• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Deforestasi dan Degradasi Pada Lahan Gambut

Dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (Halaman 32-38)

ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN

2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan

2.2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Pada Lahan Gambut

Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga kestabilan ekosistem karena besarnya kemampuan lahan ini dalam menahan/menyimpan air, tingginya simpanan karbon (C), serta tingginya biodiversitas spesifik lahan gambut. Apabila hutan gambut dikonversi, karbon yang tersimpan di dalamnya akan mengalami oksidasi karena dekomposisi dan kebakaran sehingga

mengemisikan CO2, gas rumah kaca terpenting. Emisi C dari lahan gambut dianggap sebagai masalah global yang sangat serius karena jumlahnya bisa dua sampai tiga kali lebih tinggi dari emisi tanah mineral. Emisi gambut sekaligus merupakan masalah lokal karena akan menyebabkan gambut menipis sehingga fungsi buffer hidrologisnya menghilang.

Pengelolaan lahan gambut di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari prinsip perlindungan lahan gambut berkelanjutan. Lahan gambut tidak diperlakukan sebagai entitas khusus yang perlu dilindungi, tetapi dianggap

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

20

sebagai lahan biasa yang merupakan komoditas untuk mewadahi kegiatan perekonomian seperti kebun, hutan tanaman, dan tambang. Contoh fenomenal kegagalan pengelolaan lahan gambut yang terencana adalah mega project

Kawasan Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah seluas 1,0 juta ha. Lahan gambut tersebut diprogramkan oleh Presiden Soeharto (1995) untuk dibuka menjadi lahan pertanian pangan. Ternyata pembukaan lahan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, antara lain kebakaran pada Kawasan PLG itu dan banjir di wilayah pemukiman sekitarnya. Pemerintah telah mencanangkan program rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut, namun belum terimplementasikan sampai sekarang. Potret lainnya dari pengelolaan ekosistem ini adalah banyaknya izin yang diberikan di atas lahan gambut, baik yang berketebalan kurang dari 3 m atau pun lebih. Selain itu, tidak sedikit pula lahan gambut yang diduduki oleh masyarakat untuk menjadi tempat tinggal dan diolah menjadi lahan pertanian bagi pemenuhan hidup masyarakat tersebut. Tingginya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (sekitar 1,3% per tahun), semakin berkurangnya lahan kering potensial untuk pembangunan pertanian, dan pemberian izin yang tidak terkendali dan disertai oleh berbagai pernyimpangan ditengarai menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Di provinsi/kabupaten yang sebagian besar areal lahannya berupa lahan gambut seperti di Provinsi Riau, Kabupaten Kubu, dan Provinsi Kalbar, pemanfaatan lahan gambut sudah merupakan suatu keniscayaan, karena hanya lahan gambut yang dominan bagi perluasan pertanian. Dalam kondisi ini, penerapan metode pengelolaan lahan gambut berkelanjutan merupakan pilihan yang seyogianya diterapkan.

Permasalahan yang melatarbelakangi buruknya pengelolaan lahan gambut, antara lain disebabkan oleh: 1) kurangnya pemahaman para stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan swasta) akan urgensi perlindungan lahan gambut dan bagaimana cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan; 2) kewenangan pengelolaan lahan gambut yang tersebar dan tidak adanya pembagian kewenangan serta jaring koordinasi yang jelas; 3) belum adanya inventarisasi lahan gambut nasional, yang memberikan informasi yang lengkap dan terintegrasi mengenai sebaran, status, ketebalan, dan kondisi lahan; 4) kebakaran (baik disengaja maupun tidak) hutan dan lahan yang masih tinggi; 5) belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lahan gambut yang lengkap hingga tahap implementasi, termasuk sanksi2; 6) tumpang tindih kebijakan, baik antar instansi pusat maupun antar pemerintan pusat dan daerah; 7) konflik tata ruang dan tenurial; 8) perizinan di atas lahan gambut; 8) permasalahan ketersediaan sarana/prasarana dan pendanaan; 9) penegakan hukum yang lemah.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 21

