• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepedulian Terhadap Anak Jalanan

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 136-140)

Upaya Pelestarian Alam

5. Kepedulian Terhadap Anak Jalanan

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terus mengadakan kajian periodik tentang Fiqh al- Ma’un, sebagai salah satu amanah Mukatamar. Luas dan cakupan fiqh al-Ma’un ini antara lain mencakup wilayah kajian tentang anak jalanan (ANJAL), pelacuran, korban narkoba, korban AIDS/HIV, kaum buruh/tani dan nelayan, korban miskin perkotaan, dan sejenisnya.

Dari hasil kajian ini nantinya akan diterbitkan dalam bentuk sebuah buku yang utuh agar dapat menjadi panduan bagi warga Muhammadiyah se Indonesia dalam upaya kontekstualisasi tafsir suara al- Ma’un sebagaimana yang telah dipelopori almarhum KH Ahmad Dahlan yang kala itu melahirkan konsep perbaikan sosial melalui pendidikan, pendirian rumah sakit dan panti-panti asuhan. Namun dewasa ini dirasakan perlunya perluasan cakupan wilayah kaum mustda’afin sebagaimana disebutkan di atas. Pada kesempatan kali ini kami uraikan secara umum gambaran dari hasil kajian tentang nasib anak jalanan (ANJAL) berdasarkan data-data dan informasi yang disampaikan oleh saudara Wiyadi alumni IMM yang kini di Yogya dikenal sebagai “kiai anjal” yang sejak beberapa tahun yang lalu telah mewakafkan dirinya untuk mendidik para anjal di rumah singgahnya di Yogyakarta.

Secara definitif yang dimaksud dengan ANJAL (anak jalanan) ini adalah: kelompok anak rawan yang terpaksa hidup dengan kondisi lingkungan yang keras tanpa perlindungan sosial dan hukum yang memadai, bahkan rentan untuk diperlakukan secara salah, dieksploitasi, menghadapi kekerasan dan marginalisasi.

Dalam studi kasus tentang anak jalanan tahun 1996 di Yogyakarta, karakteristik dari anak jalan ini secara umum dapat dibagi pada tiga golongan : pertama, children on the street, yakni kelompok anak jalanan yang melakukan kegiatan ekonomi di jalanan umumnya sebagai pengemis dalam rangka membantu orang tua mereka, dan secara rutin anak-anak ini masih bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua, children of the street, kelompok ini sudah tidak bisa lagi secara rutin bertemu dengan orang tua mereka, umumnya mereka lari dari rumah dan sangat rawan mendapat perlakuan keras secara fisik maupun kejahatan seksual. Ketiga, children and their families of the street, anak jalanan beserta keluarganya sama-sama hidup di jalanan yakni di kolong-kolong jembatan (manusia jembatan), rumah- rumah liar, di pinggiran rel kereta api, dan sejenisnya. Di lihat dari segi lamanya waktu bagi anak berada di jalanan ini, terdapat pola sebagai berikut: pertama, sekitar 1-4 jam di mana orang tua tidak dapat lagi memberi jajan kepada anak. Kedua, 4-12 jam di jalanan. Ketiga. Anak jalanan yang lahir dari orang tua yang juga mantan anak jalanan, sampai saat ini diteliti sudah melahirkan 12 generasi anak jalanan. Keempat, diantara anjal ini sudah ada yang memiliki skill namun umumnya masih sulit diterima oleh masyarakat, akhirnya anjal tersebut turun lagi ke jalan seperti sediakala.

Dari kajian tentang anak jalanan ini terungkap pula bahwa dari 4 pelacur yang melahirkan bayi, 1 bayi diperjualbelikan seharga Rp. 500.000 s/d 1 juta rupiah. Bayi ini dijual karena umumnya sang ibu tidak mampu menghidupi bayinya atau ketiadaan dana untuk biaya persalinan. Ada pula bayi yang masih berumur 6 bulan disewakan untuk ngamen bahkan diberi obat tidur yang dalam jangka panjang akan merusak ginjal si anak. Menurut Indonesian Street Children Community (ISCC), di Jakarta lebih kurang 16.000 anak jalanan, di BATAM sekitar 600 anak. Diperkirakan se Indonesia 150 ribu anak jalanan. Angka-angka ini terus bertambah setiap tahunnya sekitar 20-30% anak jalanan baru akibat bencana alam, konflik sosial yang berdampak pada semakin menjamurnya para pengemis dan anak jalanan ini. Sebagi contoh kasus peta persebaran anak jalanan ini di kota Yogyakarta, misalnya dapat dilihat dari data berikut ini: kota Yogyakarta terdapat 769 anak jalanan, kab Sleman 615 anak, kab. Bantul 462 anak, kab. Gunung Kidul 307 anak, dan kab Kulonprogo sekitar 157 anak. Tampaknya semakin ramai sebuah kota semakin banyak pula fenomena anjal ini. Menurut para ahli, menjamurnya anak jalanan ini juga didukung oleh faktor kultur masyarakat yang suka memberi terutama di perempatan karena rasa empati yang mendalam terhadap anjal. Namun hal ini berdampak pada upaya yang tanpa disadari justeru memanjakan anak jalanan itu sendiri. Di kab. Sleman sendiri dibuat perda dan spanduk-spanduk yang melarang para warga untuk memberikan sumbangan kepada para anjal, sebagai alternatifnya sebaiknya sumbangan itu diserahkan ke rumah-rumah singgah yang ada.

