• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekonstruksi terhadap Nalar Kaum Faundamentalisme Politik

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 92-99)

Diantara sekian banyak kritik yang diajukan Asymawy mengenai teori-teori politik Islam, misalnya teori tentang jihad yang dewasa ini cenderung dipahami secara eksklusif dan berdampak pada lahirnya suatu gerakan Islam ekstrim. Pebelokan konsep jihad dari makna asalnya yakni “bersungguh-sungguh dalam berbuat sesuatu kebaikan” dan “melawan hawa nafsu”, dalam proses historis-sosiologisnya berubah menjadi makna jihad yang sempit, yakni “berperang di jalan Allah”, yang dalam praktek politik lebih ditujukan pada kaum kafir. Dari pola pemahaman seperti inilah lahirnya konsep dar al Islam dan dar al-harb yang bipolar dalam teori politik Islam klasik.101

101 Ibid, hlm. 7 dan ix. Lihat juga Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam , terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta:

Demikian pula tentang konsep demokrasi dan civil society hanya bisa diakomodasi dan diterapkan melalui pendekatan yang humanistik. Berbeda dengan para muslim fundamentalisme politik yang umumnya menolak demokrasi ala Barat, maka bagi Asymawy, konsep demokrasi merupakan konsep yang universal dan lebih berorientasi pada kedaulatan rakyat yang memberi penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam mengatur diri mereka sendiri. 102 Namun secara

historis, sistem politik dan tradisi politik masyarakat di dunia Timur pada realisasinya lebih berbasis pada sistem otokrasi yakni pada “hak para raja maupun pangeran (muluk)” dalam sistem pengaturan masyarakat. Pola ketundukan pada lembaga-lembaga maupun para figur yang memiliki otoritas lebih dinomorsatukan ketimbang hak rakyat. Asymawy tidak dapat menafikan adanya konsep syira dalam Islam, namun dalam prakteknya, konsep syira ini lebih didominasi oleh para atau pemuka agama. Tokoh semacam Hasan Turabi mengklaim bahwa semua gerakan Islam modern berbasis pada sistem majlis syira dimana semua perwakilan rakyatnya ditetapkan melalui sistem pemilihan terbuka. Demikian pula halnya tentang para pemimpin yang memang dipilih secara accountable. Dengan demikian, menurut Hasan Turabi, model pemilihan para wakil Muslim merupakan sesuatu yang sangat demokratis.103 Lebih dari itu, lanjut Hasan Turabi,

bahwa umumnya gerakan-gerakan Islam juga berbasis pada akar rumput, populis dengan demikian tentu bersifat demokratis.

Namun apa yang dikemukana oleh Turabi tersebut dikritik oleh Asymawy. Bagi Asymawy, konsep syira yang ada pada hakikatnya lebih didominasi oleh tokoh-tokoh agama (ulama) yang

powerfull terhadap kehidupan masyarakat di mana kekuasaan juga mendukung kepemimpinan ulama tersebut. Di lain pihak, minoritas non-muslim menjadi warga negara kelas dua. Di sini terlihat adanya diskriminasi politik terhadap non-muslim, dan hal ini amenurut Asymawy, sebenarnya menunjukkan wataknya yang anti-demokrasi dan sangat bertentangan dengan prinsip kehidupan sistem politik modern. Mengingat bahwa dalam sistem politik modern, power sharing

yang terjadi di masyarakat bukanlah berdasarkan pada keistimewaan dimensi religiositas politik maupun semata-mata berdasarkan pada kepentingan kaum mayoritas semata.104

Adapun isu tentang HAM (al-huqiq al-insaniyyah), sering pula dikaitkan dengan Barat yang membuat para Islamis cenderung menolaknya, mengingat konsepsi HAM tersebut dianggap

102 Carolyn Fluehr-Lobban (ed.), Against Islamic Extremism, hlm. 7. 103 Ibid, hlm. 8.

terlalu asing bagi Islam. Bagi para Islamis, justeru ajaran Islam itu sendiri telah memiliki pemikiran yang orisinal tentang HAM (al-huqiq al-insaniyyah),105 Dalam pengamatan Asymawy

sendiri, umumnya politik pemerintah di banyak negara muslim, umat Islam maupun tokoh sekuler, kurang begitu serius menangani masalah HAM. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdebatan tentang HAM di Timur Tengah kurang ditekankan sebagai dialog tentang hubungan kemanusiaan maupun antar bangsa, terutama yang terkait dengan hak minoritas maupun kaum perempuan di kancah internasional, di mana para penguasa / pemerintah lokal akan menghadapi sanksi politik dan ekonomi, akibat adanya pelanggaran HAM yang terjadi di negara bersangkutan.106

