• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Nasional REDD+

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi Nasional REDD+"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Draft 1

Strategi Nasional

REDD+

BAPPENAS

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

(2)

Draft 1

Strategi Nasional

REDD+

(3)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

ii

Daftar isi

Kata Pengantar iii

Ringkasan Eksekutif vi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 3

1.2 Visi dan Tujuan 6

1.3 Dasar Hukum 7

1.4 Ruang Lingkup 8

1.5 Pengertian 10

BAB II ANALISIS KONDISI DAN PERMASALAHAN 13

2.1 Emisi dari Sektor Penggunaan Lahan dan Kehutanan 15 2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan 18 2.3 Perumusan Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan 25 2.4 Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutan 28 2.5 Kesiapan Implementasi REDD+ di Indonesia 46

BAB III STRATEGI NASIONAL REDD+ 53

3.1 Strategi Pemenuhan Prasyarat 57

3.2 Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) 59

3.3 Strategi Reformasi Pembangunan Sektor 67

BAB IV SISTEM TERUKUR, DAPAT DILAPORKAN DAN DAPAT

DIVERIFIKASI 73

BAB V 79

TAHAPAN PELAKSANAAN REDD+ DI INDONESIA 79

5.1 Penyusunan STRANAS dan RAN REDD+ Indonesia 81 5.2 Menumbuhkan Kesiapan dan Pelaksanaan Tindakan Awal 84

(4)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ iii

Kata Pengantar

Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya, Naskah Strategi Nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD plus) dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini dapat dikategorikan luar biasa, karena Stranas REDD+ dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, namun telah melalui suatu proses yang inklusif. Penyusunan naskah Stranas REDD+ dilakukan melalui suatu proses yang cukup melelahkan untuk meramu proses teknokratik, partisipatif, bottom up dan top

down secara sekaligus dalam intensitas dan frekuensi kerja yang tinggi.

Penyusunan Stranas REDD+ dilatarbelakangi dengan adanya komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dengan upaya sendiri (unilateral) dan sampai dengan 41% dengan dukungan dari luar negeri (multilateral) pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/ kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan pengurangan emisi). Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan kontribusi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan karena sektor tersebut merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Penandatanganan Letter of Intent antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Norwegia merupakan salah satu momentum dalam rangka penyusunan suatu strategi nasional yang disusun secara inklusif.

Posisi dan peran Indonesia sangat unik terkait dengan isu perubahan iklim. Di satu sisi, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup signifikan berkontribusi terhadap perubahan iklim, namun disisi lain Indonesia sebagai negara kepulauan dan sebagian besar kota besarnya

BAPPENAS

(5)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

iv

berada di wilayah pantai, menjadi sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. Perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya suhu bumi dan berakibat naiknya permukaan air laut akan memberikan dampak negatif luar biasa pada Indonesia. Di samping itu hujan yang tidak dapat diperkirakan, banjir, musim kemarau, dan bencana alam yang lebih sering terjadi, munculnya penyakit baru, dan dampak dampak negative lain akan mempengaruhi jutaan penduduk Indonesia, terutama kaum miskin yang tinggal di daerah perkotaan maupun daerah pedalaman Indonesia. Inilah sebabnya upaya untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan lahan menjadi sangat penting bagi Indonesia melalui skema REDD Plus (REDD+). REDD+ merupakan ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang.

Permasalahan ini sebenarnya telah diantisipasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Disebutkan bahwa Pembangunan sumber daya hutan ke depan tidak lagi difokuskan pada pemanfaatan kayu saja, tetapi perlu melihat manfaat hutan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Karena itu, selain harus menerapkan konsep pembangunan hutan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan hutan yang tersisa maka upaya rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis serta perlindungan dan konservasi sumber daya hutan pada Daerah Aliran Sungai harus menjadi prioritas nasional. Namun kita harus menyadari bahwa upaya penurunan emisi gas rumah

kaca, terutama dari sektor kehutanan dan perubahan lahan harus dipertajam dan bilamana perlu dilakukan upaya upaya perbaikan, penyempurnaan dan reformasi berbagai bidang sehingga arah pembangunan menjadi lebih fokus dan dengan dasar prioritasi dengan tetap mempertimbangkan aspek aspek lain secara komprehensif dari berbagai data dan informasi terkini, serta berbagai inisiatif yang telah ada, termasuk Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

Stranas REDD+ akan menjadi bagian integral dari upaya Pemerintah untuk mengantisipasi pemanasan global. Dalam jangka panjang, Stranas REDD+ juga akan berkontribusi terhadap pencapaian visi bangsa menuju masayarakat adil, makmur, aman, damai dan sejahtera.

Strategi-strategi yang ditawarkan dalam Stranas REDD+ ini dilaksanakan melalui pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, peningkatan dan penguatan

(6)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ v

perbaikan pengelolaan, dan reformasi di beberapa bidang sektor utama yaitu kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor penunjang (perkebunan dan pertanian, pertambangan), serta pengarus-utamaan strategi dan rencana aksi pada semua tingkatan kelembagaan baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun unit manajemen. Strategi ini diharapkan

akan ditindaklanjuti dalam bentuk rencana aksi yang realistis, konkrit dan tercapai indikator pemenuhannya. Dengan demikian pelaksanaan REDD+ di Indonesia dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat berkontribusi dalam menangani perubahan iklim serta melaksanakan pembangunan

berkelanjutan.

Jakarta, September 2010

Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Lukita Dinarsyah Tuwo

(7)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

vi

Ringkasan Eksekutif

Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim

dan Strategi Nasional REDD+

Perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah membawa dampak berupa banjir, kemarau panjang, badai, dan naiknya permukaan air laut yang secara langsung mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber utama emisi GRK (umumnya dalam bentuk karbon dan methan) adalah deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, tindakan untuk mengurangi emisi GRK yang dampaknya juga berpengaruh secara global, perlu segera dilakukan, terutama dari sektor kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutarakan tekad untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkan data BAU (business as usual) atau kegiatan pembangunan yang dilakukan tanpa tindakan pengurangan emisi sebesar 2,9 Gton CO2e di tahun 2020.1 Disadari bahwa meski hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo, namun kehilangan hutannya relatif sangat cepat akibat tingginya deforestasi dan degradasi. Dengan demikian, Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam menyukseskan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus atau disingkat sebagai REDD+). Penambahan plus (+) dimaksudkan sebagai penyertaan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan, dan peningkatan stok karbon hutan, selain penurunan deforestasi dan degradasi hutan.

Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan tanaman.

1 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20, Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.

(8)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ vii

Identifikasi Penyebab Utama Deforestasi dan

Degradasi Hutan di Indonesia

Analisis permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ ini bertujuan untuk menyediakan data, informasi, dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatif-alternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis fishbone, dapat diidentifikasi beberapa masalah utama penyebab deforestasi dan degradasi seperti lemahnya tata tuang, tidak efektifnya unit manajemen hutan, lemahnya tata kelola, permasalahan tenurial, dan lemahnya dasar hukum serta penegakan hukum.

Kategori Masalah Komponen Masalah

Tata Ruang yang lemah Lemahnya Data dan Informasi yang sahih dan akurat Perencanaan sektorat tidak terpadu

Partispasi dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan lemah

Tenurial Bermasalah Konflik lahan tidak pernah tuntas

Status dan batas kawasan hutan tidak jelas Masyrakat adat tidak memiliki hak formal

Budaya dan pola mata pencaharian berbasis lahan Terbatasnya alternatif sumber pendapatan Unit Manajemen Hutan

Tidak Efektif Hutan produksi kolap, hutan lindung terancam, hutan konservasi rentan Kinerja organisasi pengelolaan hutan rendah

Integritas dan kapasitas pengelola hutan rendah Tata Kelola Lemah Ketidakadilan distrubusi manfaat dari sektor hutan

Koordinasi antar sektor dan antara pusat dan daerah lemah Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas rendah

Efektivitas dan efisiensi pengelolaan kegiatan dan anggaran rendah

Korupsi dan kolusi Dasar dan Penegakan

Hukum Lemah Isi dasar hukum kontraproduktif dan tidak jelasTumpang tindih dasar hukum

(9)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

viii

Perumusan Strategi Nasional REDD+

Strategi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah arahan yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu:

1. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab.

2. Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis. 3. Keadilan antar generasi.

Kerangka pelaksanaan pengurangan emisi melalui REDD+ meliputi : 1) Penurunan emisi dari deforestasi, 2) Penurunan emisi dari degradasi hutan, 3) Penguatan peran konservasi, 4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan 5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi (source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon.

Skema Strategi REDD+ Indonesia

Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka strategi nasional REDD+ Indonesia terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu : (1) pemenuhan prasyarat penerapan REDD+, (2) peningkatan dan penguatan

(10)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ ix

kondisi pemungkin (enabling conditions), serta (3) reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya (perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur).

Strategi pemenuhan prasyarat dan kondisi

pemungkin

Strategi pemenuhan prasyarat terdiri dari program pembuatan peraturan yang terkait dengan pelaksanaan REDD+, program pembentukan metodologi REDD+, dan program pembangunan pembagian manfaat dan tanggung Jawab. Strategi pemenuhan kondisi pemungkin terdiri dari program reformasi perencanaan pembangunan sektor penggunaan lahan, program reformasi dasar dan penegakan hukum, program penguatan pemberdayaan ekonomi lokal, program pelibatan pemangku kepentingan, dan program penguatan tata kelola. Penjabaran strategi reformasi pembangunan sektor terdiri dari program reformasi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, dan sektor penggunaan lahan lainnya yang berkelanjutan.

Strategi reformasi pembangunan beberapa sektor

terkait

Strategi Pembangunan sektor kehutanan bertumpu pada aspek penurunan sumber emisi GRK dan peningkatan dan perlindungan stok karbon. Beberapa aspek yang dicakup dalam upaya penurunan emisi GRK adalah (1) penguatan konservasi dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan sektor kehutanan, (2) penguatan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, (3) peningkatan efektivitas penegakan hukum di wilayah KPH, dan (4) penyempurnaan pengelolaan gambut di kawasan hutan. Peningkatan dan perlindungan stok karbon (sink) mencakup delapan kegiatan utama, yaitu (1) Peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung (kawasan konservasi, hutan lindung dan kawasan lindung lainnya yang akan ditetapkan kemudian dalam tata ruang wilayah) dalam rangka pemeliharaan simpanan karbon, (2) peningkatan upaya reboisasi hutan di kawasan hutan terdeforestasi, (3) pengembangan insentif untuk meningkatkan stok karbon di daerah yang terdegradasi dan lahan bekas kebakaran, (4) pelaksanaan pengkayaan (enrichment

planting) pada kawasan terdegradasi, (5) pelaksanaan restorasi hutan pada

hutan lindung, kawasan konservasi, dan pada kawasan IUPHHK-Restorasi, (6) peningkatan upaya restorasi lahan gambut yang terdeforestasi dan terdegradasi, (7) peningkatan upaya rehabilitasi hutan mangrove, dan (8) pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang.

(11)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

x

Strategi pembangunan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim difokuskan pada upaya meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Sejalan dengan itu, strategi pembangunan pertanian juga diarahkan pada upaya intensifikasi dan penerapan teknologi tepat guna yang menghindari pembukaan lahan baru pada kawasan-kawasan yang masih memiliki tutupan hutan sedang sampai baik. Penguatan sektor pertanian dalam rangka mendukung pelaksanaan REDD+ ini antara lain : (1) penyempurnaan perencanaan pertanian yang menghindari perluasan pada kawasan yang memiliki tutupan hutan sedang sampai baik serta perlindungan terhadap kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di kawasan perkebunan; (2) penerapan intensifikasi pertanian untuk tanaman pangan, varietas unggul dan perkebunan rakyat serta untuk peternakan; (3) pemanfaatan lahan tidur/ bongkor atau lahan terlantar; (4) penerapan kebijakan land swap pada kawasan APL di tanah mineral dari lahan dengan stock C tinggi (>100 t C/ha) ke lahan dengan stock C rendah (<35 t C/ha); (5) penerapan sistem irigasi berselang (intermittent) pada lahan sawah; (6) perluasan lahan pertanian pada tanah mineral dan tidak berhutan; (7) penyempurnaan tata cara pemberian izin dengan mempertimbangkan emisi karbon; (8) pemberian insentif kepada pemegang konsesi perkebunan yang memindahkan kegiatan dari lahan berhutan alam ke tidak berhutan; (9) penerapan kegiatan mitigasi emisi pada sub-sektor peternakan melalui perbaikan teknologi pakan ternak serta pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos; dan (10) perbaikan pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan kebijakan hingga teknis.

Strategi pembangunan sektor pertambangan dilakukan melalui empat kegiatan utama, yaitu: (1) penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan yang diarahkan pada larangan pemberian izin KP di lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter, (2) penyempurnaan perencanaan pertambangan yang diarahkan untuk menghindari eksplorasi dan eksploitasi pertambangan pada kawasan hutan dan kawasan lain yang memiliki tutupan hutan yang masih dalam keadaan baik serta perlindungan terhadap kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi pada kawasan-kawasan pertambangan, (3) pembatasan perizinan dan peningkatan pengawasan pertambangan melalui rasionalisasi izin KP hingga penegakan hukum, dan (4) peningkatan reklamasi hutan bekas pertambangan.

Sementara strategi pembangunan sektor pembangunan lahan lain setidaknya meliputi dua aspek pokok, yaitu : (1) penyempurnaan pembangunan

infrastruktur yang lebih mempertimbangkan emisi karbon, dan (2) penguatan visi pembangunan yang lebih mempertimbangkan aspek emisi karbon dalam jangka jangka panjang.

(12)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ xi

Pembangunan Sistem MRV (measurement, reporting

dan verification)

Partisipasi Indonesia di dalam REDD+ mengharuskan Indonesia membangun sistem terukur (measurable), dapat dilaporkan (reportable) dan dapat diverifikasi (verifiable) atau MRV agar setiap pengurangan dan peningkatan stok karbon di dalam hutan dapat diukur secara akurat. Selain pengukuran perubahan areal hutan berdasarkan tipenya dan stok karbon di dalam hutan, ruang lingkup pengukuran MRV juga mencakup pengukuran terhadap distribusi manfaat atas pelaksanaan REDD+; kontribusi pelaksanaan REDD+ terhadap penghidupan yang berkelanjutan, dan pengurangan kemiskinan bagi masyarakat yang penghidupannya tergantung pada hutan.

Untuk membangun sistem MRV yang akuntabel dan transparan, diperlukan beberapa prasyarat seperti (1) penyusunan standar nasional yang sejalan dengan protokol internasional dan good practices untuk mengukur perubahan stok karbon di dalam hutan, (2) Pendirian lembaga nasional yang independen untuk melakukan pengukuran dan verifikasi informasi; dan (3) pengembangan mekanisme koordinasi dan harmonisasi penghitungan karbon dan sistem MRV lintas sektor dan skala.

Tahapan Pelaksanaan REDD+ di Indonesia

Dengan banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dan untuk menjaga kredibilitas serta efektivitas pelaksanaan REDD+, secara umum tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia akan meliputi : (1) penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana aksi nasional REDD+; (2) membangun

(13)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

xii

kesiapan dan pelaksanaan tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal; dan (3) implementasi yang mencakup pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN dan implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan berdasarkan kriteria yang ditentukan.

