• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR RED CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW), PLATELET DISTRIBUTION WIDTH (PDW), HITUNG LIMFOSIT MONOSIT PADA SEPSIS TESIS. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KADAR RED CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW), PLATELET DISTRIBUTION WIDTH (PDW), HITUNG LIMFOSIT MONOSIT PADA SEPSIS TESIS. Oleh:"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh:

dr. Edward Mario H. Silaban NIM: 147111015

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN – PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2019

(2)

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Patologi Klinik/M.Ked (ClinPath) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

dr. Edward Mario H. Silaban NIM: 147111015

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN – PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN 2019

(3)

i

(4)

ii

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Syalom dan Salam Sejahtera,

Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Hubungan Kadar Red Cell Distribution Width (RDW), Platelet Distribution Width (PDW), Hitung Limfosit – Monosit pada Sepsis”.

Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan material dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Patologi Klinik.

(6)

iv

2. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Patologi Klinik.

3. Yth, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH selaku Pembimbing I saya yang membimbing saya dengan segala kelemahan dan kekurangan saya, dan beliau selalu sabar dan telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari saya masuk pendidikan dan selama penyusunan proposal, sampai selesainya tesis ini.

4. Yth, dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK-K, selaku Pembimbing II saya sekaligus sebagai Ka. Instalasi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan memberikan banyak bimbingan dengan sabar dan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

5. Yth,dr. Ricke Loesnihari, M. Ked (Clin-Path), Sp.PK(K), selaku Ketua Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam Malik yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

(7)

v

6. Yth, dr. Jelita Siregar, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, selaku Pelaksana Tugas Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

7. Yth, dr. Malayana Rahmita Nasution, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, selaku Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan di dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Yth, Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan di dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Yth, Prof. dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan di dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

(8)

vi

11. Yth, dr. Muzahar, DMM, Sp.PK(K), dr. Tapisari Tambunan, Sp.PK(K), dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK(K), dr. Ida Adhayanti, Sp.PK, dr. Ranti Permatasari, Sp.PK(K), dr. Nindia Sugih Arto, M. Ked (ClinPath), Sp.PK,

dr. Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked (ClinPath), Sp.PK, dr. Almaycano Ginting, M.Kes, M.Ked (ClinPath), Sp.PK dan semua guru-guru saya yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

12. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

13. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Ayahanda M.Z. Silaban (almarhum) dan Ibunda R. Sitompul atas cinta, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-bosannya mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada Abang saya Charles Silaban, S.Sos, Tohom Silaban, ST dan kakak ipar saya Morina Girsang, SP dan Imelda Aritonang, SE Juga kepada kakak saya dr. Melvha Silaban dan ipar saya Tulus Hutasoit, SE juga keponakan-keponakan saya dan juga seluruh keluarga besar saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada saya selama mengikuti pendidikan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi dan membalas kebaikan mereka semua.

(9)

vii

14. Akhirnya Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada istri terkasih dan tercinta saya Ika Mestika Manalu, Amd dan malaikat-malaikat kecil saya Clara Silaban, Steffie Silaban dan jagoan kami Gregorius Silaban yang telah mendampingi saya yang dengan penuh cinta kasih, pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan, serta tidak henti-hentinya memberikan semangat dukungan moral maupun material selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

15. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, para analis dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerjasama yang diberikan.

16. Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sudi kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua.

Amin.

Medan, November 2019 Penulis,

dr. Edward Mario H. Silaban

(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

ABSTRAK ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Hipotesis Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.4.1 Tujuan Umum ... 8

1.4.2 Tujuan Khusus ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

(11)

ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 10

2.1 Sepsis ... 10

2.1.1 Definisi ... 10

2.1.2 Kriteria Sepsis ... 13

2.1.3 Epidemiologi Sepsis ... 14

2.1.4 Etiologi Sepsis ... 15

2.1.5 Patofisiologi Sepsis ... 16

2.1.6 Disfungsi Mikrosirkulasi Sepsis ... 19

2.1.7 Diagnosis Sepsis ... 21

2.2 Red Cell Distribution (RDW) ... 23

2.3 Platelet Cell Distribution Width (PDW) ... 25

2.4 Limfosit... 28

2.4.1 Morfologi ... 28

2.4.2 Fungsi Limfosit ... 30

2.5 Monosit ... 31

2.5.1 Morfologi ... 31

2.5.2 Fungsi Monosit ... 32

2.6 Hubungan RDW, PDW, Limfosit dan Monosit dengan Sepsis . 33 2.7 Skor SOFA... 37

2.8 Kerangka Konsep... 40

(12)

x

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41

3.1 Desain Penelitian ... 41

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

3.3 Populasi Penelitian ... 41

3.4 Kriteria Penelitian ... 41

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 41

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 42

3.5 Identifikasi Variabel ... 42

3.5.1 Variabel Bebas ... 42

3.5.2 Variabel Terikat ... 42

3.6 Identifikasi ... 42

3.7 Defenisi Operasional ... 43

3.8 Bahan dan Cara Kerja ... 45

3.8.1 Pengambilan Sampel ... 45

3.8.2 Pengolahan Sampel ... 46

3.9 Ethical Clearance dan Informed Concent ... 49

3.10 Analisis Data ... 50

3.11 Perkiraan Biaya Penelitian ... 50

3.12 Jadwal Penelitian ... 50

3.13 Alur Penelitian ... 51

(13)

xi

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 52

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 52

4.2 Analisis Hubungan RDW, PDW, Limfosit, Monosit dengan Skor SOFA ... 54

BAB V PEMBAHASAN ... 55

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 55

5.2 Analisis Hubungan Limfosit, Monosit, RDW, PDW, dengan Skor SOFA ... 56

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis... 13

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Sepsis... 22

Tabel 2.3 Hubungan RDW dan MCV... 25

Tabel 2.4 Kriteria SOFA... 38

Tabel 2.5 Aplikasi Faktor Risiko Skor SOFA... 39

Tabel 4.1 Analisis Karakteristik Sampel Penelitian (Jenis Kelamin dan Usia) 52 Tabel 4.2 Analisis Deskriptif RDW, PDW, Limfosit, Monosit dan Skor SOFA... 53

Tabe 4.3 Tabel Uji Korelasi Spearman RDW, PDW, Limfosit, dan Monosit, dengan Skor SOFA... 54

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hubungan antara Systemic Inflamatory Response Syndromes

(SIRS), Sepsis, Severe Sepsis dan Infeksi... 11

Gambar 2. Patogenesis Sepsis... 18

Gambar 3. Respon Imun Sepsis... 18

Gambar 4. Histogram Penilaian RDW... 24

Gambar 5. Morfologi Limfosit... 29

Gambar 6. Morfologi Monosit... 33

(16)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

ACCP/SCCM : The Concensus Conferrence on American Collage of Chest Physicians /Society of Critical Care Medicine

SIRS : sistemic inflamation respiration syndrome MODS : multiple organ disfunction syndrome RDW : Red cell distribution width

PDW : Platelet Distribution Width

SINGERM : European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of Critical Care Medicine’s

ATP : Adenosin Trifosfat

CARS : Compensatory Anti-inflammatory Respons Syndrome CCP-1 : Calcitonin-Carboxyl-terminus Peptide-1

IL : Interleukin

CD 14+ : Cluster Differentiation 14 IF : Interferon

ROS : reactive oxygen species

DIC : Disseminated Intravascular Coagulation XO : Xanthine oksidasi

GLUT-1 : Glucoce Transporter

HLA-DR : Human Leukocyte Antigen, DR subregion

(17)

xv

ICAM-1 : Inter Cellulair Adhesion Molecule ICU : IntensiveCare Unit

IFN-γ : Interferon Gamma IL-1 : Interleukin-1 IL-4 : Interleukin-4 IL-5 : Interleukin-5 IL-6 : Interleukin-6 IL-8 : Interleukin-8 IL-13 : Interleukin-13 IL-8 : Interleukin-8

