• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Kondisi Kimia Perairan Laut dan Permasalahannya

4.3.4 Komunitas Terumbu Karang

Ekosistem khas daerah tropis lainnya yang menjadi perhatian di perairan TAD adalah ekosistem karang. Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Sebagai contoh; zooxanthellae dalam jaringan karang dapat mencegah terjadinya kehilangan nutrien. Setiap nutrien yang dihasilkan oleh karang sebagai hasil metabolisma dapat digunakan langsung oleh tumbuhan tanpa mengedarkannya terlebih dahulu ke dalam perairan (Nybakken 1992).

Terumbu karang memiliki keragaman jenis yang tinggi dan sebagian besar dari jenis tersebut bernilai ekonomis penting. Hal ini dimungkinkan karena variasi yang besar dari habitat yang terdapat dalam ekosistem terumbu karang. Kondisi ini yang menyebabkan terbentuknya jaringan makan yang cukup besar, karena asosiasi kompleks yang ada dalam ekosistem ini. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Namun sebaliknya ada pendapat yang mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, tidak mapan dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami. Kasus yang terjadi di P. Banda, Maluku, menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang mampu memperbaiki dirinya dalam waktu yang relatif cepat jika parameter-parameter lingkungan utamanya sangat mendukung, misalnya tingginya tingkat kecerahan dan tidak ada run off bahan polutan dan sedimen dari daratan (Dahuri 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 1985 ditemukan bahwa pertumbuhan karang di perairan TAD dijumpai mulai dari batas antara rataan terumbu dan tubir (reef margin) dan daerahnya sangat sempit. Hasil inventarisasi mencatat 43 jenis karang batu yang termasuk 15 suku. Sedangkan hasil transek didapatkan di Halong 13 jenis karang, di Kate-Kate di dapatkan 9 jenis dan di Poka 7 jenis. Jenis-jenis karang yang dominan di Halong adalah Oulophyllia crispa, Porites lutea, Trachyphyllia geoffroyi, Favites fluxuosa dan Labophyllia hemprichii. Di Kate-Kate jenis yang dominan adalah Porites lutea dan Favites

fluxuosa. Sedangkan di Poka jenis yang dominan adalah Porites lutea, P. lichen, Labophyllia hemprichii dan Goniopora lobata (Sutarna 1989). Selanjutnya dijelaskan bahwa dari proporsi karang batu dan karang lunak maka Poka memiliki proporsi karang batu yang tertinggi yaitu 56,2 %, diikuti Halong sebesar 32,5 % dan yang terkecil Kate-Kate adalah 23,1 %. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa kondisi karang di perairan TAD tergolong baik sampai jelek serta pertumbuhannya kurang baik. Kondisi terumbu karang pada tahun 1985 berada dalam kondisi kategori baik, dan dalam tahun 1997 diperoleh terumbu karang berada dalam kondisi sedang hingga buruk dengan persentase tutupan karang hidup antara 25–50 % (Sutarna 1985 & Leatemia 1997).

Pemkot Ambon dan Unpatti ( 2002), menemukan bahwa terumbu karang pantai (fringing reef) tersebar di beberapa lokasi TAD dengan kondisi terumbu yang relatif baik pada beberapa tahun silam yaitu di perairan pesisir Halong Batu- Batu, sekitar lokasi dermaga Ferry Poka dan sekitar lokasi Lateri. Pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan lahan untuk pemukiman dan penyediaan fasilitas umum serta aktivitas rumah tangga dan infrastruktur penunjang lainnya menyebabkan sedimentasi dan buangan sampah/limbah yang meningkat dari waktu ke waktu, sehingga terumbu karang di kedua lokasi perairan pesisir ini hilang. Hasil pengamatan menunjukkan dasar perairan di kedua lokasi ini yang umumnya ditempati oleh koloni berbagai spesies karang serta organisma bentik penghuni terumbu karang relatif telah tertutup sedimen, yang berasal dari daratan sekitar.

