• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. SETING SOSIAL EKONOMI DAN KARAKTERISTIK

4.2. Kondisi Sosio-Geografis dan KependudukanDesa

4.2.1. Desa Panyingkiran

Desa Panyingkiran31merupakan salah satu desa diantara 13 desa di bawah Kecamatan

Rawamerta Kabupaten Karawang. Desa yang memiliki luas wilayah sekitar 368 ha, sebagaian besar wilayahnyaberupa lahan sawah. Secara geografis, Desa Panyingkiran bagian Utara berbatasan dengan Desa Sindang Mukti, Kec. Kutawaluya. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pasir Awi dan Desa Rawamerta. Sebelah Timur dibatasi oleh Desa Sukapura, Kec. Rawamerta, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sindang Karya, Kec. Sukawaluya.

31

Kata Panyingkiran berasal dari bahasa Sunda, yaitu dari kata “singkir” dan ditambah awalan “pa” dan akhiran “an”

yang berarti “tempat menyingkir”. Penamaan ini erat kaitannya dengan kondisi sosio-historis awal berdirinya desa ini

Sementara itu, dilihat dari kondisi fisik, suhu rata-rata di Desa Panyingkiran berkisar antara 240-

360 C.Desa lain yang termasuk wilayah Kecamatan Rawamerta adalah Desa Purwamekar,

Mekarjaya, Balongsari32, Sekarwangi, Pasirawi, Pasirkaliki, Sukamerta, Kutawangi, Cibadak,

Sukapura, Gombongsari, dan Sukaraja. Secara administratif, keberadaan Panyingkiran sebagai sebuah desa merupakan hasil pemekaran pada tahun 1981 dari tiga desa induk yaitu Desa Pasirawi, Desa Balongsari, dan Desa Sukapura.

Berdasarkan etnisnya, hampir semua penduduk Desa Panyingkiran adalah orang Sunda hanya terdapat 3 orang pendatang yang berasal dari Jawa Tengah dan Madura yang bekerja

sebagai pedagang makanan keliling. Bahasa Sunda33 dialek wewengkon Karawang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari diantara sesama penduduk desa, sedangkan agama yang dianut penduduk 100 persen agama Islam. Kepala keluarga sebanyak 1.817 KK terdiri dari 1.611 KK laki-laki, dan 206 KK perempuan.Aksesibilitas jarak ke Ibu Kota Kecamatan kurang lebih 3 km,

32

Desa Balongsari merupakan desa yang memiliki nilai historis yang tinggi yang terkenal dengan peristiwa “Subuh

Berdarah di Rawagede”. Peristiwa pembantaian warga yang tidak berdosa oleh tentara Belanda terjadi pada tanggal

9 Desember 1947 di Rawagede yang sekarang termasuk kedalam Desa Balongsari kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang. Peristiwa kelam yang memakan korban sebanyak 483 orang penduduk desa dimulai ketika Rawagede dijadikan markas gabungan pejuang (MGP) aeperti Field Preparation Barisan Hitam (FPBH) di bawah komando Lukas Kustario. Pasukan ini tidak ikut hijrah ke Yogyakarta bersama pasukan Siliwangi. Keberadaan pasukan Lukas Kustario tersebut tercium Belanda, kemudian Belanda mengepung dan membombardir kampung Rawagede yang isinya hanya penduduk sipil yaitu petani, anak gembala dan pedagang, karena para pejuang sudah mengungsi sehari sebelumnya ke Desa Tunggakjati. Untuk mengenang peristiwa kelabu tersebut, di Rawagede saat ini dibangun sebuah monument, dan berkat desakan beberapa kalangan, pemerintah Belanda melalui Kedutaan Besar di Jakarta telah meminta maap kepada warga. Bahkan telah memberikan kompensasi berupa materi 9uang) santunan kepada ahli waris korban pembantaian tersebut. (Sumber: Republika, tanggal 1 April 2012, halaman 5 dan 7).

