• Tidak ada hasil yang ditemukan

Devatāsaṃyutta

Dalam dokumen Samyutta Nikaya 1 Sagatha Vagga (Halaman 70-73)

III. (1) Setelah Membunuh

1. Devatāsaṃyutta

Devatā adalah kata benda abstrak dari deva, tetapi dalam Nikāya kata ini digunakan dalam arti yang bervariasi untuk menunjukkan khususnya makhluk-makhluk surgawi, seperti halnya kata “deity” dalam Bahasa

Inggris, adalah kata benda abstrak yang berarti bersifat ketuhanan,

biasanya digunakan untuk menunjukkan Dewa tertinggi dari ajaran Theistik atau dewa individu atau para dewa dalam keyakinan politheis. Walaupun kata ini bersifat perempuan, jenis kelamin berasal dari

naskah yang ada jarang menunjukkan jenis kelamin mereka, walaupun

sepertinya dapat berarti jenis kelamin apa pun dan mungkin kadang- kadang tidak membedakan jenis kelamin.

Bagi Buddhisme para deva bukanlah tuhan abadi yang memainkan

peranan sebagai pencipta dalam proses kosmis. Mereka hanyalah makhluk yang lebih tinggi, bahagia dan bercahaya, yang sebelumnya hidup di alam manusia dan terlahir kembali di alam surga karena buah perbuatan baik mereka. Dengan sedikit perbedaan, mereka sama terbelenggunya oleh kebodohan dan keinginan seperti halnya manusia,

dan mereka sama memerlukan tuntunan dari Yang Tercerahkan. Sang Buddha adalah “guru para deva dan manusia” (satthā devamanussānaṃ),

dan walaupun terlahir di alam manusia, namun Beliau menjulang melampaui para deva tertinggi dengan kebijaksanaan-Nya yang

tertinggi dan kesucian-Nya yang sempurna.

Para deva biasanya mengunjungi Sang Buddha di keheningan tengah

malam, ketika seisi dunia sedang terbaring tenggelam dalam lelap.

Devatāsaṃyutta memberikan catatan percakapan mereka. Kadang- kadang para deva datang mengucapkan syair pujian pada Sang Guru,

kadang-kadang mengajukan pertanyaan, kadang-kadang memohon bimbingan, kadang-kadang meminta persetujuan atas pandangan- pandangan mereka, kadang-kadang bahkan menantang atau mencela Beliau. Pada saat berkunjung mereka hampir selalu membungkuk memberi hormat, karena Sang Buddha secara moral dan spiritual lebih unggul daripada mereka. Tidak membungkuk pada Beliau, seperti

yang dilakukan beberapa deva (baca 1:35), adalah provokatif, dan

menunjukkan ketidakhormatan yang disengaja.

Masing-masing dari empat Nikāya dibuka dengan sebuah sutta penting. Walaupun sutta pertama dari SN adalah sangat singkat, namun kaya dalam implikasinya. Dalam sutta ini satu devatā mendatangi Sang

Buddha menanyakan bagaimana Beliau “menyeberangi banjir,” yaitu,

bagaimana Beliau mencapai pembebasan, dan dalam jawabannya Sang

Buddha menunjukkan “jalan tengah” sebagai kunci bagi pencapaian-

Nya. Jawaban ini menyampaikan makna inti dari Dhamma, yang

menghindari segala ekstrim dalam pandangan-pandangan, sikap, dan perilaku. Komentar menarik percabangan dari penyataan Sang