Selanjutnya setelah 22 tahun sejak penelitian tersebut maka penelitian ini justru mendapatkan bahwa komunitas karang di perairan TAD telah mengalami degradasi hingga hanya tinggal sekitar 23,7 %, walaupun pada lokasi tertentu masih dalam kondisi relatif baik. Hal ini karena sebagian besar telah tertutup lumpur. Kerusakan terumbu karang terbesar di wilayah Ekologis Teluk Ambon Dalam disebabkan oleh proses sedimentasi dan siltasi yang mengakibatkan kematian terumbu karang di beberapa tempat di Teluk Dalam yakni di Halong dan Tanjung Tiram (Poka), dimana sudah tidak ditemukan komunitas karang di Teluk Dalam. Tingginya laju transport material padat yang terbawa dari daratan bila musim hujan ke perairan TAD telah membuat tingginya kekeruhan, sehingga

mengganggu penetrasi cahaya. Kondisi ini justru sangat mempengaruhi proses fotosintesa zooxanthella yang bersimbiosis dengan polip karang. Dengan hilangnya ekosistem terumbu karang di perairan TAD tentunya berdampak ke hilangnya rantai makanan yang terbentuk di ekosistem terumbu karang selama ini. Keadaan seperti ini sangat mengkuatirkan bagi ketersediaan sumber daya laut

seperti komunitas ikan. English et al. (1997) dalam

(2006), walaupun memiliki kompleksitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun ekosistem terumbu karang tidak stabil, karena sensitif terhadap gangguan yang timbul, baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia.

4.3.5 Komunitas Ikan

Komunitas ikan merupakan sumber daya laut yang penting untuk dipelihara dan dilestarikan bagi kepentingan generasi selanjutnya. Walaupun ada banyak sumber daya laut di perairan Maluku khususnya perairan P.Ambon, namun komunitas ikan tetap merupakan salah satu sumber daya favorit di daerah ini. Oleh karena itu seyogyanya sumber daya ikan perlu mendapat perhatian tersendiri di dalam mengelolanya demi keberlanjutan sumber daya ini ke depan. Keberadaannya komunitas yang sangat tergantung pada kualitas suatu perairan karena hidup selamanya dalam kolom air ini, tentunya akan sangat terganggu apabila suatu perairan ditemukan telah tercemar. Contoh sederhana, masuknya material-matrial padat yang larut dalam air sehingga membuat perairan menjadi keruh telah mengganggu sistem pernapasan hewan ini. Tutup bukanya insang setiap saat sangat berpotensi menempelkan berbagai partikel tersebut pada lamella-lamella insang, apalagi kalau bahannya minyak akan sangat sulit dihindari. Bahaya-bahaya inilah yang mendorong penelitian ini juga mencermati kondisi ikan yang ada di Teluk Ambon.

Hasil penelitian dengan menggunakan jaring insang dasar yang dioperasikan pagi dan senja telah mendapatkan bahwa ada 23 jenis ikan yang tersebar pada 3 (tiga) daerah penangkapan. Adapun jumlah individu berkisar antara 85–101 ekor (Tabel 17). Sedangkan berat individu berkisar antara 11,350- 13,060 gr. Daerah di muara sungai atau pada perairan estuari merupakan perairan yang menghasilkan tangkapan baik jumlah individu maupun berat individu yang lebih besar dibandingkan dengan daerah penangkapan dengan dasar perairan

lamun dan bebatuan. Hal ini tentunya berkaitan dengan banyak hal antara lain, ketersediaan sumber daya makanan, paramater oseanografis yang mendukung, serta waktu makan.

Dari ke 23 jenis yang tertangkap maka jenis dominan yang tertangkap adalah jenis Ulua aurochs (nama lokal: Bubara ketupat) yaitu sebesar 55 individu dengan berat 3000 gr. Diikuti oleh jenis Upeneus vittatus (nama lokal: Salmaneti) dengan 51 individu dengan berat 5750 gr dan jenis Rastrelliger kanagurta (nama lokal: Lema) dengan hanya 36 ekor tetapi memiliki berat sebesar 6760 gr. Bila kita cermati informasi Tabel 17, maka terlihat kurang lebih hanya sekitar 8 (delapan) jenis ikan yang dominan, hal ini terlihat dari jumlah individu setiap jenis yang tertangkap pada tiap daerah penangkapan. Seperti dijelaskan di atas bahwa ada banyak alasan satu jenis organisma hadir dengan melimpah pada satu perairan. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan yaitu kemungkinan juga berkaitan dengan kualitas fisik kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan komunitas ikan di TAD, selain ketersediaan sumber daya makanan.

Selain itu total produksi ikan tuna, pelagis besar, pelagis kecil dan ikan demersal dari perairan kota Ambon adalah sebesar 5038,69 ton, dan secara khusus produksi ikan dari perairan Teluk Ambon Dalam adalah sebesar 252,49 ton.

