• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.6 Kecamatan Jalancagak

4.6.1 Desa Jalancagak

Desa Jalancagak memiliki luas wilayah sebesar 638.421 hektar. Desa tersebut berjarak 0,5 km dari ibu kota kecamatan dan 15 km dari ibu kota kabupaten. Penduduk Desa Jalancagak berjumlah 8164 orang dengan rincian 4156 orang laki-laki dan 4008 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Jalancagak sebesar 44 orang/km. Sebagian besar penduduk Desa Jalancagak memiliki mata pencaharian sebagai petani. Etnis Sunda merupakan etnis yang banyak tinggal di Desa Jalancagak dibandingkan etnis lainnya

Desa Jalancagak memiliki curah hujan sebesar 415 mm/tahun dengan jumlah bulan hujan sebanyak empat bulan. Desa tersebut terletak pada ketinggian 800 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 28,33°C. Tingkat kemiringan lahan sebesar 25° dengan bentang wilayah desa berbukit-bukit seluas 27.336 hektar. Dalam bidang pertanian, tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan tanaman apotik hidup merupakan komoditas yang dimiliki Desa Jalancagak. Komoditas hasil hutan Desa Jalancagak berupa kayu, bambu, kayu albazia, sarang burung dan gula enau. Hutan di Desa Jalancagak merupakan hutan lindung seluas 2300 hektar. Dalam bidang peternakan, ternak ayam broiler dan domba merupakan dua komoditas terbesar (Pendataan Profil Desa Jalancagak 2010).

4.6.2 Desa Bunihayu

Desa Bunihayu memiliki luas 960.355 hektar. Desa Bunihayu berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 15 km dari ibukota kabupaten. Penduduk Desa Bunihayu berjumlah 5332 orang dengan rincian 2691 orang laki-laki dan 2641 orang perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Bunihayu bermata pencaharian sebagai petani. Desa Bunihayu memiliki curah hujan 2346,6 mm/tahun. Desa tersebut berada pada ketinggian 550 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 24,27°C.

Dalam bidang pertanian, komoditas Desa Bunihayu berasal dari tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman apotik hidup dan perkebunan. Hutan di desa tersebut merupakan hutan milik Perhutani seluas 60 hektar dengan hasil hutan berupa arang dan getah pinus. Saat ini sebanyak 20 hektar dari hutan tersebut dalam kondisi rusak karena dampak berubahnya fungsi hutan (Pendataan Profil Desa Bunihayu 2010).

4.6.3 Desa Tambakmekar

Desa Tambakmekar memiliki luas 331,39 hektar. Jumlah penduduk Desa Tambakmekar pada tahun 2010 sebanyak 5248 orang dengan rincian 2657 orang laki-laki dan 2591 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Tambakmekar, yaitu 750 orang/km. Sebagian besar penduduk Desa Tambakmekar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mayoritas penduduk Desa Tambekmekar berasal dari etnis Sunda.

Desa Tambakmekar memiliki curah hujan 1177 mm/tahun dan suhu rata- rata harian 22 – 24°C. Komoditas Desa Tambakmekar dalam bidang pertanian berasal dari tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan tanaman apotik hidup. Hutan di Desa Tambakmekar merupakan milik negara dengan luas 9,60 hektar. Selain itu juga terdapat hutan produksi seluas 88 hektar dan hutan lindung seluas 5,60 hektar. Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat, yaitu kayu, bambu dan cemara (Pendataan Profil Desa Bunihayu 2010).

4.7Kecamatan Dawuan

Kecamatan Dawuan termasuk dataran rendah dengan ketinggian 37,17 - 700 m dpl dengan luas 7.032,72 hektar. Batas wilayah kecamatan ini, yaitu sebelah utara Kecamatan Pagaden Barat, sebelah selatan Kecamatan Sagalaherang, sebalah timur Kecamatan Subang dan sebelah barat Kecamatan Kalijati. Kecamatan Dawuan memiliki 10 kelurahan/desa, yaitu Sukasari, Cisampih, Dawuan Kaler, Dawuan Kidul, Jambelaer, Situsari, Rawalele, Manyeti, Batusari dan Margasari (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.7.1 Desa Manyeti

Desa Manyeti memiliki luas 662 hektar. Desa Manyeti terletak pada ketinggian 220 mdpl dengan suhu rata-rata harian 32°C. Desa Manyeti berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km dari ibukota kabupaten. Jumlah penduduk Desa Manyeti pada tahun 2007 sebanyak 4396 orang yang terdiri dari 2150 orang perempuan dan 2246 orang laki-laki. Kepadatan penduduk Desa Manyeti sebesar 55,80 jiwa per km. Penduduk Desa manyeti mayoritas merupakan petani. Penduduk Desa Manyeti mayoritas merupakan etnis Sunda. Pertanian tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan peternakan meruapakan komoditas Desa Manyeti (Pendataan Profil Desa Manyeti 2007).

