• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. SETING SOSIAL EKONOMI DAN KARAKTERISTIK

4.3. Penguasaan Lahan Desa Panyingkiran-Ciherang:

Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih dari 237 juta orang. Jumlah sebesar ini menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Sebagian besar penduduk Indonesia masih sangat tergantung pada sektor agraris yang berbasis tanah. Menurut Siregar (2007) sekitar 37,17 juta atau 16,58 persen dari total jumlah penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, sekitar 66 persen dari penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan, dan 56 persen dari penduduk miskin ini adalah petani dengan luas garapan sempit dan petani

pada umumnya memiliki pola nafkah ganda sebagai bentuk strategi dan adaptasi agar mampu bertahan hidup meskipun pada taraf yang paling minimal.

Besarnya penduduk pedesaan yang memiliki lahan sempit dan tidak memiliki lahan pertanian sama sekali, sekaligus menggambarkan ketimpangan pola penguasaan lahan dan pelapisan sosial di pedesaan. Beberapa studi terdahulu menemukan bahwa ketimpangan pemilikan lahan pertanian di pedesaan selain karena pertumbuhan penduduk yang tinggi juga karena sistem pewarisan tanah pada keluarga di Indonesia, khususnya di Jawa. Ketimpangan pemilikan lahan pertanian di Desa Panyingkiran dan Ciherang semakin memperkuat temuan

mengenai ketimpangan penguasaan di pedesaan Jawa Barat43. Gambar berikut menunjukkan

bahwa telah terjadi ketimpangan penguasaan lahan pedesaan di Panyingkiran. Ketimpangan ini menyebabkan fenomena kemiskinan di desa sulit diakhiri bahkan menjadi jalan terjadinya pola baru dalam kemiskinan di pedesaan yang berbasis pertanian, yaitu kemiskinan akibat ketiadaan akses terhadap lahan. Lihat gambar 4.4. berikut ini .

43

Studi Joan Harjono (1990) du Sukahaji-Majalaya Kabupaten Bandung yang menggambarkan bahwa 98 rumahtangga atau sekitar 55 persen merupakan petani landlessness, hanya 80 rumahtangga dari 178 rumahtangga atau hanya sekitar 45 persen penduduk yang memiliki lahan (sawah), dengan luas rata-rata hanya 0,13 hektar, petani yang memiliki lahan luas hanya sekitar 10 persen, itupun dengan luas lahan rata-rata hanya 0,93 hektar. Sejarah panjang ketimpangan penguasan lahan di Jawa Barat bisa ditelusuri jauh sebelum penguasa asing masuk ke kepulauan Nusantara. Hal ini bisa dilacak menurut Husken dan White (1989) dalam Bachriadi (1997) yang menggambarkan bahwa di pedesaan Jawa Barat sudah lama terbentuk tiga kelas penguasaan lahan. Pertama, kelompok besar petani tunakisma yang seringkali menumpang pada keluarga petani pemilik lahan. Kedua, kelompok petani yang menguasai lahan, terutama sikep dan elit lainnya. Ketiga, kelas pamong desa yang menguasai lahan milik pribadi atau sikep dan menguasai sejumlah besar lahan desa sebagai upah mengatur pemerintahan. Collier (1993) mengemukakan bahwa beberap[a desa di Jawa termasuk Desa Wargabinangun di Jawa Barat mengalami ketunakismaan yang sangat parah. Jika pada tahun 1981 sebesar 73 persen penduduk tunakisma, angka ini naik menjadi 82 persen pada tahun 1993. Di Desa Sukaambit, pada tahun 1981 angka tunakisma hanya 23 persen, tetapi naik secara tajam menjadi 66 persen dalam waktu yang hanya dua belas tahun (tahun 1993). Kondisi yang sama terjadi juga pada desa-desa yang di survei SDP-SAE yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, angka ketunakismaan di beberapa desa naik dengan cepat.

