Khotbah Berkelompok Sehubungan dengan Suku Kosala
II. SUB BAB KE DUA (TANPA ANAK)
11 (1) Tujuh Jaṭila
Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī, di
Taman Timur Istana Ibu Migāra.218 Pada saat itu, di malam hari, Sang
Bhagavā telah keluar dari keheningan dan sedang duduk di gerbang luar. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendekati Sang Bhagavā,
memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi. [78] <177> Pada saat itu, tujuh jaṭila, tujuh nigaṇṭha, tujuh petapa telanjang, tujuh petapa berjubah-satu, dan tujuh pengembara—dengan bulu ketiak
panjang, kuku panjang, dan rambut panjang, membawa perlengkapan mereka—berjalan tidak jauh dari Sang Bhagavā.219 Kemudian Raja
Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, merapikan jubah luarnya di satu bahunya, berlutut dengan lutut kanannya di tanah, dan,
merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada tujuh jaṭila, tujuh nigaṇṭha, tujuh petapa telanjang, tujuh petapa berjubah-satu, dan tujuh pengembara, ia menyebutkan namanya tiga kali: “Saya adalah raja, Yang Mulia, Pasenadi dari Kosala! … Saya adalah raja, Yang
Mulia, Pasenadi dari Kosala.”
Kemudian, tidak lama setelah tujuh jaṭila … <178> … dan tujuh
pengembara ini pergi, Raja Pasenadi dari Kosala mendekati Sang
Bhagavā, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Mereka, Yang Mulia, adalah yang di dunia ini
termasuk para Arahanta atau yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahatan.”220
“Baginda, sebagai orang awam yang menikmati kenikmatan indria, berdiam di dalam rumah yang ramai oleh anak-anak, menikmati
pemakaian kayu cendana Kāsi, memakai kalung bunga, wewangian,
dan salep, menerima emas dan perak, adalah sulit bagimu untuk
mengetahui: “Orang-orang ini adalah Arahanta atau orang-orang ini telah memasuki sang jalan menuju Kearahatan.”
“Adalah dengan hidup bersama dengan seseorang, Baginda, maka
kemuliaannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat, oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh
seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.
“Adalah dengan pergaulan dengan seseorang, Baginda, maka
kejujurannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat, oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh
seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu. <179>
“Adalah dalam kesulitan, Baginda, maka ketabahan seseorang
diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat, oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu. [79]
“Adalah dengan berdiskusi dengan seseorang, Baginda, maka
kebijaksanaannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat, oleh seorang yang memperhatikan, bukan
oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.”221
“Sungguh indah, Yang Mulia, sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa indahnya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Baginda, sebagai orang awam … adalah sulit bagimu untuk mengetahui … (seperti di atas) <180> … oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.’”
“Ini, Yang Mulia, adalah mata-mataku, petugas dalam penyamaran,
yang kembali setelah memata-matai seluruh negeri.222 Informasi
pertama dikumpulkan oleh mereka dan selanjutnya aku meminta mereka untuk mengungkapkannya.223 Sekarang, Yang Mulia, ketika
mereka telah membersihkan debu dan kotoran dan mandi yang segar, dengan rambut dan janggut tercukur, mengenakan pakaian putih, mereka akan menikmati lima untai kenikmatan indria.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami hal ini, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair berikut ini: <181>
399. “Seseorang tidak mudah dikenali dari bentuk luarnya Juga tidak bisa dipercaya dengan penilaian cepat,
Karena dalam penyamaran sebagai seorang yang terkendali baik
Orang-orang yang tidak terkendali bergerak ke sana kemari di dunia ini.
400. “Bagaikan anting-anting tiruan terbuat dari tanah liat, Bagaikan perunggu senilai setengah sen yang disepuh emas, Beberapa orang bergerak ke sana kemari dalam
penyamaran:
Di dalamnya kotor, di luarnya indah.”
12 (2) Lima Raja
Di Sāvatthī. Pada saat itu, lima raja yang dipimpin oleh Raja Pasenadi sedang menikmati lima untai kenikmatan indria ketika perbincangan
ini muncul di antara mereka: “Apakah pemimpin dari kenikmatan-
kenikmatan indria?”224
Beberapa di antara mereka berkata: “Bentuk-bentuk adalah pemimpin dari kenikmatan-kenikmatan indria.” Beberapa berkata: ”Suara adalah pemimpin.” Beberapa berkata: “Aroma adalah pemimpin.” Beberapa berkata: “Rasa kecapan adalah pemimpin.” Beberapa berkata: [80] Objek-objek sentuhan adalah pemimpin.”225
<182>
Karena para raja itu tidak dapat saling meyakinkan satu sama
lain, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada mereka: “Marilah,
Teman-teman, kita menghadap Sang Bhagavā dan bertanya kepada- Nya tentang persoalan ini. Saat Sang Bhagavā menjawab, kita harus mengingatnya.”
