• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekomposisi Kemiskinan

Sebagaimana dijelaskan di bagian metodologi, perubahan kemiskinan di antara dua tahun dapat dijelaskan dengan dekomposisi kemiskinan. Efek pertumbuhan dan efek distribusi sebagai hasil dekomposisi kemiskinan dapat memiliki tanda positif yang berarti memiliki efek meningkatkan kemiskinan maupun negatif yang berarti memiliki efek menurunkan kemiskinan.

Pencapaian pembangunan berdasarkan efek pertumbuhan dan efek distribusi selama pelaksanaan RPJM tahun 2005-2009 menunjukkan adanya perbaikan. Strategi pembangunan ekonomi yang dikenal dengan ‘triple tracks strategy’ pembangunan,

yaitu pro growth, pro job dan pro poor menunjukkan hasil yang positif terutama dalam hal pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan dan distribusi yang pada awalnya (2005-2006) memiliki efek meningkatkan kemiskinan, namun pada periode akhir 2008-2009 keduanya memiliki efek menurunkan kemiskinan.

Pertumbuhan pendapatan dan proses redistribusi pendapatan secara nasional keduanya memiliki efek meningkatkan kemiskinan (Gambar 12). Peningkatan harga BBM dan kenaikan harga beras akibat larangan impor beras yang terjadi selama tahun 2005-2006 berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan yang dirasakan oleh pihak-pihak tertentu saja, sehingga redistribusi tidak berjalan dengan baik. Akibatnya pertumbuhan pendapatan maupun distribusinya memberikan dampak terhadap peningkatan kemiskinan pada periode ini. Selain itu program penanggulangan kemiskinan yang berbasis masyarakat di berbagai sektor, seperti PPK, P2KP, P2MPD, WSSLIC, KAPEL, dan lain-lain, hingga akhir tahun 2006 masih dilaksanakan secara parsial sehingga kurang efektif dalam mengentaskan kemiskinan (Royat, 2008).

Gambar 11. Efek Pertumbuhan, Efek Distribusi dan net effect Pengurangan Kemiskinan Periode 2005-2006 hingga 2008-2009

Pertumbuhan pendapatan pada periode 2006-2008 memiliki efek menurunkan kemiskinan, akan tetapi efek tersebut terhambat oleh redistribusi yang tidak berjalan dengan baik, sehingga memiliki efek meningkatkan kemiskinan. Net effect

75

persen dan 1,79 persen. Tekanan krisis global, kenaikan harga BBM dan inflasi diduga turut memengaruhi kondisi tersebut. Keadaan mulai membaik pada periode 2008-2009, dimana pertumbuhan pendapatan maupun redistribusinya memiliki efek menurunkan kemiskinan, dengan net effect sebesar 1,73 persen. Konsolidasi program pengentasan kemiskinan berbasis masyarakat yang dilaksanakan sejak tahun 2007, secara bertahap mengintegrasikan program-program pengentasan kemiskinan lintas sektoral sehingga program tersebut lebih efektif. Integrasi tersebut lebih melibatkan partisipasi masyarakat, memiliki efektifitas yang lebih dalam pengentasan kemiskinan. Proses redistribudi pendapatan yang masih menghambat efek pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan di awal pelaksanaan integrasi program, akan tetapi pada periode akhir RPJM 2005-2009 mengalami perbaikan dengan memberikan efek dalam mengurangi kemiskinan.

Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2005-2006

Pembahasan dekomposisi kemiskinan pada periode ini dan periode 2006- 2007, hanya membahas efek pertumbuhan dan efek distribusi di 30 provinsi saja. Susenas tahun 2005 dan 2006 tidak dilaksanakan di NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat sehingga tidak dimasukkan dalam pembahasan.