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat 4.4.1 Kondisi Sosial dan Budaya

Teluk Ambon sejak lama telah menjadi sarana pendidikan dan penelitian berbagai pihak. Akan tetapi kajiannya lebih bersifat parsial, misalnya hanya mengkaji aspek ekologi (sumber daya) saja atau aspek sosial ekonomi saja. Dengan demikian, sampai seberapa jauh tingkat perubahan yang sudah terjadi berdasarkan kajian semua aspek belum nampak sebagai informasi bagi pengembangan wilayah ini secara terpadu dan berkelanjutan.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penduduk sebagai aset pembangunan wilayah penting untuk diidentifikasi menurut tingkat produktifitasnya. Jumlah penduduk kota Ambon makin bertambah dan penyebarannya tidak merata dengan luas wilayah yang ada.

Tabel 17 Jumlah individu dan berat ikan hasil tangkapan jaring insang dasar pada masing-masing daerah penangkapan di TAD

NO Jenis Ikan (Nama Ilmiah) Jenis Ikan (Nama Indonesia) DP 1 DP 2 DP 3 Total ∑ ind (ekor) Berat (gr) ∑ ind (ekor) Berat (gr) ∑ ind (ekor) Berat (gr) ∑ ind (ekor) Berat (gr)

1 Upeneus vittatus Kuniran 15 1730 21 2310 15 1710 51 5750

2 Ulua aurochs Kuwe 18 1060 17 710 20 1230 55 3000

3 Rastrelliger kanagurta Kembung lelaki 19 2890 8 2380 9 1490 36 6760 4 Atule mate Selar kuning 8 1260 7 720 10 1000 25 2980 5 Gerres filamentosus Kapas- kapas 6 610 4 300 6 600 16 1510 6 Carangoides diversa Kuwe 15 1290 8 780 4 420 27 2490 7 Therapon jarbua Kerong- kerong 2 200 6 720 2 360 10 1280 8 Nemipterus sp Kurisi 2 400 3 610 2 310 7 1320 9 Saurida micropectoralis Beloso 1 400 2 1010 3 930 6 2340 10 Lutjanus malabaricus Kakap merah 2 200 1 300 3 470 6 970 11 Pelates sexlineatus Kerong- kerong 0 0 4 520 1 50 5 570 12 Scomberomorus sp Tenggiri 1 210 0 0 3 650 4 860 13 Scolopsis margaritifer Kurisi 1 210 2 350 0 0 3 560 14 Platax orbicularis Plataks biasa 1 400 0 0 2 1320 3 1720

15 Alepes djedaba Selar 5 920 6 700 0 0 11 1620

16 Mugil sp Belanak 0 0 4 950 1 300 5 1250 17 Selar crumenopthalmus Selar bentong 3 500 1 150 0 0 4 650 18 Platycephalus sp Anjing 0 0 0 0 1 50 1 50 19 Caranx sp Kuwe 1 500 0 0 0 0 1 500 20 Sphyraena barracuda Alu-alu/ barakuda 1 280 0 0 0 0 1 280 21 Lutjanus sp Kakap 0 0 0 0 1 80 1 80 22 Megalopsys cordyla Tetengkek 0 0 0 0 1 80 1 80 23 Trichiurus sp layur 0 0 0 0 1 300 1 300 Jumlah 101 13060 94 12510 85 11350 280 36920 Keterangan :

DP-1 = Muara sungai (estuari) DP-2 = Pada daerah padang lamun DP-3 = Berbatu, dekat karang

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 1990, angka kepadatan penduduk kota Ambon tercatat 768 jiwa per km2 dan menurun menjadi 576 jiwa per km2 pada tahun 2000. Dari sisi tingkat pendidikan maka penduduk Teluk Ambon Dalam (TAD), menunjukkan potensi SDM terbanyak terdistribusi pada tingkat SD (39,59 %), sedangkan pada tingkat akademi, sarjana dan pascasarjana berkisar dari 0,09-7,53 % (Pemkot Ambon dan Unpatti 2002). Kondisi tingkat

pendidikan seperti ini tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan teluk Ambon secara terpadu berkelanjutan.

Berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan di darat, kenyataannya berdampak negatif terhadap sumber daya dan lingkungan, khususnya terhadap ekosistem perairan pantai teluk Ambon. Dampak atau perubahan yang terjadi pada ekosistem, tergantung juga pada sikap dan perilaku masyarakat. Apalagi ketentuan-ketentuan yang ada tidak ditindaklanjuti secara serius. Sikap dan tingkah laku masyarakat serta instansi-instansi pemerintah di wilayah kota sepenuhnya belum menunjukkan wujud pembangunan berwawasan lingkungan. Misalnya, membiarkan kegiatan pembangunan pada areal hutan lindung, sempadan sungai, dan lainnya. Sikap dan perilaku, budaya atau kebiasaan, serta persepsi masyarakat tentang bagaimana mengelola lingkungan juga mungkin berkorelasi dengan tingkat pendidikan masyarakat.