33

Selama penelitian berlangsung peneliti menemukan kecenderungan memudarnya penggunaan Bahasa Sunda

terutama di kalangan anak muda. Banyak anak usia SMP dan SMA menggunakan Bahasa Indonesia gaya “Jakarta” yang khas. Misalnya panggilan “elu, gue” banyak dipakai sehari-hari. Bahkan ketika peneliti bertanya kepada anak muda di desa dalam Bahasa Sunda, selalu dijawab dengan Bahasa Indonesia, dengan alasan kalau dalam bahasa Sunda kagok, takut salah dan malu karena Bahasa Sunda Karawang kasar. Menurut salah seorang informan kunci yang juga seorang pendidik, yaitu USS (46 Tahun), gejala penggunaan Bahasa Indonesia di Karawang yang sudah mulai masuk sampai pelosok pedesaan merupakan konsekuensi dari letak Kabupaten Karawang yang dekat dengan wilayah penutur Bahasa Melayu Betawi yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Jakarta. Selain karena pengaruh televisi, juga pembukaan jalan bebas hambatan (tol) Jakarta-Cikampek pada tahun 1980-an yang mengakibatkan semakin banyaknya industri besar berskala nasional dan internasional yang di dirikan di Karawang. Pembukaan kawasan industri ini diikuti oleh pendirian berbagai perumahan dengan penduduk yang sangat beragam latar belakang etnik, bahasa dan agama. Interaksi yang intensif antara penduduk asli Karawang dengan pendatang tidak bisa dihindarkan dan menghasilkan akulturasi budaya, termasuk penggunaan Bahasa Indonesia yang

nampaknya merupakan jalan tengah atau “kompromi” antar etnik. Menurut informan, terdapat gejala yang bisa dikatakan sebaliknya, bahwa jika di pedesaan ada gejala “meng-Indonesia”, fenomena yang cukup menarik adalah terjadi pada etnik Tionghoa yang umumnya tinggal di kawasan pusat perdagangan/pasar atau Pecinan di Kota Karawang, Kota Cikampek, sampai saat ini masih banyak dari mereka yang menggunakan Bahasa Sunda pasaran dalam berkomunikasi dengan etnik Karawang. Alasan mereka menggunakan Bahasa Sunda selain karena kepentingan pragmatis yaitu sebagai bagian dari strategi dagang dan merebut hati konsumen yang nota bene mayoritas etnik Sunda, nampaknya dipengaruhi juga oleh kebijakan pemerintah Orde Baru yang pada waktu itu melarang penggunaan Bahasa dan berbagai simbol budayaTionghoa.

ditempuh seperempat jam, ke kota kabupaten 14 km, ditempuh 0,5 jam, sedangkan jarak ke kota propinsi 118 km yang bisa ditempuh kurang lebih 3,5 jam, dengan kondisi jalan aspal yang mulus.

Menurut penuturan H. Halimi (65 tahun), salah seorang sesepuh desa34, sejarah

pemukiman pertama Panyingkiran dimulai ketika penjajah Belanda datang ke Karawang35.

Banyak penduduk dari kota Karawang yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda, dan dengan alasan keamanan banyak penduduk yang berpindah, menyingkir ke arah Utara Karawang yang saat itu masih berupa rawa-rawa dan sulit dijangkau. Sangat tidak berlebihan jika sejarah Panyingkiran masih terkait dengan semangat perjuangan dalam merebut kemerdekaan Negara Republik Indonesia, salah satu keterikatan historis-emosional dengan beberapa peristiwa seperti “penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok 36”, pertempuran antara tentara Republik Indonesia dengan Belanda, yang lebih dikenal sebagai “Peristiwa Karawang-Bekasi”, dan peristiwa pembantaian rakyat Rawagedeoleh tentara Kompeni Belanda yang lebih dikenal sebagai peristiwa “Subuh Berdarah di Rawagede”.

Sejak berdiri sampai saat ini kepala desa yang pernah memimpin Panyingkiran berturut- turut adalah; Surahmat Hidayat (tahun 1982-1990), Rasji (tahun 1991-1996), meninggal ketika masih menjabat sebagai kepala desa, Abas (tahun 1996-1997) menggantikan Rasji sebagai PJS kepala desa, H.Rosdi (tahun 1997-1999), dan sejak tahun 1999-2011, yang menjadi kepala desa adalah M.Kusnaedi. Menurut penuturan M. Kusnaedi, pemilihan kepala desa bagi warga

34

H. Halimi (65 tahun) sesepuh Desa Panyingkiran, selain karena merupakan petani kaya yang cukup berhasil, ia juga menguasai pengetahuan tentang sejarah terbentuknya Desa Panyingkiran. Menurut penuturan H. Halimi, dalam sejarahnya beberapa nama kampung dan tempat di Desa Panyingkiran mengalami perubahan nama. Sebagai contoh nama Babakan Kodok, saat ini diganti dengan nama Dusun Karajan I.

35

Kabupaten Karawang sejak dulu terkenal sebagai salah satu daerah yang memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Antara lain peristiwa penculikan tokoh Soekarno-Hatta oleh tokoh pergerakan kemerdekaan untuk mempercepat pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia, pada tanggal 16 Agustus 1945. Karawang juga pernah menjadi basis pertempuran antara tentara RI melawan Belanda yang terkenal sebagai peristiwa Karawang-Bekasi, dan peristiwa pembantaian ratusan penduduk desa oleh tentara Belanda di Rawa Gede. Semangat heroik tersebut saat ini oleh pemerintah daerah Kabupaten Karawang dilestarikan melalui semboyan Kabupaten Karawang yaitu “Pangkal Perjuangan”, sebagai upaya untuk menghormati perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya yang terjadi di sekitar Kabupaten Karawang.

36

Sejarah mencatat bahwa satu hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pada hari Kamis tgl 16 Agustus, dua tokoh kemerdekaan RI yaitu Soekarno-Muhammad Hatta diculik oleh para pemuda dan Pejuang Pembela Tanah Air (PETA) dengan alasan nuntuk menjauhkan kedua proklamator tersebut dari pengaruh Jepang. Mereka bermaksud menekan Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa perlu menunggu keputusan Jepang, apalagi Jepang sudah menyerah kepada Sekutu sejak tanggal 15 Agustus 1945. Para penculik menempatkan kedua tokoh tersebut di Markas PETA di rengasdengklok, tetapi demi keamanan, maka kemudian dipindahkan ke rumah milik Djiauw Kie Siang salah seorang peranakan Tionghoa yang menjadi petani dan pedagang di Rengasdengklok.

masyarakat desa merupakan peristiwa pesta demokrasi pada aras paling bawah yang dalam prakteknya kurang lebih sama dengan adu kekuatan pengaruh, kadang-kadang materi melalui

praktek “money politic”. Praktek pemilihan kepala desa memiliki dinamika sendiri yang

mengarah kepada konflik antar para calon dan pendukung di datu pihak, dengan calon dan pendukung di pihak lain. Keadaan ini dialami langsung oleh Kusnaedi, baik pada pemilihan untuk jabatan yang pertama maupun jabatan yang kedua. Seperti halnya di desa-desa lain, pemilihan pemimpin desa di Panyingkiran menjadi arena kontestasi antar kubu calon dan para pendukungnya. Kontestasi tersebut berasal dari dua hal yaitu “sorot” dan “sarat”. Menurut Kusnaedi, “sorot” adalah kekuatan, kewibawaan seorang pemimpin untuk menunjukkan keseriusan dalam memimpin rakyat dan wilayah yang dipimpinnya. Sedangkan sarat adalah dukungan yang bersifat mutlak seperti pendidikan, keterampilan, dan dukungan materi. Meskipun sebagian warganya sempat menjadi “orang lain yang berseberangan”, sebagai “Bapak” dari semua warga desanya, Kusnaedi mengaku tidak membeda-bedakan warganya sendiri.