2.2.3 Pengaruh Sektor Pertanian Terhadap

Deforestasi

Sektor pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan cenderung terkena dampak perubahan iklim.. Tetapi bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Tanpa Rencana Aksi mitigasi perubahan iklim (BAU) di lahan padi sawah non-gambut akan menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobik), sedangkan padi sawah di lahan gambut mengeluarkan emisi GRK terutama dalam bentuk CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut, karena membutuhkan kondisi anerobik, emisi GRK utama yang dilepaskan adalah CO2. Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian, bila tanpa dilakukan upaya pengurangan emisi, diperkirakan 117 juta ton CO2e.

Sektor pertanian juga berpotensi menyumbang emisi karbon bila terjadi pembukaan lahan baru pada areal yang masih berhutan atau areal bergambut pada kedalaman di atas 3 m. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, sektor pertanian perlu melakukan beberapa kebijakan untuk menurunkan emisi GRK. Berdasarkan data BPS (2008) total luas lahan pertanian adalah 69,15 juta ha. Sedangkan menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2008 (Tabel 2.2), Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk untuk pertanian, pemukiman, infrastuktur dan lain-lain seluas 55,388 juta ha.

Tabel 2.3. Proyeksi kebutuhan bahan pangan pokok tahun 2020.

No. Komoditas Perkiraan Kebutuhan di 2020 (juta ton)

1 Beras 37.021*

2 Jagung 18.940**

3 Kedelai 2.381**

4 Gula 2.530

* beras, setara 68,8 juta ton gkg. **biji kering

2 Saat ini, Indonesia telah memiliki aturan dasar perlindungan gambut, yaitu Perpres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung dan PP No, 26 Tahun 2008 tentang RTRWN jo. UU No, 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa lahan gambut berketebalan 3m atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun demikian, ketentuan tersebut baru diimplementasikan oleh sektor pertanian melalui Permentan No. 14 Tahun 2009 yang melarang pembukaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, pada: (1) lahan gambut dengan ketebalan >3m, (2) lahan gambut yang belum matang (tingkat kematangan fibrist) dan (3) lahan gambut dengan lapisan tanah dibawah gambut (substratum) berupa pasir kuarsa serta berpotensi sulfat masam.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

22

Tabel 2.4. Kebutuhan penambahan lahan baru untuk ketahanan pangan nasional hingga tahun 2020.

Jenis lahan Lahan Tersedia 2008(x 1000 ha) Kebutuhan Penambahan s/d 2020 (x 1000 ha)

1. Sawah 6.841 1.614

2. Lahan kering 5.500 2.419

Total 12.341 4.033

Tabel 2.5. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan basah dan lahan kering.

Pulau

Lahan basah semusim Lahan kering

semusim* Lahan keringtahunan** Total Rawa Non-rawa Total

………..……… 000 ha ………. Sumatera 354.9 606.2 960.9 1.312.8 3.226.8 6.499.4 Jawa 0 14.4 14.4 40.5 159,0 213.9 Bali dan NT 0 48.9 48.9 137.7 610.2 796.7 Kalimantan 730.2 665.8 1.396.0 3.639.4 7.272.0 12.307.4 Sulawesi 0 423.0 423.0 215.5 601.2 1.239.6 Maluku+ Papua 1.893.4 3.539.3 5.432.7 1.739.0 3.441.0 10.612.7 Indonesia 2.978.4 5.297.6 8.275.8 7.083.8 15.310.1 30.669.7 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007)

Keterangan : * Lahan kering semusim juga sesuai untuk tanaman tahunan ** Lahan kering tahunan pada lahan kering dan sebagian gambut

