• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)

Dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (Halaman 72-80)

STRATEGI NASIONAL REDD+

3.2 Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (Enabling Condition)

Strategi pemenuhan kondisi pemungkin bertujuan untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab dan kekuatan pendorong terjadinya kegiatan perusakan hutan sebagai sumber emisi. Beberapa kategori yang termasuk dalam srategi ini adalah sebagai berikut :

3.2.1 Program Reformasi Perencanaan

Pembangunan Sektor Penggunaan Lahan

Pembangunan ekonomi rendah karbon bagi Indonesia akan memerlukan beberapa proses penguatan, khususnya terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten memegang peran penting dalam mengintegrasikan RTRW tingkat desa, sampai nasional dan pengambilan keputusan pada tata guna lahan antar sektor. Penguatan perencanaan di tingkat kabupaten akan memberikan modal kuat untuk perbaikan perencanaan di tingkat di bawahnya yaitu kecamatan, desa, masyarakat, maupun di tingkat atasnya, yaitu provinsi dan nasional. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka program penguatan perencanaan ini terdiri dari beberapa kegiatan utama, yaitu sebagai berikut :

1. Reformasi Rencana Tata Ruang Wilayah, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Penyempurnaan data dan informasi spasial, terutama data biofisik dan sosial ekonomi, yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih, termasuk lahan gambut untuk bahan analisis kesesuaian peruntukan ruang.

b. Penyempurnaan mekanisme pengelolaan data spasial secara terpadu dan multi sektor, mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penentuan keputusan tata ruang di tingkat nasional maupun daerah. c. Pembentukan kelembagaan terpadu dan lintas sektoral untuk

pengelolaan data dan informasi spasial sebagai pusat dan penanggung jawab untuk pengumpulan, analisis, dan penyiapan rekomendasi perencanaan tata ruang.

d. Penundaan/moratorium izin termasuk izin perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan hutan sampai dengan terbangunnya data dan informasi yang sahih dan akurat mengenai kondisi kawasan hutan dan penggunaan lahan lainnya sebagai dasar untuk penetapan kebijakan baru yang lebih tepat

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

60

e. Penyempurnaan RTRW di beberapa provinsi dan kabupaten prioritas yang mempunyai potensi deforestasi dan degradasi tinggi.

f. Penetapan komponen sosial-budaya yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan ruang spasial bagi beragam kebutuhan sosial budaya.

g. Pembangunan mekanisme dan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan pusat.

2. Reformasi perencanaan di tingkat ‘land-use’

a. Penyusunan data dan informasi spasial penggunaan lahan dalam tingkat lanskap pulau, provinsi, kabupaten, dan desa yang berkualitas tinggi, transparan, dan sahih.

b. Pembangunan dan penetapan justifikasi penggunaan lahan dengan melakukan analisis kesesuaian peruntukan lahan berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya.

c. Perencanaan, penetapan dan pelaksanaan perlindungan terhadap kawasan-kawasan dengan nilai ekologis penting untuk dimantapkan sebagai kawasan-kawasan lindung yang saling dihubungkan dengan koridor-koridor alami atau semi alami.

d. Penetapan kawasan-kawasan pusat kegiatan ekonomi dan pemberian izin investasi yang patuh pada pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dalam kerangka konsep pembangunan ekonomi rendah karbon. e. Pembangunan mekanisme pemberian izin terkait penggunaan lahan

yang terpadu, sederhana dan efektif.

f. Pemasukan isu-isu pembangunan rendah karbon dalam

penyempurnaan rencana pembangunan di setiap tingkat melalui mekanisme yang sudah ada (musrenbang, musrenprop, musrenkab). g. Penetapan mekanisme perencanaan top down and bottom up dalam

pembangunan yang menggunakan sumber daya lahan. 3. Reformasi perencanaan di tingkat unit manajemen hutan

a. Percepatan pemantapan/pegukuhan kawasan hutan melalui proses-proses partisipatif sehingga kawasan hutan dapat mantap secara legal maupun aktual dan dihormati keberadaannya oleh semua pihak. b. Penguatan data dan informasi kondisi dan potensi hutan yang aktual,

sahih dan berkualitas tinggi sebagai basis untuk melakukan penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi serta perlindungan hutan dan konservasi alam.

