• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Gender, Pembagian Peran Dalam Rumahtangga dan Akses Tarhadap

2.3.3. Gender Dan Akses Perempuan Terhadap Lahan

Mengenai bagaimana gender berperan dalam masyarakat, bisa ditelusuri dalam kajian peran perempuan pedesaan. Penelitian Boserup(1970); Mintz, (1971); White, (1976); Cernea, (1970); Sajogyo, (1985) menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang juga mempunyai

12

Mengenai masih rendahnya partisipasi perempuan didalam peran politik di Indonesia, Hubeis (2010) mencatat secara detail bahwa keterlibatan perempuan dalam perpolitikan di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggota DPR RI periode 2004-2009, hanya terdapat 62 orang atau 11.3 persen perempuan dari 550 orang anggota DPR; 89 orang anggota MPR atau 12,97 persen dari 590 angota MPR; terdapat 27 orang atau 21,09 persen anggota DPA; 7 orang atau 14,89 persen anggota MA; 4 orang atau 12,12 persen menteri anggota cabinet RI; 1 orang gubernur dari 33 orang gubernur/propinsi; 10 orang bupati/walikota, dan hanya terdapat 16 orang perempuan yang menjadi wakil bupati dan wakil walikota. Keterlibatan perempuan Indonesia dalam politik yang diukur berdasarkan Gender Empowerment Measurement (GEM) masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negaraAsean lainnya, yaitu 0.546 dengan peringkat ke-33 dari 71 negara yang diukur (HDR 2004). Selain itu, HDI Indonesia 0,711 dan menempati peringkat ke-108 dari 177 negara. Indeks GDI, yang merupakan gambaran kesenjangan antara laki-laki dan perempuan adalah 0.704 yang menempati ranking ke-81 dari 140 negara yang diukur. Selisih indeks HDI dan GDI, menunjukkan adanya kesenjangan gender yang masih tinggi di Indonesia.

peranan dalam pekerjaan yang memberikan nafkah dalam bidang pertanian, perdagangan kecil, kerajinan tangan bahkan di bidang industri kecil dan besar.Aspek yang paling penting dalam struktur keluarga adalah posisi anggota keluarga karena distribusi dan alokasi kekuasaan, kemudian sebagai aspek berikutnya yang juga penting adalah pembagian kerja dalam keluarga.

Untuk mengerti sebaik-baiknya woman place dalam kebudayaan dan masyarakat tertentu yaitu

dengan cara mempelajari hubungan antara kedua kelompok jenis kelamin - laki-laki –

perempuan- berupa distribusi kekuasaan, dan konsepsional. Terdapat dua macam pola hubungan, pertama, hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat dikaji dalam distribusi kekuasaan dengan mengukur sampai berapa jauh masing-masing jenis kelamin menguasai sumber-sumber berhargaberupa tanah, tenaga kerja, bahan makanan, uang, tapi juga bisa pengetahuan dalam “ritual”, keterampilan, informasi, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Kedua, hubungan secara konsepsional antara laki-laki-perempuan atau sifat dari perbedaan jenis kelamin dapat dipelajari dengan menganalisa ada atau tidaknya diferensiasi dalam perilaku dalam ideologi.

Studi tentang gender serta aksesnya terhadap lahan di Afrika dari Childreas dan Cornkiel (2009) menunjukkan bahwa penguasaan sumberdaya alam seperti lahan, air dan pohon-pohonan dipengaruhi oleh gender. Pemilikan dan penguasaan lahan, perempuan termarjinalkan, karena perempuan hanya memiliki akses yang sangat terbatas bahkan hampir-hampir tertutup, sehingga tidak memiliki kontrol terhadap lahan keluarganya.

Marjinalisasi perempuan Indonesia terhadap lahan pertanian sangat terlihat setelah penerapan revolusi hijau, dimana perempuan semakin dijauhkan dari hak-hak dan akses terhadap layanan pertanian, termasuk penyuluhan, input produksi dan kredit (White dan Wiradi, 2009). Dalam hal mendapatkan kredit, perempuan menderita ganda, yaitu ada diskriminasi langsung berdasarkan jenis kelamin, dan diskriminasi tidak langsung berdasarkan fakta bahwa perempuan cenderung tidak memiliki hak atas tanah keluarga yang didaftar atas nama mereka (White dan Wiradi, 2009).

