• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Tinjauan Teoritis Desentralisasi Fiskal

2.1.1. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan desentralisasi dan distribusi pengelolaan sumberdaya telah menjadi topik diskusi yang panjang dalam konteks ekonomi politik (Bjornestad, 2009). Landasan Teori tentang federalisasi pertama kali disampaikan oleh Hayek, (1945). Dalam konsepnya Hayek menjelaskan bagaimaan pengetahuan dan informasi digunakan oleh masyarakat. Hayek menyatakan, karena pemerintah daerah (sub nasional) memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap kondisi masyarakat dan potensi daerahnya, sehingga dapat menyediakan fasilitas publik lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dibandingkan dengan pemerintah pusat. Untuk itu desentralisasi akan menciptakan layanan publik yang lebih baik (Bjornestad, 2009).

Lebih dari satu dasa warsa setelah gagasan yang disampaikan oleh Hayek (1945), Tiebout (1956) mengemukakan konsep kompetisi antar pemerintah daerah dalam menyediakan barang publik bagi masyarakatnya. Melalui mekanisme kompetisi antara pemerintah daerah ini akan dihasilkan kesesuaian barang publik yang disediakan pemerintah dengan kehendak dan preferensi masyarakat. Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa mobilitas masyarakat antar wilayah berjalan dengan sempurna. Artinya masyarakat akan berpindah ke wilayah yang pemerintah daerahnya menyediakan fasilitas publik lebih baik. Dengan landasan konsep yang disampaikan oleh Tiebout ini, teori tentang pembiayaan publik berkembang, misalnya Musgrave (1959) dan Oates (1972), yang membangun teori desentralisasi fiskal (fiscal federalsm), dengan fokus utama pada pembagian atau penyerahan pendapatan pajak dan pengeluaran pemerintah pada berbagai tingkatan pemerintahan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Jin, et.al., 2000).

Oates (1972) membangun pemahaman, bahwa penyediaan barang publik oleh pemerintah daerah merupakan metode yang paling efisien. Dalam model yang dikembangkan, Oates membuat perbedaan antara barang publik nasional dan daerah. Pemerintah pusat menyediakan dan mendistribusikan barang publik yang bersifat nasional, sementara untuk barang publik yang bisa disediakan oleh

pemerintah daerah, akan lebih efisien diserahkan kepada pemerintah daerah, dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat dengan keseragaman output pada semua tingkatan pemerintahan.

Oates (1999) memperkuat argumennya, bahwa pemerintah daerah, yang lebih dekat dengan masyarakat akan lebih responsif terhadap preferensi masyarakatnya yang merupakan konstituennya serta akan mampu menemukan cara untuk menyediakan layanan publik dengan lebih baik. Berdasarkan konsep desentralisasi, Oates (1999) menyimpulkan bahwa pemerintah pusat seharusnya memiliki tanggung jawab utama pada menjaga stabilitas ekonomi makro dan distribusi pendapatan, terutama kepada kelompok masyarakat miskin. Sementara penyediaan dan layanan publik lainnya akan lebih baik didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Melalui desentralisasi ini, pemerintah daerah akan dapat menyediakan fasilitas dan layanan publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat pada masing-masing daerah, sehingga tingkat kepuasan masyarakat akan lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas dan layanan publik yang bersifat seragam dari pemerintah pusat. Oates (1993) mengatakan bahwa landasan ekonomi dari desentralisasi fiskal adalah meningkatkan efisiensi, dengan penyediaan barang dan layanan publik yang bersifat lokal spesifik sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masyarakat akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bila disediakan pemerintah pusat secara seragam.

Dalam perspektif yang agak berbeda, Bahl and Linn (1992) menyatakan bahwa desentralisasi lebih nampak sebagai pencapaian tingkatan tertentu dari pembangunan ekonomi, sehingga ada batasan kondisi ekonomi tertentu dimana desentralisasi akan bisa lebih membawa manfaat. Dari perspektif ini, bahwa diperlukan prakondisi pembangunan ekonomi pada tingkatan tertentu terlebih dahulu, baru kemudian diikuti dengan desentralisasi.