Strategi Nasional REDD+ ini akan efektif apabila dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan serta pembangunan mekanisme penerapan REDD+ di beberapa daerah. Selain itu, dukungan pembiayaan juga merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+. Untuk mengawal pelaksananaan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ berjalan dengan baik, perlu disusun kerangka kerja monitoring dan evaluasi sebagai pedoman monitoring dan evaluasi Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+. Penerapan Strategi Nasional hanya akan efektif bilamana masuk dalam sistem perencanaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu pengarusutamaan strategi nasional REDD+ dalam sistem perencanaan merupakan suatu keniscayaan

Kesimpulan

Seluruh tahapan pelaksanaan REDD+ tersebut dilaksanakan secara inklusif dengan melibatkan para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan sub nasional, mulai dari unsur pemerintah (multi sektor dan pusat-daerah), pakar yang berkompeten dan komponen masyarakat sipil yang yang memiliki perhatian terhadap pelaksanaan REDD+ serta kelompok mayarakat yang berpotensi terkena dampak. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia merupakan komitmen nasional yang didukung oleh semua

(14)

BAB I

(15)
(16)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 3

1.1 Latar Belakang

Kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang telah terjadi sejak abad ke 19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pemanasan global (global warming). Peningkatan emisi yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat drastis dan membawa dampak berupa kemarau yang berkepanjangan, banjir, badai dan peningkatan permukaan air laut. Hal itu mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi penduduk dunia yang tinggal di daerah sekitar pantai sampai pegunungan, penurunan kualitas lingkungan global dan ancaman ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang.

Sesuai dengan Stern Review (2006) deforestasi dan degradasi hutan berkontribusi sebesar kurang lebih 18% dari emisi global, dari jumlah tersebut 75% nya berasal dari negara-negara berkembang. Kondisi tersebut menjadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat lokal, fungsi daerah-daerah aliran sungai serta keberadaan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pengurangan jumlah emisi karbon dari sektor kehutanan menjadi penting karena tidak saja mendukung upaya dunia untuk membatasi terjadinya peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, tetapi juga memberikan manfaat lain bagi kepentingan masyarakat, ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Menurut Stern, tindakan yang cepat untuk mengurangi emisi dari sektor ini harus segera dilakukan. Dukungan internasional untuk membantu negara berkembang dalam mengurangi emisi dari sektor ini juga harus dilaksanakan. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dengan pendanaan dalam negeri dan 41% dengan bantuan dari internasional pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usual/kegiatan pembangunan tanpa pengurangan emisi1. Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan berasal

dari sektor kehutanan, tata guna lahan, dan perubahan tata guna lahan karena merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Namun di sisi lain laju kehilangan hutannya relatif sangat cepat akibat dari tingginya deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, Indonesia memiliki posisi sangat penting dalam mensukseskan program 1 Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20, Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009.

(17)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

4

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (Reducing Emissions from

Deforestation and Degradation Plus atau disingkat sebagai REDD+).

Untuk merealisasikan pengurangan emisi GRK sesuai dengan target di atas perlu disusun berbagai intervensi serta rencana aksi yang disesuaikan dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim di berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, antara lain meliputi Kementerian Koordinator

Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Isu deforestasi sendiri muncul dibawah agenda “Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (RED)” pada saat Konferensi Antar Pihak (Conference of Parties-COP) ke 11 dalam kerangka United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC) di Montreal pada tahun 2005 dan direspon secara positif oleh banyak negara. Dalam berbagai forum di bawah UNFCCC termasuk COP dan Subsidiary Body (SB), banyak pihak memandang bahwa skema RED seharusnya melibatkan partisipasi dari semua negara.

Tantangan terbesar dari isu ini adalah cara mengatasi perbedaan kondisi nasional pada masing-masing negara diakomodasi secara adil dan proporsional dengan mempertimbangkan pendekatan pemecahan isu kehutanan di bawah konvensi iklim.

Istilah REDD Plus (REDD+) muncul pada saat diselenggarakan konferensi perubahan iklim ke 13 (COP 13) pada tahun 2007 di Bali. Istilah yang termuat dalam Bali Action Plan paragraf 1 b (iii) ini pertama digunakan di dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang di bawah konvensi pada sesi ke-6 di Bonn pada tanggal 12 Juni 2009 (catatan kaki dokumen FCCC/AWGLCA/2009/8, 19 Mei 2009). Dalam dokumen ini, aksi di bawah paragraf 1 b (iii) Bali Action Plan yang berisikan isu yang terkait pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang dan pentingnya peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta

peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang disebut secara bersama sebagai REDD+. Istilah REDD+ juga termuat dalam Copenhagen Accord sebagai hasil pertemuan COP ke 15 pada tahun 2009 di Kopenhagen.

(18)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 5

Untuk mengantisipasi negosiasi global dalam UNFCCC khususnya yang terkait dengan REDD+ maka Pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan beberapa mitra di berbagai bidang baik metodologi, kelembagaan, maupun pembangunan Demontration Activities (DA) REDD. Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk menyusun Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) sebagai dasar dalam melakukan penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan yang terkait dengan REDD+.

(19)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

6

1.2 Visi dan Tujuan

Visi

Pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

Tujuan

Strategi Nasional REDD+ dalam jangka menengah (hingga 2020) bertujuan untuk:

» Peningkatan dan penyempurnan perencanaan, terutama terkait dengan penataan ruang, penatagunaan lahan, dan proses perijinan pemanfaatan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

» Penurunan emisi GRK, khususnya dari sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan menciptakan sebuah pijakan bagi pengurangan emisi yang lebih substansial dengan investasi lebih lanjut.

» Pemeliharaan dan peningkatan simpanan karbon (carbon stock) melalui kegiatan konsevasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem dan rehabilitasi hutan.

» Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan kawasan hutan.

» Peningkatan pengelolaan sumberdaya alam hayati melalui pelestarian ekosistem yang bernilai tinggi, melindungi keanekaragaman hayati dan terjaganya fungsi daerah aliran sungai

» Peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia dan pendanaannya di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam progam pengelolaan hutan secara lestari dan pelestarian kawasan lindung

» Peningkatan kepercayaan investor untuk melaksanakan kegiatan/usaha di Indonesia khususnya sektor yang berbasis penggunaan lahan.

(20)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 7

1.3 Dasar Hukum

Dasar Hukum yang digunakan untuk penyusunan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional REDD+ terdiri dari:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change;

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol

Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim;

6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; 8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025; 9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika;

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar;

13. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

14. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;

15. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;

17. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana

(21)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

8

1.4 Ruang Lingkup

Grafik 1. Gambaran opsi target pengurangan emisi melalui REDD+ dalam target pengurangan emisi nasional

Stranas REDD+ berisikan identifikasi penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi (hutan alam dan hutan tanaman). Di samping itu, strategi ini juga memasukkan pengurangan emisi dari sektor lain yang menggunakan lahan yaitu sektor pertanian, pertambangan dan infrastruktur.

Stranas REDD+ juga merupakan panduan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun program-program yang mendukung pelaksanaan REDD+.

Stranas REDD+ merupakan panduan/guidelines implementasi REDD+ dalam kaitannya dengan upaya penurunan emisi 26%, 41% dan lebih dari 41% dibandingkan dengan BAU 2020. Apabila dikaitkan dengan amanah Bali Action Plan) maka target penurunan emisi 26% dapat dikategorikankan sebagai

unilateral “Nationally Appropiate Mitigation Actions (NAMA’s)”, 41% sebagai supported NAMA’s (dengan dukungan dana internasional), dan di atas 41% bila

ditambah dengan mekanisme pasar (carbon credit) (lihat Gambar 1). Dalam pelaksanaan ketiga kategori tersebut, kegiatan kapastitas building dan transfer teknologi merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara kontinyu dan didukung oleh pendanaan hibah internasional.

(22)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 9

Pada dasarnya Strategi Nasional REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. Stranas REDD+ ini kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Aksi Nasional REDD+ (RAN REDD+) sebagai dokumen kerja yang menjadi landasan bagi berbagai Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan penurunan emisi dari sektor kehutanan dan tata guna lahan.