Pada periode ini, pertumbuhan pendapatan maupun distribusinya di sebagian besar provinsi memberikan dampak pada peningkatan kemiskinan. Hanya provinsi Kepulauan Riau dari 30 provinsi yang pertumbuhan pendapatan dan distribusinya memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Meskipun peningkatan harga BBM dan harga bahan pokok khususnya beras terjadi dalam kurun 2005-2006, inflasi di Kepulauan Riau berjalan cukup stabil, demikian juga dengan indikator perekonomian lainnya seperti pertumbuhan dan investasi (BI, 2005-2006). Pertumbuhan pendapatan memiliki dampak dalam mengurangi kemiskinan di provinsi Kalimantan Timur, Maluku dan Maluku Utara. Sedangkan redistribusi pendapatan yang memberikan efek dalam mengurangi kemiskinan terjadi di 12 provinsi yang sebagian besar berada di luar Jawa. Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan perekonomian di Indonesia merasakan dampak negatif yang lebih besar dari peningkatan harga BBM dan harga

beras selama tahun 2005-2006. Berbagai program pengentasan kemiskinan sebagai upaya redistribusi pendapatan memberikan efek yang lebih baik di daerah luar pulau Jawa. Berdasarkan net effect, hanya 4 provinsi yang mengalami penurunan kemiskinan yaitu Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua. Peningkatan output di sektor pertambangan dan penggalian menjadi penggerak pertumbuhan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Papua, sedangkan investasi menjadi penggerak pertumbuhan di Kepulauan Riau setidaknya berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan (BI, 2005-2006). Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2005-2006 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 13.

Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2006-2007

Peningkatan pendapatan pada periode 2006-2007 ini secara nasional memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan sebesar 4,89 persen. Akan tetapi redistribusi pendapatan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya mengurangi efek pertumbuhan terhadap kemiskinan, sehingga efek total (net effect) mengurangi kemiskinan hanya sebesar 2,71 persen. Hampir setengah dari keseluruhan provinsi yang dianalisa memiliki efek total dalam mengurangi kemiskinan dengan besaran yang lebih kecil dari efek pertumbuhan. Meskipun demikian, kondisi ini secara keseluruhan lebih baik dari periode sebelumnya baik dari sisi efek pertumbuhan pendapatan maupun efek distribusinya. Berbagai upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan mulai menampakkan hasil, meskipun belum sepenuhnya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Pada periode ini (tahun 2007) konsolidasi berbagai program pengentasan kemiskinan antar sektor juga mulai terintegrasi, dengan meneruskan program sebelumnya secara lebih terintegrasi sehingga lebih tepat dalam mengurangi kemiskinan.

Kepulauan Riau masih memiliki pencapaian yang bagus hingga periode ini, dimana baik pertumbuhan maupun distribusi pendapatan memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Investasi yang semakin tinggi di Kepulauan Riau dengan ditetapkannya Batam, Bintan dan Karimun sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ) serta laju inflasi yang cukup stabil diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

77

distribusi pendapatan dalam mengentaskan kemiskinan. Provinsi Sulawesi Utara mengalami perbaikan pada pertumbuhan pendapatannya yang memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Peningkatan kinerja sektor pertanian dan bangunan yag padat karya diduga berpengaruh didalamnya (BI, 2006-2007). Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo bahkan mengalami perbaikan di kedua sisi yang semula memiliki efek yang positif dalam meningkatkan kemiskinan, maka pada periode ini memiliki efek yang negatif. Peningkatan investasi di Gorontalo dan peningkatan kinerja sektor pertambangan dan penggalian di Sulawesi Tengah setidaknya berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan (BI, 2006-2007). Sedangkan provinsi Maluku mencapai perbaikan distribusi pendapatan sehingga baik pertumbuhan pendapatan maupun distribusinya memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan.

