• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hak-hak Konsumen Pelanggaran hak konsumen jika terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan kedudukan konsumen akan semakin sulit. Banyak faktor yang menyebabkan hak konsumen dilanggar oleh pelaku usaha, pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan suatu hal yang sering di jumpai sehari-hari, beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah kedudukan

commit to user

konsumen yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha seperti yang dinyatakan oleh Susanti Adi Nugroho (2011: 2) sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/258 tahun 1985 tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa Dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan konsumen di semua negara, khususnya di

negara-negara berkembang, diakui bahwa konsumen sering menghadapi

ketidakseimbangan dalam hal ekonomi, tingkat pendidikan, dan daya tawar, dan mengingat bahwa konsumen harus memiliki hak akses ke produk yang tidak berbahaya, serta hak atas akses untuk mempromosikan adil, pembangunan ekonomi dan sosial yang adil dan berkelanjutan Faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak konsumen bisa disebabkan karena sistem hukum yang berlaku belum efektif. Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil

atau tidaknya p Substansi Hukum, Struktur

Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum

Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen khususnya yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta akan dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman adalah sebagai berikut :

a. Substansi Hukum

Teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.

commit to user

tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya

tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta antara lain adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan

Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

3) Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Banjarmasin, Kota Cirebon, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Tanjung Pinang serta Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.

4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK.

5) Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 33/M-DAG/KEP/1/2011 tentang Pengangkatan Anggota BPSK Surakarta.

6) Peraturan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta No. 034/PER/II/IX/2011/BPSK.Ska tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen.

7) Keputusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta No. 035/KEP/III/IX/2011/BPSK.Ska tentang Kode Etik Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta. Kode Etik Anggota BPSK.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bambang Ari Wibowo, SH yang menyatakan bahwa :

Banyak dasar hukum yang digunakan dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, yang didalamnya termuat hak-hak apa saja yang dimiliki oleh konsumen, tetapi dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia

commit to user

yang paham akan adanya Undang-Undang Perlindungan hanya sekitar 30%, dan yang memahami akan hak-haknya hanya

11-Lapangan 2)

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Suryanto yang menyatakan bahwa,

mengenai hak-hak yang saya miliki, yang saya tau kewajiban saya adalah

Hal senada juga diungkapkan oleh Oleh Ibu Henny salah satu konsumen yang datang ke BPSK Surakarta yang menyatakan bari bahwa

ke kantor polisi, dari pihak kepolisian saya diberitahu adanya BPSK sehingga

Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa substansi hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen sudah banyak dimuat dalam produk undang-undang mapun didalam aturan dibawahnya. Namun demikian, walaupun produk undang-undang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang sekitar 13 tahun sudah berlaku tetapi masyarakat belum banyak yang tahu akan adanya produk undang-undang tersebut apalagi yang paham akan hak-hak yang konsumen miliki.

b. Struktur Hukum atau Pranata Hukum

Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

commit to user

Sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang dilanggar akibat kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha maka pemerintah mengeluarkan suatu produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dalam Pasal 45 ayat 1 menyatakan ap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan

Surakarta merupakan salah satu dari beberapa kabupaten atau kota di Indonesia yang dibentuk suatu badan guna menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta yang dibentuk pada 10 Mei 2011.

Dalam penyelesaian sengketa konsumen tersebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta belum berjalan secara maksimal seperti yang diungkapkan oleh Bapak Bambang Ari Wibowo, SH adalah sebagai berikut :

Yang pertama adalah anggaran, pada tahun 2011 anggaran yang diberikan oleh APBD adalah 75 juta, tetapi pada kenyataannya anggaran tersebut tidak cair secara keseluruhan, yang cair tidak sampai 60 juta. Untuk tahun 2012 anggaran yang direncanakan adalah 200 juta tetapi sampai hari ini juga belum cair. Yang kedua adalah sarana dan prasarana, ruangan BPSK tidak tersedia, BPSK hanya memiliki satu ruangan saja yang digunakan untuk berbagai kegiatan baik, sidang, pengaduan, konsultasi, rapat. (Catatan lapangan 2)

Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Dra. Aniek Tri Maharni, Hambatan yang paling utama adalah ketersediaan dana, untuk foto copy saja kadang kita harus mengambil dari kantong sendiri. Sarana dan prasarana juga belum memadai, dapat dilihat