INR : International Normalized Ratio LDH : Lactate Dehydrogenase

LPS : Lipopolisakarida

LPSab : Lipo Polisakaride Antibody MAP : Mean Arterial Pressure MCT 1 : Monocarboxylate Transporter

MHC-II : Major Histocompatibility Complex Class II MODS : Multiple organ dysfunction syndrome NAD : Adenin Dinukleotida

NADH : Nikotinamid Adenin Dinukleotid Norepi : Norepineprin

(18)

xvi Pyr : Piruvat

SAPS : Simplified Acute Physiology Evaluation SE : Septic Encephalopathy

SES : Sel Endotel Sinusoidal SCC : Surviving Sepsis Campaign

SIRS : Sindrom Respon Inflamasi Sistemik SOFA : Sequential Organ Failure Assessment TCR : T-Cell Receptor

TF : Tissue Factor TH1 : T helper type 1 TH2 : T helper type 2

TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha

UDPG-T : uridinediphosphateglucoronosyltransferase ROS : Reaktif Oxygen Spesies

vWF : Von Willebrand Disease WMU : Weak microcirculatory unit

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 66

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan... 67

Lampiran 3. Status Pasien... 68

Lampiran 4. Data untuk menentukan kriteria sepsis... 69

Lampiran 5. Surat Persetujuan Komisi Etik... 70

Lampiran 6. Data Output... 71

Lampiran 7. Daftar Riwayat Hidup... 78

(20)

xviii

KADAR RED CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW), PLATELET DISTRIBUTION WIDTH (PDW), HITUNG LIMFOSIT-MONOSIT

PADA SEPSIS Edward*) Herman Hariman**)

Zulfikar Lubis***) ABSTRAK Pendahuluan

Red cell distribution width (RDW), adalah variabilitas dalam ukuran eritrosit PDW adalah ukuran variasi dalam ukuran trombosit, Limfosit-monosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh. Red cell distribution width (RDW), Platelet distibution Width (PDW), Hitung limfosit-monosit yang merupakan bagian dari panel pemeriksaan darah lengkap, sering dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penyebab sepsis. Untuk menilai tingkat keparahan penyakit berdasarkan derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu digunakan suatu skor yaitu Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan RDW, PDW hitung limfosit-monosit dengan skor SOFA pada pasein sepsis.

Metode

Desain penelitian secara cross sectional. 30 pasien yang mengalami sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dilibatkan dalam penelitian ini. Sampel yang di dapat dilakukan pengukuran RDW, PDW dan hitung monosit-limfosit dan perhitungan skor SOFA, yang dianalisa dengan uji Spearman Test.

Hasil dan Pembahasan

Kadar Limfosit dan monosit terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = 0.760 dan p = 0,001). Ada korelasi keparahan perjalanan klinis dan beratnya limfositopenia

Kesimpulan dan Saran

Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara Kadar Limfosit-monosit terdapat hubungan dengan skor SOFA. Semakin menurun kadar limfosit maka semakin meningkat pula skor SOFA. Limfosit dan monosit dapat dipakai dipertimbangkan sebagai parameter untuk deteksi sepsis.

Kata Kunci: Sepsis, RD, PDW, Limfosit-monosit, Skor SOFA

*) PPDS Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

**) Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

***) Departemen Anestesiologi dan Terapi Insentif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan

(21)

xix

RATIO RED CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW), PLATELET DISTRIBUTION WIDTH (PDW), COUNT LIMFOSIT-MONOSIT

TO SEPSIS Edward*) Herman Hariman**)

Zulfikar Lubis***) ABSTRACT Bacground

Red cell distribution width (RDW), is the variability in erythrocyte size PDW is a measure of variation in platelet size, Lymphocytes are a type of white blood cell has an important function in the immune system. Red cell distribution width (RDW), Platelet distibution Width ( PDW), Count lymphocytes - monocytes a complete blood examination panel, often performed to evaluate several causes of sepsis. To assess the severity of the disease based on the degree of organ dysfunction serially each time a score is used, namely Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). The purpose of this study was to look at the relationship of RDW, PDW lymphocyte-monocyte count with SOFA scores in patients with sepsis.