Barro (1990) meletakan konsep desentralisasi fiskal dalam kerangka teori pertumbuhan ekonomi endogen (endogeneous growth model), pada tahun 1990. Barro (1990) membangun model dengan landasan model pertumbuhan ekonomi endogen, dengan membedakan antara investasi swasta dan investasi publik, dengan model pertumbuhan ekonomi yang bersifat constant-returns. Asumsi lain yang digunakan adalah bahwa sumber pendapatan pemerintah berasal dari pajak dan anggaran berimbang (pajak sama dengan pengeluaran pemerintah).

Dengan demikian, peningkatan pengeluaran pemerintah diikuti dengan peningkatan tingkat pajak, dan sebaliknya.

Pengembangan tentang pengeluaran pemerintah oleh Barro (1990) mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi, dengan pengeluaran pemerintah sebagai instrumen utama dalam terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori yang digunakan adalah teori pertumbuhan endogen (endogeneous growth model) dengan menekankan pada perbedaan return dari investasi publik dan privat. Investasi privat diasumsikan bersifat diminishing return, sementara investasi publik diasumsikan bersifat constant return atau increasing return, karena adanya efek spillover dan eksternalitas. Model ini menekankan pada pilihan kebijakan pemerintah terkait dengan hubungan antara size of government, tingkat tabungan, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Model dibangun dengan menunjukkan konsep pertumbuhan endogen dengan optimalisasi rumah tangga, dan masalah perencanaan pemerintah.

Pada bagian optimalisasi perilaku rumah tangga, dalam teori pertumbuhan endogen, diasumsikan bahwa model bersifat constant return terhadap kapital, rumahtangga bersifat infinite-lived, dan bertujuan memaksimumkan kepuasan. Dengan demikian, fungsi utilitas rumah tangga adalah:

=

... 1

dimana ρ > 0, yang menunjukkan konstanta preferensi terhadap waktu. Fungsi utilitas adalah:

=

, ... 2

dimana σ >0, sehingga marginal utiliti memiliki elastisitas yang konstan sebesar - σ. Setiap rumah tangga memiliki fungsi produksi:

=

, ... 3

dimana y adalah output per tenaga kerja, dan k adalah kapital per tenaga kerja. Setiap tenaga kerja memiliki sejumlah waktu tertentu, dan diasumsikan tidak ada waktu untuk leasure. Sehingga akan diperoleh kondisi yang memaksimumkan utilitas dalam persamaan (1), dan berimplikasi pada kondisi tingkat pertumbuhan konsumsi adalah:

=

, ... 4

dimana f’ adalah marginal produk dari kapital. Dengan asumsi diminishing return, (f”>0). Namun bila diasumsikan fugsi produksi bersifat konstan return terhadap kapital, dengan fungsi produksi spesifik: = , dan A>0, yang merupakan

marginal produk dari kapital. Fungsi produksi y=Ak, dapat dimodifikasi dengan membedakan jenis kapital dan juga dapat diperluas antara sektor yang memproduksi kapital secara fisik dan human capital (SDM).

Dengan melakukan substitusi f’ = A, kedalam persamaan 4, akan diperoleh:

= =

... 5

dimana γ menunjukkan pertumbuhan perkapita. Dengan asumsi bahwa teknologi cukup produktif untuk menjamin kondisi pertumbuhan steady state yang positif, namun tidak cukup produktif untuk menghasilkan utilitas tak hingga, maka A> ρ>A(1-σ), sehingga γ >0.

Dengan demikian dalam model ini, ekonomi selalu berada pada kondisi steady-state, dengan tingkat pertumbuhan γ, baik untuk c, k dan y. Dengan kondisi awal pada tingkat kapital (k(0)), maka tingkat investasi bersih sebesar γk, maka kondisi konsumsi awal adalah:

0 = 0 . −

... 6

Dengan memasukan sektor publik, dengan g yang menunjukkan kuantitas layanan dan barang publik yang disediakan pada setiap rumahtangga produsen (per kapita). Diasumsikan bahwa barang publik yang disediakan tanpa dikenai biaya. Barang/layanan publik ini digunakan sebagai input dalam proses produksi, sehingga barang dan layanan publik ini bersifat produktif. Asumsi ini diperlukan sehingga terdapat potensi hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan memasukan g dalam fungsi produksi maka akan diperoleh persamaan:

=

,

= .

