• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN TAX POllCYDAERAH

Dalam dokumen Buku Pajak Dan Retribusi Daerah (Halaman 85-91)

I

mPlikasi dari suatu tax policy umumnya seeara makro akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan pertumbuhan penerimaan pajak daerah serta bermanfaat bagi masyarakat (khususnya bagi Wajib Pajak). Tax policy adalah alat perpajakan pemerintah daerah yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana maupun pedoman bagi pelaksanaan di lapangan, sehingga dapat membantu Wajib Pajak dengan pasti melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sebagai salah satu dasar pembuatan kebijakan pajak (tax policy) daerah berpedoman pada UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.34 Tahun 2001 juetoppNo.65 Tahun 2001 danppNo. 66 Tahun 2001. Pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan di lingkungan Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat menjustifikasi atas segala kebijakan perpajakan daerah yang akan dibuat, dengan tetap tidak mengabaikan variabel-variabel yang berlaku dalam pembuatan suatu tax policy yang baik. Tax policy yang baik (Devereux, 1996) haruslah memenuhi 2 (dua) unsur yaitu: pertama, setiap pembuatan tax policy haruslah merupakan alat untuk mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada di kelompok atau institusi tertentu guna mendukung program pemerintah; dankedua,

158 PajakdunRetribusi Daerah

mendorong pertumbuhan ekonomi, artinya kebijakan ini didisain khusus agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat sesuai dengan sasaran pemerintah daerah. Bab ini akan membahas dan menjelaskan desain tax policydaerah sesuai kriteria tersebut. PRINSIP KEBUAKAN PAJAK YANG BAlK

Prinsip good tax policy adalah merupakan suatu sistem pajak (berupa kebijakan perpajakan) terhadap kegiatan ekonomi makro dan mikro yang harus bersifat netral, tanpa adanya suatu distorsi agar terdapat pengalokasian sumber daya yang optimal sesuai dengan keadaan atau dinamika pasar. Hal ini juga harus mendorong atau mengendalikan kehidupan ekonomi khususnya dapat mendorong investasi dari luar (investor luar negeri) sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara yang diperoleh dari penerimaan pajak. Biasanya prinsip ini selalu diikuti denganprinciples of good tax administra-tion yang meliputi, antara lain: sedikit penggunaan atau beban formulir perpajakan(paperwork), jelasnya aturan dalam menetapkan pajak yang terhutang, mudah dalam penghitungan hutang pajak, mudah untuk kepentingan pemeriksaan(tax audit),bersifat objektif dalam pemeriksaanrestitusi, dan sistem yang digunakan atau dioperasikan melalui sistem komputer (misalnya menggunakan SIP-Sistem Informasi Perpajakan) tetap menggunakan sumber-sumber administrasi yang tersedia.

Hubungan antaraTax policydenganTax administrationmerupakan hubungan inextricably related (Angelo G. A. Faria dan M. Zohto Yocelik, 1995).Artinya hubungan ketergantungan kuat satu sama lainnya. Dengan kata lain, keberhasilan dari pembuatan suatu tax policy haruslah diikuti dengan perhatian dalam pelaksanaan administrasinya, dan ukuran dalam meningkatkan administrasi pajak (yang lebih efisien) haruslah dapat menolong pembuatan pelaksanaan taxpolicyyang didisain secara lebih efektif. Secara sederhana dapatlah dikatakan,taxpolicyyang terlalu idealis dapat membuat administrasi pajak menjadi tambah rumit (complicated), sedangkan dilain pihak adanya administrasi pajak yang tidak efektif dapat melemahkan atau

DesainTaxPolicyDaerahll 159

-merusak pelaksanaantax policydi lapangan. Selanjutnya, kegagalan dalam mengkoordinasikankedua aktifitas tersebut berpengaruh buruk terhadap kelancaran dan kelangsungan atas proses reformasi perpajakan daerah yang telah dijalankan selamaini.