Method

The study design was cross sectional. 30 patients who experienced sepsis who met the inclusion and exclusion criteria were included in this study. Samples obtained were measured by RDW, PDW and monocyte-lymphocyte count and SOFA score calculation, which was analyzed by the Spearman Test.

Results and Discussion

Lymphocyte and monocyte levels have a significant relationship with SOFA scores with (r = 0.760 and p = 0.001). There is a correlation between the severity of clinical course and the severity of lymphocytopenia

Conclusions

Research shows that there is a relationship between lymphocyte-monocyte levels, there is a relationship with SOFA score. The decreased levels of lymphocytes the SOFA score also increases, Lymphocytes and monocytes can be considered as parameters for the detection of sepsis

Keywords: Sepsis, RDW, PDW, Lymphocyte-monocyte, SOFA score

*) Postgraduate Program in Clinical Pathology Specialization,Faculty of Medicine, University of North Sumatera

**) Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera

***) Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine, University of North Sumatera

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan salah satu indikasi paling sering untuk rawatan di intensive care unit (ICU) di seluruh dunia, merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary Intensive Care Unit (ICU). Seperempat dari total pasien yang mengalami sepsis akan meninggal selama perawatan, sedangkan syok septik dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 50% (Maraghi LSH et al, 2014).

Sepsis menyebabkan mortalitas dan biaya kesehatan yang tinggi. Saat ini, sepsis masih merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Setiap tahunnya diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 pasien mengalami sepsis di seluruh Eropa dan Amerika Serikat dan biaya rata-rata per kasus individu adalah sekitar US$ 22.000. Sepsis merupakan suatu keadaan yang dimulai dengan kejadian sistemic inflamation respiration syndrome (SIRS) sampai syok septik dan multiple organ disfunction syndrome (MODS) dengan angka mortalitas 26% pada SIRS sampai mencapai 82% pada syok septik (Singer M, 2016, Donald JM, 2013).

(23)

Data kasus sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, pada tahun 2015 dijumpai sebanyak 233

kasus

(Medical Record RSUP HAM, 2015).

Sedangkan data yang kami peroleh dari Medical Record ICU RSUP Haji Adam Malik periode Januari – Juli 2017, angka kematian pasien sepsis di ICU masih tinggi, setiap bulannya ditemukan 5-7 kasus pasien sepsis dan 2-3 pasien meninggal setiap bulannya setelah di diagnosis maupun mulai dirawat di Intensive Care Unit (Medical Record ICU RSUP HAM, Januari - Juli 2017).

Pada sepsis, sering terjadi gangguan hemodinamik dan mikrosirkulasi, yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan. Diagnosis dini dan stratifikasi derajat keparahan sepsis sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut tersebut, yang merupakan parameter objektif terhadap status biologis, sering digunakan untuk parameter keadaan sepsis, menentukan derajat keparahan, serta membedakan berbagai kemungkinan penyebab sepsis. Ketersediaan

pemeriksaan biomarker sepsis di beberapa fasilitas kesehatan masih terbatas (Angus Derek C, 2013).

Untuk menilai tingkat keparahan penyakit berdasarkan derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu digunakan suatu skor yaitu Sequential Organ Failure Assesment (SOFA). Skor SOFA digunakan oleh karena memiliki komponen yang lebih sederhana dibandingkan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II and Simplified Acute Physiology Evaluation (SAPS) II (Irwan, 2012)

(24)

Skor SOFA memungkinkan para klinisi untuk memantau keseluruhan proses penyakit dibandingkan dengan skor lainnya (Afthab et al, 2014).

Sistem skor SOFA ini dihitung berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkan sistim skor tersebut adalah banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa dan juga akan meningkatkan pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di ICU. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lain yang lebih sederhana dan biaya murah dimana dapat menggantikan sistem skor tersebut (Yan et al, 2017).