Sebagai sebuah desa, Panyingkiran memiliki aksesibilitas yang tinggi, hal ini dibuktikan dengan lancarnya sarana transportasi ke dan dari desa menuju kota kecamatan dan kabupaten. Akses jalan raya yang baik mengangkut penduduk, barang, dan jasa pedesaan, menyebabkan terbukanya kesempatan kerja yang terkait langsung dengan transportasi seperti peluang untuk memiliki angkutan pedesaan bagi 4 orang penduduk Panyingkiran yang berasal dari keluarga kaya, terbukanya kesempatan menjadi sopir (terdapat 8 orang), tukang ojeg 25 orang, dan tukang becak 8 orang. Mengenai keberadaan jasa ojeg motor yang merupakan gejala umum hampir di semua daerah baik di pedesaan maupun di perkotaan, terkait dengan semakin sulitnya lapangan kerja. Keberadaan ojeg di Desa Panyingkiran secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan migrasi internasional perempuan di desa ini. Mesakipun tidak ada angka yang pasti, sebagian dari motor yang dipakai untuk mengojeg dibeli dari remitan yang dihasilkan para perempuan yang menjadi PRT di Arab Saudi.

Dilihat dari ketersedian fasilitas publik, sarana dan prasarana publik yang bersifat vital sudah tersedia di Desa Panyingkiran. Tempat beribadah berupa masjid dan musholla, sarana pendidikan, kesehatan (Posyandu, Puskesmas Bantu, Bidan Desa, dan Perawat), sarana olahraga (lapangan bulu tangkis dan voli), dan saluran irigasi untuk pengairan sawah. Dari sarana prasarana yang ada, keberadaan saluran irigasi tentu menjadi sangat penting dan tolak ukur

keberhasilan pertanian masyarakat Panyingkiran. Hal ini karena Desa Panyingkiran merupakan salah satu desa pertanian di Kecamatan Rawamerta yang oleh pemerintah daerah Karawang dipertahankan sebagai salah satu lumbung padi Kabupaten Karawang, mengingat daerah lain sudah banyak yang beralih fungsi lahan menjadi kawasan industri, permukiman dan perkantoran.

Dinamika penduduk Desa Panyingkiran sebenarnya masih termasuk kategori rendah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah dan pertambahan penduduk dari tahun 2006-2011. Pada tahun 2006, penduduk Panyingkiran sebanyak 5.383 jiwa terdiri dari laki-laki 2.806 jiwa dan perempuan 5.382 jiwa, tahun 2007 sebanyak 5.452 jiwa (laki-laki 2.837 jiwa, perempuan 2.615 jiwa), tahun 2008 berpenduduk 5.492 jiwa (2.845 laki-laki, dan perempuan sebanyak 2.647 jiwa), pada tahun 2009 naik menjadi 5.561 jiwa yang terdiri dari laki-lai 2.872 jiwa dan perempuan 2.689 jiwa, pada tahun 2010, penduduk Panyingkiran sebanyak 5.612 jiwa yang terdiri dari penduduk laki- laki 2.875 jiwa dan perempuan sebanyak 2.737 jiwa, sedangkan bulan Februari 2011 sebanyak 5.604 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 2.872 jiwa dan perempuan 2.732 jiwa. Penduduk Panyingkiran pada tahun 2011, berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin bisa dilihat pada gambar 4.2. dibawah ini.