(23)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

10

1.5 Pengertian

Mempertimbangkan adanya berbagai definisi terkait dengan REDD+, maka dokumen Stranas dan RAN REDD+ perlu menetapkan definisi kerja yang dipergunakan. Diharapkan, pengertian yang ditetapkan ini menjadi rujukan dalam penyusunan strategi, program dan kegiatan di dalam Stranas dan RAN REDD+. Sejumlah pengertian terkait dengan REDD+ adalah sebagai berikut:

REDD+

Definisi REDD Plus (REDD+) berdasarkan pada Bali Action Plan paragraf 1 b (iii), yaitu ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang.

Hutan

Menurut UU No 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kawasan Hutan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU N0 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Deforestasi

Deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10% untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m (in situ) dan areal minimum 0,5 ha (FAO).

Degradasi (FAO dan submisi Indonesia ke Sekretariat UNFCCC Maret 2008)

Perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi dapat diartikan sebagai penurunan stok carbon (carbon stock degradation) hutan.

(24)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 11

Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama (Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung. Lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon (carbon

stock) yang lebih tinggi daripada lahan mineral karena karakteristik morfologi

tanahnya. Kandungan karbon di bawah permukaan lahan gambut dapat mencapai sebesar antara 300-6.000 t C per hektar. Semakin dalam gambut, semakin tinggi juga jumlah karbon yang dapat disimpan. Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cenderung lebih dalam dibandingkan dengan di Papua, (BAPPENAS, 2010).

REL/RL (interpretasi dari Dec. 4/CP 15)

REL (Reference Emission Level) atau tingkat emisi referensi adalah basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang.

RL (Reference Level) atau tingkat referensi adalah basis untuk mengukur emisi/ removals yang dihasilkan dari kegiatan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan karbon stok dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang.

MRV (Measuring, Reporting and Verifying)

MRV merupakan bagian dari sistem monitoring dan evaluasi dari aksi mitigasi termasuk REDD+ yang akan dilaporkan oleh negara-negara kepada UNFCCC. Kegiatan REDD+ harus dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi. Dengan perkataan lain pengumpulan data dan laporan yang disampaikan kepada UNFCCC harus mengikuti metoda ilmiah yang baku dan konsisten dengan Keputusan COP.

Displacement of emission

Pengalihan emisi keluar batas geografis kegiatan REDD+. Dengan pelaksanaan REDD+ melalui pendekatan nasional (national approach) dan implementasi di tingkat sub-nasional, maka displacement of emission di dalam batas wilayah negara ditangani di tingkat nasional.

(25)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

12

Benefit sharing atau pembagian manfaat dan tanggungjawab

Mekanisme distribusi benefit serta biaya dan resiko dalam REDD+ adalah salah satu komponen yang harus dipersiapkan dalam tahap readiness, yaitu dalam komponen pertama: management of readiness. Di tingkat internasional, arah pembicaraan atas mekanisme pembayaran akan berbasiskan kinerja suatu Negara khususnya dalam upaya menurunkan tingkat deforestasi, degradasi serta peningkatan simpanan karbon (carbon sink) maupun efektivitas pencapaian co-benefit dari program REDD+ tersebut. Disyaratkan pula agar mekanisme tersebut mengintegrasikan prinsip akuntabilitas, transparansi, memiliki manajemen resiko, mekanisme transfer benefit yang memadai, dan mekanisme administrasi yang efektif dan efisien. Adanya mekanisme distribusi benefit yang demikian akan memberi nilai positif yang kompetitif bagi Indonesia dalam menarik dana-dana internasional untuk mempersiapkan REDD+ di tingkat nasional.

(26)

BAB II

ANALISIS KONDISI DAN

PERMASALAHAN

(27)
(28)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 15

2.1 Emisi dari Sektor Penggunaan

Lahan dan Kehutanan

  Gambar 2.1 Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dari beberapa sektor dengan base year tahun 2000.

2.1.1 Di Level Nasional

Hutan berperan penting dalam siklus karbon global dan dapat berfungsi sebagai penghasil emisi (emitter) maupun penyerap emisi (removal). Hasil inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dengan berbasis (base-year) tahun 2000 menunjukkan bahwa sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) tertinggi (Gambar 1). Emisi ini pada umumnya berasal dari deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan termasuk gambut (2nd National Communication, 2009).

Berdasarkan base-year 2000, sektor kehutanan menyumbang 48% emisi GRK nasional, paling tinggi dibandingkan sektor lain. Untuk dapat lebih berperan bagi kehidupan di dunia, Indonesia akan berupaya menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020 dengan dana sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Sehubungan dengan itu, untuk menurunkan emisi sebesar 26% dari BAU tahun 2020 (2,95 Gton CO2e), sektor kehutanan

(29)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

16

akan berkontribusi sebesar 14% sedangkan sisanya (12%) akan disumbang oleh sektor lainnya seperti pertanian, perhubungan, dan energi. Dengan demikian tingkat emisi referensi (TER=reference emission level (REL)/baseline) sektor kehutanan pada tahun 2020 adalah 1,5 Gton CO2e. Sehingga target penurunan emisi untuk sektor kehutanan sebesar 0,4 Gton CO2e (26% dari 1,5 Gton CO2e). Besaran target yang telah dicanangkan pemerintah ini perlu direalisasikan ke dalam tindakan nyata di lapangan yang dapat diukur, dilaporkan, transparan, dan diverifikasi oleh pihak independen. Kuantifikasi dari upaya menurunkan emisi ini perlu dilakukan dengan cara pengurangan terhadap sumber-sumber emisi di sektor kehutanan yang dibedakan atas fokus dan lokus program dan kegiatan.

2.1.2 Di Level Sub Nasional

Dari kontribusi sektor kehutanan sebesar 48% terhadap emisi GRK nasional, besaran emisi di sub-nasional bervariasi dari satu pulau ke pulau lainnya, demikian pula di level provinsi maupun kabupaten. Besarnya emisi GRK ini berasal dari sektor kehutanan dan perubahan penggunaan lahan (LUCF) yang pada periode tahun 2000-2005 mencapai angka laju deforestasi seluas 5,45 juta ha atau rata-rata 1,1 juta ha per tahun. Selain dari deforestasi, kontribusi emisi GRK dari sektor LUCF juga berasal dari kebakaran lahan gambut dan konversi lahan gambut di dalam kawasan hutan menjadi perkebunan (Gambar 2). Berdasarkan panduan COP-15, perhitungan tingkat emisi referensi untuk masing-masing provinsi ditentukan berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan laju deforestasi gambut sehingga didapat kuota emisi tiap provinsi dan kabupaten1.

1 Angka REL ini masih angka sementara dan dipakai untuk memfasilitasi perolehan angka sub-nasional yang akan menjadi keputusan nasional. Angka ini akan terus diperbaiki sampai diperoleh angka yang valid pada tahun 2012.

(30)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 17 G ambar 2.2. Tingk at emisi r ef er ensi un tuk setiap pr ovinsi ber dasar kan da ta hist or is laju def or

estasi hutan dan gambut

(31)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

18

2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Hutan

Pemicu deforestasi dan degradasi hutan berasal dari dalam dan luar sektor kehutanan. Dari dalam sektor kehutanan, pemicu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 kegiatan, yaitu 1) penebangan ilegal dan dari pengelolaan hutan yang tidak lestari, 2) kebakaran hutan, 3) perubahan hutan alam (tanah mineral dan gambut) untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 4) lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan konsesi hutan. Dari luar sektor kehutanan, pemicu deforestasi dan degradasi hutan antara lain adalah 1) perambahan hutan oleh masyarakat, 2) kebakaran lahan (non-kawasan hutan), 3) perluasan permukiman, 4) pemekaran wilayah, 5) ekstensifikasi perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi), 6) ekstensifikasi lahan pertanian, 7) pembukaan tambak di hutan mangrove, 8) peningkatan lahan penggembalaan (pasture land), 9) pertambangan, dan 10) pembangunan infrastruktur. Secara lebih sederhana, seluruh hal di atas dapat dikelompokan menjadi penyebab deforestasi akibat adanya konversi hutan menjadi kawasan non hutan baik secara terencana maupun tidak terencana, serta degradasi hutan akibat adanya penabangan liar dan kebakaran hutan..