“Baiklah Baginda,” para raja itu menjawab. Kemudian lima raja itu, dipimpin oleh Raja Pasenadi, menghadap Sang Bhagavā, memberi
hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Raja Pasenadi kemudian
melaporkan keseluruhan diskusi mereka itu kepada Sang Bhagavā dan bertanya: “Apakah, Yang Mulia, pemimpin dari kenikmatan-
kenikmatan indria?” <183>
“Baginda, Aku mengatakan bahwa pemimpin di antara lima
untai kenikmatan indria ditentukan oleh apa pun yang paling menyenangkan.226 Bentuk-bentuk yang sama yang menyenangkan
bagi seseorang, Baginda, adalah tidak menyenangkan bagi orang lain. Ketika seseorang merasa senang dan puas sepenuhnya dengan bentuk- bentuk tertentu, maka orang itu tidak menginginkan bentuk lainnya yang lebih tinggi atau lebih baik daripada bentuk-bentuk itu. Baginya bentuk-bentuk itu adalah yang tertinggi; baginya bentuk-bentuk itu tidak tertandingi.
“Suara-suara yang sama … Aroma yang sama … Rasa-rasa kecapan yang sama … <184> … objek-objek sentuhan yang sama yang menyenangkan bagi seseorang, Baginda, adalah tidak menyenangkan bagi orang lain. [81] Ketika seseorang merasa senang dan puas sepenuhnya dengan objek-objek sentuhan tertentu, maka orang itu tidak menginginkan objek sentuhan lainnya yang lebih tinggi atau lebih baik daripada objek-objek sentuhan itu. Baginya, objek-objek sentuhan itu adalah yang tertinggi; baginya objek-objek sentuhan itu tidak tertandingi.”
Pada saat itu, pengikut awam Candanaṅgalika sedang duduk pada
kumpulan itu. Kemudian pengikut awam Candanaṅgalika bangkit
dari duduknya, merapikan jubah luarnya di satu bahunya, dan
merangkapkan tangannya memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berkata kepada Beliau: “Sebuah gagasan muncul dalam diriku, Bhagavā!, sebuah gagasan muncul dalam diriku, Yang Sempurna!”
“Ungkapkanlah gagasanmu, Candanaṅgalika,” Sang Bhagavā
berkata.227
Kemudian pengikut awam Candanaṅgalika, di hadapan Sang Bhagavā, mengucapkan syair yang sesuai:
401. “Bagaikan keharuman teratai merah Kokanada
Berkembang di pagi hari, keharumannya tidak memudar,
Lihatlah Aṅgirasa, Yang Bersinar,
Bagaikan matahari yang bersinar di angkasa.”228
Kemudian lima raja itu menganugerahkan lima jubah luar
kepada pengikut awam Candanaṅgalika. Namun pengikut awam Candanaṅgalika <185> mempersembahkan kelima jubah luar tersebut kepada Sang Bhagavā.
13 (3) Seporsi Makanan
Di Sāvatthī. Pada saat itu, Raja Pasenadi dari Kosala telah memakan seporsi nasi dan kari.229 Kemudian, selagi masih kenyang, terengah-
engah, Raja menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau,
dan duduk di satu sisi.
dan terengah-engah, pada kesempatan itu mengucapkan syair
berikut:
402. “Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian, Mengetahui kecukupan makanan yang ia makan,
Penyakitnya berkurang:
Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.” [82] <186>
Pada saat itu, brahmana muda Sudassana sedang berdiri di belakang
Raja Pasenadi dari Kosala. Raja kemudian berkata kepadanya: “Marilah, Sudassana, pelajarilah syair dari Sang Bhagavā ini dan ucapkan
kepadaku ketika aku makan. Aku akan menganugerahkan seratus
kahāpaṇa kepadamu setiap hari secara terus-menerus.”230
“Baiklah, Baginda,” Brahmana muda Sudassana menjawab. Setelah
mempelajari syair ini dari Sang Bhagavā, kapan saja Raja Pasenadi
sedang makan, brahmana muda Sudassana melantunkan:
403. “Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian … <187> Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.”