Dalam pandangan Asymawy, dewasa ini ada dua perspektif tentang HAM di dunia Islam,

pertama, kelompok Islam militant yang berpendapat bahwa HAM dalam Islam justeru yang paling sempurna dan lebih mendasar dibanding HAM versi Barat. Pandangan ini beranggapan bahwa hukum Tuhan (syari’at) lebih mempertemukan semua dimensi kebutuhan manusia untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok yang tercerahkan berargumen bahwa tidak semua aturan kehidupan disebutkan dalam al-Qur’an itu bersifat permanent (qaith’iy), beberapa aturan ada yang bersifat temporer (zhanny). Asymawy mencontohkan tentang adanya kasus perbudakan (slavery) yang termuat dalam al-Qur’an, hal itu bersifat temporer bukan permanent. Dengan demikian menurut Asymawy, kondisi masyarakat maupun tafsir manusia cenderung berubah, dengan demikian aplikasi ajaran Islam juga harus diubah sesuai dengan perubaan situasi dan kondisi.107

Dalam pandangan kaum kontekstual, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, dan semua manusia mempunyai pilihan yang bebas di dalam agama tanpa harus takut dikucilkan. Semua orang bebas berpendapat, dan di sana ada satu kode etik dan moral untuk semua umat manusia di seluruh muka bumi. Tidak boleh ada satu pun manusia yang diperlakukan secara deskriminatif di muka bumi ini. Tindakan diskriminasi merupakan perilaku yang tidak etis dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Negara bukanlah institusi “pemberian hak”, negara hanya ditakdirkan untuk sekedar “mengatur” hak-hak dasar kemanusiaan yang harus dinikmati semua orang. Bagi Asymawy, peradilan yang ada harus dapat memberikan hukuman

105 Ibid, hlm. 9. 106 Ibid, hlm. 10.

berdasarkan spirit keagamaan, dimana unsur spirit atau ideal moral keagamaan lebih tinggi dibanding teks-teks keagamaan lahiriah itu sendiri.108

Dalam telaah kritis politik Islam, Asymawy juga menyinggung tentang konsep Pan- Islamisme, Menurut Asymawy, konsep Pan-Islamisme (al-qawmiyyah al-islamiyyah) yang mulai dipopulerkan sejak tahun 1940-an ini yang pada awalnya ditujukan untuk memperkuat solidaritas antara sesama Muslim, namun dinilai sebagai menggambarkan kekacauan istilah dan cenderung mereduksi universalitas Islam itu sendiri. Asymawy berpendapat bahwa Islam tidak bisa dibatasi pada komunitas atau bangsa tertentu, partai atau sistem politik tertentu, sebagaiman tercermin dalam QS al-Hujarat (49): 13. Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa mereduksi Islam menjadi nasionalisme (qawmiyyah) berarti merusak watak Islam yang universal. Juga mengandung kekeliruan di mana Islam menjadi gerakan politik yang bersifat eksklusif dan tertutup bagi non-Muslim. Akibat pengaruh dari Pan-Islamisme ini, kebanyakan gerakan Islam kontemporer menjadi gerakan nasionalis, bukan gerakan spiritual; bahkan dengan keras Asymawy menyatakan “menjadi gerakan jahiliyyah, bukan Islam”.109

Dilihat dari segi historisitasnya, menurut Asymawy, istilah Pan-Islamisme ini sebenarnya bersumber dari tradisi Yahudi (isra’aliyyat) yang masuk ke dalam pemikiran Islam, dimana agama Tahudi memang lebih bercorak kebangsaan. Hal ini tercermin dalam fakta historis dan sosiologis bahwa seseorang yang lahir dari non-etnik Yahudi akan sulit memeluk agama Yahudi, sedangkan dalam Islam cukup dengan syahadat saja, seseorang sudah bisa diakui sebagai Muslim. Dalam pengamatan Asymawy, era kepemimpinan Umar lebih dapat menampilkan wajah Islam yang universal ketimbang era kepemimpinan Utsman yang cenderung bercorak etnik, dimana khalifah Ustman lebih mengesankan adanya upaya perluasan etnik Arab yang belakangan berdampak pada munculnya konflik Islam Arab versus Islam Persia, yang implikasi politisnya masih bisa kita lihat sampai hari ini sebagaimana tercermin di Irak, Palestina, Iran. Padahal Islam sangat menentang adanya nasionalisme sempit ini. Upaya pencampuradukkan antara agama dan etnis ini membawa mapetaka bagi Islam. Kehadiran khalifah Umayyah di panggung politik juga mengklaim bahwa legitimasi khilafah hanya bagi mereka semata, sebagaimana tercermin dalam sebuah pernyataan yang dianggap sebagai hadits : “al-a’mmah

108 Ibid, hlm. 11.

min quraisy”.110 Belakangan dekadensi politik umat Islam semakin menampakkan buktinya

dalam sejarah yang ditandai dengan adanya dendam politik dinasti Abbasiyyah terhadap dinasti Umayyah.111

