• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi Publik atau

Dalam dokumen Pro poor growth tingkat provinsi di indonesia (Halaman 119-125)

6.2 Faktor yang Memengaruhi Pro Poor Growth dengan Pendekatan

6.2.4 Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi Publik atau

Investasi pemerintah dan ketimpangan pendapatan keduanya tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Akan tetapi tanda pada koefisien menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk investasi publik (investasi pemerintah) berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin yang berarti pula berpengaruh terhadap pro poor growth, dengan asumsi

ceteris paribus. Koefisien yang tidak signifikan pada level 5 persen ini mungkin

disebabkan waktu penelitian yang kurang panjang. Pengeluaran investasi merupakan pengeluaran yang dapat dirasakan manfaatkannya dalam jangka panjang, sehingga jangka waktu 5 tahun masih kurang untuk melihat pengaruh investasi pemerintah terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk investasi publik berpengaruh terhadap poverty reduction yang berarti pula berpengaruh terhadap pro poor growth. Suparno (2010) menemukan bahwa peningkatan realisasi pengeluaran APBD sebesar 1 persen akan berdampak mengurangi penduduk miskin sebesar 0,112 persen. Peningkatan realisasi pengeluaran APBD akan meningkatkan kemampuan pemerintah terutama pemerintah daerah dari segi pendanaan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan. Pengeluaran investasi publik di daerah pedesaan seperti investasi infrastruktur, invetasi di bidang pertanian dan investasi di bidang pendidikan berpengaruh terhadap pengurangan penduduk miskin (Fan, 2004). Fan, et. al. (1999) juga menyimpulkan

99

bahwa pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap penduduk miskin. Demikian juga Iradian (2005) menyatakan bahwa selain ketimpangan pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Investasi pembangunan jalan desa, investasi di bidang kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanannya (World Bank, 2006).

Faktor ketimpangan pendapatan yang didekati dengan nilai Indeks Gini digunakan dalam estimasi persamaan faktor yang mempengaruhi pro poor growth

dengan pendekatan poverty reduction. Walaupun koefisien dari Indeks Gini tidak signifikan pada tingkat 5 persen, tanda positif pada koefisien menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pendapatan yang dinyatakan dengan peningkatan nilai Indeks Gini akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin, meskipun penurunan Indeks Gini bukan berarti akan menurunkan kemiskinan.

Aspek ekuitas (distribusi pendapatan yang lebih merata) dari pro poor growth

(pertumbuhan yang berpihak ke penduduk miskin) akan memperkuat dampak pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan (Kakwani dan Pernia, 2000). Grimm,

et. al. (2007) juga menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan atau aspek ekuitas

secara langsung akan mengurangi kemiskinan, meningkatkan dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan yang selanjutnya mempercepat pengentasan kemiskinan. Peningkatan ketimpangan antar wilayah akan berpengaruh terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap poverty reduction

(Klasen, 2007). Ketimpangan antar wilayah salah satunya bisa didekati dengan ketimpangan pendapatan antar wilayah yang bisa dilihat dari ukuran indeks gininya. Demikian juga dengan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap tinggi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan ketimpangan pendapatan.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pro poor

growth merupakan peningkatan pendapatan (growth) yang memberikan manfaat yang

lebih besar ke pihak miskin daripada non-miskin (Kakwani dan Pernia, 2000). Selanjutnya badan-badan internasional seperti PBB, Organization for Economic

Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan Bank dunia lebih sering menggunakan definisi pro poor growth sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan Kakwani, et al. (2004).

Selain itu, Klasen (2007) mengidentifikasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pro poor growth yang didekati dengan poverty reduction, seperti produktifitas sektor pertanian, tingkat pendidikan, dan ketimpangan antar wilayah. Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti (2007) dan Indra (2008) memasukkan jumlah penduduk sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap poverty

reduction. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam rangka pengentasan kemiskinan. Komitmen ini diwujudkan dalam RPJM 2005-2009 yang dikenal dengan triple track strategy

pembangunan yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih banyak terhadap penduduk miskin daripada non-miskin, sehingga akan berimplikasi pada terbukanya kesempatan yang lebih baik baik kelompok penduduk miskin untuk memperbaiki keadaan kesejahteraannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai selama RPJM 2005-2009 memiliki kecenderungan menurun dan memunculkan situasi yang mengarah kepada semakin timpangnya antar provinsi, demikian juga dengan indeks gini yang menunjukkan ketidakmerataan di tingkat provinsi yang semakin tinggi. Ketimpangan yang semakin tinggi tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap manfaat pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini berdampak pada beragamnya tingkat kemiskinan antar provinsi, walaupun secara nasional menunjukkan adanya penurunan. Provinsi yang memiliki kondisi awal RPJM 2005-2009 sudah cukup bagus (pertumbuhan cukup tinggi, ketidakmerataan dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibanding provinsi lainnya) pada umumnya memiliki pencapaian hasil pembangunan yang lebih bagus dibanding provinsi lainnya. Sebaliknya provinsi dengan kondisi awal yang kurang bagus (pertumbuhan rendah, ketidakmerataan cenderung tinggi dan kemiskinan yang tinggi) memiliki

101

pencapaian pembangunan yang kurang memuaskan, seperti tingkat kemiskinan atau ketidakmerataan yang masih tinggi, ataupun pertumbuhan ekonomi yang masih berada di bawah angka nasional.