TAX POLICYALAT KEBUAKAN MONETER DAN FISKAL Dalam membuat suatu sistem perpajakan efisien bagi daerah umumnya berkaitan dengan ekonomi daerah dan nasional, haruslah secara esensial meningkatkanpenerimaan daerah tanpa meningkatkan pinjaman luar negeri pemerintah pusat. Idealnya dengan car a mendorong aktivitas perekonomian daerah tanpa terlalu banyak menimbulkan deviasi terhadap sistem perpajakan ini. Untuk menciptakan sistem perpajakan yang efisien ada 4 hal yang menjadi permasalahan utama (Vito Tanzi dan Howell Zee,2001), yaitu:

1. Kebanyakan pekerja di negara berkembang adalah buruh pertanian atau petani miskin, dalam perusahaan informal. Upah mereka jarang di bayar secara regular (berupa upah tetap), penghasilan mereka berfluktuasi, dan dibayar secara kas (cash) diluar pembukuan (off the books), sehingga sulit untuk dikalkulasi sebagai dasar perhitungan Pajak Penghasilan (M). Jarang atau sulit ditemui pekerja/petani tipikal ini menghabiskan penghasilannya dalam mengkonsumsikan barang kebutuhannya dalam jumlah besar, yang merupakan hasil transaksi pembelian dan penjualan yang diartikan dapat meningkatkan penerimaan, seperti Pajak penjualan atau VAT atau Pajak Penghasilan, sehingga sulit bagi pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pada level yang relatif lebih tinggi;

2. Sulitnya menciptakan administrasi pajak yang efisien tanpa mempunyai aparatur pajak (SDM) yang memadai dan terlatih dengan baik (skilled), karena keterbatasan pemerintah dalam menggaji dengan layak untuk setiap aparatur pajak dan mengkomputerisasi administrasi pajak yang ada. Di sisi lain Wajib Pajak juga mempunyai keterbatasan dalam membuat pembukuan atas kegiatan usaha mereka. Akhirnya pemerintah

160 Pajak Retribusi Daerah

sering mengambil·langkah yang paling resistan dalam

mengembangkan administrasi pajak, yaitu dengan mengijinkan mereka untuk mengeksploitasipilihan-pilihan yang tersedia dari pada melaksanakan hal-hal yang rasional, yang secara modern merupakan suatu sistem pajak yang efisien;

3. Karena struktur ekonomi informal Negara-negara berkembang mempunyai keterbatasan dalam: pendanaan, data statistik dan kesulitan kantor-kantor pajak dalam memanfaatkan data statistik yang tersedia. Akibat dari keterbatasan data ini akan melindungi para pembuat kebijakan dalam menetapkan pengaruh potensial atas perubahan terbesar dalam sistem perpajakan. Akhimya perubahan-perubahan marginal seringkali lebih didahulukan diatas perubahan-perubahan besar yang lebih terstruktur, bahkan nantinya akan menjadi suatu preseden yang melanggengkan struktur pajak yang tidak efisien;

4. Distribusi pendapatan yang tidak merata (disparitas income distribution) merupakan suatu ciri khas yang sering terjadi di negara-negara berkembang. Meskipun kenaikan penerimaan pajak berasal dari situasi pemajakan atas orang-orang yang lebih kaya, namun kekuatan ekonomis dan politis Wajib Pajak yang kaya tersebut sering memperoleh perlindungan dari reformasi perpajakan, yang sebenamya dapat meningkatkan beban pajak mereka.Penjelasan ini merupakan bagian dari mengapa banyak negara-negara berkembang tidak dapat secara penuh (optimal) memberlakukan Pajak Penghasilan (personal income tax)dan PBB (property taxes) dan mengapa sistem perpajakan mereka jarang mencapai tingkat kepuasan yang progresif, atau dengan kata lain orang kaya membayar pajak haruslah lebih proporsional. Empat permasalahan tersebuttidakjauh berbeda dengan keadaan kondisi daerah-daerah di Indonesia. Hal yang tidak mengejutkan sering terjadi di beberapa daerah berkembang bahwa kebijakan perpajakan(tax policy)sering dianggap sebagai aturan seni (hanya diatas kertas) dari pada mengejar target penerimaan yang optimal yang seharusnya dicapai, yang secara teoritis relatif mempunyai

DesainTaxPolicy DaerahlJ 161

'pengaruh yang sangat kecil terhadap pembuatan sistem perpajakan negara tersebut. Pendapat ini searah dengan Roy Bahl dan Jorge Martinez-Vazquez (1992-ha1.66-81) tentang penghargaan yang kurang terhadap aparatur pajak dari pemerintah dan diikuti pula dengan sistem perpajakan di negara-negara berkembang yang cenderung terlalucomplicated(inefisien). Dengan mengambil contoh

tax reform di Jamaica dan Guatemala, solusinya bagi pemerintah tersebut adalah menerima bantuan LN (dari donor bilateral atau Iembaga-lembaga internasional berupa technical assistances dalam mereformasi sistem administrasi pajaknya. Namun administrasi pajak di negara-negara berkembang sulit (lambat) dalam penyempurnaannya disebabkan oleh 3 (tiga) alasan yaitu:(1) kompleksitas struktur pajak yang modem membutuhkan tingkat efisien administrasi yang tinggi;