Gambar 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 0 50 100 150 200 250 300

Komposisi Penduduk Desa Panyingkiran

Menurut Umur Dan Jenis Kelamin Tahun 2011

Laki-laki

Toko/ Kios 52% Toko Kelonto ng 38% Pengec er Gas 5% Air Isi Ulang 5% 32% 34% 10% 3% 8% 4% 3% 6% Tukang Kayu Tukang Batu Tukang Jahit Tukang Cukur Service Elektronik Tukang Besi Tukang Gali Sumur Pijat/ Pengobatan

Gambar 4.2. di atas memberi gambaran bahwa penduduk Desa Panyingkiran sebagian besar berada pada kelompok usia muda, meskipun demikian semakin naik kelompok usia, jumlah penduduk mengalami penurunan yang cukup berarti, meskipun terdapat angka yang mencolok bahwa penduduk yang berusia lanjut, yaitu lebih dari 70 tahun jumlahnya cukup banyak yaitu 508 jiwa. Kondisi ini bisa dimaknai bahwa; (a) kelompok penduduk berusia belum produktif (0-14 tahun) dan sudah tidak produktif (65 tahun ke atas) masih cukup besar yaitu sebanyak 1.552 jiwa atau 27,7 persen dari total penduduk Desa Ciherang; (b) sebagian besar penduduk merupakan penduduk usia produktif yang masih aktif bekerja atau mencari pekerjaan.

Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertambahan lapangan kerja, direspon penduduk desa dengan cara mencari alternatif mata pencaharian lain, baik yang masih terkait dengan pertanian maupun non-pertanian. Hal ini terlihat dari penduduk yang bekerja dan berusaha pada sektor lain seperti kerja bangunan sebagai tukang batu, tukang kayu, membuka toko,warung, penjahit, dan beberapa usaha lainnya. Gambar 4.3. dibawah menggambarkan berbagai peluang kerja dan berusaha di Desa Panyingkiran.

Toko Kios (11) Toko Klontng (8) Pengecer Gas (1) Air Isi Ulang (1) Tkng Kayu (25) Tkng Batu (26) Tkng Jahit (8) Tkng Ckr (2) Serv. Elekt (6) Tkng Besi (3) T. Gali (2) Pijat (5)

Sumber: Diolah dari Potensi Desa Panyingkiran, 2011

Gambar 4.3. Perekonomian Non – Pertanian (Usaha Rumahan dan Keterampilan) di Desa Panyingkiran

Kemajuan suatu masyarakat ditentukan oleh jenjang pendidikan yang ditamatkan warganya, karena melalui pendidikan, seseorang bisa meningkatkan kualitas diri dan kelompoknya. Meskipun pendidikan memiliki peran penting, tetapi sebagian besar penduduk, terutama penduduk pedesaan masih rendah, termasuk pendidikan penduduk Desa Panyingkiran dan Ciherang. Dari 5.432 penduduk berusia dewasa yaitu 18 tahun ke atas, 3.096 orang atau 57 persen hanya berpendidikan tamat SD, 1.093 orang atau sekitar 20 persen hanya tamat SMP, bahkan masih terdapat penduduk yang berusia dewasa yang tidak menamatkan pendidikan SD yaitu sebanyak 722 orang atau sekitar sekitar 13 persen. Penduduk yang bersekolah sampai pendidikan tinggi yaitu jenjang SMA dan perguruan tinggi masing masing 495 orang atau hanya 9 persen, dan 26 orang atau hanya 0,48 persen yang tamat perguruan tinggi. Data lengkap mengenai penduduk Panyingkiran berdasarkan pendidikan yang ditamatkan adalah sebagai berikut.

Tabel 4.3. Penduduk Usia Produktif Desa Panyingkiran Dilihat dari Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah

L P Tidak Tamat SD 410 312 722 SD/Sederajat 1574 1522 3096 SMP/Sederajat 571 522 1093 SMA/Sederajat 276 219 495 Perguruan Tinggi 14 12 26 Jumlah 2845 2587 5432

Sumber: Potensi Desa 2010.

Masih rendahnya pendidikan penduduk Panyingkiran selain disebabkan faktor ekonomi juga karena faktor budaya dan fasilitas pendidikan yang masih terbatas. Sampai saat ini di kedua desa masih terdapat pandangan keliru mengenai pendidikan untuk anak perempuan, bahwa anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, karena mereka diharapkan secepatnya bisa membantu perekonomian keluarga dan masuk ke dalam dunia kerja yang peluangnya lebih

terbuka jika dibandingkan untuk anak laki-laki37. Tabel 4.3 menunjukan bahwa pendidikan yang

ditamatkan penduduk perempuan pada setiap jenjang mengalami penurunan angka partisipasi.