4.7.2 Desa Rawalele

Desa Rawalele memiliki luas 63,9 hektar. Desa Rawalele terletak pada ketinggian 200 mdpl. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km ke ibukota kabupaten. Penduduk Desa Rawalele berjumlah 4300 orang yang terdiri dari 2135 orang laki-laki dan 2165 orang perempuan. Kepadatan penduduk desa tersebut adalah 2,5 jiwa per km. Penduduk Desa Rawalele sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani.

Curah hujan Desa Rawalele adalah 220 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian sebesar 28 – 32°C. Rambutan merupakan komoditas pertanian tanaman buah-buahan Desa Rawalele, sedangkan karet merupakan komoditas perkebunannya. Penduduk Desa Rawalele beternak ayam kampung, domba, sapi dan kelinci (Pendataan Profil Desa Rawalele 2009).

4.7.3 Desa Sukasari

Desa Sukasari memiliki luas 250,5 hektar. Desa Sukasari terletak pada ketinggian 200 mdpl. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km dari ibukota kabupaten. Penduduk Desa Sukasari berjumlah 3737 orang yang terdiri dari 1681 orang laki-laki dan 2065 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Sukasari adalah 5 jiwa per km. Petani merupakan mata pencaharian penduduk Desa Sukasari terbesar. Penduduk Desa Sukasari berasal dari etnis Sunda, Jawa dan Minang/Padang dengan etnis Sunda sebagai mayoritas etnis penduduk Desa Sukasari

Curah hujan Desa Sukasari adalah 200 mm/tahun dan suhu rata-rata harian 30°C. Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan di Desa Sukasari. Penduduk Desa Sukasari beternak ayam kampung, ayam broiler, domba, sapi, bebek dan kelinci serta membudidayakan ikan mujair dan lele (Pendataan Profil Desa Sukasari 2009).

4.8Kecamatan Tambakdahan

Kecamatan Tambakdahan merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Binong berdasarkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2007 tentang Pemekaran dan Pembentukan Wilayah Kecamatan di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Subang. Secara resmi, Kecamatan Tamabakdahan berdiri sejak tanggal 12 Mei 2008. Kecamatan Tambakdahan termasuk dataran rendah dengan ketinggian 5 – 10 m dpl. Kecamatan ini memiliki luas 5.568,391 hektar dan terdiri dari sembilan desa yang disebut Sembilan Barisan Desa Agraris (SEMBADA). Desa-desa tersebut, yaitu Desa Tambakdahan, Desa Bojongkeding, Desa Bojonegara, Desa Kertajaya, Desa Rancaudik, Desa Mariuk, Desa Gardumukti, Desa Wanajaya dan Desa Tanjungrasa (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.8.1 Desa Tambakdahan

Desa Tambakdahan memili luas 656.117 hektar. Desa tersebut berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 30 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Tambakdahan berjumlah 7400 orang yang terdiri dari 3690 orang laki-laki dan 3710 orang perempuan. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian

sebagai buruh tani. Penduduk Desa Tambakhan terdiri dari etnis Sunda, Jawa, Madura, Batak, Minang/Padang dan Makasar/Bugis

Desa Tambakdahan berada pada ketinggian 15 mdpl dengan topografi bentangan wilayah desa dataran rendah seluruhnya, yaitu seluas 656.117 hektar. Curah hujan Desa tambakmekar sebesar 139 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian sebesar 26 °C. Komoditas pertanian tanaman pangan, tanaman buah- buahan, tanaman apotik hidup, perkebunan dan peternakan merupakan komoditas Desa Tambakdahan (Pendataan Profil Penduduk Desa Tambakdahan 2010).

4.8.2 Desa Rancaudik

Desa Rancaudik memiliki luas 618.784 hektar. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 32 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Rancaudik berjumlah 4740 orang yang terdiri dari 2281 orang laki-laki dan 2459 orang perempuan. Kepadatan penduduknya sebesar 130 jiwa per km. Petani merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Rancaudik. Penduduk Desa Rancaudik mayoritas berasal dari etnis Sunda.

Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan dan manggis merupakan komoditas pertanian tanaman buah-buahan Desa Rancaudik. Penduduk Desa Rancaudik beternak ayam kampung, bebek, domba dan angsa (Pendataan Profil Desa Rancaudik 2010).

4.8.3 Desa Kertajaya

Desa Kertajaya memiliki luas 574.741,156 hektar. Desa Kertajaya berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 32 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Kertajaya berjumlah 3778 orang yang terdiri dari 1826 orang laki-laki dan 1952 orang perempuan. Penduduk Desa Kertajaya sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani. Etnis Sunda merupakan etnis terbanyak penduduk Desa Kertajaya. Desa Kertajaya terletak pada ketinggian 10 mdpl. Curah hujan di desa tersebut adalah 200 mm/tahun dengan jumlah bulan hujan sebanyak empat bulan. Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan dan kelapa merupakan komoditas perkebunan Desa Kertajaya. Penduduk beternak ayam kampung, ayam broiler, domba, angsa dan kelinci (Pendataan Profil Desa Kertajaya 2010).

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Jumlah responden pada setiap desa adalah 30 orang dan 90 orang untuk setiap kecamatan, sehingga jumlah responden untuk tingkat kabupaten sebanyak 270 orang. Perbandingan jumlah responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada setiap desa tidak merata. Jumlah responden laki-laki pada setiap kecamatan lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Kisaran umur responden terbanyak, yaitu 41 – 50 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat banyak diketahui dan dilakukan oleh masyarakat berumur 41 – 50 tahun, namun hal tersebut tidak menunjukan bahwa jumlah spesies dan ramuan tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan masyarakat dengan kisaran umur tersebut lebih banyak dan beragam dibandingkan kisaran umur masyarakat lainnya yang diwawancarai.

Responden termuda berumur 20 tahun yang diwawancarai di Desa Jalancagak, Kecamatan Jalancagak, sedangkan responden tertua berumur 96 tahun yang tinggal di Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan. Hal tersebut menunjukan bahwa tumbuhan obat ternyata dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai umur, dari yang muda hingga tua. Meskipun tentu saja intensitas pemanfaatan dan banyaknya pengetahuan pada setiap umur tersebut berbeda. Pada umumnya, responden usia muda memiliki pengetahuan lebih terbatas dibandingkan responden usia tua yang juga mempengaruhi tingkat pemanfaatan tumbuhan obatnya.

Responden yang merupakan ibu rumah tangga merupakan masyarakat yang lebih banyak diwawancarai dibandingkan masyarakat dengan mata pencaharian lainnya. Pada tingkat kabupaten, responden yang merupakan ibu rumah tangga berjumlah 150 orang. Responden tersebut mudah lebih mudah ditemui dan merupakan responden yang banyak memanfaatkan tumbuhan obat. Responden yang memanfaatkan tumbuhan obat tidak hanya untuk pengobatan sendiri, namun juga untuk membantu orang lain, seperti paraji (dukun beranak), tukang urut dan

dukun tidak selalu ditemukan pada setiap lokasi. Jumlah responden tersebut pada tingkat kabupaten sebanyak 14 orang.

Beberapa responden tidak bekerja karena alasan sakit dan lanjut usia. Responden yang sakit banyak memanfaatkan tumbuhan obat sebagai salah satu upaya penyembuhan sakitnya, terutama responden dengan riwayat sakit yang lama. Responden dengan riwayat sakit yang lama pada umumnya telah mencoba berbagai tumbuhan obat untuk pengobatan, beberapa diantaranya tidak manjur sehingga responden terus mencoba tumbuhan lain. Selain itu, terdapat juga beberapa spesies tumbuhan obat yang manjur, namun keinginan sembuh yang besar menyebabkan responden terus mencari spesies tumbuhan lain untuk mempercepat penyembuhan. Hal tersebut menyebabkan jumlah spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh responden yang sakit tersebut menjadi banyak. Responden yang sudah lanjut usia pun banyak memanfaatkan tumbuhan obat, meskipun penggalian pengetahuan spesies yang dimanfaatkan tersebut terkendala dengan ingatan responden yang mulai berkurang.

Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sebanyak 156 orang. Hal tersebut disebabkan keterbatasan akses pada beberapa masyarakat menuju sekolah dan masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat. Data responden selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.