Disamping itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi secara nasional yang pada tahun 2005-2006 masih anti pro poor growth, pada akhir periode RPJM telah memenuhi kondisi pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan lebih dirasakan oleh penduduk miskin daripada non miskin. Kondisi ini juga berlaku di sebagian besar provinsi, dimana pada periode 2008-2009 (periode akhir RPJM 2005- 2009), banyak provinsi yang mencapai kondisi pro poor growth yang ketika periode 2005-2006 masih anti pro poor growth. Walaupun beberapa provinsi justru mengalami hal yang berkebalikan, yang semula sudah pro poor growth, pada periode akhir berbalik menjadi anti pro poor growth. Kondisi yang beragam antar provinsi ini diduga dipengaruhi oleh kondisi awal (initial condition) dari masing-masing provinsi pada awal periode RPJM 2005-2009 dan karakteristik antar provinsi yang berbeda satu sama lain. Sehingga walaupun secara nasional terjadi penurunan tingkat kemiskinan, akan tetapi karena hasil pembangunan yang sangat beragam antar provinsi berpengaruh terhadap pencapaian tingkat kemiskinan nasional yang masih jauh dari target RPJM 2005-2009 dan Millenium Development Goals.

Berbagai upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak yang positif terhadap kemiskinan. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. Program bantuan yang bersifat langsung ke penduduk miskin seperti raskin, PKH, jamkesmas, dan lainnya dalam pelaksanaannya memiliki kelemahan (ADB, 2008). Oleh karena itu, pendataan ulang penduduk miskin dengan kriteria yang lebih komprehensif, pengawasan pelaksanaan secara ketat dan berkelanjutan diperlukan agar program bantuan lebih optimal.

2. Banyaknya penduduk miskin yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian menjadi alasan utama pentingnya peningkatan produktifitas pertanian. Jumlah tenaga kerja di sektor ini yang melimpah, banyaknya petani dengan kepemilikan

lahan yang sempit, serta terbatasnya akses penduduk miskin terhadap infrastruktur, informasi teknologi, pengolahan, permodalan dan lainnya menjadi alasan berikutnya untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Revitalisasi pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur, pengembangan riset dan penyuluhan secara desentralisasi, serta memperlancar sertifikasi tanah dalam rangka peningkatan produktifitas pertanian.

3. Bertambahnya jumlah penduduk berarti bertambahnya jumlah tenaga kerja. Apabila diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan keahlian, maka akan meningkatkan modal manusia (human capital), yang akan berpengaruh terhadap produktifitas tenaga kerja dan output. Penduduk miskin yang juga masih memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman dan lainnya menjadi alasan penting peningkatan pengeluaran untuk pendidikan. Investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan ketrampilan bagi penduduk miskin, peningkatan mutu dan efisiensi sekolah dasar diperlukan untuk peningkatan tingkat pendidikan. Selain itu, pengintegrasian program pengentasan kemiskinan perlu ditingkatkan sosialisasinya terhadap masyarakat, sehingga membuka peluang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat terhadap pembangunan.

4. Investasi yang merupakan pengeluaran jangka panjang akan dapat dirasakan manfaatnya setelah beberapa jangka waktu. Walaupun pengeluaran ini tidak secara langsung dapat mengurangi kemiskinan, akan tetapi pengeluaran ini pada waktunya akan dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk miskin. Misalnya perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jaringan, pembangunan gedung pemerintahan, pembangunan gedung sekolah, pembelian alat dan mesin, serta belanja modal lainnya akan memperluas akses penduduk terhadap berbagai pelayanan yang diperlukan.

5. Selain itu, perlunya dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan, seperti raskin, BLT, jamkesmas, askeskin, dan lainnya. Program ini juga perlu ditingkatkan dan

103

dilakukan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Apabila program pembangunan dalam rangka redistribusi ini dapat berjalan dengan baik, maka manfaat yang dirasakan oleh penduduk miskin juga akan semakin besar.

Dalam dokumen Pro poor growth tingkat provinsi di indonesia (Halaman 119-125)

Dokumen terkait