Buddha dengan daftar tujuh ekstrim, baik filosofis maupun praktis,

Sutta-sutta selanjutnya dalam saṃyutta ini mencakup spektrum

topik yang luas tanpa logika tertentu dalam urutannya. Sutta-sutta tersebut menjangkau dari yang sederhana hingga yang mendalam, dari yang bersifat humor hingga yang sangat serius. Percakapan ini membahas praktik-praktik etis seperti memberi, melayani orang lain,

dan tidak melukai; kesulitan-kesulitan dalam pelepasan keduniawian

dan kehidupan bermeditasi; upaya yang tekun; dukacita kehidupan manusia dan perlunya kebebasan. Terdapat juga sutta-sutta tentang kebahagiaan dan keseimbangan Sang Arahanta, dan beberapa yang menyentuh keagungan-Nya. Dalam banyak sutta bagian prosa berfungsi meletakkan kerangka percakapan, yang akhirnya menyisakan hanya syair percakapan dengan identitas pembicara dikenali. Tetapi kita

juga kadang-kadang menemukan kisah singkat, seperti kisah devatā perempuan yang mencoba untuk menggoda Bhikkhu Samiddhi (1:20) atau “para deva pencari kesalahan” yang menuduh Sang Buddha sebagai munafik (1:35), atau kunjungan pada Sang Buddha oleh sekelompok deva ketika kaki Beliau terluka oleh pecahan batu. (1:38).

Biasanya identitas pribadi sang devatā tidak terungkap. Suatu pengecualian adalah sepasang sutta di mana Kokanadā bersaudari, puteri-puteri dewa cuaca Pajjuna, mengunjungi Sang Buddha dan memuji Beliau dan Dhamma-Nya (1:39-40). Kadang-kadang syair-syair yang diucapkan oleh dewa yang tidak dikenal muncul kembali di tempat lain dengan identitas yang disebutkan; misalnya, v.22 muncul kembali sebagai v.461, yang berasal dari Māra si Jahat; vv.156-59 muncul kembali sebagai vv.312-15, berasal dari Anāthapiṇḍika, kelahiran kembali di alam surga si dermawan besar. Juga jarang sutta-sutta menyebutkan para deva dari alam tertentu, tetapi terdapat pengecualian, seperti pada syair tentang “memuji kebaikan” sekelompok deva (satullapakāyikā devā; 1:31-34, dan seterusnya) dan tentang para deva di Alam Murni

(suddhāvāsakāyikā devā’ 1:37). Komentar, tercantum dalam catatan, sering memberikan informasi latar belakang.

Ketika devatā tidak mengajukan pertanyaan melainkan menyuarakan pendapat, biasanya terbentuk perlawanan antara sudut pandang si dewa, yang umumnya benar menurutnya, dan

sudut pandang Sang Buddha, yang melihat segala sesuatu melampaui

sekelompok deva mengungkapkan pendapat mereka, yang dilampaui

oleh Sang Buddha dengan pendapat Beliau yang lebih mendalam

(vv.78-84, 95-101). Dalam beberapa sutta syair-syair tidak diucapkan

dalam konteks percakapan melainkan mengungkapkan pandangan

pribadi dari si deva, yang disetujui oleh Sang Buddha (vv.136-40), dan dua syair hanya sekedar puji-pujian pada Sang Bhagavā (vv.147, 148). Dimulai dengan v.183, sutta-sutta menggunakan format standar, dengan para deva mengajukan teka-teki yang dijawab Sang Buddha dengan jawaban yang memuaskan mereka. Contoh yang mudah diingat

dari teka-teki ini adalah tentang jenis membunuh yang disetujui oleh

Sang Buddha, yang jawabannya adalah membunuh kemarahan (vv.223- 24). Dalam satu sutta kita menemukan sentuhan humor ringan: satu devatā mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, jelas-jelas bermaksud secara duniawi, tetapi sebelum Sang Buddha menjawab, devatā lainnya menyela dan memberikan jawaban yang juga di tingkat duniawi. Kemudian Sang Buddha menjawab, mengangkat dialog tersebut ke bidang transenden (vv.229-31). Karena isinya yang bervariasi dan tajamnya syair-syairnya, maka dalam tradisi Theravāda, minimal di Sri Lanka, Devatāsaṃyutta sangat terkenal sebagai sumber

teks yang menjadi acuan dalam khotbah-khotbah.

Dalam dokumen Samyutta Nikaya 1 Sagatha Vagga (Halaman 70-73)