, ... 7

Dimana , memenuhi kondisi positif dan diminishing marginal product, sehigga > 0 dan "< 0. Fungsi produksi bersifat konstan return terhadap k dan g secara bersama-sama, namun diminishing return terhadap k. Dengan asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas, maka:

#

= $ % = . $ %

, dimana 0<α< 1.

... 8

Pengeluaran pemerintah untuk membiayai layanan dan barang publik yang dihasilkan diperoleh dengan memungut pajak. Dengan asumsi tingkat pajak flat terhadap pedapatan, maka:

Dimana T adalah penerimaan pemerintah adalah tingkat pajak. Dengan menormalisasi bahwa jumlah rumahtangga sebanyak satu, sehingga pengeluaran agregate sebesar g dan penerimaan pemerintah sebesar T. Dari persamaan 9 di atas nampak bahwa pemerintah menerapakan balance budget, dimana penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah.

Dari persamaan 7 dapat diperoleh marginal produk dari kapital adalah: -#

-

= $ % . $1 − .

#

% = $ % . 1 −

... 10

dimana η adalah elastisitas y terhadap g pada kondisi k tertentu, sehingga 0< η < 1. Kondisi optimalisasi konsumsi sebagaimana persamaan 4 di atas masih berlaku, kecuali bahwa f’ diganti dengan marginal return dari kapital sektor swasta. Dengan tingkat pajak sebesar τ, tingkat return kapital adalah (1-τ)(dy/dk), dimana dy/dk sesuai persamaan 10. Dengan demikian pertumbuhan konsumsi akan menjadi:

= = . 1 − . $ % . 1 −

− / ... 11

Sepanjang τ dan g/y konstan, yaitu bila pemerintah mematok g dan T untuk tumbuh pada tingkat yang sama sebesar y-(g/k) dan η konstan maka tingkat pertumbuhan akan konstan sebesar γ. Pada kondisi dinamis, konsumsi berawal dari c(0) dan tumbuh sebesar γ. Sama halnya dengan k dan y, mulai dari k(0) dan y(0), kemudian tumbuh pada tingkat yang konstan sebesar γ. Bila kondisi ekonomi dimulai pada tingkat kapital k(0), maka konsumsinya adalah:

0 = 0 . . 1 − . . $ % − /, ... 12

dimana γ ditentukan pada persamaan 11.

Perbedaan ukuran pemerintah (g/y) memiliki dampak dua arah terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi tingkat pajak (τ) akan menurunkan pertumbuhan ekonomi (γ), sebaliknya semakin tinggi g/y akan meningkatkan dy/dk sehingga meningkatkan γ. Sehingga dampak akhir dari perubahan pada tingkat pajak dan pengeluaran pemerintah pada kondisi balance budget, tergantung pada pengaruh mana yang lebih dominan. Pada ukuran pemerintah kecil (g/y rendah), maka dy/dk akan lebih besar sebaliknya pada tingkat g/y relatif besar, maka dy/dk relatif kecil, sehingga peningkatan g/y yang diikuti peningkatan τ (untuk menjaga balance budget) akan menurunkan γ.

Pada kasus persamaan Cobb-Douglas, dimana η adalah elastisitas y terhadap g adalah konstan. Dalam kasus ini η = α, dimana 0<α<1. Kondisi τ = g/y dan g/k = (g/y).ϕ(g/k) berimplikasi bahwa turunan dari γ terhadap g/y adalah:

-

-$01%

= . $ % .

