BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Religiusitas dan Spiritualitas
1. Definisi Religiusitas
Religiusitas memiliki dasar kata religiyang merujuk pada ikatan antara
manusia dengan kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari manusia; religio
(Hill et al., 2000). Hill et al. mengajukan 3 kriteria untuk mendefinisikan
religi yaitu:
a. Perasaan, pemikiran, pengalaman dan tingkah laku yang muncul dari
pencarian terhadap yang-kudus (the sacred). Istilah pencarian
mengarah pada usaha untuk mengidentifikasi, mengungkapkan,
memelihara dan mentransformasikan. Istilah yang-kudus (the sacred)
mengarah pada keberadaan bersifat-ketuhanan (divine being, divine
object), realitas hakiki/akhir (ultimate reality) atau kebenaran
hakiki/akhir (ultimate truth), tergantung pada apa yang dirasakan
seseorang.
b. Pencarian terhadap tujuan selain-yang-kudus (non-sacred goals)
dilakukan dalam konteks di mana mereka memiliki tujuan utama
sebagai fasilitas yang mengarah pada kriteria a.
c. Metode-metode dan cara-cara (misalnya ritual) yang divalidasi dan
didukung oleh sekelompok orang yang dapat diidentifikasi
(identifiable group of people).
Kata kunci dari 3 kriteria definisi tersebut adalah proses pencarian,
yang-kudus, selain-yang-kudus dan tingkatan sejauhmana proses pencarian
didukung oleh sebuah komunitas.
Definisi religi yang dikembangkan Hill et al. mendapatkan kritik dari
Hufford (2009). Pertimbangan utama kritik tersebut adalah tidak adanya
analisis leksikal yang dilakukan dalam proses penentuan definisi sehingga
terlalu banyak deskripsi yang dimasukkan ke dalamnya, mengakibatkan
timbulnya bias dan konsep yang abstrak saat definisi itu dioperasionalkan.
Definisi tersebut bahkan tidak mampu mengatasi adanya tumpang tindih
antara area religi atau religiusitas dengan area spiritualitas. Hufford (2009)
kemudian mengusulkan definisi religi sebagai aspek institusional dan
komunal dari spiritualitas yang merupakan pusat dari religi.
Koentjaraningrat (2004) mendefinisikan religi sebagai suatu sistem
yang terdiri dari 4 komponen, yaitu
a. Emosi keagamaan, merupakan penyebab manusia bersikap religius.
Emosi ini berupa suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia dan
merupakan proses yang terjadi apabila jiwa manusia dirasuki cahaya
b. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan dan bayangan
manusia mengenai sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib,
segala nilai norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
c. Sistem ritus dan upacara, merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa dan mahkluk halus yang
mendiami alam gaib.
d. Kesatuan sosial (umat) yang menganut sistem keyakinan tersebut
dalam komponen b dan melaksanakan sistem ritus tersebut dalam
komponen c.
Religi menurut Koentjaraningrat merupakan bagian dari kebudayaan di
mana sistem religi merupakan agama (religi), hanya bagi penganutnya.
Whitehead (2009) menjelaskan beberapa definisi religi yang dilihat
dari beberapa sudut pandang :
a. Definisi religi dari sudut pandang doktrin adalah sistem-sistem
kebenaran umum yang memiliki kekuatan untuk membentuk karakter,
asalkan kebenaran-kebenaran itu dianut secara tulus dan
sungguh-sungguh dihayati.
b. Definisi religi dari sudut pandang iman kepercayaan adalah kekuatan
imani yang menyucikan kehidupan, menekankan ketulus-ikhlasan.
c. Definisi religi dari sudut pandang nilai hakiki/akhir (ultimate value)
adalah kiat dan teori tentang kehidupan batiniah manusia, sehingga
d. Definisi religi dari sudut pandang proses adalah apa yang dilakukan
manusia dalam kesendiriannya, di mana religi bertransisi dari “Tuhan Sang Suwung”, memperlihatkan perasaan ditinggalkan bahkan oleh Tuhan sendiri, menjadi “Tuhan Sang Musuh”, memperlihatkan
perasaan ketakutan akan kekuatan Tuhan yang dapat menghancurkan
manusia, akhirnya bertransisi lagi menjadi “Tuhan Sang Sahabat”, yang merupakan konsep paling matang dalam perkembangan religi
dalam pandangan Whitehead. Konsep “Tuhan Sang Sahabat” (God is the great companion-a fellow sufferer who understands) menjelaskan
bahwa Tuhan memiliki sifat dwi-kutub, di mana Tuhan adalah muara
bagi semua pengalaman dari seluruh keberadaan (memiliki consequent
nature) atau tempat curahan hati bagi para sahabat-Nya, sekaligus
sebagai pola bagi dan informasi nilai untuk setiap keberadaan
(memiliki primordial nature).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menyebutkan definisi agama
(religi) sebagai kepercayaan kepada Tuhan (dewa dsb) dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
itu. KBBI (1988) menyebutkan definisi religius sebagai ketaatan pada
agama; saleh.