(2) taxpolicyyang digunakan hanya sebagai instrumen dari kebijakan ekonomi (khususnya ekonomi makro), sehingga terkadang mengabaikan sanksi dalam adminstrasi pajak, yang diartikan terlalu seringnya kebijakan yang dibuat dengan asumsi tidak ada pemaksaan atau diikuti dengan administrasi yang baik; dan (3) kebanyakan pemerintahan negara-negara berkembang lemah dalam tingkat

kepatuhan hukum, sehingga dimanfaatkan oleh sejumlah tax

evasionersmaupun membuka peluang terjadinya penghindaran pajak, sehingga hal ini sering membingungkan dalam penerapan kebijakan pajak (taxpolicy) dengan administrasi yang rendah efisiennya.

SISTEM PERPAJAKAN YANG EFISIEN

Dalam pembuatan suatutax policyselalu mempunyai pengaruh langsung terhadap sistem perpajakan yang ada. Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith (1776: bk.5 eh. 2) yang secara umum meliputi: (1) equality (azas keadilan); (2)

certainty (azas kepastian dan kejelasan); (3) convenience of pay-ment(azas kenyamanan bagi WP dalam membayar pajak) dan (4)

economy on collection (azas biaya minimal dan tidak mengganggu kegiatan usaha). Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak

162 11Pajak Retribusi Daerah

didiskusikan secara luas, dan hal ini masih merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam pembuatan

tax policy. Walaupun ide keadilan (tax payments in proportion to

income) dari Smith ini tidak merupakan sesuatu yang mutlak harus

didukung. Richard'A, Musgrave (1959: chps. 4, 5 dan 6) memberikan pandangan yang adil tentang distribusi beban pajak, beban administasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas diatas, ia juga menekankan pada 3 (tiga) azas lainnya, yaitu: (1) azas netralitas(neutrality);(2) azas perbaikan

(reformation); dan (3) azas kestabilan dan pertumbuhan (growth

and stability). Sedangkan Joseph E. Stiglitz (1988: hal.390-396)

menekankan pada efisiensi yang lebih luas dengan mengatakan bahwa dalam sistem perpajakan haruslah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Efisiensi ekonomi (economic efficiency), sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi yang efisien; (2) Kesederhanaan dalam pengadministrasian

(administra-tive simplicity), sistem perpajakan harus mudah, sederhana, dan

relatif murah dalam pengadministrasiannya; (3) Fleksibilitas

(jlexibillity);sistem perpajakan haruslah sedemikian fleksibel untuk

menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu negara; (4) Diterima secara politis (political responsibility), sistem perpajakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga terdapat kepastian tentang seberapa besar masing-masing jenis pajak yang harus ditanggung oleh seseorang (wajib pajak) yang merefleksikan keinginan masing-masing individu dalam masyarakat; dan (5) Kejujuran (fairness), sistem perpajakan harus mencerminkan keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat.

Adanya pengembangan dari azas keadilan sehingga mempunyai arti yang lebih luas, mempunyai pengaruh langsung terhadap

pro-posal tax policyyang seringkali dianalisa oleh para ekonom dalam

3 (tiga) kriteria:

(1) kebutuhan atas pajak haruslah bersifat fair (adil meskipun keadilan sering diartikan sebagai suatu yang berbeda bagi or-ang-orang yang berbeda);

DesainTax PolicyDaerah11 163

-(2) kebutuhan untuk beban administrasi yang minimal; dan

(3) kebutuhan untuk meminimalkan pengaruh pengecualian pajak (tax incentive).

Michael P Devereux (1996) menambahkan diantara kriteria yang telah dikatakan oleh Smith dan Musgrave, ia melihatproposal tax

policyharuslah memperhatikan 2 (dua) unsur yaitu: pertama, setiap

pembuatantaxpolicyharuslah dapat digunakan untuk mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada pada kelompok atau institusi tertentu -yang mendukung atau berkaitan dengan program pemerintah; dan

kedua, mendorong pertumbuhan ekonomi, yang diartikan pembuatan

kebijakan ini haruslah didisain khusus agar dapat mendorong atau memberikan pertumbuhan ekonomi yang cepat sesuai dengan sasaran pemerintah.