2.2.1 Deforestasi dan Degradasi Hutan

Indonesia mempunyai luas daratan 187,787 juta ha yang terbagi menjadi kawasan hutan seluas 132,399 juta ha (Ditjen Planologi, 2008) dan areal penggunaan lain (APL) seluas 55,388 juta ha. Berdasarkan tutupan lahan atau hutannya, luas daratan yang tertutupi dengan hutan (forest cover) seluas 100,.740 juta ha sedangkan luas wilayah yang tanpa tutupan hutan seluas 87,047 juta ha. Sementara itu, kawasan hutan yang memiliki tutupan hutan adalah seluas 92,328 juta ha atau 49% dari luas daratan Indonesia dan sisanya tidak memiliki tutupan hutan seluas 40,071 juta ha atau 21% dari luas daratan Indonesia. Selanjutnya luas tutupan hutan pada APL adalah 8,412 juta ha atau 4% dari luas daratan Indonesia dan luas wilayah yang tidak tertutup hutan adalah 49,976 juta ha atau 25% dari total daratan Indonesia (Ditjen Palnologi, 2010).

Berdasarkan data tahun 2006 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan, perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi tidak berhutan seluas 42,263 juta ha. Sebagian besar luasan tersebut (36%) telah berubah menjadi lahan alang-alang sedangkan 26% merupakan lahan pertanian, dan sisanya terdiri dari semak, lahan basah (wetland), perumahan, dan penggunaan lainnya.

(32)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 19

Tabel 2.2. Rekalkulasi tutupan lahan (juta ha).

Penutuan lahan Kawasan hutan Areal penggunaan lain Total Area (ha) % Area (ha) (%) Area (ha) %

1 2 3 4 5 6 7 Berhutan 92,328 (Primer= 43,801; (LOA=48,526) 49 8,412 4 100,740 54 Tidak berhutan 40,071 21 46,976 25 87,047 46 Total 132,399 71 55,388 29 187,787 100

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2008, diolah dari Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006.

Tingkat deforestasi di Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1990–1996, rata-rata laju deforestasi per tahun adalah 1,87 juta ha. Laju ini terus meningkat dengan cepat sehingga mencapai 3,51 juta ha per tahun pada periode 1996–2000, lalu menurun menjadi 1,08 juta ha per tahun pada periode 2000–2003, dan kembali meningkat menjadi 1,17 juta ha pertahun pada periode 2003–2006. Berdasarkan data historis tersebut, laju deforestasi di Indonesia dapat diproyeksikan sekitar 1,125 juta ha per tahun. Sedangkan rata-rata degradasi yang disebabkan oleh aktivitas logging adalah 0,626 juta ha per tahun (Kementerian Kehutanan, 2010).

2.2.2 Kondisi Deforestasi dan Degradasi Pada Lahan

Gambut

Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga kestabilan ekosistem karena besarnya kemampuan lahan ini dalam menahan/menyimpan air, tingginya simpanan karbon (C), serta tingginya biodiversitas spesifik lahan gambut. Apabila hutan gambut dikonversi, karbon yang tersimpan di dalamnya akan mengalami oksidasi karena dekomposisi dan kebakaran sehingga

mengemisikan CO2, gas rumah kaca terpenting. Emisi C dari lahan gambut dianggap sebagai masalah global yang sangat serius karena jumlahnya bisa dua sampai tiga kali lebih tinggi dari emisi tanah mineral. Emisi gambut sekaligus merupakan masalah lokal karena akan menyebabkan gambut menipis sehingga fungsi buffer hidrologisnya menghilang.

Pengelolaan lahan gambut di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari prinsip perlindungan lahan gambut berkelanjutan. Lahan gambut tidak diperlakukan sebagai entitas khusus yang perlu dilindungi, tetapi dianggap

(33)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

20

sebagai lahan biasa yang merupakan komoditas untuk mewadahi kegiatan perekonomian seperti kebun, hutan tanaman, dan tambang. Contoh fenomenal kegagalan pengelolaan lahan gambut yang terencana adalah mega project

Kawasan Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah seluas 1,0 juta ha. Lahan gambut tersebut diprogramkan oleh Presiden Soeharto (1995) untuk dibuka menjadi lahan pertanian pangan. Ternyata pembukaan lahan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, antara lain kebakaran pada Kawasan PLG itu dan banjir di wilayah pemukiman sekitarnya. Pemerintah telah mencanangkan program rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut, namun belum terimplementasikan sampai sekarang. Potret lainnya dari pengelolaan ekosistem ini adalah banyaknya izin yang diberikan di atas lahan gambut, baik yang berketebalan kurang dari 3 m atau pun lebih. Selain itu, tidak sedikit pula lahan gambut yang diduduki oleh masyarakat untuk menjadi tempat tinggal dan diolah menjadi lahan pertanian bagi pemenuhan hidup masyarakat tersebut. Tingginya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (sekitar 1,3% per tahun), semakin berkurangnya lahan kering potensial untuk pembangunan pertanian, dan pemberian izin yang tidak terkendali dan disertai oleh berbagai pernyimpangan ditengarai menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Di provinsi/kabupaten yang sebagian besar areal lahannya berupa lahan gambut seperti di Provinsi Riau, Kabupaten Kubu, dan Provinsi Kalbar, pemanfaatan lahan gambut sudah merupakan suatu keniscayaan, karena hanya lahan gambut yang dominan bagi perluasan pertanian. Dalam kondisi ini, penerapan metode pengelolaan lahan gambut berkelanjutan merupakan pilihan yang seyogianya diterapkan.

Permasalahan yang melatarbelakangi buruknya pengelolaan lahan gambut, antara lain disebabkan oleh: 1) kurangnya pemahaman para stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan swasta) akan urgensi perlindungan lahan gambut dan bagaimana cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan; 2) kewenangan pengelolaan lahan gambut yang tersebar dan tidak adanya pembagian kewenangan serta jaring koordinasi yang jelas; 3) belum adanya inventarisasi lahan gambut nasional, yang memberikan informasi yang lengkap dan terintegrasi mengenai sebaran, status, ketebalan, dan kondisi lahan; 4) kebakaran (baik disengaja maupun tidak) hutan dan lahan yang masih tinggi; 5) belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lahan gambut yang lengkap hingga tahap implementasi, termasuk sanksi2; 6) tumpang

tindih kebijakan, baik antar instansi pusat maupun antar pemerintan pusat dan daerah; 7) konflik tata ruang dan tenurial; 8) perizinan di atas lahan gambut; 8) permasalahan ketersediaan sarana/prasarana dan pendanaan; 9) penegakan hukum yang lemah.

(34)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 21

2.2.3 Pengaruh Sektor Pertanian Terhadap

Deforestasi

Sektor pertanian, terutama tanaman pangan, secara signifikan cenderung terkena dampak perubahan iklim.. Tetapi bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Tanpa Rencana Aksi mitigasi perubahan iklim (BAU) di lahan padi sawah non-gambut akan menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobik), sedangkan padi sawah di lahan gambut mengeluarkan emisi GRK terutama dalam bentuk CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut, karena membutuhkan kondisi anerobik, emisi GRK utama yang dilepaskan adalah CO2. Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian, bila tanpa dilakukan upaya pengurangan emisi, diperkirakan 117 juta ton CO2e.

Sektor pertanian juga berpotensi menyumbang emisi karbon bila terjadi pembukaan lahan baru pada areal yang masih berhutan atau areal bergambut pada kedalaman di atas 3 m. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, sektor pertanian perlu melakukan beberapa kebijakan untuk menurunkan emisi GRK. Berdasarkan data BPS (2008) total luas lahan pertanian adalah 69,15 juta ha. Sedangkan menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2008 (Tabel 2.2), Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk untuk pertanian, pemukiman, infrastuktur dan lain-lain seluas 55,388 juta ha.