− 1

... 13

sehingga pertumbuhan meningkat sebesar g/y bila g/k rendah, sehingga ϕ’>1 dan akan turun sebesar g/y jika g/k cukup besar, sehingga ϕ’<1. Dengan demikian, ukuran pemerintah (g/y) yang optimal pada kasus di atas adalah pada saat ϕ’ = 1. Pada kondisi ini, maka tingkat tabungan adalah:

2 =

#

= .

#

=

0

3

... 14

Dengan γ konstan, dan dimasukan pada persamaan 1, maka akan diperoleh:

=

4 4 5 5

... 15

Kondisi bahwa utiliti terbatasi, seperti disebutkan sebelumnya, akan menjamin bahwa ρ> γ(1-σ). Dari persamaan 11 dan 12 di atas dapat dituliskan bahwa:

0 =

. 4 + . + − 1 5. ... . 16

Dengan mensubstitusi ke persamaan 15, maka diperoleh:

= .

/

. 7

8 84 5

9

. ... 17

Jika η konstan, dari persamaan 17 akan bisa diketahui dampak dari pertumbuhan ekonomi (γ) terhadap utilitas adalah positif pada semua nilai σ>0. Kondisi yang memaksimumkan utility sama dengan kondisi memaksimumkan tingkat pertumbuhan (γ). Ini mengikuti kondisi efisiensi produksi dimana ϕ’ = 1, dan τ = g/y=α.

Dengan model persamaan produksi Cobb-Douglas, diperoleh hasil bahwa efek negatif tingkat pajak dan efek positif pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada besarnya rasio antara pengeluaran pemerintah terhadap output (size of government). Pada kondisi pemerintah relatif kecil (rasio pengeluaran pemerintah terhadap output rendah), maka efek positif pengeluaran pemerintah lebih dominan dibandingkan dengan efek negatif tingkat pajak, sehingga peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya pada kondisi ukuran pemerintah relatif besar, dampak negatif tingkat pajak lebih dominan dibandingkan dengan dampak positif

pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan, sehingga peningkatan pengeluaran pemerintah akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian ada kondisi optimum, dimana pengeluaran pemerintah dapat memberikan dampak terbesar dalam mendorong pertumbuahan ekonomi.

Dalam pengembangannya, Barro membedakan pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran untuk konsumsi pemerintah dan pengeluaran produktif (pembangunan). Pengeluaran produktif akan mempengaruhi fungsi produksi sementara pengeluaran konsumsi, tidak mempengaruhi produksi secara langsung. Konsep ini mempunyai implikasi terhadap hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pembentukan modal (saving rate). Peningkatan share pengeluaran konsumsi pemerintah pada tingkat pengeluaran pemerintah yang sama, akan menurunkan saving rate dan pertumbuhan ekonomi. Konsumsi pemerintah tidak berdampak langsung terhadap produktivitas sektor swasta, tetapi mendorong peningkatan pajak, yang memberikan disinsentif terhadap investasi sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Dalam kasus ekstrim, jika pengeluaran pemerintah sepenuhnya hanya untuk konsumsi, maka dampak pengeluaran pemerintah memiliki korelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan saving rate. Model yang dikembangkan Barro ini banyak menjadi rujukan pada penelitian-penelitian tentang kebijakan fiskal, termasuk desentralisasi fiskal, seperti diadopsi Davoodi and Zou (1998), Lin and Liu, (2000), dan Xie et.al. (1999).

Murakami (2005) membangun model pertumbuhan endogen multi-region, dengan faktor pengeluaran pemerintah bersifat produktif untuk menganalisis hubungan vertikal antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Lebih rinci model ini juga menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap kondisi optimal dari pajak daerah dan pajak nasional serta pertumbuhan ekonomi. Model yang dibangun ini merupakan pengembangan dari model desentralisasi fiskal dengan mengadopsi teori pertumbuhan endogen yang dikembangkan oleh Barro sebelumnya. Pengembangan yang dilakukan antara lain dengan mengakomodir perilaku setiap pemerintahan. Dalam model ini diasumsikan bahwa pemerintah daerah bertujuan memaksimumkan kepuasan masyarakatnya sementara pemerintah pusat bertujuan memaksimumkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Di samping itu, model ini juga mempertimbangkan transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Indikator desentralisasi fiskal yang digunakan adalah tingkat ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap

pemerintah pusat. Ini berbeda dengan yang digunakan sebagian besar peneliti sebelumnya, yang umumnya menggunakan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah sebagai indikator desentralisasi fiskal. Model yang dibangun ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada hubungan horizontal antar pemerintah daerah dan desetralisasi dilihat dari aspek penerimaan saja, meskipun sebenarnya desentralisasi dari aspek pengeluaran penting dilihat, namun model ini lebih memfokuskan pada ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

Fungsi produksi perkapita daerah yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, sebagaimana yang digunakan oleh Barro (1990) dan Davoodi and Zou (1998), dengan memasukan pengeluaran pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai faktor produksi di samping kapital. Sementara itu, rumah tangga diasumsikan identik, dan memasok satu tenaga kerja ke pasar, menerima upah serta membayar pajak daerah dan pajak pusat. Sisa pendapatan yang diterima digunakan untuk konsumsi dan menambah aset produktif. Pemerintah pusat memungut pajak dari individu pada setiap daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat serta transfer dari pemerintah pusat ke daerah, sedangkan pemerintah daerah memungut pajak daerah dan memperoleh transfer dari pemerintah pusat. Besarnya transfer dari pemerintah pusat ke daerah adalah sebesar perbedaan antara target penerimaan daerah dan realisasi penerimaan. Rasio besarnya dana transfer terhadap target penerimaan merupakan ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat.

Berdasarkan model tersebut, kemudian dapat ditentukan kondisi keseimbangan tingkat upah, tingkat bunga modal, dan kondisi steady state. Kondisi steady state akan dipengaruhi oleh tingkat pajak nasional dan daerah dan indikator desentralisasi fiskal (ketergantungan fiskal daerah). Berdasarkan kondisi keseimbangan dan steady state tersebut juga dapat diturunkan kondisi tingkat pajak optimal. Dalam hal ini tingkat pajak optimal nasional dan daerah, dipengaruhi oleh indikator desentralisasi fiskal. Semakin terdesentralisasi, tingkat optimal pajak nasional akan turun, sementara kondisi optimal pajak daerah akan meningkat. Sementara pada kondisi steady state, indikator desentralisasi fiskal tidak terpengaruh oleh tingkat pajak optimal. Dengan kata lain, tingkat desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, karena tingkat pajak optimal akan menyesuaikan terhadap perubahan indikator desentralisasi.

Brueckner (2005) menggunakan model pertumbuhan endogen (endogenous-growth model) dengan overlapping generations untuk menjelaskan keterkaitan antara sistem fiskal federal dengan pertumbuhan ekonomi. Model ini merupakan pengembangan dari model Brueckner (1999), yang menggunakan model overlapping generations (OLG) dinamis untuk melihat dampak federalisme fiskal terhadap insentif menabung. Pengembangan dilakukan untuk menghubungkan konsep dengan hasil analisis empiris, yaitu dengan memasukan alternatif sistem fiskal terpusat atau sistem federal (terdesentralisasi), dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Model ini mengadopsi model yang dibangun Yakita (2003) dengan memasukan faktor barang publik. Berdasarkan model Yakita, investasi terhadap sumberdaya manusia (human capital) selama masa muda, akan meningkatkan penerimaan ketika periode tua. Dengan demikian, pendidikan memegang peran kunci dalam analisis ini. Penyediaan barang dan layanan publik seperti kesehatan, transportasi, keamanan umum, rekreasi, diasumsikan tidak berkorelasi dengan proses pendidikan. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa sistem fiskal federal (terdesentralisasi), yang memungkinkan penyediaan barang publik disesuaikan dengan permintaan konsumen muda dan tua dan antar wilayah, akan meningkatkan insentif untuk menabung. Peningkatan insentif menabung ini akan meningkatkan investasi sumberdaya manusia dan dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Ogawa and Yakita (2008), membangun model desentralisasi fiskal dan kesetaraan transfer dalam model pertumbuhan endogenous dua wilayah. Dalam model diasumsikan terdapat dua wilayah dan dua pemerintahan yang memiliki tujuan berbeda. Pemerintah daerah bertujuan untuk memaksimumkan utilitas masyarakatnya, sementara pemerintah pusat melakukan transfer anggaran kepada daerah untuk menutupi kekurangan kapasitas fiskal daerah dan mencapai pertumbuhan ekonomi. Model ini mirip dengan yang dikembangkan oleh Mukarami (2005), termasuk indikator desentralisasi yang digunakan adalah ketergantungan fiskal daerah dan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Dari model yang dikembangkan ini, diperoleh bahwa (1) peningkatan tingkat desentralisasi fiskal (pengurangan ketergantungan fiskal daerah) akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerahnya, (2) instrumen kebijakan dari pemerintah pusat yaitu pemberian tingkat desentralisasi fiskal tingkat pajak pemerintah pusat tidak mempengaruhi