Pentingnya mengevaluasi sistem perpajakan yang eksis dikaitkan

dengan excess burdens atau beban lebih pajak (Guritno

Mangkoesoebroto, 1993) agar dapat terciptanya efisiensi dalam perpajakan. Harvey S. Rosen (1999) menyatakan sistem perpajakan yang memberlakukanexcess burdentidaklah dapat dikatakan bahwa sistem perpajakan tersebut jelek. Namun, hal itu hanya dapat digunakan apabila bermanfaat bagi masyarakat yang diartikan sebagai peningkatan dalam keadilan atau efisiensi. Manfaat ini biasanya diukur dengan biaya yang telah dikeluarkan, dan permintaan kebijakan yang tepat atas excess burden termasuk didalamnya perhitungan biaya sosialnya, sehingga secara ekstrem dapat digunakan dalam membandingkan alternatif-alternatifyang ada dalam sistem perpajakan. Menurut John E Due (1981) tax policy yang dibuat berdasarkan hasil analisa ekonomi dapat membantu kepada proses pengambilan keputusan dengan menunjukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh struktur pendapatan (sumber-sumber dana) seandainya ingin dicapai efisiensi ekonomi yang op-timal. Namun analisa ini tidak dapat menentukan kriteria mengenai keadilan dalam memenuhi penerimaan pajak yang akan diperoleh, karena sikap sebagian besar masyarakat tidak dapat ditelusuri secara detail.

164

I1

PajakdonRetribusiDaerah

Pada sisi lain, kurangnya koordinasi merupakan problem yang sering terjadi pada saat pembuatan suatutax policy (Victor Thuronyi-1998, haI5-15), yang di negara-negaramajujuga sering terjadi dan disebabkan adanya 3 (tiga) komponen utama dalam merumuskan formulasi tax policy, yaitu: pengembangan kebijakan (policy devel-opment); analisis teknis (technical analysis); dan pengkonsepan berdasarkan undang-undang(statutory drafting). Ketiga, komponen ini dalam pelaksanaannya dikoordinir dalam satu atau beberapa tim kerja, dimana anggota tim ini terdiri dari berbagai disiplin ilmu, yaitu: untuk pengembangan kebijakan dilakukan oleh para ekonom, sedangkan untuk analisis teknis dilakukan oleh profesional, ahli

hukum, akuntan, dsbnya yang berhubungan .dengan komisi di

legislatif (DPRD), dan untuk pengkonsepan tax policy dapat

dilakukan secara independen baik oleh pembuat undang-undang pajak di parlemen atau melalui bagian hukum.

IMPLIKASI SUATU TAX POLICY

Pengaruh yang diperoleh daripembuatan suatu tax policy

umumnya meliputi 3 (tiga) hal yaitu: secara makro akan mendorong pertumbuhan penerimaan pajak, bermanfaat terhadap masyarakat (khususnya bagi Waiib Pajak), dan berpengaruh terhadap kebijakan fiskal dan moneter bagi suatu pemerintahan. Dibawah ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Mendorong perlUmbuhan penerimaan pajak

Pajak mempunyai fungsi mengatur yang telah memperhitungkan kepentingan dunia usaha, antara lain: peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, adanya kepastian hukum, keadilan serta adanya fasilitas tax exemption yang dapat berupa investment allow-ances atau tax expenditure untuk mendorong investasi, dan mempunyai tujuan untuk meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara.

Hal yang sering ditekankan dalam pembuatantax policy untuk mendorong pertumbuhan positif terhadap penerimaan pajak

Desain Tax Policy Daerah

IJ

165

.mempunyai 4 (empat) alasan yang secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) memberikan pengertian yang terbaik atas alokasi sumber-sumber dana yang dimiliki pemerintah baik secara eksplisit maupun implisit;

(2) memberikan informasi yang baik dalam pembuatan suatu kebijakan perpajakan;

(3) kepada pemerintah diberikan hak pengawasan yang lebih besar atas sumber-sumber dana yang dimilikinya; dan

(4) dalam merespon analisis yang dibuat berdasarkan rekomendasi kebijakan yang diusulkan kepada pemerintah, hendaknya untuk kebijakan dalam pemberian fasilitas perpajakan tetap membutuhkan suatu pengkajian yang mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang berkepentingan .

Yang terpenting dalam pembuatan tax policy walaupun tidak

terdapat perubahan kebijakan yang mendasar dalam

mengantisipasinya, mereka tetap mempunyai andil yang cukup besar atas aktivitas pemerintah dalam perekonomian nasional maupun meningkatkan penerimaan Negara.