Lapangan 3)

Hal tersebut juga semakin diperkuat dengan keterangan yang diberikan oleh Ibu Tuti Budi Rahayu, SH yang menyatakan bahwa :

Yang utama adalah dana, anggota BPSK sampai sekarang hanya diberi honor 300 ribu setipa bulan, dalam beberapa bulan ini saja honor tersebut belum juga keluar. Ada juga hambatan dari sarana dan prasarana, dapat dilihat sendiri kantor dari BPSK keadaannya seperti apa, fasilitasnyapun

commit to user

juga kurang memadai. Kurangnya sekretariat juga menjadi hambatan, sekretariat yang hanya satu orang merangkap beberapa pekerjaan. (Catatan lapangan 4)

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pranata hukum atau struktur hukum dalam menyelesaikan sengketa konsumen guna melindungi hak-hak konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta belum berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor penghambat antara lain adalah kurangnya ketersediaan dana, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan kurangnya sumber daya manusia guna mendukung kinerja di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta.

c. Budaya Hukum

Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Dari teori diatas dikemukakan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha kurang mentaati terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sri Wahyuni, MM adalah, Pelaku usaha tidak memberikan informasi yang jelas terhadap produk yang mereka keluarkan, misal ada beberapa produk makanan yang tidak memenuhi standar, tidak ada tanggal kadaluarsa dan sebagainya padahal itu diwajibkan harus ada dalam setiap produk (Catatan Lapangan 1)

commit to user

Hal senada diungkapkan oleh Ibu Dra Aniek Tri Maharni, yaitu: Selama ini pelaku usaha menggunakan kesempatan bahwa konsumen memang sedang butuh, pelaku usaha mengetahui bahwa konsumen sedang butuh maka mereka membujuk konsumen agar mau meminjam dana. Sedangkan pembuatan aturan terkadang tidak sesuai dengan ketentuan, misal huruf dalam perjanjian kecil-kecil sehingga konsumen enggan untuk membacanya. Pelaku usaha kebanyakan juga tidak memberikan informasi yang jelas kepada konsumen, misal iklan yang disajikan tidak jelas atau tidak detail atau menimbulkan anggapan lain, contoh : mendapat bonus setelah pemakaian sekian, tetapi tidak dijelaskan bonus itu sampai berapa hari dan berapa jumlahnya. (Catatan lapangan 3)

Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Ibu Tuti Budi Rahayu, SH yang menyatakan :

Pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang jelas pada iklan yang mereka buat, mereka membuat iklan dengan tersembunyi atau tidak ada keterbukaan dalam informasinya. Padahal informasi ini sangat penting bagi konsumen yang akan menggunakan produk mereka, jika berbahaya maka yang lebih banyak dirugikan pasti juga konsumen sendiri. (Catatan lapangan 4)

Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran hukum dari pelaku usaha dapat dikatakan rendah, didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa,

jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta

kenyataannya pelaku usaha yang terlibat dalam sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta kurang memberikan informasi yang jelas terhadap konsumen.

Berdasarkan hasil-hasil temuan dan berdasarkan teori yang digunakan untuk mengukur faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Substansi hukum : Pemerintah Negara Indonesia telah mengeluarkan produk

undang-undang maupun peraturan dibawahnya guna mewujudkan

commit to user

yang tahu akan produk peraturan tersebut bahkan hanya sedikit saja masyarakat yang tahu akan hak-hak yang mereka miliki.

b. Struktur hukum atau pranata hukum : Guna mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha maka dibentuk aparat penegak hukum yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta, tetapi selama ini belum dapat berjalan secara maksimal hal ini disebabkan oleh : kurangnya ketersediaan dana, kurangnya sarana dan prasarana, dan kurangnya sumber daya manusia.

c. Budaya hukum : tingkat kesadaran hukum dari pelaku usaha masih dapat dikatakan kurang, padahal secara jelas didalam undang-undang sudah disebutkan bahwa ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

2. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta dalam Melindungi Hak-hak Konsumen

