• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi Terpimpin

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 80-84)

SETTING KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK TIGA REZIM A Orde Lama

2. Demokrasi Terpimpin

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi gong penutup bagi kehidupan demokrasi liberal yang menganut sistem demokrasi parlementer. Menurut Moh. Mahfud MD:

“Sejak dikeluarkan dekrit itu, dimulailah langgam otoritarian dalam kehidupan politik di Indonesia di bawah bendera demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin akan mengolah proses pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat dan berdasarkan semangat gotong royong. Implikasi sistem ini dijabarkan dalam amanat presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang diberi nama Manifesto Politik (Manipol) yang rinciannya secara sistematis dikenal dengan akronim USDEK atau UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia”. (Moh Mahfud MD, 2010: 139).

Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Partai-partai yang pernah marak pada era demokrasi liberal secara praktis menjadi lemah dan tak berdaya, kecuali PKI yang dapat memperluas pengaruhnya dengan berlindung di bawah kekuasaan Soekarno, sementara Angkatan Darat dapat memperluas peran dan kekuasaan politiknya. Pengertian Demokrasi Terpimpin bisa ditemukan juga dalam pidato kenegaraan Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dikatakan oleh Soekarno, butir-butir pengertian demokrasi terpimpin terdiri dari: pertama, tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara, kedua, tiap orang mendapat kehidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara (Moh Mahfud MD, 2010: 140).

Sementara menurut Syafii Maarif, sebelumnya Soekarno memberikan berbagai definisi demokrasi terpimpin yang seluruhnya tidak kurang dari duabelas definisi, sebagai berikut:

“Salah satu formulasinya menyebutkan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pada kesempatan lain, Soekarno mengemukakan, demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki, tanpa liberalisme, dan tanpa otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan yang Soekarno maksudkan adalah, demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan serta kekuasaan sentral ditangani seorang ”sesepuh”, seorang tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin mengayomi. Siapa yang beliau maksudkan dengan ”sesepuh” atau ”tetua” pada waktu itu, tidak lain adalah beliau sendiri sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari keluarga besar bangsa Indonesia”. (Syafii Maarif, 1988: 34).

Dalam pandangan Muchtar Lubis, betapapun dari sudut definisi gagasan demokrasi terpimpin tidak jelek, tetapi kehadirannya tidak serta merta mendapat dukungan luas, bahkan banyak yang menolak. Masyumi dan Partai Katolik serta daerah- daerah bergolak menolaknya dengan tegas. Sedangkan PSI, NU, PSII, PKI, dan Parkindo menolak secara berhati-hati, namun PKI memberikan dukungan kuat (Moh Mahfud MD, 2010: 141). Dari sela-sela pro-kontra itu, Soekarno berhasil membentuk Kabinet Djuanda setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh Maret 1957. Kabinet Djuanda yang dikenal sebagai Kabinet Karya kemudian merealisasikan keadaan darurat perang yang telah diumumkan Sokarno sebelum pembentukan kabinet baru. Dikatakan Soekarno Dewan

Nasional, yang ekstra konstitusional, berkedudukan lebih tinggi daripada kabinet karena keanggotaan dewan mencerminkan seluruh bangsa. Sedangkan kabinet hanya mencerminkan parlemen dan Soekarno menjadi ketua dewan yang lebih tinggi daripada kabinet itu.

Kritik serta penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada keraguan: apakah dengan kekuasaan yang terpusat di tangannya itu, Soekarno bisa konsisten dengan teorinya? Syafii Maarif, mengutip pendapat Natsir, tokoh Masyumi, yang mengatakan sebagai berikut:

”....bahwa segala-galanya akan ada di dalam demokrasi terpimpin itu, kecuali demokasi, segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa...Dalam istilah biasa yang semacam itu kita namakan diktator, suatu diktator sewenang-wenang” (Moh Mahfud MD, 2010: 141).

Menurut Soempono Djojowadono (Moh Mahfud MD, 2010: 141), selain maksud- maksud yang tidak pernah diungkapkan, reaksi-reaksi penolakan terhadap demokrasi terpimpin didasarkan pada alasan, bahwa pengertian terpimpin bertentangan dengan asas demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan, sedangkan istilah terpimpin sudah menghilangkan kebebasan. Oleh sebab itu, demokrasi terpimpin disamakan dengan diktator, atau setidak-tidaknya pasti menuju ke kondisi diktator.

Sejarah membuktikan, apa yang dikhawatirkan para penentang Demokrasi Terpimpin benar, sebab dalam praktiknya, Soekarno melakukannya jauh dari apa yang diteorikan. Seperti telah dikemukakan di atas, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah menjadi jalan lurus bagi sistem Demokrasi Terpimpin yang realitasnya tidak demokratis, malahan telah menjelmakan Soekarno menjadi seorang diktator. Deliar Noer (1966: 12) misalnya, menulis bahwa:

“Demokrasi Terpimpin justru memperlihatkan ”hilangnya demokrasi dan yang tinggal hanya terpimpinnya. Soekarno benar-benar melaksanakan keinginannya, lebih jauh setelah Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Konstituante dan DPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilu dibubarkannya, kemudian membentuk Dewan Nasional yang pada gilirannya dibubarkan sendiri juga”.

Seruannya kepada para pemimpin Pergerakan Rakyat Republik Indonesia (PRRI) agar menyerah dengan jaminan bahwa mereka tidak akan diapa-apakan ternyata tidak

dipenuhi, sebab setelah menyerah ada beberapa dari mereka yang dijebloskan ke dalam tahanan. Semua media massa menyebarluaskan pikirannya tanpa dapat dibandingkan dengan pikiran lain dan indoktrinasi pun dikeluarkan. Masalah forum Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) dilakukan di mana pun, dari pemerintah sampai organisasi semi pemerintah seperti Front Nasional sehingga PKI memperoleh pijakan, termasuk di tempat yang tidak ada cabang dan ranting PKI. Dia putar haluan politik bebas aktif menjadi politik luar negeri berporos ke Peking (Deliar Noer, 1966: 13).

Nasakom yang menjadi bagian utama era demokrasi terpimpin, dicetuskan oleh Soekarno sebagai pelengkap ideologi negara yang di dalamnya berisi doktrin tentang kesatuan dari tiga unsur masyarakat Indonesia, yaitu kaum agama, nasionalis, dan komunis. Secara berulang-ulang Presiden Soekarno membentuk lambang-lambang baru negara, rumusan-rumusan baru tentang masa kini serta tujuan yang akan dicapai di masa depan. Hal tersebut dengan cepat menguasai hampir seluruh media massa (Moh Mahfud MD, 2010: 142).

Sejalan dengan itu, Alfian (Moh Mahfud MD, 2010: 143) mengemukakan bahwa tingkah laku Soekarno semasa demokrasi terpimpin jauh menyimpang, bahkan bertentangan dengan pemikiran politiknya sendiri. Di puncak kekuasaannya, presiden memperlihatkan tingkah laku yang sewenang-wenang. Itu semua menyebabkan timbulnya penilaian bahwa tingkah laku politik Soekarno telah menyeleweng dari Demokrasi Pancasila dan lebih dari itu mengandung ciri otoriter. Upaya Soekarno untuk memperluas wewenangnya secara melampaui batas-batas konstitusionalnya tidak memperoleh halangan berat.

”Dengan demikiaan, Soekarno pribadi, Soekarno pada dirinya sendiri berkembang menjadi suatu kekuatan politik yang setingkat dengan partai-partai dan merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan politik Indonesia sejak akhir tahun lima puluhan” (Nugroho Notosoesanto, 1975: 72).

Pada akhirnya gagasan Demokrasi Terpimpin Soekarno mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara yang telah diatur oleh kekuasaan Soekarno. Pada tahun 1965 MPRS mengeluarkan ketetapan No. VIII/MPRS/1965, yang berisi pedoman pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Ketetapan ini memuat isi yang menentukan proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan dengan musyawarah mufakat, tetapi jika musyawarah mufakat tidak dapat dicapai, maka keputusannya diserahkan pada pimpinan. Mekanisme

yang demikian tentu saja akan memberikan peluang pada Soekarno untuk mnguasai setiap pengambilan keputusan. Sebab sangat sulit jika setiap musyawarah harus selalu mufakat bulat. Akhirnya pimpinanlah yang akan menentukan segalanya.

Tak dapat dibantah memang, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, garis politik yang ditempuh Soekarno dapat memperlihatkan stabilitas, terutama setelah dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dan dibentuknya Front Nasional. Tetapi stabilitas yang hidup waktu itu adalah stabilitas semu, sebab seperti ternyata kemudian ia tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses penggantian kepemimpinan. Stabilitas yang ada waktu itu hanya mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola Front Nasional yang seolah-olah mewakili sistem partai tunggal yang tak kentara. Melalui sistem satu partai tak kentara ini dibina suatu gaya yang berorientasi pada nilai secara mutlak dengan konsekuensi bahwa interpretasi dari pemerintah harus selalu dianggap benar tanpa ada tawaran dan tidak mengenal alternatif lain (Rusadi Kartaprawira, 1977: 147).

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 80-84)