BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
2.1.7 Diagnosis Sepsis
Sepsis saat ini sering dianggap sebagai suatu respon inflamasi yang berlebihan terhadap suatu infeksi. Diagnosis sepsis ditegakan apabila dijumpai tanda SIRS ditambah bukti infeksi (seperti bakteremia). (Higgins, 2010). Metode tradisional untuk menegakan sepsis yang masih digunakan sampai saat ini adalah dengan kultur darah, urin dan cairan otak atau cairan bronkial dan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama (24-48 jam) (Jin & Khan, 2010). Kultur darah diperiksakan secara rutin pada pasien yang dicurigai dengan infeksi pada unit gawat darurat, namun sensitivitasnya untuk bakteriemia rendah. Hanya <10% kultur menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri (Hommes, T.J, 2009).
Menurut the American College of Chest Physicians (ACCP) and the Society of Critical Care Medicine (SCCM), kriteria SIRS adalah adanya 2 dari 4 kriteria berikut: (Munford, R.S., 2012)
Temperatur >38ᵒC atau <36ᵒC
Nadi >90 per menit
Hiperventilasi dengan bukti peningkatan pernafasan >20/menit atau CO2 arteri lebih rendah dari 32 mmHg.
Jumlah leukosit >12,000 sel/µL atau lebih rendah dari 4000 sel/µL atau >10%
leukosit imatur.
Tabel 2.2
Kriteria Diagnosis Sepsis Variable Umum
Demam (>38.3 ᵒC)
Hipotermia (<36ᵒC)
Nadi > 90 kali/menit (atau lebih dari dua di atas SD dari batas normal sesuai usia)
Tachypnea
Perubahan status mental
Edema yang jelas atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma >140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes
Variabel Inflamasi
Leukositosis (jumlah leukosit >12,000 µL)
Leukopenia (jumlah leukosit < 4,000 µL)
Leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
C-reactive protein plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal
PCT plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal
Variabel Haemodinamic
Hipotensi arteri (Tekanan darah sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari dua SD di bawah nilai normal sesuai usia)
Variabel Disfungsi Organ
Hipoksemia arteri PaO2/FiO2 < 300
Oligouria akut (urine output< 0.5ml/kg/jam selama paling sedikit 2 jam walaupun asupan cairan adekuat)
Peningkatan kreatinin >0.5mg/dl atau 44.2µmol/L
Kelainan koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60 detik)
Ileus (tidak ada suara peristaltik)
Trombositopenia (jumlah trombosit <100,000µL)
Hiperbilirubinemia (total bilirubin plasma >4 mg/dL atau 70 µmol/L) Variabel Perfusi Jaringan
Penurunan aliran kapiler Keterangan:
MAP = mean arterial pressure INR = international normalized ratio aPTT = activated partial thromboplastin
Variabel-variabel di atas merupakan variabel yang digunakan untuk menegakan SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012 (Dellinger et al., 2013).
2.2 Red Cell Distribution Width (RDW)
RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi.
RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah. Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW,
yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation) (Yčas JW, 2015).
Nilai normal berkisar antara 11.5%-14.5%. Sedangkan RDW-SD merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%.
Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL. Semakin tinggi nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel.17 Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi, namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi.
Sebaliknya nilai RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDWSD pada pemeriksaan hitung darah lengkapnya (Lippi G, 2009).
Gambar 4
Histogram Penilaian RDW (Bazick HS, 2011)
RDW pada awalnya diperkenalkan sebagai alat bantu diagnosa kerja dari anemia normositik. Penyebab umum yang mendasari terjadinya peningkatan RDW adalah defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat, dimana eritrosit yang normal akan bercampur dengan yang ukurannya lebih kecil atau yang lebih besar yang terbentuk saat terjadi defisiensi. Kenaikan serupa juga terjadi selama mendapatkan terapi pengganti besi, B12, dan folat ketika jumlah retikulosit meningkat. Nilai RDW juga meningkat setelah mendapatkan tranfusi darah, seperti halnya juga pada penderita anemia hemolitik dan trombotik dimana eritrosit terfragmentasi dalam sirkulasi. Peningkatan RDW juga berhubungan dengan penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal, namun mekanisme dibalik timbulnya variasi eritrosit ini masih sangat kompleks (Perlstein TS, 2009).
Tabel 2.3
Hubungan RDW dengan MCV
Sumber: Tonelli M, 2008
2.3 Platelet Cell Distribution Width (PDW)
Platelet distribution width (PDW) adalah variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil.