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala setahap demi setahap mengurangi konsumsi makanan hingga semangkuk kecil nasi.231 Pada
kesempatan lain, ketika tubuhnya telah menjadi cukup langsing, Raja Pasenadi dari Kosala menepuk badannya dengan tangannya dan pada kesempatan itu, ia mengucapkan ungkapan inspiratif ini: “Sang
Bhagavā menunjukan kasih sayang kepadaku sehubungan dengan
kedua jenis kebaikan—kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan berikut.”232
14 (4) Perang (1)
Di Sāvatthī, Raja Ajātasattu dari Magadha, putra Videha, menggerakkan empat divisi bala tentara dan berjalan ke arah Kāsi untuk melawan
Raja Pasenadi dari Kosala.233 Raja Pasenadi mendengar laporan ini,
menggerakkan empat divisi bala tentara dan melepaskan barisan penahan di arah Kāsi untuk melawan Raja Ajātasattu. [83] Kemudian
Raja Ajātasattu dari Magadha dan Raja Pasenadi dari Kosala bertempur
dalam sebuah peperangan. Dalam <188> peperangan itu, Raja Ajātasattu mengalahkan Raja Pasenadi, dan Raja Pasenadi, terkalahkan, mundur
ke ibukotanya sendiri di Sāvatthī.
Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah,
dan membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthī
untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah berjalan untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, mereka mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang
telah terjadi. <189> [Sang Bhagavā berkata:]
“Para bhikkhu, Raja Ajātasattu dari Magadha memiliki teman-
teman jahat, pendamping-pendamping jahat, sahabat-sahabat jahat. Raja Pasenadi dari Kosala memiliki teman-teman baik, pendamping- pendamping baik, sahabat-sahabat baik. Namun pada hari ini, Para bhikkhu, Raja Pasenadi setelah dikalahkan; akan tidur dengan buruk malam ini.234
404. “Kemenangan menimbulkan permusuhan,
Yang kalah tidur dengan buruk, Yang damai tidur dengan nyaman,
Setelah meninggalkan kemenangan dan kekalahan.”235
<190>
15 (5) Perang (2)
[84] (Pembukaan seperti pada §14:)
Dalam perang itu, Raja Pasenadi mengalahkan Raja Ajātasattu dan
menangkapnya hidup-hidup. Kemudian Raja Pasenadi berpikir: “Walaupun Raja Ajātasattu dari Magadha telah melawanku sementara aku tidak melawannya, namun ia tetap keponakanku. Biarlah aku
merampas semua pasukan gajahnya, semua pasukan berkudanya, semua pasukan keretanya, <191> dan semua prajurit infantrinya, dan membiarkannya pergi tanpa memiliki apa pun kecuali hidupnya.”
Kemudian Raja Pasenadi merampas semua pasukan gajah Raja
Ajātasattu, semua pasukan berkudanya, semua pasukan keretanya, dan
semua prajurit infantrinya, dan membiarkannya pergi tanpa memiliki apa pun kecuali hidupnya.
Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah,
dan membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthī
untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah berjalan untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan, mereka mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [85] <192>
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair berikut ini:
405. “Seseorang akan terus merampas
Selama rampasan itu berguna baginya, <193> Tetapi ketika orang lain merampasnya, Perampas dirampas.236
406. “Si dungu berpikir keberuntungan berada di pihaknya Selama kejahatannya belum masak,
Tetapi ketika kejahatan masak Si dungu mengalami penderitaan. 407. “Pembunuh melahirkan pembunuh,
Seorang yang menaklukkan adalah seorang penakluk. Penyiksa melahirkan siksaan,
Pemaki adalah seseorang yang memaki. Demikianlah dengan membentangkan kamma Si perampas dirampas.”237 [86]
16 (6) Putri
Di Sāvatthī. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.
Kemudian seseorang mendekati Raja Pasenadi <194> dan membisikkan
kepadanya: “Baginda, Ratu Mallikā telah melahirkan seorang putri.”
Ketika hal ini disampaikan, Raja Pasenadi menjadi tidak senang.238
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Raja Pasenadi tidak senang, mengucapkan syair-syair berikut ini:
408. “Seorang perempuan, O, Raja manusia.
Dapat lebih baik daripada seorang lelaki:
Ia mungkin menjadi bijaksana dan bermoral, Seorang istri yang baik, menghormati mertuanya.239
409. “Putra yang ia lahirkan
Mungkin menjadi seorang pahlawan, O, Raja manusia. Putra dari seorang perempuan yang terberkahi itu
Mungkin bahkan akan memerintah wilayahnya.”240 <195>
17 (7) Ketekunan (1)
Di Sāvatthī. Duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Adakah, Yang Mulia, satu hal yang mengamankan
kedua jenis kebaikan, kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang?”