c. Percepatan terbentuknya kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 61 d. Perencanaan, penetapan dan perlindungan kawasan-kawasan bernilai

konservasi tinggi pada Kawasan Hutan Pronduksi (KPHP), baik di hutan tanaman maupun di hutan alam.

e. Perencanaan, penetapan, dan perlindungan kawasan gambut pada kawasan hutan.

f. Perencanaan alokasi kawasan hutan untuk pembangunan hutan tanaman ditetapkan pada kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi. Rencana penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain yang diusulkan oleh daerah atau instansi sektoral di tingkat pusat dipertimbangkan pada kawasan hutan yang dalam kondisi terdeforestasi.

4. Reformasi perencanaan spasial dan non-spasial di tingkat desa

a. Penguatan data dan informasi spasial dan non-spasial di tingkat desa secara partipatif sebagai basis perencanaan pembangunan daerah dan nasional.

b. Penguatan rencana pembangunan desa secara partispatif dengan memperhatikan kesimbangan aspek pertumbuhan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan serta daya dukung lingkungan. c. Penguatan kelembagaan pemerintah desa.

3.2.2 Program Reformasi Dasar dan Penegakan

Hukum

Dalam rangka pelaksanaan REDD+ diperlukan dasar hukum yang kuat dan penegakannya secara konsisten. Untuk itu, kegiatan-kegiatan utama dalam program ini meliputi penyempurnaan dasar hukum dan penegakannya, yaitu sebagai berikut :

1. Reformasi kerangka hukum yang kuat, jelas, harmonis terkait pengelolaan sumber daya hutan dan sektor khususnya terkait REDD+ melalui:

a. Pembangunan prinsip-prinsip hukum yang mempertimbangkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan iklim atau juga disebut

climate friendly legal framework (CFLF), termasuk mempertimbangkan safeguard dalam instrumen REDD+ yang akan dikembangkan;

b. Pelaksanaan review seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya hutan berdasarkan prinsip-prinsip CFLF; c. Menyempurnakan Undang-undang Kehutanan yang diarahkan pada penguatan konservasi, perlindungan hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik, penguatan usaha kehutanan berbasis kayu hanya melalui pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan yang terlanjur terdeforestasi, pembatasan konversi hanya pada kawasan

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

62

hutan yang dalam kondisi terdeforestasi, peningkatan sanksi hukum terhadap pelanggaran peraturan, baik pelanggaran administratif maupun tindak pidana kehutanan, serta pengembangan mekanisme insentif untuk merangsang minat dan komitmen pelestarian hutan oleh pengelola maupun masyarakat.

d. Menetapkan luas dan letak kawasan hutan berdasarkan masing-masing fungsinya dengan menggunakan payung hukum yang kuat dalam hirarki hukum yang berlaku sebagai pengganti TGHK yang hanya dipayungi oleh peraturan menteri.

e. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan di sektor

penggunaan lahan lain (Undang-undang pertambangan, pertanian, dan tata ruang) agar menyebutkan secara eksplisit untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan deforestasi pada areal berhutan yang masih dalam kondisi baik sampai sedang, baik di dalam kawasan hutan maupun di areal penggunaan lain.

f. Pelaksanaan amandemen dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan lahan gambut di seluruh sektor (pertambangan, kehutanan, pertanian, infrastruktur, dan industri), antara lain dengan memasukan lahan gambut dalam kriteria penetapan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan, dan larangan membuka lahan gambut untuk pertambangan untuk menghindari peningkatan emisi GRK yang signifikan dari konversi lahan gambut. Perumusan tata cara pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat seluruh sektor sampai level implementasi.

g. Perumusan kerangka hukum yang tepat, jelas, dan harmonis tentang perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, dan

distribusi kewenangan pengelolaan yang jelas dan koordinatif, serta pendanaannya.

h. Penyempurnaan berbagai aturan teknis untuk meminimalisasi praktek mafia hukum dalam proses penegakan hukum, antara lain Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Pelapor, UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang agar memastikan terjadi mekanisme check and balances yang konstruktif serta memungkinkan mekanisme pembuktian terbalik bagi para pelaku korupsi serta perlindungan justice collaborators yang memadai.

