• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 112-115)

Istilah sekuler berasal dari kata saeculum (bahasa Latin) yang berarti masa (waktu) atau generasi.189 Istilah Latin lainnya yang mengandung arti mirip dengan saeculum adalah mundus.

Saeculum lebih berorientasi pada dimensi waktu, sedangkan mundus bermakna ruang.190 Dalam al-

Qur’an dikenal istilah ad-dunyã dan al-ulã. Istilah ad-dunyã merupakan bentuk mu’annas dari kata sifat al-adnã yang mengandung makna “yang terdekat”, jadi lebih berorientasi pada dimensi ruang. Sedangkan kata al-ulã merupakan bentuk mu’annas dari kata sifat al-awwal yang mengandung pengertian “yang pertama”, lebih berorientasi pada dimensi waktu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,191 istilah sekuler berarti sesuatu yang bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat

keagamaan atau kerohanian). Sedangkan sekularisasi mengandung arti hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Sekularisasi juga bisa berarti upaya pengambilalihan bangunan dan barang-barang milik yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara dan digunakan untuk keperluan lain.

Berkaitan dengan istilah sekularisme dapat diartikan suatu paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Namun istilah sekularisasi ini bisa dipahami dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama (dalam konteks hubungan agama dan negara), sekularisasi mengandung arti upaya pemisahan antara wilayah agama dan negara. Agama lebih berada pada dataran individual, sedangkan negara pada wilayah sosial-kemasyarakatan. Dalam konteks ini agama hanya dibatasi dalam wilayah person anggota masyarakat. Ajaran agama tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.

Dalam konteks sejarah gereja192 terjadi prinsip dualisme hubungan antara gereja sebagai

institusi agama yang individualistik dengan negara sebagai institusi sosial yang komunalistik. Sedangkan sudut pandang kedua (secara teologis), sekularisasi berarti upaya memisahkan antara aspek transenden (Tuhan) dengan yang profan (yang bukan Tuhan). Karena percampuran antara keduanya akan melahirkan ketidaksucian dalam upaya memahami Tuhan itu sendiri (yang universal) serta kaitannya dengan kehidupan dunia yang sangat dinamis (partikular). Dalam kaitan di atas istilah sekularisme cenderung dihubungkan dengan pola pemahaman yang pertama.

Di dunia Islam, istilah “sekuler” pertama kali diperkenalkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalisTurki. Istilah ini seringkali dipahami dalam pengertian irreligius atau bahkan antireligius, dan tafsiran ini lebih jauh memunculkan kecurigaan yang juga menyertai sikap terhadap gagasan itu.193

Bahasa Arab mengadopsi suatu istilah dari penggunaan orang-orang Kristen Arab yang menggunakan istilah ini untuk mengekspresikan gagasan ini sebelum ia menarik perhatian kaum muslimin. Kata yang mereka ciptakan adalah ‘alamani (dunia) yang maknanya adalah duniawi, yang dilawankan dengan selain dunia atau spiritual.194 Di masa modern istilah ‘alamani diucapkan lagi

dengan istilah ‘ilmãni yang mengandung arti ilmiah (dari ‘ilm), pengetahuan atau sains yang dilawankan dengan religius. Kontradiksi antara sains dengan religius ini banyak dikritik oleh para sarjana muslim, karena dalam Islam tidak dipertentangkan antara ilmu dan agama.

Dalam perkembangan lebih lanjut, secara terminologis, konsep sekularisme paling tidak mengenal tiga konteks pemahaman, yakni: pertama, sekularisme objektif yakni secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dengan lembaga-lembaga lain. Misalnya dalam politik, diwujudkan dalam pemisahan antara negara dan agama. Contoh, Turki dengan Kemalisme. Sekularisme objektif ini dinamai juga dengan istilah ‘ilmãniyah. Kedua, sekularisme subjektif; yakni bila pengalaman sehari-hari tidak dapat dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Orang sekular mengadakan subjektivikasi pada pengalamannya, dan orang beriman mengadakan internalisasi. Ketiga, sekularisme ateis yang mengandung pemahaman bahwa akal dapat menentukan nilai baik buruk, benar salah, sehingga tidak diperlukan lagi adanya wahyu Tuhan. Model sekularisme ateis ini disebut lã diniyyah.

a. Awal Munculnya Sekularisasi di Barat

Secara historis, awal munculnya diskursus sekularisasi dalam politik bisa dikaitkan dengan era renaisans. Masa renaisans (1350-1600 M) merupakan masa transisi dalam sejarah Barat antara abad pertengahan dengan abad modern. Istilah renaissance merupakan bahasa Perancis yang dalam bahasa Latin disebut re plus nasci yang berarti lahir (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Itali, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh sejarawan terkenal, Michelet, lalu dikembangkan oleh J. Burchkhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode abad pertengahan. Karya filsafat pada abad ini sering disebut filsafat renaisans.195

Zaman renaisans sebagai titik balik zaman pertengahan di mana agama Kristen mengalami kejatuhannya, setelah sekian abad memperoleh kejayaan selama abad pertengahan. Pada zaman ide- ide dari dunia gereja (Katolik Roma) telah jatuh yang dibarengi dengan munculnya gereja-gereja nasional. Dengan kejatuhan otoritas gereja ini muncul gerakan reformasi Kristen. Munculnya – misalnya – individualisme Martin Luther merupakan akibat logis dari munculnya paham individualisme dan humanisme secara umum pada abad renaisans.

Gerakan intelektual (humanisme) tidak mengusulkan untuk menempatkan kembali nilai-nilai Kristen tradisional abad pertengahan. Orang semacam Pico dan Erasmus mengajukan perlunya pengkayaan atau diadakannya purifikasi pada orang-orang Kristen Erasmus, khususnya sebagai pemikir humanis yang paling representatif, dengan tegas menyerang Katolikisme. Krisis agama yang terjadi pada masa-masa renaisans sifatnya lebih internal. Gereja tidak mampu lagi memenuhi harapan- harapan banyak orang pada masa renaisans.196

Ciri utama renaisans ialah humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama - Kristen), empirisme, dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Pada era modern (pasca renaisans) filsafat menjadi berkembang. Sains pun akhirnya mengalami kemajuan karena semangat empirisme tersebut. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Kelak zaman renaisans ini sebagai pintu pertama terbukanya era modern nanti.

Ciri lain dari renaisans ini adanya sikap oposisi terhadap segala dominasi gereja yang menghambat kreativitas individual masyarakatnya. Akibat gerakan renaisans, muncul berbagai upaya

untuk mengutamakan individu yang kreatif dan ingin kembali meraih kejayaan seperti pada era Yunani Kuno di mana aspek pemikiran dihargai secara positif. Secara politis, era renaisans merupakan simbol dari adanya sebuah revolusi individualisme dan humanisme menentang semangat dominasi dan kolektivisme gereja di abad tengah. Walaupun abad ini lebih ditandai dengan kebangkitan kembali aspek ilmu, seni kebudayaan, namun dapat diperkirakan hal ini juga melahirkan dimensi filsafat politik yang lebih bersifat “liberal”, individualistik, humanistik serta semangat anti dikator oleh tokoh-tokoh agama (gereja); pola pemikiran politik yang bercorak antroposentrik berhadapan dengan pola teosentrik. Wibawa dan otoritas mereka (para agamawan gereja) sebagai “wakil” negara menjadi luntur. Implikasi dari perubahan ini mengakibatkan eksisnya filsafat pemikiran politik yang substantif- individualistik ketimbang institusionalistik.197 Inilah awal terjadinya sekularisasi dalam politik

kenegaraan.

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 112-115)