“Ada satu hal, Baginda, yang mengamankan kedua jenis kebaikan, kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”
“Tetapi apakah, Yang Mulia, satu hal itu?”
“Ketekunan, Baginda. Bagaikan jejak kaki dari semua makhluk yang dapat berjalan di atas jejak kaki gajah, dan jejak kaki gajah dikatakan sebagai yang terbesar dalam hal ukuran, demikian pula ketekunan adalah satu <186> hal yang mengamankan kedua jenis kebaikan, [87] kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.241
410. “Bagi ia yang menginginkan kesehatan dan umur yang panjang,
Kecantikan, surga, dan kelahiran mulia, [berbagai] kegembiraan luhur
Yang berturut-turut,
Para bijaksana memuji ketekunan Dalam melakukan kebajikan. 411. “Orang bijaksana yang tekun
Mengamankan kedua jenis kebaikan:
Kebaikan yang terlihat dalam kehidupan ini Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang.
Yang teguh, dengan mencapai apa yang baik,
Disebut orang bijaksana.”242
18 (8) Ketekunan (2)
Di Sāvatthī. Duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: <197> “Di sini, Yang Mulia, ketika aku sendirian dalam keheningan, perenungan berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Bhagavā, dan bahwa itu adalah untuk seseorang yang memiliki teman-teman baik,
pendamping-pendamping baik, sahabat-sahabat baik, bukan untuk seseorang yang memiliki teman-teman jahat, pendamping-pendamping jahat, sahabat-sahabat jahat.’”243
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh-Ku, dan itu adalah untuk seseorang yang memiliki teman-teman baik, pendamping-pendamping baik, sahabat-sahabat baik, bukan untuk seseorang yang memiliki teman- teman jahat, pendamping-pendamping jahat, sahabat-sahabat jahat.
“Pada suatu ketika, Baginda, Aku menetap di tengah-tengah Suku
Sakya, di mana di sana terdapat kota Sakya bernama Nāgaraka.244
Kemudian Bhikkhu Ānanda mendekati-Ku, memberi hormat kepada-
Ku, duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Yang Mulia, ini adalah setengah
dari kehidupan suci, yaitu pertemanan yang baik, berdampingan dengan baik, persahabatan yang baik.’
“Ketika hal ini dikatakan, Baginda, Aku berkata kepada Bhikkhu
Ānanda: ‘Bukan, Ānanda! Bukan demikian, Ānanda! <198> Ini adalah
keseluruhan kehidupan suci, Ānanda, yaitu pertemanan yang baik, [88]
berdampingan dengan baik, persahabatan yang baik. Ketika seorang bhikkhu memiliki seorang teman yang baik, pendamping yang baik,
sahabat yang baik, maka diharapkan bahwa ia akan mengembangkan
dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dan bagaimanakah, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, pendamping yang baik, sahabat yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan Pandangan Benar, yang berdasarkan pada pengasingan, kebosanan, dan pelenyapan, yang matang dalam pembebasan. Ia mengembangkan Kehendak Benar … Ucapan Benar … Perbuatan Benar … Penghidupan
Benar … Usaha Benar … Perhatian Benar … Konsentrasi Benar, yang berdasarkan pada pengasingan, kebosanan, dan pelenyapan, yang
matang dalam pembebasan. Adalah dengan cara ini, Ānanda, seorang
bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, pendamping yang baik, sahabat yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan.
“Dengan metode berikut ini juga, Ānanda, dapat dipahami
bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik,
berdampingan dengan baik, persahabatan yang baik: <199> Dengan bersandar pada-Ku sebagai seorang teman baik, Ānanda, makhluk-
makhluk yang mengalami kelahiran akan terbebas dari kelahiran; makhluk-makhluk yang mengalami penuaan akan terbebas dari penuaan; makhluk-makhluk yang mengalami sakit akan terbebas dari sakit; makhluk-makhluk yang mengalami kematian akan terbebas dari kematian; makhluk-makhluk yang mengalami kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan akan terbebas dari kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan
keputusasaan. Dengan metode ini, Ānanda, dapat dipahami bagaimana bahwa keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik,
berdampingan dengan baik, persahabatan yang baik.’
“Oleh karena itu, Baginda, engkau harus berlatih sebagai berikut:
‘Aku akan menjadi seorang yang memiliki teman-teman baik, pendamping-pendamping baik, sahabat-sahabat baik.’ Dengan cara demikianlah engkau harus melatih dirimu.