Webster’s Online Dictionary (2010) mendefinisikan religi (religion)
a. Bentuk luar atau tindakan yang mengindikasikan adanya kesadaran
manusia mengenai keberadaan transenden dan perasaan cinta, takut
atau kagum terhadap keberadaan transenden.
b. Konformitas iman dan prakteknya.
c. Golongan religius yang memiliki tata kehidupan tertentu.
d. Ketaatan yang ketat terhadap konformitas.
Webster’s Online Dictionary (2010) menyebutkan definisi religius (religious) sebagai:
a. Berhubungan dengan religi.
b. Memiliki atau sesuai dengan religi
c. Keimanan yang kuat, ketat
d. Termasuk dalam golongan religius tertentu
Webster’s Online Dictionary (2010) menyebutkan definisi religiusitas
(religiosity/religiousness) sebagai kualitas religius seseorang; perasaan
religius.
Wikipedia (2010) mendefinisikan religiusitas
(religiosity/religiousness) sebagai istilah sosiologis yang merujuk pada
aspek-aspek aktivitas religius atau seberapa religiuskah seseorang dalam
mempraktekkan ritual atau menerima doktrin tertentu.
Fetzer Institute/NIA (2003) dalam laporannya menyebutkan bahwa
meskipun beberapa ahli menyadari variabel religiusitas dan variabel
spiritualitas sebagai tak-terpisahkan, ahli-ahli lain berpendapat religiusitas
(hanya dimiliki oleh salah satu golongan keagamaan) tertentu yang
dimiliki-merata (shared) di dalam kelompok.
Mangunwijaya (1999) medefinisikan religiusitas sebagai sikap
penghayatan religius yang menghasilkan keselarasan dan keseimbangan
hidup kerohanian manusia. Religiusitas tidak dapat dihilangkan dari
manusia (bahkan dari manusia ateis sekalipun) dan tidak identik dengan
religi dan agama tertentu. Religiusitas saling terkait namun tidak identik
dengan penghayatan agama. Religiusitas menitik beratkan pada segi intim,
pribadi, lebih berperhatian pada esensi, hidup kalbu, lubuk hati yang
menjadi sumber dan akar dari sikap dasar seseorang dalam hubungannya
dengan Tuhan dan sesama, sedangkan penghayatan agama lebih menitik
beratkan pada segi luar, aspek peraturan, hukum, organisasi, hubungan
sosial antar-penganutnya, ritual dan formal.
Berdasarkan definisi-definisi religi, religius dan religiusitas tersebut
sebelumnya, definisi religiusitas setidaknya memiliki unsur sebagai
berikut :
a. Tingkat ketaatan atau tingkat penghayatan (KBBI, 1988; Wikipedia,
2010; Webster’s Online Dictionary, 2010; Mangunwijaya, 1999) b. Aspek luar dari religi, yaitu aspek di luar hubungan pribadi dengan
yang-kudus, antara lain sistem, peraturan, hukum, institusi, organisasi,
denominasional, sosial, behavioral, simbol, doktrinal, kepercayaan
bersama, konformitas, tujuan selain yang-kudus (non-sacred goals)
2009; KBBI, 1988; Webster’s Online Dictionary, 2010; Wikipedia, 2010; Fetzer Institute/NIA, 2003; Mangunwijaya, 1999).
c. Aspek intim dari religi, yaitu hubungan pribadi dengan yang-kudus,
antara lain emosi keagamaan, yang dilakukan manusia dalam
kesendiriannya, spiritualitas, pencarian terhadap yang-kudus (the
sacred). (Hill et al., 2000; Hufford, 2009; Koentjaraningrat, 2004;
Whitehead, 2009; Webster’s Online Dictionary, 2010; Mangunwijaya, 1999).
d. Metode yang divalidasi dan didukung golongan atau komunitas. (Hill
et al., 2000; Koentjaraningrat, 2004)
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, definisi religiusitas disimpulkan
sebagai tingkat ketaatan atau tingkat penghayatan seseorang terhadap
aspek luar dan intim dari religinya dengan menggunakan metode-metode
yang divalidasi oleh komunitas religinya.