Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dilahirkan dengan semangat reformasi, berusaha mengembalikan tatanan kehutanan kepada sistem pengurusan hutan yang lebih baik. Namun demikian, undang-undang ini masih perlu penguatan, salah satunya dalam hal pengaturan kewenangan pusat dan daerah dalam semangat desentralisasi yang bertanggung jawab. Beberapa fenomena yang mendasari perlunya penguatan ini dapat dilihat dari kerancuan kewenangan beberapa perizinan pengusahaan hutan, dan tumpang tindih kawasan hutan dengan rencana tata ruang wilayah. Munculnya Undang-undang No. 26 tahun 2007 sebagai pembaruan dari Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang juga belum cukup membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih peruntukan dan perizinan pemungutan hasil hutan di lapangan. Secara langsung atau tidak langsung, masih kurang kuatnya Undang-undang Kehutanan ini membuka peluang terjadinya deforestasi yang terencana (planned
deforestation) masih terbuka. Masalah mengenai kurang kuatnya
Undang-undang kehutanan dapat dilihat dari kategori berikut :
1. Peluang ekploitasi hutan alam masih sangat terbuka
Permintaan terhadap hasil hutan kayu masih tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat. Berbagai industri hilir di dalam dan luar negeri sangat bergantung pada kayu yang berasal dari hutan alam Indonesia sebagai bahan bakunya. Pada dasarnya keberadaan industri berbasis kayu dan siklus produksinya secara berkelanjutan dan ramah lingkungan perlu difasilitasi dan dijamin keberlangsungannya oleh Undang-undang kehutanan. Karenanya, pembatasan-pembatasan perlu dilakukan secara tegas agar kelestarian produksi pada industri hilir juga diikuti oleh kelestarian hutan sebagai sumber bahan bakunya. Merujuk pada sejarah pengusahaan hutan produksi dan kondisi terkini hutan alam di Indonesia maka sudah saatnya diberlakukan penghentian terhadap ekploitasi
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
36
hutan alam sekaligus mengintensifkan pembangunan hutan tanaman di areal-areal yang telah terdeforestasi. Dalam konteks ini, Undang-undang Kehutanan memiliki kelemahan karena masih memberikan ruang yang cukup leluasa untuk ekploitasi hutan alam yang masih dalam kondisi baik. Sebagai contoh, ketidaktegasan pembatasan HTI pada hutan yang sudah tidak produktif dalam UU 41/1999 menyebabkan lahirnya peraturan pelaksana yang sangat berbeda dari waktu ke waktu.Pasal 30:3 PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan misalnya secara tegas menyatakan bahwa izin Hutan Tanaman hanya dapat diberikan pada lahan kosong, padang alang-alang atau semak belukar pada hutan produksi. Namun ketentuan ini kemudian berubah secara signifikan pada aturan kemudian yaitu PP No. 3/2008 yang mengubah PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang hanya menyatakan bahwa hutan tanaman diprioritaskan pada hutan produksi yang tidak produktif yang berarti membuka kemungkinan dilaksanakan pada seluruh kawasan hutan lainnya.
Selain peluang ekploitasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan kayu, ekploitasi hutan alam juga masih terbuka untuk kegiatan di luar sektor
kehutanan, seperti pertambangan dan perkebunan atau pertanian. UU 41/1999 membuka peluang dilakukannya konversi tanpa memberi batasan dasar yang jelas dan tegas. Akibatnya aturan pelaksana dari ketentuan ini juga dapat diartikan berbeda-beda dari satu waktu ke waktu lain yang tidak terlalu lama. Sebagai contoh, Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan mengatur bahwa untuk melepas kawasan hutan konservasi, maka status kawasan tersebut harus diubah secara bertahap menjadi hutan lindung dan hutan produksi sebelum bisa diubah menjadi APL. Tetapi kemudian, Pasal 4 jo Pasal 29 PP No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan menyebutkan bahwa Kawasan Hutan Konservasi dapat diubah menjadi APL melalui persetujuan DPR. Ketidakjelasan batasan pada UU 41/1999 sendiri telah menimbulkan perbedaan penfasiran atas kehendak UU dalam mengelola hutan sehingga memudahkan terjadinya pembentukan aturan berdasarkan kepentingan sesaat.
Padahal apabila penentuan fungsi kawasan hutan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku (PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan serta PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), maka seharusnya perubahan peruntukan dan fungsi tidak mudah untuk dilakukan.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 37 Pada tataran implementasi, perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Modus yang tidak langsung misalnya dengan menelantarkan hutan, izin konsesi yang telah diperoleh hanya
dipergunakan untuk memanen kayu dan setelah itu hutan ditelantarkan sampai akhirnya diusulkan untuk areal perkebunan atau peruntukan lainnya dengan alasan bahwa hutan tersebut telah rusak, tidak produktif, atau terdegradasi.
2. Benturan atau ketidakharmonisan peraturan
Benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan dapat terjadi secara horinzontal (antar sektor) atau vertikal (antara pusat dan daerah). Dengan terbitnya undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah menjadi sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya disebutkan pula bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan. Dalam ketentuan undang-undang tersebut, antara pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing. Sayangnya pengalaman dalam memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu melalui PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi dan SK Menhut No. 5 tahun 2000 tentang Kriteria dan Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi Alam dan SK Menhut No. 310 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan memberikan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) sebesar 100 Ha kepada daerah telah memicu laju deforestasi pada kurun wktu 2000 - 2003.4 Dengan dicabutnya aturan tersebut melalui PP 34/2002 maka terjadi penurunan laju deforestasi hampir 300% secara umum.5
4 Kabupaten Sintang misalnya, pada periode 1999-2002 menerbitkan izin HPHH 100 sebanyak 944 buah.
5 Khatarina, J, Murharjanti, P, Ivalerina, F, Indrarto, GB, Rahman, Y, Prana, MN, & Pulungan, I, Profil Sektor Kehutanan Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law and CIFOR (forthcoming).
