara, 2) Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, 3) Sebagai tempat mencari makan, berlindung dan memijah bagi beberapa biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di daerah ini, dan 4) Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.

Padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, ekinodermata, sebagai tempat rekreasi atau pariwisata serta dapat sebagai pupuk hijau. Adapun dampak yang diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti sedimentasi antara lain dapat merusakan habitat total dari padang lamun, menimbulkan kekeruhan sehingga dapat mengganggu kehidupan beberapa biota yang menetap di ekosistem ini. Akibat kekeruhan yang tinggi akan menghentikan difusi oksigen terlarut ke dalam insang hewan, sehingga

menyebabkan kematian. Tertutupnya permukaan daun lamun juga akan menghambat pertumbuhan tumbuhan lamun sendiri. Kehilangan padang lamun diindikasikan dengan hilangnya biota laut, terutama diakibatkan oleh kerusakan habitat.

c. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir daerah tropis. Pada umumnya terumbu terbentuk dari endapan- endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisma karang

pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisma lain yang menyekresi kalsium karbonat.

Ekosistem karang ditemukan pada daerah dangkal (kedalaman perairan <50m) dengan perairan yang jernih, suhu air yang hangat (>18oC), salinitas air yang konstan berkisar antara 30-36ppt, gerakan gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari sedimentasi (Nybakken 1992). Pada ekosistem ini hidup beranekaragam avertebrata (siput, kerang-kerangan, ekinodermata), beragam ikan, reptil (ular laut dan penyu), ganggang dan rumput laut. Oleh karena itu terumbu karang berperan sebagai habitat tempat hidup biota-biota laut, tempat mencari makan (feeding ground), tempat berlindung (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground). Selain itu terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai berikut : sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias, sebagai bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur, sebagai bahan perhiasan serta sebagai bahan baku farmasi (Bengen 2001).

Selain uraian tentang kondisi ekosistem-ekosistem yang terkena dampak akibat sedimentasi, maka berdasarkan hasil penelitian Bhowmik dan Adams (1989) tentang deposit sedimen yang berasal dari sungai Mississippi, ternyata telah menyebabkan terjadinya suksesi habitat di daerah pelabuhan. Hal ini ternyata dapat merubah kedalaman relatif perairan, sehingga menyebabkan

terjadinya perubahan habitat perairan, yang akhirnya merubah baik tumbuhan maupun hewan air yang semula hidup disitu.

Darmono (2001) juga menjelaskan bahwa bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah, dan bahan kimia anorganik (asam, garam dan bahan toksik logam) serta bahan organik menjadi bentuk bahan tersuspensi dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran (polusi) tertinggi dalam air. Kebanyakan daerah aliran sungai selalu membawa endapan lumpur yang disebabkan oleh erosi alamiah dari pinggir sungai. Akan tetapi, dalam kenyataannya, kandungan sedimen yang terlarut pada hampir semua sungai meningkat terus karena erosi tanah pertanian, kehutanan dan pertambangan. Partikel yang tersuspensi menyebabkan kekeruhan dalam air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan, mengurangi tanaman air melakukan fotosintesa, pakan ikan menjadi tertutup lumpur, insan ikan dan kerang tertutup sedimen dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti pestisida dan senyawa logam.