Perlindungan terhadap konsumen menjadi hal yang penting mengingat perkembangan perekonomian semakin pesat yang mengakibatkan munculnya variasi produk barang dan jasa. Hal demikian juga mengakibatkan pada kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen sering kali hanya menjadi obyek aktivitas bisnis pelaku usaha dan kedudukan konsumen masih lemah. Banyak kasus bisa ditemui di lapangan, betapa banyak konsumen yang dirugikan dan dicurangi bahkan terancam kesehatan serta jiwanya akibat perbuatan pelaku usaha.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran dari lembaga pemerintah yang berperan untuk melindungi hak-hak konsumen. Lembaga yang ditunjuk tersebut salah satunya adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang mempunyai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bertujuan memberikan perlindungan kepada konsumen. Adapun tugas dan wewenang dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 Pasal 52 jo. SK.

commit to user

Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah :

d. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, atau arbritasi atau konsiliasi;

e. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

f. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

g. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

h. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

i. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; j. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;

k. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimnana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian dipihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Dengan merujuk pada Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 jo. Pasal 2 SK. Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, peran utama dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu : sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan, sedangkan pada butir e, butir f, butir g, butir h, butir i, butir k, butir i, dan butir m pada tugas dan wewenang dalam Undang-Undang

commit to user

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 sebenarnya telah terserap dalam fungssi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada butir b dapat dipandang sebagai upaya sosialisasi baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha. Adapun tugas pada butir c tidak selalu terkait dengan adanya sengketa konsumen. (Yusuf Shofie, 2003:21)

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (2010: 61) menyebutkan bahwa :

Perlindungan yang diberikan oleh lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut kepada konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan juga berperan melakukan pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen.

Hal senada juga dinyatakan oleh Susanti Adi Nugroho (2011: 83), bahwa ada dua peran strategis dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1) BPSK berperan sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melaui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

2) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha.

Dari penjelasan tersebut maka peran utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surakarta dalam melindungi hak-hak konsumen adalah sebagai berikut :

a. Memberikan Konsultasi Kepada Konsumen

Konsumen yang merasa haknya dilanggar atau mereka yang merasa membutuhkan informasi tentang perlindungan konsumen, maka konsumen dipersilahkan untuk datang ke BPSK Surakarta. Langkah ini dilakukan guna mewujudkan konsumen yang cerdas, jika konsumen cerdas maka konsumen akan menjadi kritis sehingga pelanggaran terhadap hak konsumen tidak terulang kembali. Dalam konsultasi konsumen juga dapat menentukan langkah berikutnya apakah akan maju ke langkah berikutnya atau tidak dan menetukan apa saja yang perlu disiapkan jika konsumen akan bersengketa. Data konsumen

commit to user

yang datang untuk mengadu atau berkonsultasi pada bulan Januari sampai Maret tahun 2012 adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Jumlah Pengaduan Konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta Pada Tahun 2012.

No Jenis Jumlah

1. Perbankan dan Keuangan 4

2. Leasing 5

3. Jasa Pelayanan Listrik Negara 1

4. Jasa Telekomunikasi 1

5. Jasa air Bersih 1

6. Jasa Perparkiran 1

7. Property 3

Jumlah Total 16

Sumber : Data BPSK Surakarta

Berikut hasil wawancara dengan Ibu Tuti budi Rahyu, SH selaku kepala sekretariat BPSK Surakarta :

BPSK memberikan konsultasi kepada konsumen yang datang kesini baik yang hanya ingin konsultasi atau melakukan pengaduan, karena pada saat konsultasi dapat memberikan dampak yang positif bagi konsumen itu sendiri, konsumen dapat memutuskan mereka akan maju atau tidak, selain itu konsumen juga akan mengetahui segala sesuatu yang perlu dipersiapkan misalnya alat bukti dan lainnya. Kesalahan yang konsumen perbuat juga akan tampak pada saat konsultasi. (Catatan Lapangan 4).

Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Dra. Anik Tri Maharni selaku anggota BPSK Surakarta dari unsur konsumen yaitu :

Siapapun berhak konsultasi di BPSK, karena disini BPSK akan menjelaskan apa saja yang harus disiapkan oleh konsumen sebagai alat bukti yang nanti akan diperlukan pada saat persidangan. Selain itu BPSK juga akan menjelaskan apa saja yang menjadi hak-hak yang konsumen miliki, jadi nanti konsumen akan tahu apa yang harus dibawa dan diajukan. (Catatan Lapangan 3)

Hal serupa juga diungkapkan oleh Etik salah satu konsumen yang mengadu ke BPSK yaitu :

commit to user

Pada awalnya saya datang kesini untuk konsultasi terlebih dahulu, awalnya saya datang ke kantor polisi dan diberi saran untuk datang kesini. Disini saya berkonsultasi dan diberi pengarahan oleh anggota BPSK. Saya diberi penjelasan bahwa saya berhak untuk melakukan pengaduan dan menuntut semua kerugian yang saya derita dan mengambil kembali barang saya. (Catatan Lapangan 10)

Pemberian konsultasi kepada konsumen yang datang ke BPSK Surakarta ini ternyata membawa dampak positif terhadap konsumen. Konsumen akan lebih mengerti akan kesalahan yang mereka perbuat selain itu konsumen sebagai warga negara juga akan mengetahui hak dan kewajiban yang mereka miliki. Dengan demikian diharapkan jika konsumen sudah memahami kesalahan dan paham hak-hak mereka maka kesalahan tidak akan terulang kembali.

b. Pengawasan Klausula Baku

Didalam melakukan transaksi yang dilakukan antara pelaku usaha dengan konsumen sering kali disertai dengan perjanjian-perjanjian atau klausula baku yang isi dari klausula baku tersebut sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha tanpa melalui perundingan terlebih dahulu antara kedua belah pihak yakni pelaku uasaha dengan konsumen. Pada umumnya pelaku usaha telah menyiapkan terlebih dahulu perjanjian tersebut yang diberlakukan pada mereka dalam sebuah formulir yang dicetak dan diberikan kepada konsumen untuk menyetujui tanpa memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mempelajari perjanjian yang telah diberikan tersebut. Oleh karena itu BPSK berperan untuk mengawasi kluasula baku tersebut seperti

berperan mengawasi klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, apabila klausula baku tersebut mengandung unsur yang merugikan konsumen

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibu Tuti Budi Rahayu, SH selaku kepala sekretariatan BPSK Surakarta yaitu :

commit to user

BPSK bisa mengawasi klausula baku baik diminta atau tidak, baik ada maupun tidak ada laporan, misalnya melihat klausula baku yang tidak sesuai maka BPSK bisa langsung terjun kelapangan untuk memberikan peringatan, apabila peringatan tidak diindahkan maka BPSK juga bisa memberikan sanksi kepada pelaku usaha. Sanksi tersebut bisa berupa merekomendasi kepada pihak yang mengeluarkan ijin kepada pelaku usaha bahwa klausula tersebut tidak layak untuk dikeluarkan. (Catatan lapangan 4)

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Ibu Dra. Aniek Tri Maharni selaku anggota BPSK Surakarta dari unsur konsumen yaitu :

Pelaku usaha dalam hal mengeluarkan produk baik barang maupun jasa ada hal yang bisa saja tidak benar atau melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu BPSK juga berperan untuk mengawasi hal tersebut, contoh : Rumah sakit mengenakan biaya bocking untuk merawat padahal itu tidak diperbolehkan, leasing yang seharusnya hanya memberikan kredit kendaraan bermotor tetapi ada yang memberikan pinjaman berupa uang, contoh lain misalnya yang sekarang baru BPSK tangani yaitu pengawasan terhadap kalusula baku tentang perpakiran, didalam kartu parkir biasanya dimuat kalimat barang yang hilang ditanggung sendiri, ini sebenarnya tidak boleh karena akan merugikan konsumen. Oleh sebab itu BPSK berhak untuk melakukan pengawasan terhadap hal-hal tersebut guna memberikan perlindungan terhadap konsumen. (Catatan Lapangan 3)

Berdasarkan hasil wawancara diatas dengan adanya peran BPSK maka diharapkan agar pelaku usaha lebih berhati-hati dalam pembuatan klausula baku sehingga kecurangan-kecurangan yang dibuat oleh pelaku usaha dapat diminimalisir dan hak-hak konsumen tidak semakin dilanggar oleh pelaku usaha.

c. Menyelesaikan Sengketa Konsumen

Dokumen terkait