• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Migrasi Internasional: Dari Narasi Struktur Agraria

Struktur agraria diartikan sebagai suatu tata hubungan antar manusia menyangkut

pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah.15 Lebih jelasnya, Wiradi (2009) menjelaskan

bahwa hakikat struktur agraria menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Dalam

struktur agraria terdapat dua konsep penting yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure

diartikan sebagai suatu hak atas tanah atau penguasaan tanah dan menyangkut status hukum dari penguasaan tanah seperti; hak milik, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, dan kedudukan buruh

tani. Dengan demikian, land tenure menunjukkan pada pendekatan yuridis. Sedangkan land

tenancy biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis, telaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah seperti pembagian bagi hasil antara pemilik dengan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi dan besarnya nilai sewa.

Permasalahan yang muncul adalah bahwa luas tanah tidak pernah bertambah(zero sums),

sementara kebutuhan terhadap tanah terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk yang memerlukan berbagai penambahan fasilitas terbangun. Alasanmengenai perlunya pengelolaan tanah, dikemukakan Setiawan, (2002) bahwa paling tidak terdapat empat alasan mengapa

persoalan tanah menjadi fundamental dalam pengelolaan lingkungan. Pertama, tanah merupakan

media lingkungan utama yang tak bergerak sehingga nilai keberadaannya tak tergantikan. Kedua,

sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan tanah sebagai aset utama produksi,

15

Gunawan Wiradi (2009:109) menyebutkan bahwa secara etimologis land tenancy adalah saudara kembar dari

land tenure, sebab kata tenant mempunyai arti; orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu.

baik di sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, dan perikanan. Ketiga, sebagian besar

masyarakat Indonesia belum mempunyai skill yang cukup untuk bekerja di sektor-sektor

sekunder dan tersier yang relatif tidak tergantung pada tanah sebagai faktor utama produksi. Keempat, perbandingan antara luas tanah dan jumlah manusia di Indonesia yang semakin mengecil yang mengakibatkan semakin krusialnya persoalan tanah. Keempat alasan ini memberi dasar bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan akan ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan pertanahan.

Fokus dari analisis sosiologi agraria adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan ”sosio-agraria” antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan dalam hubungan tersebut, baik yang direncanakan atau tidak. Realita yang muncul sebagai akibat dari transformasi hubungan sosial agraria akan terlihat dengan adanya gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap sumberdaya agraria. Kondisi ini sudah lama terjadi pada masyarakat pedesaan di Pulau Jawa termasuk di pedesaan Jawa Barat.

Ketimpangan penguasaan tanah di Pulau Jawa umumnya, dan di Jawa Barat terlihat dari kajian Husken dan White (1989) yang menjelaskan bahwa ketimpangan penguasaan lahan di pedesaan telah terjadi jauh sebelum adanya penguasa asing masuk ke Indonesia. Penguasaan luas lahan garapan di Jawa dan Madura menurut Sensus Pertanian Tahun 1963, 1973, dan 1983

memperlihatkan pengurangan luas tanah garapan.16

Soetarto (2004) menjelaskan bahwa permasalahan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa bersumber dari struktur agraria yang feodalistis-kapitalistis sebagai akibat dari kebijakan agraris sejak masa kolonial. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya

diferensiasi sosial dan proletarisasi17. Bentuk diferensiasi tersebut terlihat antara lain dalam

penggolongan petani Jawa ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok besar petani tunakisma;

16

Sensus Pertanian tahun 1963 jumlah petani 7,95 juta, rata-rata penguasaan tanah 0,71 ha. Tahun 1973 terdapat petani 8.27 juta dengan rata-rata penguasaan tanah 0,60 ha, dan pada tahun 1983 terdapat 10,27 juta petani dengan rata-rata penguasaan tanah hanya 0.30 ha. Sedangkan data Sensus Pertanian tahun 1993 menunjukkan angka ketimpangan yang cukup tajam, dimana jumlah penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian 15,4 juta jiwa, yang memilik tanah pertanian kurang dari 0,5 ha sebanyak 6,5 juta jiwa, yang memiliki tanah sangat sempit, sehingga harus mencari makan di luar pertanian sebanyak 1,6 juta jiwa, dan buruh tani penuh 2,6 juta jiwa (Faryadi, 1997).

