• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indoktrinasi Ideolog

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 119-122)

DINAMIKA POLITIK PENDIDIKAN TIGA REZIM

B. Politik Pendidikan Orde Baru

1. Indoktrinasi Ideolog

Beban politik dalam pendidikan mulai terasa ketika adanya pergantian pelajaran dari Civic atau Kewarganegaraan menjadi pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sejak tahun 1976. Penggantian pelajaran Civic menjadi PMP itu memiliki implikasi politik yang cukup besar. Menurut Darmaningtyas:

”Dalam pelajaran Civic yang dipelajari adalah mengenal hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan juga kewajiban negara terhadap warganya. Dengan demikian sejak kecil setiap murid sudah diajarkan untuk bersikap kritis terhadap hak-haknya sebagai warga negara dan kewajiban negara terhadap warganya. Dengan kata lain, pelajaran Civic itu akan menumbuhkan sikap kritis kepada setiap murid. Hal itu jelas kurang menguntungkan bagi penguasa. Sebab bila setiap lulusan sekolah menjadi sangat kritis, maka penguasa akan kebingungan memberikan jawaban kepada setiap tuntutan warganya. Sedangkan pada mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi kurang dikenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, dan tidak kritis” (Darmaningtyas, 2004: 10).

Setelah hadirnya Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Darmaningtyas menyatakan bahwa:

”Beban politik pada pendidikan nasional itu makin terasa berat ketika pelajaran PMP itu tidak hanya berhenti di situ saja. Tapi berlanjut pada bentuk penataran P- 4 yang harus diikuti oleh setiap murid dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997 penataran P-4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru. Penataran P-4 pun kemudian menjadi proyek baru bagi para pengampu mata pelajaran Pancasila”. (Darmaningtyas, 2004: 11).

Selain mata pelajaran PMP, mata pelajaran Sejarah juga banyak dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendukung kepentingannya. Sebagai contohnya adalah mata pelajaran Sejarah Nasional yang sangat menonjolkan materi peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa Orde Baru sebagai Hero.

”Buku-buku Sejarah Nasional sejak masa awal Orde Baru lebih banyak bersifat sebagai kampanye anti PKI. Oleh sebab itu, dalam seluruh materi sejarah, terutama peristiwa 1965-1966 ditekankan pada kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) dan heroiknya Angkatan Darat dalam menyelamatkan Pancasila sebagai dasar negara sehingga kemudian memunculkan peringatan ”Hari Kesaktian Pancasila” yang selalu diperingati setiap tahunnya. Namun sejak Gur Dur menjadi Presiden peringatan tersebut diganti istilah dengan nama ”peringatan 1 Oktober” (Darmaningtyas, 2004: 11).

Selain pergantian pelajaran yang lebih memiliki beban politis daripada pencerdasan itu, pada Pelita III juga ditandai dengan adanya ketentuan seragam secara nasional, yaitu Merah-Putih untuk SD, Biru-Putih untuk SLTP, dan Abu-abu-Putih untuk SMTA. Sebelumnya seragam pelajar itu ditentukan oleh masing-masing sekolah dan fungsinya hanya untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat saja. Ketentuan seragam secara nasional itu baru mulai diberlakukan sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Josoef dari CSIS (1987-1993), sebelumnya seragam sekolah itu amat berwarna-warni.

Mulai saat itu sebetulnya telah terjadi penguasaan institusi pendidikan nasional baik secara fisik maupun mental melalui politik penyeragaman. Secara fisik melalui ketentuan pakaian seragam nasional dari tingkat SD, SMTA, sedangkan secara mental melalui penggantian pelajaran Civic dengan PMP dan Penataran P-4 bagi murid baru, serta materi pelajaran Sejarah yang ditekankan sebagai kampanye anti PKI. Penguasa Orde Baru menyadari betul, bahwa pendidikan merupakan wahana yang strategis untuk melakukan indoktrinasi ideologi yang efektif, oleh karena itu pendidikan harus dikuasai. Pada perkembangan berikutnya, upaya menambah beban politik pada institusi pendidikan

nasional itu dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto (1983-1985) dengan menambah mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada Kurikulum 1984.