Provinsi Sumatera Barat, Jambi, DIY, NTB, Kalimantan Timur dan Maluku Utara memiliki pertumbuhan pendapatan yang berpotensi dalam meningkatkan kemiskinan. Sedangkan redistribusi pendapatan yang memiliki efek dalam menurunkan kemiskinan tidak mampu meng-off set efek pertumbuhan, sehingga masih memiliki net effect positif dalam meningkatkan kemiskinan. Bahkan di provinsi Sumatera Barat, redistribusi pendapatan juga memiliki efek dalam meningkatkan kemiskinan. Peningkatan kinerja sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian Sumatera Barat yang diikuti oleh peningkatan kinerja di seluruh sektor, serta gempa yang melanda beberapa daerah pada awal 2007, baik langsung maupun tak langsung berpengaruh terhadap distribusi pendapatan (BI, 2006-2007). Hanya di provinsi NTB redistribusi mampu meng-off set efek pertumbuhan sehingga memiliki net effect yang mengurangi kemiskinan. Penurunan yang sempat dialami sektor pertambangan dan penggalian serta peningkatan kinerja sektor pertanian yang keduanya sebagai penggerak perekonomian NTB diduga sebagai penyebabnya (BI, 2006-2007). Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2006-2007 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 14.

Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2007-2008

Pembahasan dekomposisi kemiskinan pada periode ini dan periode 2008- 2009, telah membahas efek pertumbuhan dan efek distribusi di 33 provinsi di Indonesia termasuk provinsi NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat yang sebelumnya tidak dimasukkan dalam pembahasan.

Efek pertumbuhan pendapatan dalam mengurangi kemiskinan pada periode ini, terhambat oleh efek distribusi yang meningkatkan kemiskinan. Akan tetapi efek distribusi ini jauh lebih kecil dalam meningkatkan kemiskinan dibandingkan sebelumnya, sehingga net effect mengindikasikan penurunan kemiskinan. Hampir setengah dari seluruh provinsi di Indonesia, distribusi pendapatan memiliki efek dalam meningkatkan kemiskinan. Bahkan berdasarkan net effect dari keseluruhan provinsi, terdapat 2 provinsi yang menunjukkan peningkatan kemiskinan yaitu Kepulauan Riau dan Papua Barat. Kedua provinsi baru hasil pemekaran wilayah ini memiliki pertumbuhan pendapatan yang meningkatkan kemiskinan. Inflasi dan pelarian modal keluar (capital outflow) yang cukup besar terjadi di Kepulauan Riau pada tahun 2008. Sedangkan inflasi yang tinggi di Papua Barat menjadi penyebab tingginya kemiskinan meskipun sektor perekonomian menjadi penggerak perekonomiannya. Meskipun demikian, pengintegrasian program pengentasan kemiskinan menunjukkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Banten, NTT, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara memiliki efek pertumbuhan dan efek distribusi dalam mengurangi kemiskinan. Temuan penting bahwa provinsi yang pada periode 2006-2007 telah memiliki efek yang bagus dalam mengurangi kemiskinan baik dari pertumbuhan maupun distribusinya, ternyata tidak menjamin akan mencapai hal yang sama pada periode ini. Walaupun secara jumlah, provinsi yang memiliki efek pertumbuhan dan efek distribusi dalam mengurangi kemiskinan lebih banyak pada periode ini, akan tetapi provinsi tersebut berbeda dengan periode sebelumnya. Hal ini mengindikasikan program pengentasan kemiskinan tersebut masih ada yang kurang tepat dalam pelaksanaannya, seperti belum memasukkan karakteristik daerah

79

dalam penerapannya. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2007-2008 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 15.

Dekomposisi Kemiskinan Tingkat Provinsi Periode 2008-2009

Pada periode ini, baik pertumbuhan pandapatan maupun redistribusinya secara nasional memiliki efek dalam mengurangi kemiskinan. Net effect di seluruh provinsi menunjukkan adanya pengurangan kemiskinan. Meskipun pertumbuhan pendapatan menunjukkan efek dalam meningkatkan kemiskinan, akan tetapi efek ini mampu di-

off set oleh redistribusi yang berjalan dengan baik sehingga memiliki net effect

mengurangi kemiskinan.