Tabel 2.3. Proyeksi kebutuhan bahan pangan pokok tahun 2020.

No. Komoditas Perkiraan Kebutuhan di 2020 (juta ton)

1 Beras 37.021*

2 Jagung 18.940**

3 Kedelai 2.381**

4 Gula 2.530

* beras, setara 68,8 juta ton gkg. **biji kering

2 Saat ini, Indonesia telah memiliki aturan dasar perlindungan gambut, yaitu Perpres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung dan PP No, 26 Tahun 2008 tentang RTRWN jo. UU No, 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa lahan gambut berketebalan 3m atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai atau rawa harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun demikian, ketentuan tersebut baru diimplementasikan oleh sektor pertanian melalui Permentan No. 14 Tahun 2009 yang melarang pembukaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, pada: (1) lahan gambut dengan ketebalan >3m, (2) lahan gambut yang belum matang (tingkat kematangan fibrist) dan (3) lahan gambut dengan lapisan tanah dibawah gambut (substratum) berupa pasir kuarsa serta berpotensi sulfat masam.

(35)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

22

Tabel 2.4. Kebutuhan penambahan lahan baru untuk ketahanan pangan nasional hingga tahun 2020.

Jenis lahan Lahan Tersedia 2008(x 1000 ha) Kebutuhan Penambahan s/d 2020 (x 1000 ha)

1. Sawah 6.841 1.614

2. Lahan kering 5.500 2.419

Total 12.341 4.033

Tabel 2.5. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian lahan basah dan lahan kering.

Pulau

Lahan basah semusim Lahan kering

semusim* Lahan keringtahunan** Total Rawa Non-rawa Total

………..……… 000 ha ………. Sumatera 354.9 606.2 960.9 1.312.8 3.226.8 6.499.4 Jawa 0 14.4 14.4 40.5 159,0 213.9 Bali dan NT 0 48.9 48.9 137.7 610.2 796.7 Kalimantan 730.2 665.8 1.396.0 3.639.4 7.272.0 12.307.4 Sulawesi 0 423.0 423.0 215.5 601.2 1.239.6 Maluku+ Papua 1.893.4 3.539.3 5.432.7 1.739.0 3.441.0 10.612.7 Indonesia 2.978.4 5.297.6 8.275.8 7.083.8 15.310.1 30.669.7 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007)

Keterangan : * Lahan kering semusim juga sesuai untuk tanaman tahunan ** Lahan kering tahunan pada lahan kering dan sebagian gambut

Dari data penggunaan lahan sejak tahun 1986 sampai tahun 2004 terlihat bahwa luas lahan sawah tidak banyak mengalami perkembangan, bahkan menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993 menjadi 7,7 juta ha pada tahun 2004. Perluasan areal yang pesat terjadi pada perkebunan, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan terbesar terjadi pada perkebunan sawit, yaitu dari 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 6,3 juta ha pada tahun 2006. Perluasan areal secara besar besaran berlangsung sejak tahun 1996. Luas lahan perkebunan kakao juga berkembang pesat dari 95.200 ha pada tahun 1986 menjadi 1,2 juta ha pada tahun 2006. Dalam konteks ketahanan pangan dengan proyeksi hingga 2020, diperkirakan tambahan lahan yang diperlukan adalah 1,6 juta ha lahan sawah dan 2,4 juta ha lahan kering.

(36)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 23

Melalui tumpang tepat (overlayed) antara peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan (BPN, 2002-2004) diperoleh data penyebaran lahan yang belum dimanfaatkan yang saat ini ditumbuhi oleh alang-alang dan semak belukar, baik di lahan kering maupun di lahan rawa. Tanpa memperhatikan status kepemilikan, lahan tersebut diasumsikan sebagai lahan potensial yang tersedia untuk pengembangan pertanian. Hasil analisis spasial tersebut menunjukkan bahwa sekitar 30,67 juta ha merupakan lahan yang belum dimanfaatkan (dianggap tersedia), yang terdiri dari 8,28 juta ha lahan untuk perluasan pertanian lahan basah semusim (sawah), 7,08 juta ha untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha untuk pertanian tanaman tahunan.

Diperkirakan sekitar dua pertiga (20,4 juta ha) lahan tersedia tersebut berada di kawasan kehutanan (di luar kawasan lindung) yang saat ini juga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar, terluas terdapat di Kalimantan, Papua dan Maluku, serta Sumatera. Lahan yang belum dimanfaatkan berupa semak belukar seluas 10,3 juta ha yang berada di kawasan budi daya pertanian (bukan di kawasan hutan). Dengan demikian, sampai tahun 2020 kebutuhan lahan pertanian tanaman pangan (1,6 juta ha di lahan basah dan 2,4 juta ha di lahan kering) masih bisa terpenuhi dari kawasan budi daya pertanian yang ada yang tidak memerlukan konversi hutan (bukaan) baru.

Tabel 2.6. Lahan tersedia untuk pertanian pada kawasan budi daya dan kehutanan.

No. Pulau Kawasan budi daya Total(ha)

Pertanian Kehutanan

1. Sumatera 2.741.632 2.757.776 5.499.408

2. Jawa 129.022 84.868 213.890

3. Bali dan Nusa Tenggara 515.874 280.872 796.746 4. Kalimantan 3.907.977 8.399.413 12.307.390

5. Sulawesi 682.192 557.412 1.239.604

6. Maluku+Papua 2.331.106 8.281.545 10.612.651   Indonesia 10.307.803 20.361.886 30.669.689 Sumber: BBSDLP (2008)

Proyeksi lain di sektor pertanian, dari total luas daratan Indonesia terdapat sekitar 94,1 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian yang dianggap tidak akan mengganggu keseimbangan ekologis daerah aliran sungai, sedangkan yang sudah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 63,7 juta ha. Dengan demikian sektor

(37)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

24

pertanian masih optimis dapat melakukan perluasan areal pertanian sekitar 30,4 juta ha dengan 24 juta ha di antaranya merupakan lahan subur untuk persawahan, perkebunan dan pengembangan komoditas lain, sedangkan 6,4 juta ha lainnya merupakan sawah pasang surut, lebak, dan gambut yang masih memerlukan inovasi khusus. Di samping itu, hingga saat ini lahan pertanian terlantar jumlahnya cukup luas, yaitu sekitar 12,4 juta ha.

Data Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian di atas

memperlihatkan adanya tumpang tindih kawasan yang cukup luas. Senjang data ini akan semakin lebar bila perluasan areal pertanian diproyeksikan hingga tahun 2020. Data tersebut akan semakin membingungkan kalau sektor pengguna lahan lainnya seperti petambangan dan infrastruktur turut diperhitungkan. Oleh karena itu, keterpaduan antar sektor untuk menghasilkan data yang lebih akurat perlu mendapat prioritas penanganan agar berbagai kebijakan penggunaan lahan menjadi lebih tepat sasaran.

(38)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 25

2.3 Perumusan Masalah Deforestasi

dan Degradasi Hutan

 

Gambar 2.3. Kerangka perumusan masalah

Analisis permasalahan deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penerapan REDD+ bertujuan untuk menyediakan data, informasi dan pengetahuan mengenai fenomena atau gejala yang dianggap sebagai masalah deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat ditentukan alternatif-alternatif solusi bagi pengambilan keputusan. Proses ini penting dilakukan agar pengambil keputusan peka akan dua hal pokok, yaitu : 1) mengenal masalah yang dihadapi dan mampu merumuskannya, dan 2) mampu memilih dengan tepat alat bantu pengambilan keputusannya (Wallace, 1994).