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa Asymawy ingin meluruskan kembali berbagai penyimpangan pemikiran etika politik yang telah berlangsung berabad-abad di mana wajah atau wacana Islam politik (atau fundamentalisme politik) telah mewarnai sejarah pemikiran politik Islam, yang berdampak pada adanya pengkaburan atau reduksi terhadap orisinalitas dan universitas Islam. Di sini Asymawy ingin mengembalikan ke wacana politik Islam yang lebih akademis, saatnya penalaran politik Islam akademis lebih dikedepankan ketimbang wacana Islam politik yang eksklusif, di mana Asymawy menawarkannya melalui paradigma fundamentalisme autentik. Dalam perspektif wacana politik Islam secara akademis ini, Asymawy menyatakan pandangannya bahwa pada hakikatnya Tuhan menginginkan Islam hadir sebagai agama, namun kebanyakan manusia membelokkan agama tersebut ke wilayah politik yang dangkal dan sempit.112

Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa Islam sudah mengalami overlapping politik selama 14 abad yang lalu113 di mana selama periode yang panjang itu kelompok ulama tampil

sebagai tirani religius atau ulama penguasa yang lebih sering tampail sebagai legitimator sebuah kekuasaan ketimbang mengkritik jalannya kekuasaan. Di sisi lain, tidak sekidit pula danya fenomena para fuqaha yang bersikap acuh tak acuh terhadap kekuasaan yang bagaimanapun juga sangat memiliki implikasi luas dalam wilayah publik. Sehingga jalannya sebuah kekuasaan menjadi sepi dari pandangan kritis kaum cendekiawan dan ulama, dan berdampak pada lahirnya sebuah kekuasaan yang tiranik pula. Fenomena ini, menurut Asymawy berimplikasi pada penyempitan teori politik Islam di masa lalu.114 Di sisi lain, sebagaimana yang

telah dikemukakan di atas, megingat begitu banyaknya ulama yang bergelut di bidang politik praktis bahkan menjadi legitimator kekuasaan, menyebabkan tugas utama kaum ulama dalam pengembangan keilmuan Islam termasuk dalam pengembangan teori politik Islam menjadi terabaikan.

110 Ibid, hlm. 133-135; lihat juga hlm, 19-21. Lihat juga al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm 6. 111 Ibid, hlm. 21.

112 Ibid, hlm. 17. 113 Ibid, hlm. 22. 114 Ibid, hlm. 22-23.

Di sisi lain, muncul pula dalam sejarah politik Islam teori-teori politik Islam yang bersifat fragmentaris-dikotomis, yakni teori-teori politik Islam yang sempit dan berbau ideologis- partikular, tidak mengakomodasi pandangan humanisme universal-ilahiah, sebaliknya konsep politik Islam klasik lebih menggambarkan warna nalar politik teokratik seperti teori-teori tentang

jihat, dar al-harb, penerapan syariah, khilafah, Negara Islam, dan sejenisnya, seperti yang telah dikemukanan di atas.

Demikian beberapa gagasan inti politik Asymawy, berbagai produk pemikirannya itu Asymawy mendapat berbagai pelabelan terhadap dirinya, yakni Asymawy dianggap sebagai : modernis, sekularis, radikalis Islam, liberalis atau materialis, universalis; dan dalam konteks tulisan di atas Asymawy digolongkan kepada Muslim humanis.115

Dari gambaran pemikiran Asymawy di atas terlihat bahwa pada hakekatnya Asymawy juga bisa digolongkan sebagai fundamentalis Muslim – fundamentalisme autentik – karena dari berbagai inti pemikirannya kelihatan sekali bagaimana Asymawy sebenarnya ingin menjaga orisinalitas atau kemurnian Islam dari bahaya reduksi nasionalistik maupun sektarianistik.116

Kritik-kritiknya terhadap kaum fundamentaliisme politik pada intinya ingin menyatakan bahwa

kebanyakan aktivis – terutama – politik Muslim lebih banyak memanfaatkan Islam sebagai alat mobilisasi bagi pemenuhan keinginan untuk meraih kesuksesan, ketimbang memperjuangkan nilai-nilai universalitas Islam itu sendiri bagi semua orang, di mana seharusnya nilai-nilai ajaran Islam bisa diformulasikan sebagai pembawa angin kesejukan, kedamaian universal atau rahmatan lil-‘alamin. Apa yang dikemukakan Asymawy berikut ini menarik untuk dicermati : “The fundamental problem of this era extremism is that Islam has been incorrectly transformed from a faith for all humanity into a political ideology. It has become a source for nationalism and, ultimately, for divisiveness between peoples, religions, and nations. This is contratary to the unibersalist spirit of Islamic faith. And, in locating that core within Islam, the deeper, universal spiritual humanism that is part of Abrahamic faiths, and all faiths, will be revealed”.117 Akhirnya, walaupun Asymawy tidak terlalu mendalam berbicara

tentang teori-teori politik Islam, karena memang background keahliannya di bidang hukum

115 Ibid, hlm. 31.

116 Asymawy menyebutkan ada tiga bentuk sektarianisme politik, yakni: tribalism, racism, and the religio-

political dimension (Ibid, hlm. 71).

Islam, 118 namun percikan pemikiran etika politiknya bisa dijadikan inspirasi bagi para peminat

studi politik Islam khususnya di wilayah etika politik.

BAB III

PEMIKIRAN

ISLAM

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 92-99)