2. Terhadap masyarakat (khususnya bagi wajib pajak)

Sebagai ilustrasi pengaruh dari tax policy terhadap masyarakat dapat melihat kedua contoh di Jepang dan Indonesia, yaitu: sebagaimana yang berlaku dalam sistem perpajakan Jepang, dengan tidak pernah melupakan kepentingan wajib pajak di Jepang dan selalu berfokus pada: (1) bagaimana wajib pajak dapat melaporkan pajaknya secara independen, dan (2) apakah harus bertindak tegas pada wajib pajak yang tidak jujur demi memikirkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan (Toshiyuki Fushimi, 2001). Adanya perhatian yang intens terhadap wajib pajak atau masyarakat secara keseluruhan, yang secara tidak langsung tetap mendorong kesadaran wajib pajak atau masyarakat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dalam hal ini terlihat tax policy yang dibuat di Jepang selalu

166 11PajakdanRetribusiDaerah

berlandaskan kepada kepentingan wajib pajak dan merupakan suatu tanggung jawab bersama antara pemerintah dan rakyat.

3. kebijakanfiskal dan moneter bagisuatupemerintahan

Bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi kekuatan pasar bebas hal yang terpenting adalah meningkatkan alokasi sumber-sumber dana yang ada, ditunjang dengan pembuatan sistem perpajakan yang harus senetral mungkin sebagai kesatuan yang minimal dalam proses pengalokasiannya. Sistem ini juga harus sederhana dan prosedur harus transparan, akan menjadi jelas apabila sistem ini tidak dipaksa dalam pembuatannya (adanya intervensi dari luar). Penyempurnaan undang-undang perpajakan melalui tax

reformdan memberlakukan aturan yang standar (benchmark) dalam penghitungan pajak seringkali diartikan sebagai pengurangan atas pengecualian yang khusus sebagaimana diberlakukan pula pembatasan dalam administrasi pajak.

Pemerintah pada saat membuat kebijakan untuk merevisi APBN 2001, melalui suatu paket yang disebut dengan Paket Penyesuaian Fiskal, yang fokusnya pada peningkatan penerimaanlpendapatan negara, perampingan pengeluaran negara, dan mempertahankan resiko dampak negatif atas kegiatan ekonomi pada tingkat minimal

(lower income society). Paket Penyesuaian Fiskal itu meliputi: (1) memperluas basis pajak untuk jenis pajak tertentu (misal: PPh); meningkatkan pengumpulan pajak, dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance) pada tingkatyang optimal; (2) mengurangi subsidi bagi produk-produk minyak dan listrik; (3) menggunakan dana cadangan dalam rangka desentralisasi secara efisien mengalokasikan pemindahan dana cadangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah seefisien mungkin); (4) perampingan pengeluaran dana-dana pembangunan; dan (5) mengambillangkah-langkah penghematan dalam kerangka desentralisasi fiskal. Menurut David N. Hyman (1996) program pemerintah dalam membantu masyarakat miskin untuk memperoleh standar hidup yang minimal haruslah dibantu dengan pemberian subsidi dari efisiensi

DesainTax PolicyDaerahlJ 167

perdagangan. Justifikasi perwujudannya yaitu melalui transfer dari

pengaruh pasar yang dapat mengurangi penghasilan rumah tangga

dibandingkan dengan persyaratan tingkat minimum untuk bertahan. Hasilnya adalah income terendah yang diperoleh rumah tangga tersebut akan sama dengan tingkat kebutuhan dasar yang cukup mendukung kebutuhan pokok keluarganya dan kebutuhan dasar lainnya (other basic needs).

Dalam menyempurnakan sebuahtax policy yang mempunyai tujuan agar proposal tax policy tersebut memenuhi standar haruslah memperhatikan 2 (dua) unsur (Harry.Y.L.2001) yaitu: pertama, setiap pembuatan tax policy haruslah dapat digunakan untuk mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada pada kelompok atau institusi tertentu yang mendukung atau berkaitan dengan program pemerintah; dan kedua, mendorong pertumbuhanIekonomi, yang diartikan pembuatan kebijakan ini haruslah didisain khusus agar tetap dapat mendorong atau memberikan pertumbuhan ekonomi yang cepat sesuai dengan sasaran pemerintah.

168 PajakdunRetribusi Daerah

PENYUSUNAN PERATURAN

Dalam dokumen Buku Pajak Dan Retribusi Daerah (Halaman 85-91)