5.2 Spesies Tumbuhan Obat

Dilihat dari intensitas pemanfaatan tumbuhan obat berdasarkan Aliandi dan Roemantyo (1994), masyarakat Kabupaten Subang termasuk pada kelompok masyarakat kedua. Kelompok masyarakat kedua menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga, umumnya tinggal di pedesaan yang sudah memiliki sarana dan prasarana kesehatan, namun terbatas. Sarana dan prasarana kesehatan pada lokasi penelitian berupa puskesmas di kecamatan dan posyandu, mantri dan bidan desa pada setiap desa. Kelompok tersebut biasanya memiliki kondisi ekonomi yang umumnya masih rendah, sehingga pengobatan tradisional merupakan alternatif dalam pemenuhan kesehatan.

Dari penelitian yang dilakukan di tiga kecamatan yang mewakili masing- masing daerah wilayah Kabupaten Subang, yaitu Kecamatan Jalancagak,

Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan, jumlah tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Subang berjumlah 228 spesies dari 66 famili. Masyarakat di Kecamatan Dawuan yang merupakan daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah) memanfaatkan spesies tumbuhan obat yang lebih banyak dibandingkan masyarakat di zona lainnya. Masyarakat di kecamatan tersebut memanfaatkan 185 spesies tumbuhan obat yang berasal dari 58 famili. Spesies-spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut lebih beragam dibandingkan spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah lainnya. Masyarakat Kecamatan Tambakdahan yang termasuk daerah dataran rendah memiliki tingkat pemanfaatan tumbuhan obat terendah, yaitu sebanyak 101 spesies dari 43 famili. Meskipun jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan pada masing-masing kecamatan berbeda, spesies-spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan secara umum tidak terlalu berbeda.

Gambar 2 Jumlah spesies dan famili tumbuhan obat di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang.

5.2.1 Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan berdasarkan famili Spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae, Euphorbiaceae dan Fabaceae lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di semua kecamatan dibandingkan spesies dari famili lainnya. Sepuluh famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat pada tingkat kecamatan

disajikan pada Gambar 3, Gambar 5 dan Gambar 7. Jumlah spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae terbanyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan, yaitu sebanyak 14 spesies. Meskipun spesies famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan terbanyak di Kecamatan Dawuan, namun Famili Zingiberaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat yang banyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak dibandingkan masyarakat pada kecamatan lainnya, seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sepuluh famili terbanyak spesies tumbuhan obat yang dimanfaatakan oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak.

Banyaknya pemanfaatan spesies-spesies tumbuhan dari famili Zingiberaceae di Kecamatan Jalancagak karena kecamatan tersebut merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki suhu lebih rendah dari daerah lainnya, sehingga spesies- spesies tumbuhan obat famili Zingiberaceae yang beberapa diantaranya memiliki sifat menghangatkan banyak dimanfaatkan. Beberapa spesies tumbuhan famili Zingiberaceae pun memiliki sifat dingin. Spesies-spesies tumbuhan obat dengan sifat tersebut banyak dimanfaatkan untuk mengobati kelompok penyakit demam, panas dan influenza. Beberapa spesies tumbuhan yang bermanfaat mengobati penyakit tersebut, yaitu combrang (Etlingera elatior) dan panglai (Zingiber cassumunar).

Selain sebagai obat, penggunaan spesies-spesies famili Zingiberaceae untuk keperluan lainnya, seperti sebagai bumbu masakan sulit dilepaskan oleh masyarakat. Kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga) dan lengkuas (Alpinia purpurata) merupakan spesies- spesies famili Zingiberaceae yang biasanya digunakan masyarakat sebagai bumbu masak. Pemanfaatan spesies-spesies tumbuhan tersebut sebagai obat pun umum ditemukan pada masyarakat di semua kecamatan lokasi penelitian.

(a) (b)

Gambar 4 Beberapa spesies tumbuhan obat famili Zingiberaceae: (a) combrang dan (b) panglai.

Euphorbiaceae menurut Mwine dan Damme (2011) merupakan famili tumbuhan obat yang penting. Anggota famili Euphorbiaceae banyak ditemukan dan terdistribusi hampir di setiap belahan dunia dan mudah beradaptasi pada berbagai jenis habitat, karena itu famili ini menghasilkan berbagai jenis varietas yang mampu bertahan hidup. Hal tersebut yang diperkirakan menyebabkan spesies-spesies tumbuhan obat famili Euphorbiaceae ditemukan dan dimanfaatkan di semua daerah di Kabupaten Subang. Diantara ketiga kecamatan lokasi penelitian, spesies-spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Euphorbiaceae lebih banyak digunakan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan, yaitu mencapai 15 spesies, lebih banyak dibandingkan spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan masyarakatnya.