Studi lain mengenai akses perempuan terhadap lahan pertanian dilakukan Stoler (1977) menunjukkan bahwa tipe tenaga kerja, pengaturan tenaga kerja, dan kesempatan pendapatan akan sangat bervariasi antara suatu rumahtangga kaya, rumahtangga miskin, dan rumahtangga

tanpa tanah. Sementara itu, Boserup (1970),13Dove (1980) meneliti peran serta perempuan pada

13Brigitte Holzner. 2000. Perempuan dalam Ekonomi Pedesaan dalam ”Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial.

masyarakat ladang berpindah, dimana akses perempuan terhadap lahan dan proses produksi pertanian sangat tinggi, mulai dalam proses penanaman bibit, menyiangi, sampai memanen. Studi Savitri dan Fremerey (2008) tentang pergeseran peran dan akses perempuan petani Bolapapu di Sekitar Kawasan Taman Nasonal Lore-Lindu menunjukkan terjadi pergeseran pertanian dari subsistensi ke pertanian produksi komersial kakao pada masyarakat Bolapapumemarjinalkan tenaga kerja perempuan. Kontrol dan akses perempuan yang relatif dominan dalam pertanian padi yang memiliki “wajah” pengetahuan perempuan tergeser dengan masuknya tanaman komersial berupa kakao yang menyebabkan kontrol dan akses laki-laki begitu dominan. Dominasi dan akses laki-laki terlihat sejak menentukan penanaman, perekrutan tenaga kerja, pemupukan, sampai pemanenan, sedangkan perempuan hanya terlibat dalam pemanenan, pengeringan dan pemasaran.

Penelitian Hartomo (2007) mengenai kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender memperkuat temuan sebelumnya bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap usahatani masih rendah, dan menunjukkan laki-laki masih mendominasi akses dan kontrol terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit. Perempuan lebih dominan dalam pengolahan hasil panen, pemasaran, dan hasil penjualan panen. Hal yang sama diungkapkan Sitepu (2007) bahwa pola relasi gender pada disain sistem pengelolan lahan kering berkelanjutan berbasis gender menunjukkan pola relasi gender berdimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi laki-laki. Kesetaraan gender terjadi pada saat menikmati hasil panen dan penetapan harga hasil panen.

Sistem pemilikan lahan di Kabupaten Karawang dan Purwakarta mengikuti apa yang umum terjadi di Jawa Barat, bahwa seseorang bisa memiliki lahan, baik berupa tanah darat maupun tanah sawah melalui dua cara, yaitu: (1) pewarisan dari orang tua; dan (2) pembelian. Dalam hal pewarisan, terdapat dua pola yang berbeda. Pola pertama adalah pewarisan dimana semua anak tidak dibedakan jenis kelaminnya, setiap anak mendapat bagian lahan yang sama dari orang tua. Pewarisan kedua adalah yang mengikuti hukum Islam, dimana anak laki-laki diberi hak waris dua pertiga lebih banyak dari anak perempuan. Pemilikan lahan diluar pewarisan dari kedua orang tua adalah melalui pembelian, yang tidak diatur berdasarkan jenis kelamin, tertapi mengikuti kepada hukum jual beli. Seorang perempuan atau laki-laki yang sudah dewasa dan mampu membeli lahan, maka mereka bisa membeli lahan tersebut dengan atas nama

mereka sendiri. Kondisi ini banyak terjadi di Desa Panyingkiran dan Desa Ciherang sebagai desa yang memiliki perempuan yang bekerja menjadi PRT di luar negeri khususnya di Negara Arab Saudi. Perempuan migran baik yang berstatus belum kawin maupun sudah kawin banyak yang membeli tanah darat dan tanah sawah dengan atas nama sendiri. Keputusan tersebut didasarkan kepada berbagai pertimbangan rasional bahwa lahan yang dibeli seorang perempuan merupakan hasil jerih payah mereka bekerja yang tidak tercampur dengan uang dari pihak lain. Meskipun demikian, dalam praktek sehari-hari terkadang muncul kasus yang terkait dengan pembagian lahan yang melibatkan pihak lain, dalam hal ini laki-laki yang menjadi suami, ketika terjadi

perceraian.14

Tabel di bawah ini menggambarkan ringkasan mengenai akses perempuan pedesaan terhadap sumberdaya termasuk lahan pertanian.