Di lihat dari segi profesi anak jalanan, ternyata mereka memiliki beragam pekerjaan antara lain sebagai pengamen, pemulung, pengasong, pengemis, buruh pasar, kuli, penyemir sepatu, penjaga

parkir, kernet mobil/bus, calo, petugas ojek payung di mal-mal, bahkan yang sangat menyedihkan ada pula yang terjun sebagai pekerja seks, maupun kurir narkoba serta pengompas atau pemalak, dan sejenisnya.

Adapun tempat-tempat mangkal para anak jalanan ini banyak didapati di perempatan jalan, terminal-terminal, stasiun, pasar, taman-taman hiburan, plaza/mal, taman-taman kota, tempat pembuangan sampah, lokalisasi pelacuran, pom bensin, jembatan penyeberangan, pelabuhan, gerbong kereta ekonomi, dan lain-lain. Adapun yang menjadi tempat tinggal mereka antara lain: rumah permanen atau semi permanen, pinggiran sungai, kolong jembatan, rumah-rumah kardus, emperan toko, pasar-pasar, stasiun, gerbong kereta, terminal, taman-taman kota, panti-panti atau rumah singgah.

Beberapa faktor penyebab munculnya fenomena anjal ini antara lain: pertama, faktor ekonomi keluarga yang miskin, di antara anak jalanan ini ada yang sehari-harinya justeru disorong oleh orangtua untuk menjadi pengemis dalam rangka mencari sesuap nasi. Kedua, faktor keluarga yang orang tuanya memiliki disiplin yang kaku, keluarga yang selalu bertengkar, terjadinya perceraian orang tua, anak yang diusir atau dianiaya orang tua, hingga mendorong sang anak turun ke jalan menjadi pengemis.

Ketiga, ada pula yang secara psikologis anak ingin hidup bebas dari orang tua, memiliki trauma dan lari dari kenyataan hidup. Keempat, akibat pengaruh teman dan lingkungan, ikut-ikutan terhadap teman yang sudah lebih dahulu terjun ke jalan. Kelima, adanya eksploitasi dari orang tau sendiri maupun kelompok preman yang menginginkan input secara ekonomi. Kelima faktor ini bisa dijadikan renungan dan bahan ceramah atau pendidikan keagamaan khususnya bagi para orang tua, guru dan mubaligh atau ulama kita di seluruh tanah air.

Dalam berbagai kasus yang ditemukan di lapangan 3 gereja di Yogyakarta yang telah melakukan pemberdayaan terhadap anak jalanan ini, sedangkan dua lainnya dari lembaga pendidikan Islam. Secara umum perlembaga atau gereja baru bisa menampung per-50 anjal. Didapati pula fakta di lapangan adanya ratusan anak yang dibina oleh kelompok-kelompok kiri, bahkan ada yang diperlakukan melalui kejahatan seksual, seperti prilaku sodomi maupun lesbian.

Ditemukan pula satu kecamatan tertentu di Yogyakarta yang ternyata ikut terlibat sebagai pensuplai anak jalanan ini. Jangan-jangan di daerah lain juga fenomena ini sudah meruyak pula khususnya di daerah yang rawan konflik dan banyak bencana. Perlu riset tersendiri untuk meneliti ini khususnya bagi para peneliti maupun aktivis LSM Muhammadiyah di berbagai ranting, cabang maupun daerah. Sudah saatnya pula AUM mengembangkan sayapnya untuk ikut serta mengatasi problem anjal ini di masa depan, agar tidak kalah cepat dengan pemeluk agama lain yang bahkan sudah memiliki semacam “pesantren” anjal yang menyediakan tanah sekian hektar untuk pembinaan anjal.

Kelompok-kelompok preman juga banyak terlibat dalam upaya memperalat anjal ini untuk kepentingan bisnis mereka. Biasanya para preman mencari anak-anak di bawah umur 10 tahun untuk disuruh terjun mengemis di jalanan atau disewakan kepada pengemis yang lebih tua. Usia anak di bawah umur ini mudah menimbulkan rasa kasihan bagi pengendara di jalan raya. Ditemukan faktor bahwa rata-rata per anak ini dapat menghasilkan uang per harinya sekitar Rp. 30.000,-

Anehnya walau para anjal ini diperlakukan secara tidak manuasiawi, seolah-olah mereka “menikmati” hidup sebagai anjal ketimbang dididik menjadi manusia normal. Menurut data yang ada, sekitar 90% anjal ini tidak punya minat untuk dititipkan di rumah singgah bahkan cenderung memusuhi lembaga-lembaga sosial yang ada, karena sebagian mereka beranggapan bahwa LSM yang akan melindungi mereka hanya dijadikan proyek untuk para aktivis LSM itu sendiri.

Mengakhiri informasi ini ada beberapa masalah yang senantiasa mengancam kehidupan para anak jalanan ini sehari-hari : pertama, sebagai korban operasi tertib sosial yang dilakukan para aparat.

Kedua, korban tindak kekerasan orang dewasa terutama para preman. Ketiga, kehilangan pengasuhan yang normal. Keempat, terancam tertular penyakit paedofilia, homoseks, HIV/AIDS, dll. Kelima, kehilangan kesempatan pendidikan yang memadai, keenam, terancam berhadapan dengan lembaga hukum. Ketujuh, penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Kedelapan, korban eksploitasi seksual komersial. Kesembilan, resiko mengalami kecelakaan tertabrak kendaraan. Kesepuluh, perkembangan kepribadian yang buruk. Kesebelas, menjadi PSK. Keduabelas, perkelahian antar kelompok.

6. Kapabilitas dan Akseptabilitas

Dalam dokumen PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (Halaman 136-140)