kecepatan konvergen (pemerataan) pertumbuhan ekonomi antar daerah, (3) terdapat kondisi derajat desentralisasi fiskal yang optimal, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi bila tingkat desentralisasi masih di bawah kondisi optimum, dan sebalknya, dan (4) derajat desentralisasi fiskal yang dikehendaki adalah yang memberikan dampak maksimum terhadap tujuan pemerintah, yaitu pertumbuhan ekonomi bagi pemerintah pusat dan kesejahteraan bagi pemerintah daerah.

Dalam kerangka operasional, Fritzen (2006) mendefinisikan bahwa desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah. Desentralisasi fiskal juga menentukan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah, secara agregat dan detail. Namun hakekat sebenarnya desentralisasi fiskal bukan sekedar realokasi sumberdaya antar pemerintah pusat dan daerah, namun menyangkut juga perubahan konfigurasi institusi pemerintah, hubungan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal juga menyangkut pemberdayaan pemerintah daerah dalam manajemen barang publik untuk mendukung pembangunan.

Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan layanan publik karena melalui peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan semakin sesuainya ketersediaan barang publik dengan preferensi lokal. Demikian halnya terjadi peningkatan akuntabilitas, penyederhanaan birokrasi dan menurunnya biaya layanan publik.

Tujuan penerapan desentralisasi fiskal pada negara berkembang, adalah untuk mendukung pengentasan kemiskian dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, hal ini memerlukan dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan, dalam mencapai efisiensi alokasi sumberdaya dan penyediaan layanan publik yang lebih baik. Desentralisasi, atau distribusi fungsi administrasi dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: (1) desentralisasi politik, yaitu transfer kewenangan politik kepada pemerintah daerah, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan perwakilan rakyat, (2) desentralisasi fiskal, yaitu adanya realokasi sumberdaya yang mendukung pemerintah daerah dapat

berperan dengan baik, (3) desentralisasi administrasi, yaitu transfer pengambilan keputusan, sumberdaya, dan juga tanggung jawab dalam penyediaan layanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dua jenis desentralisasi administrasi, yaitu dekonsentrasi, yang berarti transfer kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah yang memiliki unit yang akuntabel. Kedua adalah tugas perbantuan, yaitu redistribusi dari kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pendelegasian adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab kepada unit pemerintahan atau lembaga yang tidak selalu merupakan cabang atau institusi vertikal dari pemberi tugas, dengan bertanggung jawab kepada instansi pusat pemberi tugas. Desentralisasi yang ke empat adalah divestasi atau desentralisasi pasar, dimana transfer dari fungsi layanan publik dari pemerintah ke swasta atau lembaga swadaya masyarakat melalui suatu kontrak pemberian layanan atau fungsi adminsitrasi, deregulasi atau prifatisasi secara penuh (Bjornestad, 2009).

Di Indonesia, merujuk pada UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hubungan fungsional antara pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan desentralisasi meliputi desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah, serta tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.