(39)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

26

Dalam rangka penerapan REDD+, diagnosis atau perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan harus betul-betul dilakukan secara sistematis dan logis. Secara sederhana, perumusan masalah deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks REDD+ adalah sebagai berikut:

1. Persepsi masalah, merujuk pada kondisi hutan dan dampak-dampaknya, yaitu kerusakan hutan telah menyebabkan peningkatan emisi GRK yang signifikan.

2. Pernyataan masalah, merujuk pada persepsi masalah dan mengambil konteks kewilayahan bahwa Indonesia sebagai salah satu emiter GRK sekaligus sebagai penyerap berkomitmen menurunkan sumber-sumber emisi dan meningkatkan penyerapan karbon.

3. Struktur masalah, merujuk pada pernyataan masalah bahwa upaya penurunan sumber emisi berfokus pada penurunan tingkat kejadian deforestasi dan degradasi lahan. Dalam tahap ini, perlu dibuat kategori dari masalah deforestasi ini, yaitu sebagai berikut :

a. Keadaan atau fenomena yang ada yang memperlihatkan sebab langsung terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, yang dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

• Deforestasi yang terjadi melalui konversi terencana dan tidak terencana (perluasan perkebunan, pertambangan, perambahan, dan lain-lain), dan

• Degradasi hutan yang terjadi akibat ilegal logging dan kebakaran hutan.

b. Sedangkan penyebab utama (underlying causes) dari terjadinya fenomena penyebab deforestasi dan degradasi di atas adalah : • tata ruang yang lemah,

• unit manajemen yang tidak efektif, • tata kelola pemerintahan yang lemah, • dasar dan penegakan hukum yang lemah, dan • tenurial yang masih mengambang.

c. Kekuatan pendorong (driving force) merupakan kondisi makro yang mendorong terjadinya kegiatan langsung pada kejadian deforestasi dan degradasi hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah:

• belum patuhnya pengambil kebijakan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;

• permintaan (supply) akan kebutuhan yang harus didukung oleh sumber daya hutan, seperti kayu dan sawit pada tingkat global dan nasional melebihi kemampuan produksi dari pengelolaan hutan lestari;

(40)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 27

4. Lemahnya leadership. Pemecahan masalah, merujuk pada struktur masalah maka lokus dari masing-masing kategori masalah harus diketahui dan alat bantu untuk intervensi harus disesuaikan. Kerangka kerja DPSIR (driving

force – pressure – state – impact - respon), sebagaimana ditunjukkan Gambar

5 membantu melihat arah intervensi yang diperlukan.

Gambar 2.4. Kerangka kerja DPSIR (driving force – pressure – state – impact - respon)

Kerangka kerja ini memberikan arahan untuk strategi, bahwa strategi ini bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mewadahi seluruh kebutuhan tindakan atau intervensi pada semua tingkat dalam struktur masalah yang telah berhasil di susun. Jika tidak, maka strategi tersebut dapat dikatakan belum cukup terpadu atau komprehensif. Kerangka kerja ini juga mengarahkan kebutuhan intervensi pada lokus masalah sehingga pemilihan instrumennya dapat ditentukan dengan relevan.

(41)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

28

2.4 Penyebab Deforestasi dan

Degradasi Hutan

2.4.1 Perencanaan Tata Ruang yang Lemah

Rencana Tata Ruang disusun sebagai pedoman bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk pelaksanaan pembangunan jangka panjang sekaligus sebagai wadah kepentingan para pihak di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta maupun masyarakat dan bertujuan untuk mengoptimalkan ruang dengan tetap menjaga keseimbangan antara tujuan menaikkan tingkat pertumbuhan daerah, kebutuhan pembangunan dan daya dukung lingkungan (Siagian dan Komarudin, 2009).

Namun demikian, dalam prakteknya terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan instrumen RTRW tidak dapat secara memadai mewadahi berbagai kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan. Di beberapa daerah, dokumen RTRW bahkan menjadi dokumen yang menyebabkan deforestasi melalui konversi yang terencana. Persoalan ini muncul karena berbagai hal, terutama hal-hal berikut:

Perencanaan Pembangunan Sektoral Tidak Terpadu

Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan belum mampu menjadi dokumen yang secara independen mengintegrasikan berbagai

kepentingan sektoral. Saat ini masing-masing lembaga pada umumnya membuat rencana tahunan sendiri-sendiri dengan membuat alokasi sumber daya lahan terpisah. Demikian pula halnya dengan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan deforestasi pada areal-areal berhutan yang masih dalam kondisi baik.

Ketersediaan dan Akses Data dan Informasi Lemah

Ketersediaan dan akses pada data dan informasi spasial biofisik, maupun sosial ekonomi yang sahih dan akurat, masih terbatas. Umumnya perencana juga tidak menggunakan metodologi yang memberikan informasi kepada pengambil keputusan dengan pilihan-pilihan prioritas, termasuk isu karbon. Salah satu contoh akibat pengambilan keputusan tersebut adalah RTRW (baik kabupaten maupun provinsi) yang menetapkan kawasan-kawasan hutan yang telah terdegradasi tetap menjadi kawasan hutan, sedangkan kawasan hutan yang masih mempunyai hutan dengan kondisi sedang sampai bagus dimasukkan

(42)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 29

dalam rancangan dikonversi. Konversi hutan dengan kondisi demikian akan memberikan emisi yang sangat besar.

Partisipasi Dalam Perencanaan Lemah

Proses partisipasi dalam proses pembuatan rencana tata ruang wilayah tidak berjalan. Penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan, misalnya perambahan oleh masyarakat untuk pembukaan perkebunan, pertanian, pemukiman, pertambangan tanpa izin dan lain-lain. Hal ini merupakan cerminan umum dari tingkat kecakapan sosial (sociability) masyarakat, yang seringkali menyalurkan ketidakpuasan dengan cara-cara yang justru merugikan sumber daya hutan atau lingkungan.

2.4.2 Tenurial

Penyelesaian Konflik Lahan Tidak Tuntas

Lahan hutan dengan keragaman atas hak, status dan fungsinya telah menjadi suatu medan perebutan kepentingan yang pelik dan hingga saat ini masih belum terselesaikan. Konflik dan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan, dan tidak jarang justru menyebabkan tindakan-tindakan yang merusak. Asal-usul ketegangan ini terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangannya. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran kontrol terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap lahan dan sumber daya alam yang

disebabkan oleh ketidakjelasan hak-hak tenurial harus diselesaikan dengan usaha serius melalui strategi tindakan yang jelas.

Masyarakat Adat Tidak Memiliki Hak Formal

Dualisme hukum atas pengakuan hak ulayat masyarakat adat di kawasan hutan serta non-kawasan hutan menjadi salah satu permasalahan tenurial ini. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang

(43)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

30

menjadikan potensi mereka dalam mengawasi kawasan hutan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat hukum terkesan sangat sulit dan panjang. Pemicu lain terhadap meningkatnya konflik tenurial adalah batas kawasan hutan yang tidak jelas di lapangan, akibat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang tidak kunjung selesai.

Mata Pencaharian dan Kelangkaan Alternatif Sumber

Pendapatan

Keberadaan hutan biasanya memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap kelompok-kelompok masyarakat sekitar kawasan hutan. Banyak konsep yang menjelaskan mengenai masyarakat dan hutan, seperti sistem pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan masyarakat adat. Konsep-konsep tersebut pada dasarnya menjelaskan keterikatan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan lahan dan sumber daya alam yang ada serta dihasilkan dari hutan tersebut.

Dalam dua dekade terakhir, ketika kerusakan hutan sedang menjadi perhatian banyak pihak, keberadaan masyarakat sekitar hutan juga tidak terlepas di dalamnya. Keterkaitan masyarakat dengan deforestasi dan degradasi hutan sering menjadi pokok pembahasan. Hal ini dipicu oleh kenyataan bahwa budaya produksi atau mata pencaharian masyarakat di pedesaan biasanya berbasis pada pengelolaan lahan dan pemungutan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Dengan pertambahan penduduk yang pesat, kebutuhan terhadap lahan dan sumber daya alam ini juga akan semakin meningkat.