Tabel 2.2. Akses Perempuan Pedesaan Terhadap Sumberdaya. No. Peneliti dan

Tahun

Lokasi dan Bentuk Akses Perempuan 1. Childreas &

Cornkiel (2009)

Perempuan di negara Gambia memiliki akses sangat terbatas, bahkann tertutup terhadap lahan. Lahan pertanian hanya diwariskan kepada anak laki-laki. Jika perempuan mampu membeli lahan, maka harus atas nama suami atau anak laki-laki

2. White & Wiradi (2009)

Revolusi hijau di Pulau Jawa telah memarjinalkan hak-hak perempuan terhadap berbagai layanan pertanian seperti penyuluhan, input produksi dan kredit. Padahal hasil beberapa studi menunjukkan bahwa dengan melibatkan perempuan dalam setiap program yang ditawarkan menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya lebih terlihat nyata.

3. Savitri & Fremerey (2008)

Masuknya pertanian komersial kakao menggantikan pertanian padi telah menggeser kontrol dan akses pertanian perempuan masyarakat Bolapapu. Pertanian komersial melalui perkebunan kakao,telah

merubah pertanian menjadi sesuatu yang “berwajah laki-laki”

4. Hartomo (2007) Akses dan kontrol perempuan terhadap usahatani lahan kering di Jogjakarta masih rendah, laki-laki masih mendominasi dalam akses dan kontrol terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyukluhan pertanian, modal, kredit, peralatan, penyemaian atau pembibitan, pemupukan, pola tanam, pengendalian hama dan penyakit.

5. Sitepu (2007) Relasi gender pada disain sistem pengelolan lahan kering berkelanjutan berbasis gender di Karanganyar Jawa Tengah

14

Kasus yang dimaksud antara lain dialami oleh salah seorang migran perempuan dari Desa Panyingkiran yang menjadi responden dalam penelitian ini, dimana ketika terjadi perceraian, suami dan pihak keluarganyamempermasalahkan tanah sawah yang dibeli migran perempuan dari hasilnya bekerja di Arab Saudi. Pihak laki-laki merasa berhak mendapat bagian sawah, karena sawah dibeli dari orangtua laki-laki dengan harga dibawah harga umum di pasaran. Dalam kasus yang lain, misalnya ketika migran perempuan yang belum menikah, mempercayakan pembelian lahan kepada orang tua mereka, dalam hal ini ayahnya. Lahan yang dibeli atas nama migran tersebut, dengan pertimbangan yang sangat jelas bahwa uang tersebut hasil jerih payah mereka dan pertimbangan lain untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi diantara anggota keluarga lain (adik, kakak) apabila pembelian lahan dengan mengatasnamakan orang tua.

menunjukkan hasil tentang pola relasi gender berdimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi laki-laki

Kesetaraan gender terjadi pada saat menikmati hasil panen dan penetapan harga hasil panen

6. Stoller (1997) Terdapat keterkaitan antara jender dan kelas. Hal ini nampak dari perbedaan antara rumahtangga petani kaya dengan rumahtangga miskin dalam hal pengaturan tenaga kerja dan kesempatan pendapatan

7. Boserup (1970) dan Dove (1980)

Keterlibatan tenaga kerja perempuan pada masyarakat dengan sistem pertanian ladang sangat tinggi. Perempuan terlibat sejak pengeringan tebangan, pembakaran, penanaman bibit, penyiangan, dan

pemanenan.

Sejalan dengan diberlakukannya pajak hasil hutan dan masuknya tanaman komersial, maka akses perempuan mulai tergeser

Sumber : Diolah dari berbagai sumber