Provinsi Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku dan Papua memiliki pertumbuhan yang berdampak pada peningkatan kemiskinan. Tetapi redistribusi berjalan dengan baik sehingga memiliki net effect

mengurangi kemiskinan. Sebaliknya Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara memiliki pertumbuhan yang berdampak pada pengurangan kemiskinan. Meskipun redistribusi berjalan kurang baik, akan tetapi efek dalam meningkatkan kemiskinan masih lebih kecil dibandingkan efek pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan, sehingga masih memiliki net effect mengurangi kemiskinan. Efek pertumbuhan dan efek distribusi periode 2008-2009 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 16.

5.2 Poverty Growth Equivalent Rate (PEGR)

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab metodologi, PEGR merupakan suatu metode penghitungan yang tidak hanya mampu menjelaskan pengaruh pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga derajat manfaat pertumbuhan ekonomi yang diperoleh penduduk miskin dari proses pertumbuhan tersebut. PEGR bernilai negatif disebut pertumbuhan ekonomi tergolong anti pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk tidak miskin. Nilai PEGR positif tapi lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi aktual disebut pertumbuhan

ekonomi tergolong belum pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan ekonomi juga dinikmati penduduk miskin namun manfaat yang diterima penduduk miskin lebih sedikit dibanding manfaat yang diterima penduduk tidak miskin. Nilai PEGR lebih besar dari tingkat pertumbuhan aktual pendapatan riil disebut pertumbuhan ekonomi tergolong pro poor growth yang berarti penduduk miskin memperoleh manfaat pertumbuhan lebih banyak dibanding penduduk tidak miskin.

Berdasarkan data Susenas Panel Konsumsi tahun 2005 hingga 2009, secara umum pertumbuhan ekonomi periode 2005-2006 tergolong anti pro poor growth. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk tidak miskin saja dan penduduk miskin tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraannya supaya keluar dari kondisi miskin. Nilai PEGR periode 2006-2007 menunjukkan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat bagi penduduk miskin meskipun tidak sebesar manfaat yang diterima oleh penduduk tidak miskin. Sedangkan nilai PEGR periode 2007-2008 dan 2008-2009 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi telah pro poor growth yang berarti penduduk miskin menerima manfaat pertumbuhan yang lebih banyak dibandingkan penduduk yang tidak miskin.

Gambar 12. Nilai PEGR dan Growth Nasional Periode 2005-2006 hingga 2008-2009 Fenomena pencapaian pembangunan selama RPJM 2005-2009 yang terefleksi dalam nilai PEGR tersebut, menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan lebih optimal dalam pelaksanaannya daripada sebelumnya. Konsolidasi

81

program pengentasan kemiskinan dilaksanakan bertahap sejak tahun 2007, dimana tahun 2007 hanya meneruskan program yang sudah berjalan secara lebih terkoordinasi. Tahun 2008 konsolidasi tidak hanya mengintegrasikan program yang sudah ada, akan tetapi juga program pengentasan kemiskinan yang lain di berbagai kementrian/lembaga. Selain itu memberikan kesempatan yang lebih kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Misalnya cakupan wilayah dalam PNPM Mandiri yang semakin luas menunjukkan jangkauan program tersebut juga lebih tepat sasaran, dimana tahun 2007 mencakup 2827 kecamatan, tahun 2008 mencakup 3800 kecamatan dan tahun 2009 mencakup seluruh kecamatan sebanyak 5263 kecamatan.