Trombosit merupakan sel diskoid tidak berinti yang beredar di dalam darah dengan diameter 2 sampai 3 μm yang berasal dari sel prekursor raksasa, yang disebut megakariosit. Megakariosit merupakan sel induk utama trombosit yang diproduksi di sumsum tulang sekitar 85 sampai 90% dan di paru-paru 10 sampai 15%.
Setiap megakariosit dapat menghasilkan 1000 sampai 5000 trombosit dan sekitar 1 x 1011 trombosit per hari yang dihasilkan dalam kondisi normal (Dewi, SR, 2015).
Produksi trombosit dikendalikan oleh sitokin trombopoietin. Jumlah normal trombosit dalam darah manusia adalah 150 sampai 350 x 109 /l dan memiliki umur sekitar 8 sampai 10 hari, yang kemudian mengalami proses penuaan yang ditandai dengan hilangnya reseptor permukaan dan penghapusan berikutnya oleh sel fagosit dari sistem retikuloendotelial. Peran trombosit in vivo dalam hemostasis adalah membentuk sumbat trombosit yang terjadi melalui 3 proses yaitu adhesi, aktivasi trombosit dan agregasi. Perlekatan trombosit dengan pembuluh darah yang melibatkan reseptor glikoprotein Ib (GP1b) dan faktor von Willebrand disebut sebagai proses adesi. Setelah itu terjadi aktivasi trombosit yang menimbulkan perubahan bentuk trombosit yang menyebabkan terjadinya penglepasan isi granula α dan dense granules seperti adenosine diphosphate (ADP), serotonin, katekolamin serta ekspresi dari reseptor GPIIb-IIIa. Tahap terakhir pada proses pembentukan sumbat trombosit adalah terjadinya agregasi trombosit yang melibatkan fibrinogen atau faktor von Willebrand (Dewi, SR, 2015).
Platelet distribution width mengukur variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil, sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan MPV. Mean platelet volume adalah ukuran rata-rata trombosit yang ditemui dalam sampel darah. Platelet distribution width dan MPV merupakan biomarker fungsi dan aktivasi trombosit. Aktivasi trombosit
menyebabkan perubahan ukuran trombosit sehingga meningkatan MPV dan PDW.
Ukuran trombosit ditentukan dan diatur pada saat produksi trombosit dari
megakariosit. Mean platelet volume telah terbukti berhubungan dengan fungsi dan aktivasi trombosit sebagai agregasi, sintesis tromboksan, pelepasan β-thromboglobulin, fungsi prokoagulan atau ekspresi molekul adesi (S, Islam MS, 2016).
Nilai normal PDW adalah 10,0-18, fl. Trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil. Sehingga, dalam sirkulasi darah terdapat trombosit bifasik trombosit muda mempunyai ukuran yang lebih besar.
Sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan ukuran diameter rata rata trombosit yang beredar dalam darah perifer. Nilai normal MPV adalah 6,5-11,0 fl. Oleh karena trombosit muda berukuran lebih besar maka MPV yang tinggi merupakan petanda peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi lebih cepatnya penghancuran platelet. Pada populasi sehat, PDW dan MPV berada dalam hubungan terbalik dengan jumlah trombosit (Ates S, 2015).
Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan
trombositopenia. Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum (Ates S, 2006).
2.4 Limfosit 2.4.1 Morfologi
Dua puluh persen dari total jumlah leukosit manusia merupakan limfosit.
Bertanggung jawab terhadap kontrol sistem imun adaptif, limfosit berdasarkan fungsi dan penanda permukaannya dibedakan menjadi dua kelas, yaitu limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral, dan limfosit T yang berperan dalam imunitas selular. Adapun kedua kelas limfosit ini tidak dapat dibedakan secara morfologis.
Limfosit B dapat dibedakan berdasarkan adanya imunoglobulin, MHC kelas II, serta reseptor C3b dan C3d pada permukaannya. Limfosit T dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk membentuk rosette pada eritrosit domba melalui molekul CD2 dan juga ekspresi TCR pada permukaannya. Selain kedua kelas tersebut terdapat sel limfoid yang bukan termasuk dalam limfosit B maupun limfosit T, yaitu sel NK atau yang sering disebut large granularlymphocyte (LGL) yang tergolong dalam innate lymphoid cells (ILC). Sel NK memiliki fungsi sebagai imunitas bawaan terhadap virus dan bakteri intraseluler (Hartawan, 2011).
Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi limfosit berukuran kecil dan besar. Limfosit berukuran kecil memiliki diameter 9-12 µm, dan limfosit berukuran besar memiliki diameter 12-16 µm. Perbedaan ukuran ini disebabkan oleh aktivitas dan posisi pada preparat hapusan darah tepi. Pada bagian hapusan yang tebal limfosit akan terlihat lebih kecil dan tebal. Berdasarkan ukurannya, umumnya
limfosit yang berukuran kecil merupakan limfosit T, sedangkan limfosit yang berukuran besar pada umumnya merupakan limfosit B. Namun untuk memastikan kelas limfosit dengan pasti diperlukan petanda yang telah disebutkan sebelumnya (Sridianti F, 2014).
Gambar 5
Morfologi Limfosit (Sridianti F, 2014)
Nukleus pada limfosit berbentuk bulat atau oval, dan terdapat celah.
Pada nukleus tidak ditemukan nukleolus, terutama pada pengecatan Giemsa, dan terdapat kromatin yang padat dan menggumpal. Sitoplasma berjumlah sangat sedikit pada limfosit berukuran kecil dan meningkat jumlahnya sebanding dengan ukuran limfosit. Rasio nukleus-sitoplasma pada limfosit berukuran kecil, sedang, dan besar berturut-turut, 4:1, 3:1, dan 2:1.
Pada sitoplasma limfosit kadang terdapat beberapa granula azurofilik yang pada limfosit berukuran besar cenderung terpusat pada bagian tertentu.
Pada pengecatan Wright sitoplasma berwana biru terang (Sridianti F, 2014).
2.4.2 Fungsi Limfosit
Imunitas Terhadap Bakteri Intraselular
Mikroorganisme fakultatif intraseluler memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan bahkan bereplikasi di dalam sel fagosit yang merupakan salah satu bagian dari sistem imun bawaan. Oleh sebab itu diperlukan aktivasi dari sistem imun seluler terutama yang dimediasi oleh sel T melalui dua jalur yaitu dengan perantaraan sel T sitotoksik atau sel T CD8+ dan melalui aktivasi sel yang terinfeksi oleh sel T helper atau sel T CD4+.
Pada aktivasi sistem imun bawaan, bakteri intraseluler resisten terhadap degradasi oleh fagosit. Hal ini menyebabkan induksi ekspresi ligan sel NK pada sel yang terinfeksi, yang kemudian akan mengaktivasi sel NK. Mekanisme lain aktivasi sel NK terjadi melalui stimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL-12 dan IL-15 yang dapat mengaktivasi sel NK oleh sel yang terinfeksi. Sel NK yang teraktivasi akan memproduksi IFN-γ yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh bakteri yang terfagositosis (Purwono, 2009).
Sistem imun adaptif, yaitu sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan berespon terhadap antigen dari mikroba yang terfagositosis yang terekspresi sebagai peptida yang terikat pada MHC kelas II dan kelas I. Selanjutnya IL-12 yang diproduksi makrofag dan sel dendritik akan mendorong diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel efektor TH1. Kemudian sel T akan mngekspresikan CD40 dan mensekresikan IFN-γ, yang keduanya akan mengaktifkan makrofag untuk memproduksi substansi
mikrobisidal, termasuk ROS, NO dan enzim lizosimal. Lebih lanjut terjadi produksi isotype antibodi (IgG2 pada tikus) yang akan mengopsonisasi bakteri dan mengaktivasi sistem komplen. Respon ini juga distimulasi oleh IFN-γ . Respon imun yang dimediasi oleh sel T CD8+ akan teraktivasi apabila bakteri yang berada pada fagosom dapat menghindari ingesti oleh fagosom dan berada di sitoplasma sel yang terinfeksi. Respon mikrobisidal tidak dapat mengeliminasi bakteri yang berada di sitosol, sehingga perlu adanya aktivasi limfosit T sitotoksik. Sehingga dapat disimpulkan dalam mekanisme pertahanan terhadap bakteri intraseluler sel T CD4+
dan sel T CD8+ harus saling bekerjasama (Purwono, 2009).
2.5 Monosit 2.5.1 Morfologi
Jumlah monosit kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit. Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme (khusunya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun (Kiswari, 2014). Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu sekitar 18 μm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma tidak mengandung granula dengan masa hidup 20-40 jam dalam sirkulasi. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tetapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan
mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit terdapat dalam darah, jaringan ikat dan rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya (Swirski FK, 2009).
Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar ditengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (Swirski FK, 2009).
2.5.2 Fungsi Monosit
Permukaan monosit yang tidak mulus karena memiliki protein spesifik di atasnya yang memungkinkan untuk mengikat bakteri atau sel virus. Fungsi monosit adalah untuk bergerak menuju sel patogen tertentu dan akhirnya mengikuti ketika itu cukup dekat. Menempelkan untuk patogen merangsang produksi pseudopodium.
Hal ini terjadi karena monosit menekuk menjadi bentuk C sekitar patogen, dan ujung pertemuan C, sehingga patogen tersebut ditelan. Patogen tersebut kemudian terjebak dalam dalam fagosom monosit tersebut. Melanda sel-sel patogen atau mati atau rusak hanya salah satu bagian dari fungsi monosit. Setelah sel atau puing-puing telah ditelan, mereka dipecah dalam fagosom (Gandosoebrata, R, 2010).
Gambar 6
Morfologi Monosit (Swirski FK, 2009)
Lisosom adalah jenis organel seluler yang ditemukan dalam monosit.
Ketika fagosom terbentuk, lisosom menempel dan melepaskan enzim pencernaan, yang disebut enzim litik, ke fagosom. Enzim ini memecah sel dalam fagosom, dan produk yang tetap diserap oleh monosit. Peradangan terjadi di lokasi di mana infeksi terjadi fagositosis. Fungsi monosit dan sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan peradangan.
Misalnya, panas dan pembengkakan yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel ini.
Selain itu, nanah terbentuk dari bakteri mati dan fagosit, termasuk monosit, yang terlibat dalam memerangi infeksi (Swirski FK, 2009).
2.6 Hubungan RDW, PDW, Limfosit dan Monosit dengan Sepsis
Pemeriksaan red cell distribution width (RDW), yang merupakan bagian dari panel pemeriksaan darah lengkap, sering dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penyebab anemia. RDW adalah sarana untuk mengevaluasi variabilitas dalam ukuran
eritrosit dan telah digunakan secara luas dalam diagnosis banding anemia. Beberapa penelitian yang berkembang pada orang dewasa belakangan ini melaporkan tentang peran nilai RDW sebagai faktor prognostik pada beberapa keadaan sakit kritis, termasuk sepsis. Berbeda dengan studi pada orang dewasa, peran nilai RDW sebagai faktor prognostik masih belum sepenuhnya terbukti. Peningkatan nilai RDW setelah 72 jam rawatan dilaporkan dapat memprediksi terjadinya mortalitas. Namun, sebuah studi kohort prospektif melaporkan tidak ada hubungan antara peningkatan nilai RDW dengan derajat keparahan penyakit dan mortalitas pada anak dengan sepsis.
Hal ini menjadi latar belakang dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai RDW dengan mortalitas pada pasien sepsis di unit perawatan intensif (Loonen AJ, 2014).
Platelet Distribution Width (PDW) adalah bagian dari jumlah darah lengkap yang rutin. PDW adalah ukuran variasi dalam ukuran trombosit, yang mungkin merupakan indikator pelepasan platelet aktif. Salah satu gambaran klinis sepsis adalah penurunan trombosit darah, hal ini berkaitan dengan kondisi DIC. Dimana secara patofisiologis dimulai dari interaksi antigen dengan system imun. Interaksi ini akan mengaktifkan set T CD4 dan sel T sitoktoksik (CD8), kemudian akan teraktivasi sitokin pro inflamasi seperti IL-1.IL-2.IL-6,IL-8,TNF α, IFNɤ, sitokin ini akan mengaktivasi proliferasi limfosit T, limfosit B, Neutrofil, makrofag, eosinofil yang akan menginfiltrasi daerah yang terinfeksi, akan memicu pelepasan Tissue Factor.
Pelepasan TF akan merangsang aktivasi factor-faktor pembekuan yang dapat
menimbulkan thrombosis dan hipoperfusi, menimbulkan peningkatan penggunaan trombosit dan penekanan factor antikoagulan alamiah, seperti antitrombin 3, protein c dan protein s, sehingga dapat memicu perdarahan atau DIC pada sepsis. Sehingga pada sepsis dengan DIC trombosit yang beredar disirkulasi adalah trombosit muda (Casserly B, 2015).