Gambar 4.4. Pemilik Lahan Pertanian di Desa Panyingkiran Tahun 2010

Gambar 4.4. di atas menunjukkan pemilikan lahan pertanian di Desa Panyingkiran,

sebagian besar rumahtangga petani adalah petani tanpa kepemilikan lahan (landlessnes) yang

angkanya mencapai 1.108 rumahtangga petani, atau sekitar 69 persen dari rtumahtangga tani tidak memiliki lahan pertanian, dan hanya 488 rumahtangga petani pemilik lahan dengan luas yang bervariasi antara kurang dari 1 hektar sampai yang terluas yaitu 14 hektar. Kondisi

ketimpangan pemilikan lahan pertanian diperparah dengan adanya kepemilikan tanah guntai (in

absentee)seluas 52,2 hektar.Datatahun 2011 menunjukkan bahwa dari 120 rumahtangga yang memiliki sawah lebih dari 1,5 hektar, sebanyak 7 pemilik berasal dari luar Desa Panyingkiran, antara lain para petani kaya dari Cikarang Kabupaten Bekasi dan Cakung Jakarta Timur yang sawahnya tergusur oleh pembangunan kawasan industri. Mereka memiliki sawah yang cukup

luas, yaitu antara 4 sampai 14 hektar44. Data lengkap pemilik sawah guntai (in-absentee) di Desa

Panyingkiran, ditampilkan dalam tabel 4.9. di bawah ini.

Keberadaan tanah guntai menunjukkan gejala yang hampir sama di beberapa desa di Kecamatan Rawamerta. Perubahan Kabupaten Bekasi yang menjadi kawasan industri pada tahun 1980-an menyebabkan banyak petani yangtanahnya tergusur pembangunan industri dan perumahan menjual lahan sawah dengan harga yang mahal, dan hasil penjualan sawah tersebut

44

Keberadaan tanah guntai (in-absentee) di Desa Panyingkiran merupakan dampak tidak langsung dari kebijakan pemerintah yang memilih strategi pembangunan pada model pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menerapakan kebijakan industrialisasi yang mengakibatkan tergusurnya lahan pertanian berupa persawahan subur di wilayah Kabupaten Bekasi. Gejala land grabbing ini menimbulkan permasalahan serius yang sampai saat ini belum terpecahkan jalan keluarnya. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dan bahan pangan penting lainnya.

488 1108 368 112 6 2

Pemilik Tanah Pertanian Tidak Memiliki Memiliki ha Memiliki 1.5-5.0 ha memiliki 5-10 ha. ha Keluarga

dibelikan di wilayah Karawang termasuk di Kecamatan Rawamerta yang pada waktu itu harga tanah relatif masih murah.

Tabel 4.9. Pemilik Tanah Guntai (in-absentee) Di Desa Panyingkiran

No Nama Pemilik

Luas Sawah (ha)

Asal Pemilik Penggarapan Sawah 1 H. Suanta 14 Cakung-

Jakarta

Disewakan kepada 3 orang warga Panyingkiran*

2 H. Nisan 8 Cakung- Jakarta

Disewakan kepada 3 orang warga Panyingkiran (H. Mulya, Ana45, Sawita, dengan harga sewa Rp 2 Juta per hektar

3 H. Latif 6,4 Jatinegara- Jakarta

Digarap sendiri dengan mengupah pekerja desa setempat 4 H. Raiban 6 Cikarang-

Bekasi

Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarap merupakan penduduk Desa Panyingkiran

5 Uci Sanusi 4 Cikarang Digarap sendiri dengan mengupah pekerja. Pekerja berasal dari Desa Panyingkiran

6 H. Ayung 6 Cakung- Jakarta

Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarapa merupakan penduduk Desa Panyingkiran

7 Kampeng 4 Cakung- Jakarta

Digarap orang lain dengan cara maro. Penggarap merupakan penduduk Desa Panyingkiran

Sumber: Arsip Desa Dan Informasi Kepala Desa Panyingkiran, 2011

Keterangan: * Tanah digarap oleh warga Panyingkiran dengan cara sewa

Penguasaan lahan yang timpang menjadikan kemiskinan di Panyingkiran menjadi fenomena yang tak bisa dibantah. Oleh karena itu, migrasi internasional yang dilakukan terutama perempuan adalah bentuk pilihan rasional yang paling mudah dilakukan oleh keluarga miskin di Panyingkiran, tanpa harus mengeluarkan biaya dan keterampilan. Sementara itu, di Desa Ciherang potret kemiskinan yang diakibatkan oleh ketiadaan aksesibilitas terhadap lahan dapat dilihat dari ketimpangan penguasaan lahan pertanian, dari 665 orang rumahtangga tani, hanya 432 yang memiliki lahan pertanian dengan luas yang bervariasi, sedangkan sebanyak 233 keluarga tani atau 35 persen merupakan buruh tani dan petani tanpa lahan pertanian (landlessness). Kondisi ini menjadi potret kemiskinan sekaligus melahirkan strategi