PEGR Tingkat Provinsi Periode 2005-2006

Seperti halnya ketika menganalisa dekomposisi kemiskinan Shapley, maka dalam analisa nilai PEGR ini hanya memasukkan 30 provinsi pada periode 2005- 2006 dan 2006-2007 karena keterbatasan data. Provinsi tersebut tidak termasuk NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pertumbuhan ekonomi periode ini termasuk anti pro poor growth yang juga terjadi di hampir keseluruhan provinsi, kecuali Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi tersebut memiliki nilai PEGR positif dan melebihi nilai pertumbuhan aktualnya sehingga bersifat pro poor growth yang berarti penduduk miskin mendapatkan manfaat pertumbuhan yang lebih daripada penduduk tidak miskin. Dekomposisi kemiskinan dari ketiga provinsi ini menunjukkan nilai net effect yang negatif, yang berarti memiliki dampak dalam mengurangi kemiskinan. Kepulauan Riau memiliki pertumbuhan yang mampu mengurangi kemiskinan sekaligus proses redistribusi yang berjalan dengan baik, sehingga memperkuat dampak pertumbuhan tersebut dalam mengentaskan kemiskinan. Peningkatan investasi yang diikuti bertambahnya lapangan kerja diduga berpengaruh terhadap manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin (BI, 2005-2006). Redistribusi pendapatan di Kalimantan Barat berjalan dengan baik sehingga mampu meng-off set efek pertumbuhan, sehingga net

effect mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang positif dengan inflasi yang stabil dan berada di bawah angka nasional membantu dalam proses redistribusi pendapatan di Kalimantan Barat. Sebaliknya ketimpangan distribusi pendapatan di provinsi Kalimantan Timur mengurangi kemampuan pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan. Peningkatan kinerja sektor pertambangan dan penggalian khususnya minyak dan gas diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan di Kalimantan Timur meskipun meningkatkan ketimpangan (BI, 2005-2006).

Terlihat karakteristik yang berbeda dari ketiga provinsi dalam hal pengurangan kemiskinan melalui pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pengurangan kemiskinan dapat dilakukan di provinsi Kepulauan Riau karena pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan, akan tetapi di provinsi lainnya karena pencapaian pertumbuhan yang tinggi atau redistribusi yang berjalan dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa karakteristik yang berbeda antar daerah turut memberikan andil dalam keberhasilan pengentasan kemiskinan. Nilai PEGR periode 2005-2006 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 17.

PEGR Tingkat Provinsi Periode 2006-2007

Nilai PEGR di tingkat nasional pada periode ini menunjukkan belum bersifat

pro poor growth, yang berarti manfaat pertumbuhan yang dirasakan oleh penduduk

miskin lebih sedikit daripada manfaat yang dirasakan oleh penduduk tidak miskin. Pada periode ini, 15 provinsi dari 27 provinsi mengalami perbaikan dibandingkan periode 2005-2006 meskipun pertumbuhan yang dicapai belum bersifat pro poor

growth. Artinya dampak pertumbuhan pada periode ini telah dirasakan manfaatnya

oleh penduduk miskin meskipun tidak sebesar penduduk tidak miskin. Bahkan pertumbuhan di provinsi Kepulauan Riau, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Maluku telah bersifat pro poor growth.

Berdasarkan dekomposisi kemiskinan, empat provinsi (kecuali NTB) menunjukkan bahwa efek pertumbuhan dan efek distribusi mengurangi kemiskinan. Sebaliknya pada periode ini pertumbuhan di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menjadi anti pro poor growth walaupun sebelumnya telah

83

mencapai pertumbuhan yang pro poor growth. Berdasarkan nilai dekomposisinya, peningkatan kemiskinan di Kalimantan Barat dipicu oleh ketimpangan pendapatan. Sedangkan di Kalimantan Timur oleh pertumbuhan pendapatan yang lebih banyak dirasakan oleh pihak-pihak tidak miskin.

Secara umum, kondisi pada periode ini mengalami perbaikan dibanding sebelumnya. Tercatat 5 provinsi (Kepulauan Riau, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Maluku) telah mencapai pertumbuhan yang pro poor growth, dibandingkan sebelumnya yang hanya 3 provinsi yang mencapai pertumbuhan yang

pro poor growth. Nilai PEGR periode 2006-2007 di setiap provinsi dapat dilihat pada

Lampiran 18.