”Jika sebelumnya kampanye anti-PKI di satu pihak dan heroisme Angkatan Darat itu hanya masuk ke dalam materi pelajaran Sejarah saja, maka oleh Menteri Nugroho Notosusanto diformalkan dalam bentuk pelajaran PSPB yang dinilai tumpang tindih dengan materi Sejarah Nasional itu sendiri. Oleh para sejarawan yang kritis, seperti Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan G. Moedjanto ditolak. Bahkan Prof. Dr. Sartono (Guru Besar Fakultas Sastra UGM) tidak mau terlibat dalam penyusunan materi PSPB. Karena materi ini dinilai lebih bermuatan politis daripada proses pencerdasan bangsa, karena fokus perjuangan yang ditunjukkan hanya pada perjuangan bersenjata dan itu pun secara waktu hanya terfokus pada peran Angkatan Darat dalam menghadapi PKI tahun 1965-1966. Perjuangan kaum cendekiawan melalui diplomasi tidak ditempatkan sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, penambahan pelajaran PSPB itu sebetulnya lebih dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik dominan pada saat itu, yaitu ABRI khususnya Angkatan Darat. Melalui pelajaran PSPB itu diharapkan secara evolutif para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ABRI, khususnya Angkatan Darat. Keputusan Menteri Nugroho Notosusanto itu ditengarahi sebagai upaya untuk mencari muka di hadapan militer, karena ia dikenal sebagai sastrawan dan rektor UI yang dekat dengan militer. Sebelum menjadi rektor UI tahun 1982, Nugroho Notosusanto adalah bekerja di Pusat Kajian Sejarah Militer, Angkatan Darat. Setelah Nugroho Notosusanto meninggal dunia (Juni 1985) dan Menteri P dan K dijabat oleh Fuad Hassan (sejak 31 Juli 1985), mata pelajaran PSPB itu kemudian dihapuskan dan diintegrasikan kembali ke materi Sejarah Nasional dan PMP”. (Darmaningtyas, 2004: 13).

Penguasaan institusi pendidikan sebagai wahana indoktrinasi ideologi dan politik Orde Baru tidak hanya berhenti pada penggantian desain materi pelajaran Civic menjadi PMP, mengubah substansi pelajaran Sejarah Nasional, menambahkan pelajaran PSBP, atau penyeragaman pakaian secara nasional saja, tapi juga penguasaan guru.

”Organisasi guru, yang kemudian dikenal dengan nama PGRI yang pada saat didirikan pada 25 November 1945 berbentuk Serikat Pekerja pada Konggresnya tanggal 23-25 Novenber 1973 di Jakarta berubah status menjadi Organisasi Profesi. Bersamaan dengan perubahan status itu juga terjadi perubahan afiliasi politik. Selama masa Orde Baru PGRI dikenal sebagai salah satu organisasi profesi yang menjadi basis pendukung Golongan Karya (Golkar) sehingga anggota PGRI diidentikkan dengan Golkar (Darmaningtyas, 2004: 17).

Adanya perubahan status itu jelas mempengaruhi ruang gerak organisasi guru, yaitu Serikat Pekerja yang bertujuan memperjuangkan hak-hak guru menjadi organisasi yang diikat oleh kode etik profesi tertentu. Apalagi perannya sebagai pendukung Golkar, jelas dapat melupakan nasib anggotanya sekiranya anggota itu tidak sejalan dengan tuntutan Golkar.

”Begitu besarnya cengkeraman birokrasi yang diperkuat oleh organisasi guru, menyebabkan guru kehilangan otonominya. Guru kemudian sangat terbiasa bekerja atas dasar petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis saja. Semua perintah akan dijalankan bila sudah ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, karena mereka takut disalahkan”. (Darmaningtyas, 2004: 18).

Penguasaan guru sebagai media untuk melaksanakan indoktrinasi ideologi dan politik Orde Baru itu berlangsung sangat efektif, sehingga dalam waktu dua dekade terakhir masa Orde Baru, institusi pendidikan telah menjadi sarana yang efektif untuk mendukung status quo. Institusi pendidikan menjadi institusi yang paling konservatif untuk melakukan perubahan sama sekali. Ini jelas sebagai dampak dari pengkerdilan jiwa dan penghilangan otonomi guru. Dalam pengertian ini, jelas bahwa pendidikan sejak masa Orde Baru cenderung sebagai proses pemiskinan ideologi dan politik masyarakat.

Dalam dokumen Buku Pol. Pend. 3 Rezim (Halaman 119-122)