Platelet Distribution Width (PDW) berkorelasi dengan hitung trombosit PDW mengindikasikan tingkat anisosistosis dari trombosit. Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan trombositopenia. Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum tulang akan mengeluarkan megakariosit muda yang berukuran lebih besar sebagai kompensasi dari keadaan trombositopenia yang berlangsung secara terus-menerus, sehingga terjadi variasi ukuran diameter trombosit di sirkulasi (Allen LA, 2010).
Limfosit adalah bagian dari sel darah putih yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10µm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas.
Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung granula azuropilik (Zahorec R, 2011).
Monosit memiliki bentuk bermacam-macam, dimana biasanya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (de Jager CP, 2010).
Peningkatan limfosit dan monosit menunjukkan aktivasi pertahanan dan sistem kekebalan tubuh dan menunjukkan ada peradangan pada jaringan. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi atau proses inflamasi. nflamasi adalah respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang bervaskularisasi akibat rangsangan endogen dan eksogen. Inflamasi bisa terjadi akut dan kronik. Radang akut terjadi pada onset dini, dalam hitungan menit hingga beberapa jam dan terdapat migrasi sel leukosit terutama netrofil, limfosit, monosit dan eosinofil (de Jager CP, 2010).
Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya SIRS, sepsis dan syok sepsis. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi (Cawcutt, K.A, 2014).
2.7 Skor SOFA
Pada beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa model penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien yang dirawat di ruang intensif atau untuk meramalkan outcomedari perawatan intensif.
Sebagai contohnya adalah Sepsis-related Organ Failure Assessment, yang kemudian dikenal dengan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dan diperkenalkan pada tahun 1994. Tujuannya adalah untuk menilai keparahan penyakit berdasarkan derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu. Meskipun sistem penilaian tingkat keparahan penyakit seperti Acute Physiology and Chronic Health.
EvaluationII (APACHE II) dan Simplified Acute Physiology Score II (SAPS II) didasarkan atas perawatan 24 jam pertama di UPI, sistem penilain Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) mencatat waktu serangkaian kondisi pasien secara keseluruhan (Vincent dkk, 2014).
Sistem penilaian SOFA pertama kali dikembangkan melalui konsensus di Paris, Prancis tahun 1994. Pada mulanya sistem penilaian ini digunakan untuk menilai pasien sepsis, namun telah divalidasi dan dapat digunakan pada kelompok populasi lainnya. Enam sistem organ (respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati, sistem saraf pusat, dan koagulasi) dipilih berdasarkan telaah dari literatur dan setiap fungsi diberi nilai dari 0 (fungsi normal) hingga 4 (sangat abnormal), yang memberikan kemungkinan penilaian dari 0 sampai 4. Penilaian SOFA tidak hanya dinilai pada hari pertama saja, namun dapat dinilai harian dengan mengambil nilai yang terburuk pada hari tersebut. Variabel parameter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ sebagai berikut: (Vincent dkk, 2014)
a. Objektif
b. Sederhana, mudah disediakan namun juga harus reliabel c. Diperiksa rutin di setiap institusi
d. Spesifik untuk menilai fungsi organ yang diinginkan e. Variabel kontinu
f. Independen untuk jenis pasien
g. Independen terhadap intervensi terapeutik
Perubahan pada skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi.
Pada studi prospektif dari 352 pasien di unit perawatan intensif, peningkatan skor SOFA selama 48 jam pertama perawatan memberikan mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA memberikan mortalitas hanya 27%. Tujuan utama dari penggunaan sistem skor kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarkan urutan dari komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, kegagalan fungsi organ dikatakan mempunyai hubungan dengan kematian (Vincent et al., 2014).
Tabel 2.4 Skor SOFA
Sumber: Yang Y et al, 2016
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor total SOFA ≥ 2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi.Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal yang masing-masing memiliki tingkatan nilai 0 sampai 4. Skor SOFA 0-1 tidak menunjukkan risiko mortalitas pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, ≥2 mencerminkan risiko mortalitas 10% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, < 9 mencerminkan risiko mortalitas33% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, dan > 11 mencerminkan risiko mortalitas95% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor total SOFA ≥ 2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi.Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal yang masing-masing memiliki tingkatan nilai 0 sampai 4. Skor SOFA 0-1 tidak menunjukkan risiko mortalitas pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, ≥2 mencerminkan risiko mortalitas 10% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, < 9 mencerminkan risiko mortalitas33% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi, dan > 11 mencerminkan risiko mortalitas95% pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi.