• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Pers

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 88-91)

SETTING KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK TIGA REZIM A Orde Lama

B. Orde Baru

4. Kebebasan Pers

Pada awal-awal kelahiran Orde Baru, kehidupan pers mendapat angin segar. Kebebasan pers diberi harapan untuk berkembang seperti yang diinginkan oleh kalangan pers sendiri, yakni keluar dari belenggu sistem politik otoriter, seperti yang dialami pada era Orde Lama. Oleh sebab itu, kritik-kritik yang pedas sering muncul dalam media pers pada waktu itu, baik ditujukan rezim yang baru jatuh (Demokrasi Terpimpin) maupun kepada rezim yang baru naik ke pentas politik. Pemerintah Orde Baru bersikap toleran terhadap cara penyajian yang kadangkala ”panas” itu. Pers mahasiswa kembali meraih puncak kebesarannya, dan bersama dengan pers umum menikmati keleluasaan mengekspresikan apa saja. (Moh Mahfud MD, 2010: 233). Namun gaya libertarian pada era Orde Baru hanyalah bersifat sementara, yakni selama pemerintah memantapkan pembuatan format politik baru di Indonesia. Segera setelah format politik baru itu

terbentuk (melalui UU No. 15/1969 dan UU No. 16/1969) mulailah gaya libertarian bergeser ke gaya otoritarian dan pemberedelan terhadap pers tetap terjadi secara terus menerus. Lebih lanjut menurut Moh Mahfud MD:

”Pada periode ini sudah ada UU yang mengatur kehidupan pers, yakni UU No. 11 Tahun 1966, mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Pers UU ini dikeluarkan pada awal Orde Baru, tetapi ketika itu Presiden Soekarno masih menjadi presiden. Oleh karena itu UU ini dapat disebut UU yang dibuat pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Meskipun UU ini ditandatangani oleh Soekarno pada 12 Desember 1966, tapi istilah demokasi terpimpin tidak tercantum di dalamnya. Pada waktu itu Soekarno secara resmi masih presiden, tetapi kekuasaannya yang riil telah berpindah kepada Soeharto sejak 11 Maret 1966. Dan sebelum UU itu diundangkan Orde Baru telah lahir dengan membawa perlawanan terhadap konsep Demokrasi Terpimpin”. (Moh Mahfud MD, 2010: 234).

Setelah peristiwa Malari (15 Januari 1974) pemerintah memberedel beberapa penerbitan pers umum, seperti Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, dan harian KAMI. Begitu juga setelah Pemilu 1977 atau menjelang sidang umum MPR tahun 1978, beberapa surat kabar umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Indonesia Timur, Sinar Pagi, Pelita, Masa Kini diberedel meskipun kemudian boleh terbit lagi setelah para pimpinannya membuat pernyataan tertentu. Semula pers mahasiswa dianggap sebagai cagar kebebasan pers, dan kerenanya, setelah beberapa pers umum terkekang dengan ancaman pemberedelan, pers mahasiswa menggantikan peranan pers umum untuk menyampaikan pemberitaan secara lugas. Tetapi pers mahasiswa juga dikenakan larangan terbit (diberedel) pada waktu itu (Daniel Dhakidae, 1977: 73). Meskipun setelah enam bulan pers mahasiswa boleh terbit kembali, tetapi belum setahun setelah itu beberapa pers mahasiswa seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Kampus (ITB), diberhentikan penerbitannya. Setelah itu pers mulai bisa menyesuaikan diri, tetapi pemberedelan sekali-kali tetap terjadi. Pada tahun 1982 Tempo biberedel (sementara) karena reportasenya mengenai peristiwa ”Lapangan Banteng” Peristiwa ini adalah ”huru- hara” yang menimbulkan kerusakan di Jakarta ketika ada kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang kemudian bentrok dengan simpatisan kontestan lain. Menuyusul harian Prioritas yang sebelumnya telah berkali-kali mendapat peringatan dari Deppen dan Harian Sinar Harapan (1986) serta mingguan tabloid Monitor yang diberedel pada tahun 1990. Akhirnya pada tahun 1994, tiga penerbitan yang sangat berpengaruh diberedel, yaitu Tempo, Editor, dan Detik. Di kalangan dunia pers Indonesia belakangan ini dikenal

juga istilah ”lembaga telepon” yang dianggap bertendensi penyensoran secara halus. Dengan melalui telepon, biasanya seorang pejabat minta kepada redaksi untuk tidak memuat berita-berita tertentu. (Moh Mahfud MD, 2010: 232).

e. Hegemoni Soeharto

Pemerintah Orde Baru dengan ketat sebenarnya menerapkan sistem satu partai. Sejak awal tahun 1970-an hingga 1998, formalnya hanya tiga partai yang boleh hidup, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Dua partai yang disebut belakangan itu adalah hasil ”fusi paksa” yang disponsori pemerintah terhadap sembilan partai yang eksis dalam Pemilu 1971, pemilihan umum pertama di bawah Orde Baru. Kendati Golkar resminya bukan partai politik, melainkan hanya sebuah kelompok fungsional semata, pada praktiknya, Golkar adalah satu-satunya ”partai sejati” sepanjang rezim Orde Baru.

Guna memperkuat kontrol terhadap partai yang ada, Pasal 14 (1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik:

”Memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan partai yang tidak sesuai dengan tujuan negara. Lebih jauh lagi, masih menurut Pasal 2 (1) UU yang sama, partai politik harus menerima Pancasila, falsafah negara, sebagai satu- satunya landasan, alias asas tunggal. Vatikiotis berpendapat bahwa kontrol melalui prinsip asas tunggal ini adalah pembatasan sangat efektif yang dilakukan Orde Baru terhadap ruang gerak masyarakat. Langkah ini merupakan pengebirian terhadap semua partai politik, dengan meletakkan kekuatan Islam ke dalam cengkeraman ketat kontrol negara”. (Denny Indrayana, 2007: 142).

Pemerintah Soeharto jelas bersikap pilih kasih, dengan membeda-bedakan bobot kontrolnya di antara ketiga partai yang ada. Terhadap PPP dan PDI, pemerintah bersikap jauh lebih ketat dan keras, ketimbang terhadap Golkar. Yang terakhir ini dengan cepat menjadi partai politik negara yang intim dengan militer Indonesia. Pemerintah Soeharto membantu kinerja Golkar, hasilnya, seperti terlihat dalam Tabel 1, Golkar tak terkalahkan dalam semua Pemilu yang digelar sepanjang sejarah Orde Baru: 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Tabel 3

Hasil Pemilu Orde Baru 1971-1997 Tahun Golkar % total jumlah kursi Golkar % total jumlah suara PPP % total jumlah kursi PPP % total jumlah suara PDI % total umlah kursi PDI % total jumlah suara

1971 66 59 27 26 8 9 1977 64 56 28 27 8 8 1982 60 64 24 28 6 8 1987 75 73 15 16 10 11 1992 70 68 16 17 14 15 1997 76 75 21 22 3 3

Sumber: (Denny Indrayana, 2007: 146). Denny Indrayana. (2007). Amandemen UUD 1945, antara mitos dan pembongkaran. Bandung: Penerbit Mizan.

Salah satu di antara mekanisme yang digunakan untuk membantu Golkar, agar selalu menang dalam setiap Pemilu, adalah:

“Kewajiban bagi para pegawai negeri sipil untuk selalu mendukung Golkar. Semua PNS secara otomatis menjadi anggota Korpri, sebuah lembaga yang setali tiga uang dengan Golkar, dan sejak awal 1970-an semua anggota Korpri diwajibkan menandatangani sebuah surat yang menyatakan “monoloyalitas” mereka kepada Golkar. Mereka yang melanggarnya dianggap telah melakukan tindak pengkianatan dan hal demikian sudah cukup untuk menjadi alasan pemecatan”. (Denny Indrayana, 2007: 144).

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 88-91)