17

Lebih lanjut Soetarto menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan diferensiasi sosial adalah proses penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal, khusunya tanah. Sedangkan proletarisasi adalah proses pemisahan petani dari alat produksinya, yaitu tanah, menuju terbentuknya buruh tani. Kondisi ini dipicu oleh berbagai program pertanian masa colonial Belanda di Indonesia yang antara lain menerapkan tanam paksa, agroindustri perkebunan besar milik swasta, pemerintah colonial, dan modernisasi pertanian yang secara tidak terelakkan telah menghasilkan proses penggolongan dan pemisahan di dalam masyarakat dalam skala massif.

(2) kelompok mayoritas petani sikep, yakni mereka yang memiliki hak atas tanah dengan kewajiban membayar upeti yang besar jumlahnya; dan (3) kelas pamong desa yang memiliki tanah pribadi dan tanah bengkok sebagai upah mengatur pemerintahan.

Di Pulau Jawa, hampir 60 persen penduduk petani tidak memiliki lahan pertanian, sedangkan rata-rata luas pemilikan lahan (sawah dan lahan kering) hanya 0,62 ha pada Sensus Pertanian tahun 1973 dan mengalami penurunan yaitu 0,61 ha menurut Sensus Pertanian tahun 1983. Petani dengan pemilikan tanah pertanian kurang dari 0,5 ha oleh Bank Dunia

dikelompokan sebagai “small farmers”, yang hanya bermodal lahan pertanian yang sempit

bahkan banyak petani yang dikategorikan sebagai petani gurem, yaitu petani yang tidak memiliki

tanah pertanian sama sekali (landless). Selain sempitnya luas usaha tani, ciri pokok

permasalahan pertanian di Jawa, adalah tingginya angka tunakisma18 yang merupakan warisan

sejarah panjang Bangsa Indonesia (Suhendar, 1997).

Kondisi ketimpangan penguasaan lahan pertanian, kurangnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan kemiskinan yang banyak dialami rumahtangga petani di pedesaan menimbulkan respon yang berbeda-beda pada setiap rumahtangga. Upaya untuk bisa keluar dari berbagai kesulitan penghidupan di pedesaan tersebut oleh Ellis (2000), Owusu (2007) disebut sebagai ”survival strategy” dan ”coping strategy”sebagai suatu tindakan ekonomi yang dilakukan sebuah rumahtanggauntuk bisa terus melanjutkan kehidupan. Salah satu strategi yang banyak dilakukan anggota keluarga miskin di pedesaan adalah melakukan pilihan terakhir yaitu dengan cara mengirim salah seorang anggota keluarga, biasanya anak perempuan atau yang sudah berstatus sebagai istri/ibu rumahtangga untuk menjadi tenaga kerja internasional ke luar negeri. Pemenuhan berbagai kebutuhan ekonomi dasar pada awalnya menjadi alasan migran perempuan

untuk bermigrasi, melalui remitan yang dikirimkan kepada keluarga, mereka bisa mencukupi –

meskipun hanya dalam jangka pendek – karena dalam jangka panjang, mereka banyak yang

memikirkan pengelolaan remitan kedalam bentuk yang lebih produktif, antara lain dengan cara membeli lahan, berupa tanah darat dan sawah.

18

Walaupun tidak terdapat data lengkap mengenai angka ketunakismaan, data mikro dari laporan Collier (1993) mengemukakan angka tunakisma di beberapa desa di Jawa yang mengalami peningkatan pesat. Sebagai contoh, di Desa Wargabinangun- Jawa Barat, angka tunakisma yang semula 73 persen pada tahun 1981, meningkat menjadi 82 persen pada tahun 1993. Kemudian di desa Sukaambit, pada tahun 1981 angka tunakisma hanya 23 persen, tetapi pada tahun 1993 meningkat menjadi 66 persen.