Dari data penggunaan lahan sejak tahun 1986 sampai tahun 2004 terlihat bahwa luas lahan sawah tidak banyak mengalami perkembangan, bahkan menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7,7 juta ha pada tahun 2004. Perluasan areal yang pesat terjadi pada perkebunan, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan terbesar terjadi pada perkebunan sawit, yaitu dari 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 6,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan areal secara besar besaran berlangsung sejak tahun 1996. Luas lahan perkebunan kakao juga berkembang pesat dari 95.200 ha pada tahun 1986 menjadi 1,2 juta ha pada tahun 2006. Dalam konteks ketahanan pangan dengan proyeksi hingga 2020, diperkirakan tambahan lahan yang diperlukan adalah 1,6 juta ha lahan sawah dan 2,4 juta ha lahan kering.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 23 Melalui tumpang tepat (overlayed) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan (BPN, 2002-2004) diperoleh data penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan yang saat ini ditumbuhi oleh alang-alang dan semak belukar, baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Tanpa memperhatikan status kepemilikan, lahan tersebut diasumsikan sebagai lahan potensial yang tersedia untuk pengembangan pertanian. Hasil analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30,67 juta ha merupakan lahan yang belum dimanfaatkan (dianggap tersedia), yang terdiri dari 8,28 juta ha lahan untuk perluasan pertanian lahan basah semusim (sawah), 7,08 juta ha untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha untuk pertanian tanaman tahunan.

Diperkirakan sekitar dua pertiga (20,4 juta ha) lahan tersedia tersebut berada di kawasan kehutanan (di luar kawasan lindung) yang saat ini juga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar, terluas terdapat di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera. Lahan yang belum dimanfaatkan berupa semak belukar seluas 10,3 juta ha yang berada di kawasan budi daya pertanian (bukan di kawasan hutan). Dengan demikian, sampai tahun 2020 kebutuhan lahan pertanian tanaman pangan (1,6 juta ha di lahan basah dan 2,4 juta ha di lahan kering) masih bisa terpenuhi dari kawasan budi daya pertanian yang ada yang tidak memerlukan konversi hutan (bukaan) baru.

Tabel 2.6. Lahan tersedia untuk pertanian pada kawasan budi daya dan kehutanan.

No. Pulau Kawasan budi daya Total(ha)

Pertanian Kehutanan

1. Sumatera 2.741.632 2.757.776 5.499.408

2. Jawa 129.022 84.868 213.890

3. Bali dan Nusa Tenggara 515.874 280.872 796.746 4. Kalimantan 3.907.977 8.399.413 12.307.390

5. Sulawesi 682.192 557.412 1.239.604

6. Maluku+Papua 2.331.106 8.281.545 10.612.651   Indonesia 10.307.803 20.361.886 30.669.689 Sumber: BBSDLP (2008)

Proyeksi lain di sektor pertanian, dari total luas daratan Indonesia terdapat sekitar 94,1 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian yang dianggap tidak akan mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 63,7 juta ha. Dengan demikian sektor

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

24

pertanian masih optimis dapat melakukan perluasan areal pertanian sekitar 30,4 juta ha dengan 24 juta ha di antaranya merupakan lahan subur untuk persawahan, perkebunan dan pengembangan komoditas lain, sedangkan 6,4 juta ha lainnya merupakan sawah pasang surut, lebak, dan gambut yang masih memerlukan inovasi khusus. Di samping itu, hingga saat ini lahan pertanian terlantar jumlahnya cukup luas, yaitu sekitar 12,4 juta ha.

Data Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian di atas

memperlihatkan adanya tumpang tindih kawasan yang cukup luas. Senjang data ini akan semakin lebar bila perluasan areal pertanian diproyeksikan hingga tahun 2020. Data tersebut akan semakin membingungkan kalau sektor pengguna lahan lainnya seperti petambangan dan infrastruktur turut diperhitungkan. Oleh karena itu, keterpaduan antar sektor untuk menghasilkan data yang lebih akurat perlu mendapat prioritas penanganan agar berbagai kebijakan penggunaan lahan menjadi lebih tepat sasaran.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 25

2.3 Perumusan Masalah Deforestasi

Dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (Halaman 32-38)

Dokumen terkait