Masyarakat Kecamatan Dawuan seringkali memanfaatkan spesies-spesies yang berasal dari famili Euphorbiaceae untuk mengobati penyakit kulit karena sebagian besar memiliki getah yang berkhasiat untuk mengobati kelompok penyakit dan perawatan kulit. Sebagai contoh, getah mara (Macaranga tanarius) digunakan untuk mengobati bisul, getah nanangkaan (Euphorbia hirta) digunakan

untuk mengobati koreng dan mengeringkan luka sunat dan getah ki rapet (Jatropha multifida) digunakan untuk mengobati luka.

Gambar 5 Sepuluh famili terbanyak spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Dawuan.

Mara merupakan pohon kini semakin sulit ditemukan di Kecamatan Dawuan. Di Kecamatan Jalancagak, mara dapat ditemukan di hutan atau di kebun- kebun yang berbatasan dengan hutan. Terdapat dua jenis mara, yaitu mara awewe

(mara perempuan) dan mara lalaki (mara lelaki). Mara yang biasa dimanfaatkan sebagi obat adalah jenis mara awewe. Nanangkaan merupakan tumbuhan yang hidup liar, biasanya menempel pada tembok atau di tanah. Sedangkan ki rapet atau disebut juga bethadine dan panasilin di beberapa lokasi lain, kini sudah dibudidayakan sebagai tanaman hias. Spesies tumbuhan ini memiliki bentuk daun yang unik dan bunga berwarna merah.

(a) (b)

Gambar 6 Spesies-spesies famili Euphorbiaceae yang dimanfaatkan masyarakat: (a) mara dan (b) ki rapet.

Fabaceae merupakan famili tumbuhan obat terbesar kedua yang terdiri dari lebih 490 spesies tumbuhan obat. Spesies-spesies dari famili tersebut mengandung zat kimia yang penting bagi pengobatan dan kini telah banyak digunakan dalam berbagai produk kesehatan (Gao et al. 2010). Spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Fabaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Tambakdahan, yaitu sebanyak delapan spesies.

Gambar 7 Sepuluh famili tumbuhan obat terbanyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Tambakdahan.

Beberapa spesies tumbuhan obat famili Fabaceae hanya ditemukan dimanfaatkan masyarakat di Kecamatan Tambakdahan, yaitu jayanti (Sesbania sesban) dan johar (Cassia siamea). Daun jayanti merupakan obat untuk perawatan

kesehatan ibu melahirkan, melancarkan kencing dan mengobati sakit pinggang. Sedangkan johar merupakan obat pegal-pegal dan sakit gigi. Selain itu, daun muda johar merupakan obat lumpuh akibat stroke dengan direbus bersama akar pepaya ranti (Carica papaya), daun jawer kotok (Coleus scutellaroides), akar jambe (Areca catechu), akar alang-alang (Imperata cylindrica) dan gula batu. Saga (Abrus precatorius) merupakan spesies tumbuhan obat famili Fabaceae yang dimanfaatkan di semua kecamatan. Saga telah lama dikenal dan dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sariawan, panas dalam dan batuk, bahkan spesies tumbuhan ini telah diolah dan diproduksi secara modern dalam skala besar untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut.

(a) (b)

Gambar 8 Spesies-spesies tumbuhan obat famili Fabaceae yang hanya ditemukan dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Tambakdahan, yaitu (a) jayanti dan (b) johar.

Piperaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat yang banyak dimanfaatkan di Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan. Beberapa spesies yang dimanfaatkan, yaitu karuk (Piper sarmentosum), kemukus (Piper cubeba), surukan (Peperomia pellucida) dan berbagai spesies sirih. Terdapat empat spesies sirih yang dimanfaatkan masyarakat, yaitu sirih (Piper betle), sirih merah (Piper crotatum), sirih putih (Piper betle var) dan sirih hitam (Piper miniatum). Sirih merupakan sebutan yang umum diberikan masyarakat terhadap spesies sirih yang berwarna hijau. Keempat spesies sirih tersebut memiliki manfaat pengobatan yang hampir sama, namun menurut masyarakat tingkat keampuhan beberapa spesies tersebut dalam mengobati suatu penyakit berbeda.

Sebagai contoh, untuk mengobati batuk, sirih hitam dipercaya lebih ampuh dari pada sirih.

(a) (b) (c)

Gambar 9 Beberapa spesies sirih yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan: (a) sirih, (b) sirih merah dan (c) sirih hitam.