2. Reformasi penegakan hukum terkait dengan sumber daya hutan, melalui : a. Penegakan hukum administratif secara tegas dan konsisten terhadap

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 63 HT/HA yang tidak melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan lestari dan kewajiban-kewajiban lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. b. Penegakan hukum secara tegas dan konsisten atas pelaku tindak pidana

kehutanan untuk menimbulkan kepastian hukum dan efek jera. c. Pembentukan jaksa dan polisi lingkungan satu atap (One Roof

Enforcement System / ORES) yang dipilih berdasarkan integritas dan

pengetahuan yang memadai mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu menjadi garda depan penerapan UU terkait untuk memberantas kejahatan kehutanan. d. Pembentukan hakim khusus yang akan memutuskan

kasus-kasus lingkungan termasuk kehutanan (Green Bench) yang dipilih berdasarkan integritas dan pemahaman yang prima atas paradigma pembangunan berkelanjutan termasuk penerapannya pada sektor kehutanan dengan renumerasi yang sesuai sehingga mampu memberi keadilan dan kepastian hukum di sektor pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

e. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum secara umum agar memahami berbagai aturan serta metode penyelidikan dan penyidikan yang dapat digunakan untuk memberantas kejahatan kehutanan. f. Pelaksanaan reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum, terutama

yang terkait dengan sektor kehutanan.

3.2.3 Program Penguatan Pemberdayaan Ekonomi

Lokal

Salah satu fenomena dari deforestasi hutan adalah deforestasi yang tidak terencana (unplaned deforestation). Selain disebabkan oleh lemahnya partisipasi, fenomena ini juga disebabkan oleh kelangkaan alternatif pendapatan dan lemahnya produktivitas serta akses masyarakat terhadap pasar. Dengan

pertimbangan-pertimbangan tersebut maka dalam rangka pelaksanaan REDD+ ini diperlukan kegiatan-kegiatan utama sebagai berikut :

1. Penciptaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan yang berbasis pada sumber daya lokal dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan sumber daya alam lokal.

2. Peningkatan nilai tambah terhadap proses dan hasil produksi masyarakat lokal yang bermanfaat sebagai tambahan pendapatan masyarakat lokal. 3. Pengembangan teknologi lokal dan penerapan teknologi serapan tepat guna

untuk meningkatkan nilai produksi masyarakat.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

64

masyarakat lokal untuk memperkuat kegiatan ekonomi rakyat. 5. Menciptakan dan melancarkan proses pemasaran yang lebih

menguntungkan bagi masyarakat lokal sekitar hutan.

6. Pemberian insentif kebijakan kepada kelompok-kelompok masyarakat lokal di kawasan penyangga untuk memacu partisipasi kelompok-kelompok masyarakat lokal bersifat proaktif dalam pelestarian hutan.

3.2.4 Program Pelibatan Pemangku Kepentingan

Dalam pelaksanaan REDD+ setidaknya terdapat dua kelompok pemangku kepentingan yang akan menentukan kesuksesan di lapangan, yaitu:

1. Para pihak di tingkat nasional, yang terdiri dari pemerintah pusat, swasta nasional, perguruan tinggi nasional, organisasi non-pemerintah di tingkat nasional, dan lain-lain.

2. Para pihak di tingkat sub-nasional, yang terdiri dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, unit manajemen pengelola hutan, perguruan tinggi setempat, organisasi masayarakat lokal, dan lain-lain-lain.

Dengan memperhatikan potensi kompleksitas akibat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan REDD+, sejak awal perlu dirancang mengenai format pelibatan para pemangku kepentingan tersebut. Dalam penerapan REDD+, bentuk kerja sama atau kemiteraan diarahkan untuk empat tipe kemiteraan, yang sebelumnya didahului dengan penyusunan Free,

Prior Informed Concent (FPIC) dan komitmen pelibatan kaum perempuan mulai

dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Kegiatan-kgeiatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kesadaran, kesepahaman dan dukungan para pihak terhadap pelaksanaan REDD+.

2. Peningkatan peran pemangku kepentingan dalam perancangan dan pemecahan masalah, termasuk kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, dan perempuan.

3. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanan REDD+ di tingkat tapak melalui berbagai bentuk kerja sama sebagai berikut :

a. Kerja sama Kontributif (Contributory Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnnya support sharing di mana kontributor menyepakati usulan dan memutuskan untuk menyalurkan dana pada program atau proyek REDD+. Kontributor dapat sebagai pemerintah, swasta, atau lainnya. b. Pembangunan Kerja sama Operational (Operational Partnership), yaitu

kerja sama yang sifatnya working sharing di mana para pihak yang terdiri dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 65 bersepakat bekerja sama dan bertukar sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan REDD+.

c. Pembangunan Kerja sama Konsultatif (Consultatif Partnership), yaitu kerja sama yang sifatnya advisory di mana pihak-pihak tertentu yang dianggap berkompeten memberikan masukan kebijakan, strategi, rancangan, evaluasi dan penyesuaian untuk melancarkan pelaksanaan REDD+ di Indonesia.

d. Pembangunan Kerja sama Kolaboratif (Collaboratif Partnership), yaitu kerja sama dalam decision making process, di mana para pihak bekerja sama dalam perumusan kebijakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan penyesuaiaan pelaksanaan REDD+ dengan kewenangan, pemilikan, dan risiko dalam rangka dibagi bersama.

3.2.5 Program Penguatan Tata Kelola

Program penguatan tata kelola, terkait dengan seluruh program dan kegiatan-kegiatan turunan pada strategi pemenuhan kondisi pemungkin. Oleh karena itu, seluruh kegiatan dalam program reformasi perencanaan sektor penggunaan lahan, reformasi dasar dan penegakan hukum, penguatan pemberdayaan ekonomi lokal di kawasan penyangga hutan, serta pelibatan pemangku kepentingan harus mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good

governance). Program tata kelola secara khusus dibangun untuk memastikan

bahwa transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas diperkuat sehingga meningkatkan jaminan bahwa keputusan diambil berdasarkan kepentingan publik dengan menghindari conflict of interest serta berdasarkan atas informasi yang sahih dan akurat. Untuk itu program tata kelola akan mengarah secara khusus pada:

1. Peningkatan transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas dalam (a) proses pembuatan peraturan perundang-undangan, (b) proses pengambilan kebijakan, serta (c) proses pemberian izin di sektor kehutanan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan mengatur secara eksplisit peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme partisipasi yang bersifat operasional serta kewajiban akuntabilitas pengambil keputusan atas keputusan yang diambil dalam peraturan perundang-undangan terkait. 2. Peningkatan ruang transparansi dan partisipasi secara khusus pada

kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people) dengan fokus pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak.

3. Peningkatan pemahaman pengambil keputusan (decision makers) di tingkat nasional dan sub-nasional akan peran penting pelibatan pemangku

Draft 1 Strategi Nasional REDD+

66

kepentingan agar keputusan yang diambil lebih obyektif dan berkualitas karena didasarkan atas informasi yang memadai serta meminimalisasi

conflict of interest dalam pengambilan kebijakan.

4. Peningkatan kapasitas masyarakat terutama kelompok yang potensial terkena dampak (potentially affected people), khususnya pada kelompok rentan seperti masyarakat adat, orang miskin, perempuan dan anak untuk (i) memahami informasi yang ada serta (ii) dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan.

5. Dalam konteks mendorong transparansi dan memastikan adanya informasi yang akurat sebagai bahan untuk berpartisipasi, diperlukan adanya program untuk memastikan implementasi secara konsisten UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama pada instansi pemerintah di sektor terkait, yaitu kehutanan, pertanian, energi, pekerjaan umum, dan lain-lain melalui upaya peningkatan kapasitas badan publik terkait untuk memenuhi kewajiban sesuai UU dimaksud.

6. Menyediakan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk mewadahi berbagai perbedaan pandangan dan kepentingan dalam proses pelibatan pemangku kepentingan.

Draft 1 Strategi Nasional REDD+ 67

3.3 Strategi Reformasi Pembangunan

Dalam dokumen Strategi Nasional REDD+ (Halaman 72-80)

Dokumen terkait