4.4.1.1Tingkat Pendidikan

Persentase tingkat pendidikan tertinggi didominasi sekitar 50 % yaitu dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, diikuti tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama yaitu 21,24 % dan Perguruan Tinggi yaitu 12,09 % (Gambar 45). Dengan persentase yang demikian, mestinya pengetahuan dan pemahaman yang benar di dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sudah dimiliki.

Gambar 45 Persentase tingkat pendidikan penduduk di sekitar TAD

Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi biasanya dikaitkan dengan tingkat pengetahuan manusia yang dapat memahami pentingnya

1.63% 9.48%

21.24%

50.00% 3.27%2.29%

12.09%

memelihara lingkungan agar tetap sehat serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Mungkinkah pendekatan tingkat pendidikan dapat membantu? Ternyata kurang efektif, oleh karena itu perlu melihat aspek lain juga.

4.4.1.2 Persentase Lama Waktu Menetap di Desa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar penduduk adalah yang tinggal sekitar teluk merupakan penduduk asli. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 tahun adalah 89,54 % (Gambar 46).

Gambar 46 Persentase lama waktu menetap penduduk di sekitar TAD

4.4.1.3 Persepsi Masyarakat tentang Lingkungan dan Kesehatan

Masyarakat sebagai pengguna yang sering memanfaatkan perairan teluk baik untuk tujuan positif (perikanan) maupun negatif (sebagai tempat pembuangan sampah), berpeluang meningkatkan intensitas kegiatan di teluk. Hasil observasi terhadap masyarakat, persentase kegiatan kapal-kapal yang berada di perairan TAD bervariasi dari 19–40 %, dimana kegiatan memperbaiki kapal lebih sering dilakukan (40,00 %), disamping mencuci tangki balans (20,63 %), mengecat (20,00 %) dan membuang minyak bekas (Gambar 47).

Sementara itu hutan mangrove telah dimanfaatkan (Gambar 48) selama ini sebagai tempat eksploitasi sumber daya biota laut (60,31 %), kayu bakar (16,88 %), bahan bangunan (12,81 %). Pemanfaatan melalui eksploitasi biota laut merupakan kegiatan yang banyak dilakukan pada dan sekitar hutan mangrove, aktivitas ini akan merusak akar-akar tanaman mangrove, sehingga sering didapatkan beberapa pohon bakau yang kering.

3.27% 7.19%

89.54%

Gambar 47 Persentase kegiatan kapal-kapal di perairan TAD

Kondisi ini selain dapat diakibatkan oleh minyak yang terjebak dalam akar atau yang menyelumuti akar-akar mangrove, juga karena aktivitas pengambilan biota (fauna bentos) tersebut.

Gambar 48 Persentase tujuan pemanfaatan hutan mangrove

Perairan pantai TAD juga dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan batu dan pasir (Gambar 49), baik oleh penduduk setempat maupun yang bukan. Pemakaian tertinggi justru oleh penduduk setempat (47,19 %), yaitu untuk kebutuhan pembangunan perumahan.

Dalam kaitan dengan pemanfaatan sumber daya tidak dapat pulih, penerapan sistem pengawasan perlu ditindaklanjuti guna keberlanjutan sumber daya tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa walaupun sosialisasi produk hukum ke masyarakat sudah mencapai 36,88 % (Tabel 18), namun pengetatan pemberian ijin tidak diatur secara jelas. Bahkan ada yang tidak ada ijin operasi sama sekali. Dengan demikian akan terjadi perubahan geomorfologi pantai maupun kontur dasar sungai karena tingginya intensitas pengambilan batu dan pasir.

40.00%

20.00% 19.38%

20.63%

Perbaiki M engganti cat

M embuang minyak bekas atau sisa M encuci tangki balans, dll

16.88%

12.81%

60.31% 10.00%

Kayu bakar Bahan bangunan

Gambar 49 Persentase kegiatan penambangan batu dan pasir

Tabel 18 Persentase sistem pengawasan terhadap sumber daya alam

Sistem pengawasan SDA Persentase (%) Sosialisasi produk hukum ke masyarakat 36,88

Pengetatan sistem perijinan kegiatan penambangan :

* Oleh Pemerintah kota 2,19 * Oleh Pemerintah kecamatan 0,63 * Oleh Kepala Desa / Lurah 19,06 * Tidak ada ijin 18,13 * Tidak ada informasi 59,99

Dilain pihak pengetahuan tentang lingkungan dan kesehatan keluarga juga mendapat perhatian masyarakat, 77,80 % keluarga yang memiliki jamban keluarga telah membuktikannya. Namun demikian masih sekitar 22,19 % masyarakat yang tidak memiliki jamban keluarga, kemungkinan pemanfaatan perairan pantai sebagai tempat membuang hajat menjadi pilihan salah satunya (Gambar 50). Hal ini tentu menambah sumber limbah organik ke perairan.