45

An merupakan petani penyewa sawah milik H. Nisan, uang sewa diperoleh dari hasil kerja anak perempuannya yang bekerja di Arab. Menurut penuturan An, menyewa tanah merupakan cara dia untuk bertani, karena sampai saat ini dia hanya memiliki lahan pertanian sempit berupa sawah yang ditamani padi setiap 2 kali setahun. Dengan menyewa lahan sawah dia bisa berusaha sekaligus membuka lapangan kerja bagi beberapa tetangganya yang menjadi tenaga buruh di kebun sayuran miliknya. Setiap musim berkebun dia memerlukan 4 orang tenaga buruh tetap yang bekerja mulai dari menyiapkan guludan, menanam, memelihara, memanen dan membantu mengangkut hasil panen ke Pasar Induk Sayuran di Cibitung-Bekasi. Hasil setiap panen, menurutnya hanya “cukup” untuk memodali musim tanam berikutnya, dan selebihnya disimpan untuk membeli lahan pertanian, sehingga suatu saat dia tidak perlu lagi menyewa lahan kepada orang lain. An juga sudah menghubungi kedua anaknya yang saat ini masih bekerja di Arab Saudi untuk mengumpulkan uang mereka bekerja agar kedua anaknya bisa membeli sawah di Panyingkiran.

kebertahanan masyarakat setempat46. Ketimpangan lahan pertanian menjadi titik tolak terjadinya migrasi internasional dan munculnya variasi mata pencaharian masyarakat desa Ciherang.

Tabel 4.10.Komposisi Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Ciherang

Dusun Petani (Pemilik/ penggarap)

Buruh (tani- non tani)

Pedagang Wiraswasta PNS TNI/POLRI Karyawan Buruh Migran Tanjung Kerta 146 76 57 35 7 1 19 52 Ciherang 209 123 72 39 4 - 12 90 Pasir Muncang 77 34 21 12 1 - 6 15 Jumlah 432 233 150 84 12 1 37 157

Sumber : Data Potensi Desa, 2010.

Tabel 4.10. di atas menggambarkan bahwa karena luas lahan pertanian yang terbatas sedangkan pertambahan penduduk terus terjadi sehingga memunculkan jenis mata pencaharian yang variatif di satu sisi, dan di sisi lain menjadi titik tolak untuk melakukan migrasi internasional bagi perempuan pedesaan di Ciherang. Semakin terbatasnya lahan pertanian akibat adanya akumulasi lahan pertanian kepada segelintir orang kaya di pedesaan, menyebabkan semakin tinginya petani tunakisma.

Beberapa petani tunakisma menyiasati ketiadaan lahan dengan cara memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami berbagai macam sayuran yang hasilnya bisa menopang kebutuhan keluarga mereka meskipun dalam skala yang serba pas-pasan. Di bawah ini disajikan beberapa petani tunakisma di Desa Panyingkiran yang terpaksa menumpang hidup pada tanah “negara secara ilegal”.

46

Salah seorang petani yang mampu bertahan dalam kondisi kemiskinan sebagai akibat kekurangan lahan pertanian adalah Mslm (62 tahun) salah seorang petani berasal dari Ciherang Lebak. Mslm memiliki lahan berupa sawah ukuran kurang lebuh 400 m2, yang setiap musim selalu ditanami padi dan palawija dengan pola tanam berselang antara padi-padi;palawija. Hasil panen hanya cukup untuk makan keluarga selama kurang lebih dua bulan, selama menunggu panen berikutnya, Mslm mengandalkan penjualan tanaman berbagai sayuran yang ditanam di tanah sawah yang sengaja tidak ditanami padi. Kesulitan hidup menyebabkan Mslm hanya mampu menyekolahkan anak pertama dan kedua sampai tingkat SMP, saat ini, anak bungsu Mslm duduk di kelas 2 sebuah SMK swasta di Kota Purwakarta. Menurutnya, untuk kebutuhan ongkos, biaya sekolah anaknya, dirasakan sangat berat, tetapi kemauan anak Mslm yang kuat ditambah dorongan guru-guru di sekolah anaknya yang menganggap anak Mslm cerdas, mendorong Mslm agar anak bungsunya bisa selesai sekolah dan secepatnya bisa bekerja di perusahan besar sekitar Purwakarta. Untuk menambah penghasilan, Mslm juga bekerja sebagai buruh tani, jika sedang musim bersawah. Dengan upah Rp 30.000 per setengah hari. Menurut Mslm, ketiga anak Mslm tidak ada yang mau turun ke sawah untuk membantunya bekerja.