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
38
Benturan antara pusat dan daerah biasanya tampak kasat mata dalam tata ruang wilayah yang dipayungi oleh Peraturan Daerah. Tumpang tindih atau usulan perubahan fungsi hutan untuk penggunaan lain selalu saja terjadi dalam tata ruang wilayah.6 Peraturan daerah tentang tata ruang memiliki dasar hukum yang kuat dari Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dasar hukum Tata Ruang Wilayah akan semakin kuat jika berkombinasi dengan kepentingan sektor lain, di mana undang-undang pada sektor tersebut bisa menjadi kekuatan hukum tambahan untuk perubahan fungsi hutan, misalnya Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, terdapat pula peraturan di sektor kehutanan yang memberikan peluang besar terjadinya perubahan fungsi hutan berdasarkan PP. No. 10 Tahun 2010 atau pinjam pakai kawasan hutan yang diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan.
Menurut ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa wilayah hutan adalah yang ditunjuk dan atau yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Namun demikian, sampai dengan tahun 2004 penetapan secara hukum mengenai kawasan hutan hanya dilindungi melalui Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/ UM/10/1982. Dengan adanya PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, TGHK harus dipaduserasikan sehingga menjadi RTRWP. Secara hukum, RTRW sendiri merupakan sebuah dokumen yang bersifat lebih tepat untuk menentukan batas kawasan hutan karena dokumen ini seharusnya menjadi pegangan seluruh sektor dan didasarkan atas kajian yang kuat akan fungsi kawasan. Sayangnya, hal ini berarti pula terbuka kemungkinan kepentingan yang lebih besar untuk turut serta menentukan batas dan pemanfaatan lahan yang pada faktanya kemudian menjadikan banyak usulan atas perubahan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan.7
Pada kasus tumpang tindih kawasan yang telah terlanjur terjadi, misalnya pembukaan pertambangan atau perkebunan yang terlanjur ada karena lemahnya koordinasi, proses penegakan hukumnya seringkali mendapat hambatan
dari aspek lemahnya kemantapan kawasan hutan sebagai akibat dari proses pengukuhan kawasan yang tidak selesai. Dalam ketentuan pasal 14 ayat 2 6 Dalam Laporan Tim 8 yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan tahun 2010, disebutkan bahwa hingga tahun 2010 terdapat lebih dari 500 usulan perubahan fungsi hutan dari pemerintah daerah dengan berbagai kepentingan.
7 Sampai tahun 2010 terdapat usulan melakukan perubahan peruntukan kawasan hutan sebesar lebih dari 16 juta hektar di seluruh Indonesia.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 39 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses : 1) penunjukkan kawasan hutan; 2) penataan batas kawasan hutan; 3) pemetaan kawasan hutan; dan 4) penetapan kawasan hutan. Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing kegiatannya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan adalah hutan atau tidak, maka prosesnya harus memenuhi unsur dari pasal 14 ayat 2 tersebut. Bila tidak maka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal demi hukum, dan deforestasi atau degradasi yang terjadi akibat penggunaan untuk sektor penggunaan lahan lainnya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.
Ketidakharmonisan tidak hanya terjadi antar aturan di bidang kehutanan tetapi juga antara aturan di bidang kehutanan dengan aturan tentang perlindungan gambut. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa lahan gambut berketebalan 3 m atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa merupakan kawasan lindung, namun hal ini tidak diakomodasikan dalam aturan bidang kehutanan sehingga lahan gambut tersebut dapat merupakan hutan produksi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.
3. Ketidaklengkapan Peraturan
Aturan yang tidak lengkap akan memudahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan lain di kawasan hutan. Undang-undang pertanian misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya. Walaupun Undang-undang Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan. Terhadap hal ini ada dua persoalan di tingkat hukum, yaitu 1) ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan, dan 2) ketidaklengkapan aturan sebab tidak adanya aturan tentang sanksi bagi pemberi izin yang melakukan kesalahan (yang bukan bersifat korupsi) pada saat mengeluarkan izin. Proses perizinan yang tidak harmonis, rumit, dan terkait dengan berbagai sektor dan lembaga pemerintah lainnya membutuhkan koordinasi yang kuat antar instansi. Ketidaklengkapan di tataran aturan ini juga terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak memberikan kewenangan kepada pihak yang tepat atau tidak disertai oleh insentif yang tepat. Sebagai contoh adalah pemberian kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan penataan tata batas kawasan hutan pada PP No.
Draft 1 Strategi Nasional REDD+
40
38/2007 terkait pembagian urusan pemerintah pusat daerah. Ketentuan ini menyebabkan kendala di tingkat implementasi karena sumber daya berada di Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Di lain pihak, sumber daya pendukung tidak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur untuk melaksanakan hal tersebut.
Terkait aturan yang tidak lengkap, maka Undang-undang Kehutanan juga masih belum memberikan sanksi yang memadai bagi pelaku utama pembalakan liar, melainkan hanya terbatas pada pelaku di lapangan (physical perpetrator). Di sisi lain, pernerapan UU Lain seperti UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, maupun UU Lingkungan Hidup yang lebih siap untuk menangkap pelaku utama kejahatan kehutanan masih sangat minim.