37

Pandangan ini disarikan dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat yang juga guru senior pada SD N 3 Ciherang bernama L.Sd (46 tahun)

Pada jenjang SD/sederajat, penduduk perempuan yang menamatkan pendidikannya sebanyak 1.522 orang diantara 1.574 penduduk laki-laki, berarti terdapat selisih 52 orang. Pada jenjang SMP/sederajat, penduduk perempuan yang berhasil menamatkan pendidikan sebanyak 522 orang, sedangkan penduduk laki-laki sebanyak 571 orang, yang berarti terdapat selisih 49 orang, dan pada jenjang SMA/sederajat perbedaan semakin senjang, perempuan yang mampu menamatkan pendidikan hanya 219 orang, diantara 276 penduduk laki-laki. Sedangkan pada jenjang perguruan tinggi, perbedaan penduduk laki-laki dengan perempuan yang berhasil menamatkannya tidak jauh berbeda.

Rendahnya pendidikan anak perempuan di Desa Panyingkiran, menyebabkan anak perempuan berusia belasan tahun yang seharusnya masih duduk di jenjang SLTP dan SMA sudah masuk ke dalam kelompok pencari kerja aktif. Mereka merupakan tenaga yang mudah di rekrut pihak sponsor/calo PJTKI untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumahtangga di Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya. Fakta ini diperkuat oleh tokoh pendidikan Desa Panyingkiran yang menyampaikan data-data bahwa meskipun di Panyingkiran sudah sejak lama lalu berdiri SMP/MTs, tetapi angka partisipasi siswa perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan siswa laki-laki.Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Desa Panyingkiran berimplikasi terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor yang memerlukan persyaratan dengan kualifikasi tertentu seperti sektor industri. Industri yang saat ini banyak di dirikan di beberapa kecamatan Kabupaten Karawang seperti Kecamatan Cikampek, Klari, Teluk Jambe Timur, Teluk Jambe Barat, Klari, Pangkalan, Ciampel belum banyak menyerap tenaga kerja penduduk Panyingkiran. Saat ini hanya terdapat 22 orang perempuan dari Panyingkiran yang bekerja di berbagai kawasan industri. Mereka umumnya berpendidikan minim al SMP/sederajat dan SMA/sederajat (Monografi Desa Panyingkiran, 2011).

Di Panyingkiran fasilitas pendidikan yang tersedia baru sampai SMP/MTs, yaitu milik sebuah yayasan yang bergerak dalam pengajaran agama Islam mulai jenjang Madrasah Ibtidaiyah, dan Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 2012, pemerintah daerah sedang merencanakan membangun satu buah SMA Negeri yang terletak di Desa Panyingkiran. Bertambahnya jenjang pendidikan yang lebih tinggi ini diharapkan bisa menarik minat dan memotivasi masyarakat Panyingkiran agar menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Fasilitas pendidikan, jumlah guru, jumlah siswa di Desa Panyingkiran, bisa dilihat pada tabel 4.4. dibawah ini.

Tabel 4.4. Lembaga Pendidikan, Guru, dan Siswa yang Terdapat Di Desa Panyingkiran

Lembaga Pendidikan

Jumlah Keterangan Sarana Guru Siswa

Play Group/RA 2 6 43 TK 2 8 45

SD/Sederajat 5 30/20 805/378 20 Guru dan 378 Siswa adalah bagian dari sekolah Islam MI. SMP/Sederajat 1 9 47 Tahun 2011, baru berdiri sekolah negeri pertama

SMA/Sederajat - - - Tahun 2012 di Desa Panyingkiran direncanakan dibangun SMA Negeri Rawamerta, saat ini sudah tersedia lahan yang siap dibebaskan

Sumber: Monografi Desa Panyingkiran, Nopember 2011.