Boks 1: Para Petani Tunakisma dan Optimalisasi Lahan Pertanian

Memasuki Desa Panyingkiran sepintas tidak ada sesuatu keistimewaan, sebagaimana desa di Wilayah Karawang umumnya, sejauh mata memandang tampak persawahan menghijau yang dialiri irigasi Citarum. Ciri khas yang menjadi penanda Desa Panyingkiran adalah banyaknya bangunan rumah mewah untuk ukuran pedesaan, rumah tersebut umumnya dimiliki oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga bekerja sebagai PRT di luar negeri terutama di Arab Saudi. Ciri kedua adalah banyaknya penduduk yang berkebun di sepanjang bantaran aliran irigasi Citarum yang mengalir sepanjang desa. Sebagai contoh adalah keluarga Abah Ukr (75 tahun), Abah Art (76 tahun), Abah Arb (74 tahun) yang mengaku sudah lebih dari 4 tahun bertani di lahan sempit yang memanjang saluran irigasi. Mereka menanam sayuran semusim seperti bayam, kangkung, kacang panjang, sawi, terong yang ditanam pada jalur-jalur dengan luas antara 200-600 m2. Bagi Abah Ukr menumpang bertani di lahan pengairan, merupakan jalan terakhir setelah dia merasa tidak kuat lagi menjadi buruh tani, dimana selama puluhan tahun hidupnya hanya mengandalkan sebagai “tukang macul” dan istrinya menjadi buruh “ngarambet

dan ngabawon” di sawah para tetangganya. Meskipun demikian berat karena sudah lanjut usia, sudah 6 tahun ini Abah Ukr bekerja setiap hari, karena di rumah masih memiliki tanggungan yaitu istri dan dua orang anaknya, yang meskipun sudah bekerja tetapi nasibnya hampir sama dengan Abah Ukr. Satu orang anak laki-laki yang hanya tamat SD saat ini menjadi buruh penjaga ternak sapi di desa tetangga dengan upah setiap bulan sekitar Rp 500.000, sedangkan anak bungsu bekerja sebagai tukang angkat barang dan

juru pengeras suara pada sebuah kelompok musik tradisional “Jaipongan”, dengan penghasilan

tergantung kepada orang yang hajatan.

Menurut Abah Ukr, setiap dua hari sekali, dia memanen kacang panjang, terong, kangkung yang hasilnya di jual ke warung tetangga dan didagangkan berkeliling kampung oleh istrinya. Hasil penjualan antara Rp 10.000- Rp 20.000, yang bisa mencukupi kebutuhan mereka makan sehari-hari. Jika kedua anak laki-lakinya sedang memiliki uang, mereka memberi uang kepada istri Abah Ukr yang digunakan untuk membayar listrik.

Ketika ditanya status bertani dia yang menumpang pada lahan milik pengairan, Abah Ukr hanya mengatakan bahwa “namina ge numpang, nya pami pangairan teu ngijinan deui, Abah mah teu tiasa di

kumaha. Tapi waktu Abah rek numpang ngebon, Abah bebeja ka RT, ka Kuwu, yen Abah perlu ieu taneuh pikeun dahar sapopoe”. Artinya bahwa yang namanya menumpang, kalau pihak pengairan sudah tidak mengijinkan dia untuk berkebun,maka dia tidak bisa apa-apa. Tetapi, sebelum mulai berkebun, Ukr mengaku sudah lapor kepada Ketua RT dan Kepala Desa setempat, bahwa dia perlu tanah untuk makan sehari-hari.

Kondisi yang sama di alami oleh Abah Art (76 tahun) yang menggarap lahan seluas kurang lebih 400 m2, Abah Arb (74 tahun) menggarap lahan seluas kurang lebih 600 m2, serta abah-abah lain yang banyak terdapat di Panyingkiran dan desa-desa lain di Kecamatan Rawamerta. Suatu ironi, bahwa petani yang hidup di daerah lumbung padi utama di Jawa Barat, tetapi tidak memiliki lahan pertanian sama sekali (landlessness)