Gambar 50 Persentase pengetahuan masyarakat tentang kesehatan keluarga

47.19%

27.50% 25.31%

penduduk setempat bukan penduduk setempat Lain-Lain

77.80%

22.19% 0.01%

Ketersediaan jamban keluarga Ketidak tersediaan jamban keluarga T idak ada informasi

Demikian juga dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki masyarakat tentang dampak membuang sampah di pantai, dampak sedimentasi, serta dampak kapal yang docking di pantai, berkisar dari yang tahu, tidak tahu, hingga yang tidak menjawab. Pengetahuan tentang dampak membuang sampah tersebut berkisar antara 2,18–93,13 % (Gambar 51), dan hanya 4,69 % yang tidak mengetahui dampaknya.

Pengetahuan tentang dampak sedimentasi juga hanya 17,19 % yang tidak mengetahui, sedangkan pengetahuan tentang dampak aktivitas docking kapal di pantai juga hanya 8,44 % yang tidak tahu. Besarnya persentase masyarakat yang mengetahui dampak-dampak tersebut, mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki pengetahuan tentang lingkungan. Akan tetapi kenyataannya, walaupun tingkat pengetahuan masyarakat tentang lingkungan relatif tinggi tetap saja masalah pencemaran lingkungan terjadi dimana-mana.

Gambar 51 Persentase pengetahuan masyarakat tentang lingkungan sekitarnya

Lebih lanjut, diketahui bahwa salah satu strategi agar dapat membuka wawasan dan pengetahuan masyarakat diberbagai bidang, khususnya bidang perikanan, kesehatan dan lingkungan, sosialisasi menjadi media informasi yang cukup efektif. Hasil penelitian menunjukkan 35,31 % (Gambar 52) kegiatan sosialisasi yang dilakukan adalah di bidang pertanian dan perikanan, diikuti bidang kesehatan dan lingkungan yaitu 15,31 %, sementara bidang hukum dan peraturan, serta bidang sosial ekonomi hanya 3,75 % dan 4,06 %. Sedangkan bidang lain-lain sekitar 41,57 %, hal ini berarti proporsi pelaksanaan sosialisasi untuk bidang kesehatan dan lingkungan relatif masih kurang, dan lebih banyak

93.13 68.1376.56 4.69 17.19 8.44 2.18 14.6815 0 20 40 60 80 100 P ers en tas e ( %)

T ahu tidak tahu tidak jawab

Presepsi masyarakat

Dampak membuang sampah dipantai Dampak sedimentasi

orientasinya hanya pada masalah-masalah peningkatan ekonomi rakyat melalui bidang pertanian dan perikanan.

Dalam kerangka pengelolaan perairan pesisir, sumber daya di tiap ekosistem produktif menjadi objek penting untuk diketahui. Oleh karena itu pengetahuan masyarakat tentang ekosistem-ekosistem produktif serta bahaya pengrusakan yang dilakukan terhadap ekosistem tersebut, relatif di atas 60 % (Tabel 19). Dengan demikian masyarakat sudah memahami pentingnya menjaga ekosistem-ekosistem tersebut, demi keberlanjutan sumber daya alam di dalamnya. Persoalannya sekarang adalah bukan hanya sebatas pengetahuan masyarakat tentang peranan ekosistem-ekosistem khas daerah tropis ini dipelihara dan dilestarikan. Akan tetapi sejauh mana kesadaran para pengguna termasuk masyarakat di dalam mengelola sumber daya ini, demi keberlanjutan kehidupan rantai makanan di dalamnya. Oleh karena perubahan kondisi komunitas- komunitas biologi ini juga akan mempengaruhi kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat sekitarnya. Sikap konsistensi masyarakat yang telah mengetahui manfaat serta akibat pengrusakan terhadap ekosistem penting ini, diharapkan dapat diterapkan dan dipertahankan, sehingga berbagai permasalahan lingkungan seperti ini dapat diatasi.

Gambar 52 Persentase kegiatan sosialisasi yang sudah dilakukan untuk masyarakat