Pandangan terhadap kondisi di atas juga sangat beragam. Paling tidak terdapat dua perpektif besar yang menjadi sumber perbedaan, yaitu perspektif hak azasi manusia dan konservasi sumber daya alam. Kedua perspektif ini menganggap memiliki kepentingan fundamental, yang diperkuat oleh berbagai argumentasi, nilai-nilai dan situasi lapangan yang menjadi fakta-fakta penguatnya.

Untuk menghindari perdebatan mengenai hal ini maka perlu dibangun asumsi yang relatif dapat diterima, yaitu bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang memanfaatkan dan mengelola sumber daya secara langsung selalu berbuat sesuatu yang mereka anggap sebagai pilihan terbaik yang mereka bisa lakukan di antara pilihan-pilihan yang ada. Pada umumnya praktek pengelolaan masyarakat lokal berbasis pada prinsip berkelanjutan dan bijak secara ekologis. Bila tidak, mungkin pilihan-pilihan yang ada terkendala oleh banyak faktor yang tidak

(44)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 31

mampu mereka kendalikan, misalnya peningkatan kebutuhan dan standar hidup layak. Jika kondisi miskin pilihan ini terus berlanjut tanpa ada intervensi yang layak dari luar, kemungkinan munculnya perilaku perambahan dan penebangan kayu dari hutan akan semakin besar. Bahkan dalam kondisi sosial politik yang tidak normal yang berkombinasi dengan tingkat kecakapan sosial (sociability) masyarakat yang baru, mereka bisa menyalurkan protes melalui tindakan-tindakan perusakan3 sehingga kerusakan yang masif dapat terjadi kapan saja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka masalah sosial ekonomi masyarakat yang perlu dipecahkan dalam rangka pelaksanaan REDD+ ini adalah sebagai berikut : » Terbatasnya alternatif mata pencaharian dan sumber pendapatan masyarakat

lokal selain berbasis pengolahan lahan.

» Terbatasnya kepasitas masyarakat lokal dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif.

» Lemahnya akses terhadap pasar menyebabkan nilai dari hasil produksi masyarakat sangat rendah, di sisi lain kebutuhan dan gaya hidup terus meningkat.

» Melemahnya kelembagaan masyarakat lokal dan menurunnya kewibawaan nilai-nilai kearifan.

2.4.3 Unit Manajemen Hutan Tidak Efektif

Luas kawasan hutan Indonesia mencapai 132,399 juta ha (Baplan 2008), sekitar 15% merupakan hutan konservasi (HK), 22% hutan lindung (HL), 46% hutan produksi (HP) dan 17% hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Berdasarkan data satelit 2007, kawasan hutan yang masih berhutan hanya sekitar 92,328 juta ha dan yang sudah tidak berhutan sekitar 40,071 juta ha. Luas hutan yang dapat dikonversi (HPK) mencapai 22,7 juta ha, dan hanya 10,7 juta ha yang masih berhutan.

Pengelolaan hutan di hampir seluruh fungsi hutan dalam keadaan yang rentan. Kelemahan unit manajemen hutan terjadi di seluruh tingkatan, baik pada sistem pengelolaan hutan, organisasi pengelola hutan, maupun pada tingkat individu yang bekerja di sektor kehutanan pada berbagai fungsi hutan. Berbagai permasalahan unit manajemen hutan berdasarkan tingkatannya, dapat dijelaskan sebagai berikut:

3 Nogroho, H. Kata Pengantar, dalam Awang, S.A. 2005. Politik Kehutanan Masyarakat. Debut Press. Yogyakarta.

(45)

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

32

Sistem Pengelolaan Hutan Lemah

Permasalahan pada tingkat sistem pengelolaan meliputi kerangka peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung atau menghambat pencapaian tujuan pengelolaan lestari. Diawali dari lemahnya data dan informasi dalam penyusunan perencanaan telah menyebabkan pengelolaan hutan pada semua fungsi hutan menjadi tidak valid dan sulit mencapai predikat berkelanjutan. Proses penataan batas kawasan hutan, yang mampu menunjukkan di mana dan berapa luas kawasan hutan yang pasti secara legal maupun aktual diakui dan dihormati semua pihak, sampai saat ini belum mampu dilakukan. Kemudian, hampir seluruh hutan produksi dan hutan lindung di luar Jawa tidak jelas siapa penanggung jawabnya yang menyebabkan kawasan hutan menjadi open access dan memicu deforestasi dan degradasi, baik yang direncanakan maupun tidak.

1. Pengelolaan Hutan Produksi yang Lemah

Kondisi kawasan hutan produksi seluas 57,7 juta ha semakin menurun, sebagaimana dapat disimak dari pernyataan berikut (Purnama & Daryanto, 2006):

a. Hutan alam yang dibebani IUPHHK Hutan Alam/HPH dengan kondisi hutan yang relatif baik (Kategori I): 28,27 juta ha.

b. Hutan alam dengan kondisi hutan relatif “baik” , tapi open akses dan tidak dibebani hak pengelolaan (Kategori II): 12,98 juta ha.

c. Merupakan kawasan hutan rusak, dan open akses karena tidak ada pengelolanya (Kategori III): 7,14 juta ha.

d. Merupakan kawasan hutan rusak, tapi sudah di cadangkan untuk IUPHHK Hutan Tanaman (Kategori IV): 9,31 juta ha.

Di bidang pengusahaan hutan ini, dari jumlah 486 unit HPH di tahun 1992, yang masih bertahan sampai tahun 2007 sebanyak 115 unit atau hanya 24%, dengan berbagai sebab, baik kendala internal maupun eksternal.

Pengelolaan hutan alam produksi masih jauh dari kaidah dan prinsip-prinsip

Sustainable Forest Management (SFM). Para pelaku usaha di sektor kehutanan

lebih memikirkan aspek bisnis daripada kelestarian produksi. Teknik pemanenan tidak lagi memperhatikan kaidah penurunan dampak penebangan (Reduced

Impact Logging/RIL), pemanenan dilakukan melebihi jatah tebangan (over cutting), limbah dan derajat kerusakan hutan pada kawasan bekas tebangan (Log Over Area/LOA) sangat tinggi.

Gambar

Grafik 1. Gambaran opsi target pengurangan emisi melalui REDD+ dalam  target pengurangan emisi nasional
Gambar 2.1 Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dari beberapa sektor  dengan base year tahun 2000.
Gambar 2.2. Tingkat emisi referensi untuk setiap provinsi berdasarkan data historis laju deforestasi hutan dan gambut.
Tabel 2.2. Rekalkulasi tutupan lahan (juta ha).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Begitu juga hasil dari penelitian yang dilakukan Ramdhani (2017) menyatakan bahwa kinerja karyawan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas

Dengan adanya penelitian ini diharapkan para dosen akuntansi dapat memahami dan menerapkan mengenai kompetensi pedagogik dan profesionalisme dalam kegiatan belajar

Menurut sears, dkk (1994) prasangka adalah penilaian terhadap suatu kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu, penilaian

Stimuli atau profil produk atau disebut juga produk hipotetik adalah kombinasi dari taraf atribut yang satu dengan taraf atribut lainnya. Dalam penelitian ini

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola penggunaan antibiotika pada pasien GBS dengan infeksi yang paling banyak digunakan adalah pola antibiotika tunggal sebanyak 19

(2) Tunjangan yang dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini diberikan kepada Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi tidak cakap bekerja karena cacat fisik atau

Untuk 100% tandan kosong jedah waktu untuk mendapatkan flame berikutnya lebih lama hal ini diakibatkan oleh fluktuasi temperatur pada daerah pembakaran dan reduksi sangat tinggi

Laporan keuangan menunjukan hasil pertanggung jawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.Laporan keuangan berisikan informasi