PEGR Tingkat Provinsi Periode 2007-2008 dan 2008-2009

Nilai PEGR pada periode ini dan periode 2008-2009 telah memasukkan keseluruhan provinsi di Indonesia termasuk NAD, Sulawesi Barat dan Papua Barat yang tidak tercakup pada periode sebelumnya. Nilai PEGR tingkat nasional di kedua periode ini lebih besar dibandingkan pertumbuhan aktualnya, yang berarti pembangunan telah mencapai pertumbuhan yang pro poor growth. Akan tetapi nilai PEGR di tingkat provinsi menunjukkan hasil yang berbeda di kedua periode. Nilai PEGR periode 2007-2008 dan periode 2008-2009 di setiap provinsi dapat dilihat pada Lampiran 19 dan Lampiran 20.

Pada periode 2007-2008, sebanyak 15 provinsi mengalami perbaikan dengan mencapai pertumbuhan yang pro poor growth dibanding sebelumnya yang belum bahkan anti pro poor growth. Provinsi Kepulauan Riau yang pada dua periode sebelumnya telah mencapai pertumbuhan yang pro poor growth, pada periode ini memburuk dengan pencapaian pertumbuhan yang anti pro poor growth. Karakteristik kepulauan dan sebagai daerah industri di Kepulauan Riau cukup rentan terhadap pengaruh krisis global tahun 2008 (BI, 2007-2009). Demikian juga dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, pencapaian pertumbuhan ekonomi di kedua provinsi masih belum bersifat pro poor growth. Menurunnya permintaan dunia terhadap output sektor pertambangan dan penggalian seiring krisis global diduga

menjadi penyebab pertumbuhan yang belum pro poor growth di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (BI, 2007-2009).

Pada periode 2008-2009, hampir seluruh provinsi mencapai pertumbuhan yang bersifat pro poor growth kecuali provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat. Pertumbuhan yang bersifat belum pro poor growth, merupakan kondisi yang menurun di provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Inflasi yang melebihi angka nasional di kedua provinsi diduga menjadi penyebab menurunnya manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin. Akan tetapi kondisi tersebut merupakan peningkatan bagi provinsi Papua Barat, yang sebelumnya memiliki pertumbuhan yang anti pro poor growth. Sebagai provinsi baru, pertumbuhan yang memberikan manfaat kepada penduduk miskin merupakan pencapaian yang lebih baik meskipun manfaat tersebut tidak sebesar yang dirasakan oleh penduduk tidak miskin. Perbedaan karakteristik antar provinsi diduga turut berperan dalam pencapaian pertumbuhan yang berbeda-beda antar provinsi dan antar periode ini.

Pada awal periode RPJM 2005-2009, dampak pencapaian pertumbuhan ekonomi memang masih belum terlihat dalam pengentasan kemiskinan. Berbagai faktor seperti kenaikan harga BBM dan kenaikan harga beras sebagai akibat larangan impor beras, turut andil dalam hal ini. Kenaikan harga yang pada akhirnya memicu adanya inflasi, melemahkan daya beli penduduk miskin dan memperkecil peluang untuk memperbaiki kesejahteraan dan keluar dari kondisi miskin. Selain itu, berbagai program pengentasan kemiskinan masih dilakukan secara parsial dan belum terintegrasi dengan baik. Pelaksanaan program tersebut sering tumpang tindih dan tidak memberikan hasil yang optimal dalam pengentasan kemiskinan. Akan tetapi sejak dilaksanakan harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat tahun 2007, berbagai program tersebut dalam pelaksanaannya mulai saling bersinergi satu sama lain. Hal ini terlihat dari dampak yang cukup baik dalam pengentasan kemiskinan, kemiskinan di tingkat nasional menurun hingga mencapai 14,15 persen pada tahun 2009 meskipun nilai ini masih jauh dari yang ditargetkan.

85

Dokumen terkait