“Ketika, Baginda, engkau memiliki teman-teman baik, pendamping- pendamping baik, sahabat-sahabat baik, [89] engkau harus berdiam
dalam satu hal sebagai pendukung: ketekunan diberbagai kondisi.
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, para pengikutmu di harem para perempuan
akan berpikir: ‘Raja berdiam dengan tekun, dengan ketekunan
sebagai pendukung. Marilah, kita juga berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung.’ <200>
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, para pengikutmu dari kelompok khattiya akan berpikir … para prajuritmu akan berpikir … para pengikutmu di
ketekunan sebagai pendukung. Marilah, kita juga berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung.’
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, dirimu akan terjaga dan terlindungi, para pengikutmu di harem para perempuan akan terjaga dan terlindungi, harta dan gudangmu akan terjaga dan terlindungi.
412. “Bagi seseorang yang menginginkan kekayaan yang luhur Berturut-turut,
Para bijaksana memuji ketekunan Dalam melakukan kebajikan. 413. “Orang bijaksana yang tekun <201>
Mengamankan kedua jenis kebaikan:
Kebaikan yang terlihat dalam kehidupan ini Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang.
Yang teguh, dengan mencapai apa yang baik,
Disebut orang bijaksana.”
19 (9) Tanpa Anak (1)
Di Sāvatthī. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang,
Baginda, di siang hari ini?”
“Di sini, Yang Mulia, seorang hartawan di Sāvatthī telah meninggal dunia. Aku datang setelah membawa kekayaannya ke istana, karena ia meninggal dunia tanpa surat wasiat.245 Ada delapan lakh emas,
[90] belum lagi perak, dan juga, Yang Mulia, makanan hartawan itu adalah seperti ini: ia makan nasi merah bersama dengan bubur basi. Pakaiannya adalah seperti ini: ia mengenakan tiga helai pakaian terbuat dari tanaman serat. Kendaraannya adalah seperti ini: <202> ia
bepergian dengan kereta kecil usang beratap daun.”246
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Ketika seorang rendah memperoleh kekayaan berlimpah, ia tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, ia juga tidak membuat ibu dan ayahnya bahagia dan gembira, juga tidak istri dan anak-anaknya, juga tidak
para budaknya, para pekerja, dan para pelayan, juga teman-temannya; ia juga tidak memberikan persembahan kepada para petapa dan
brahmana, yang dapat mengangkatnya ke atas, menuju buah surgawi,
yang menghasilkan kebahagiaan, kondusif menuju alam surga. Karena kekayaannya tidak digunakan dengan benar, raja-raja mengambilnya, atau pencuri-pencuri mengambilnya, atau api membakarnya, atau
banjir menghanyutkannya, atau ahli waris yang tidak ia sukai
mengambilnya. Demikianlah, Baginda, kekayaan itu, karena tidak dimanfaatkan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna.”
“Misalkan, Baginda, di suatu tempat yang tidak dihuni oleh manusia, terdapat sebuah kolam teratai yang jernih, sejuk, manis, berair bersih, dengan penyeberangan yang nyaman, <203> indah; tetapi tidak ada orang yang akan mengambil air itu, atau meminum air itu, atau mandi di sana, atau menggunakannya untuk kegunaan apa pun. Demikianlah, Baginda, air itu, karena tidak digunakan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna. Demikian pula, Baginda, ketika seorang rendah memperoleh kekayaan berlimpah … kekayaan itu, karena tidak dimanfaatkan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna.”
“Tetapi, Baginda, ketika seorang besar memperoleh kekayaan berlimpah, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membuat ibu dan ayahnya bahagia dan gembira, dan istri dan anak-anaknya, dan para budaknya, para pekerja, dan para pelayan, dan teman- temannya; <204> dan ia memberikan persembahan kepada para petapa dan brahmana, yang dapat mengangkatnya ke atas, menuju
buah surgawi, yang menghasilkan kebahagiaan, kondusif menuju alam
surga. Karena kekayaannya digunakan dengan benar [91], raja-raja tidak mengambilnya, pencuri-pencuri tidak mengambilnya, api tidak
membakarnya, banjir tidak menghanyutkannya, dan ahli waris yang
tidak ia sukai tidak mengambilnya. Demikianlah, Baginda, kekayaan itu, karena dimanfaatkan dengan benar, menjadi berguna dan tidak sia-sia.”
“Misalkan, Baginda, tidak jauh dari desa atau kota, terdapat sebuah kolam teratai yang jernih, sejuk, manis, berair bersih, dengan