Masyarakat di ketiga kecamatan lokasi penelitian yang mayoritas merupakan Suku Sunda seperti masyarakat Suku Sunda lainnya juga menggemari lalapan. Solanaceae dan Asteraceae merupakan dua famili tumbuhan yang spesies tumbuhannya banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai lalapan dan juga dimanfaatkan sebagai obat. Spesies-spesies famili Solanaceae yang dimanfaatkan sebagai lalapan dan juga berkhasiat obat, yaitu leunca (Solanum nigrum), terong bulat (Solanum sp.), terong ungu (Solanum melongena) dan takokak (Solanum torvum). Keempat spesies tersebut dipercaya dan dimanfaatkan sebagai obat kuat. Sedangkan takokak, terong bulat dan leunca juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati penyakit jantung koroner.

Spesies-spesies yang berasal dari familli Asteraceae umumnya memiliki bau yang khas. Spesies-spesies famili tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat ketiga kecamatan lokasi penelitian, meskipun tidak semua spesiesnya dimanfaatkan di setiap kecamatan. Spesies famili Asteraceae yang umum dimanfaatkan di semua kecamatan, yaitu sembung (Blumea balsamifera) dan beluntas (Pluchea indica). Sambung nyawa (Gynura procumbens) yang oleh masyarakat salah satu desa di Kecamatan Dawuan disebut daun dewa, selain dimanfaatkan sebagai lalapan, juga merupakan obat reumatik dan pegal-pegal. Hal tersebut disebabkan karena sambung nyawa memiliki sifat hangat. Selain sambung nyawa, sintrong (Crassocephalum crepidioides) yang banyak tumbuh dan dimanfaatkan di

Kecamatan Jalancagak juga merupakan lalapan selain dimanfaatkan sebagai obat darah tinggi.

Spesies-spesies famili Musaceae banyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak, yaitu sebanyak lima spesies. Kelima spesies tersebut, yaitu pisang (Musa sp.), pisang gemor (Musa sp.), pisang muli (Musa sp.), pisang batu (Musa brachycarpa) dan pisang emas (Musa sp.). Pisang merupakan sebutan yang umum diberikan masyarakat untuk spesies pisang apapun yang dimanfaatkan selain keempat spesies pisang lainnya. Sebagian besar spesies pisang-pisang tersebut dimanfaatkan bagian batangnya, baik berupa getah maupun air yang terdapat dalam batang. Pisang batu yang oleh masyarakat juga disebut pisang mangala selain dimanfaatkan batangnya juga dimanfaatkan daun mudanya untuk mengobati kelumpuhan akibat stroke. Berbeda dengan keempat spesies pisang lainnya, pisang muli dimanfaatkan buah mudanya untuk mengobati muntaber.

(a) (b)

Gambar 10 Beberapa spesies famili Musaceae yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak: (a) pisang gemor dan (b) pisang batu. Masyarakat Kecamatan Tambakdahan banyak memanfaatkan spesies- spesies yang berasal dari famili Acanthaceae. Spesies- spesies yang berasal dari famili tersebut, yaitu daun tuju (Graptopyllum sp.), kalingsir (Clinacanthus nutans), keji beling (Stachytarpheta mutabilis), handeuleum (Graptophyllum pictum) dan sambiloto (Andrographis paniculata). Daun tuju dan kalingsir merupakan obat sakit kepala yang membuat sakit pada mata. Daun tuju digunakan dengan cara diteteskan pada mata, sedangkan kalingsir dengan cara diminum. Di Kecamatan Dawuan, daun tuju yang dikenal sebagai tarebah dimanfaatkan untuk obat gatal- gatal. Sedangkan kalingsir di Kecamatan Jalancagak merupakan obat sakit pinggang.

Handeulem di desa-desa Kecamatan Tambakdahan merupakan spesies tumbuhan obat yang belum lama dikenal. Masyarakat di suatu desa di kecamatan tersebut yang memiliki suami dengan riwayat sakit ambeyen mendapatkan informasi mengenai spesies tumbuhan tersebut dari teman, sedangkan masyarakat di desa lainnya mengenal dan mengetahui manfaat spesies tumbuhan obat tersebut dari kepala desanya. Kepala desa tersebut menanam handeuleum di depan kantor desa dan menginformasikan manfaat tumbuhan tersebut. Maka sejak itu, banyak masyarakat yang datang untuk mengambil daunnya. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak dimanfaatkannya suatu spesies tumbuhan obat bukan hanya karena