Dari hasil penelitian Zhang HB dkk, data dikumpulkan secara prospektif sebanyak 120 pasien sepsis yang kultur darahnya positif dan dibandingkan dengan pasien sepsis tanpa kultur darah dari Januari 2014 - Maret 2015. Dari penelitian ini didapatkan bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit meningkat secara significant pada pasien sepsis yang dikultur dibandingkan yang tidak dikultur (Zhang HB, 2015).

Berdasarkan konsep di atas maka peneliti ingin mengetahui nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat digunakan sebagai parameter untuk deteksi sepsis.

Pada pasien sepsis Pemeriksaan Red cell distribution width (RDW), Platelet distibution Width (PDW), Hitung limfosit-monosit yang merupakan bagian dari panel pemeriksaan darah lengkap, sering dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penyebab sepsis.

(25)

Red cell distribution width (RDW), adalah sarana untuk mengevaluasi variabilitas dalam ukuran eritrosit dan telah digunakan secara luas dalam diagnosis banding anemia. Beberapa penelitian yang berkembang pada orang dewasa belakangan ini melaporkan tentang peran nilai RDW sebagai faktor prognostik pada beberapa keadaan sakit kritis, termasuk sepsis. Berbeda dengan studi pada orang dewasa, peran nilai RDW sebagai faktor prognostik masih belum sepenuhnya terbukti. Peningkatan nilai RDW setelah 72 jam rawatan dilaporkan dapat memprediksi terjadinya mortalitas. Namun, sebuah studi kohort prospektif melaporkan tidak ada hubungan antara peningkatan nilai RDW dengan derajat keparahan penyakit dan mortalitas pada anak dengan sepsis. Hal ini menjadi latar belakang dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai RDW dengan mortalitas pada pasien sepsis di unit perawatan intensif (Loonen AJ, 2014).

Platelet Distribution Width (PDW) adalah bagian dari jumlah darah lengkap rutin. PDW adalah ukuran variasi dalam ukuran trombosit, yang mungkin merupakan indikator pelepasan platelet aktif. Selain itu, salah satu gambaran klinis sepsis adalah penurunan trombosit darah. Hal ini berkaitan dengan kondisi DIC. Dimana secara patofisiologis dimulai dari interaksi antigen dengan sistem imun. Interaksi ini akan mengaktifkan set T CD4 dan sel T sitoktoksik (CD8), kemudian akan teraktivasi sitokin pro inflamasi seperti IL-1.IL-2.IL-6,IL-8,TNF α, IFNɤ, sitokin ini akan mengaktivasi proliferasi limfosit T, limfosit B, Neutrofil, makrofag, eosinofil yang akan menginfiltrasi daerah yang terinfeksi, akan memicu pelepasan Tissue Factor.

Pelepasan TF akan merangsang aktivasi factor-faktor pembekuan yang dapat

(26)

menimbulkan thrombosis dan hipoperfusi, menimbulkan peningkatan penggunaan trombosit dan penekanan factor antikoagulan alamiah, seperti antitrombin 3, protein c dan protein s, sehingga dapat memicu perdarahan atau DIC pada sepsis. Sehingga pada sepsis dengan DIC trombosit yang beredar di sirkulasi adalah trombosit muda (Casserly B, 2015). Platelet Distribution Width (PDW) berkorelasi dengan hitung trombosit. PDW mengindikasikan tingkat anisosistosis dari trombosit. Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan trombositopenia.

Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum tulang akan mengeluarkan megakariosit muda yang berukuran lebih besar sebagai kompensasi dari keadaan trombositopenia yang berlangsung secara terus-menerus, sehingga terjadi variasi ukuran diameter trombosit di sirkulasi (Allen LA, 2010).

Limfosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh dan sangat berperan dalam imunitas humoral. Imunitas humoral merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan produksi antibodi. Limfosit terdiri atas sel B dan sel T yang memiliki fungsi berbeda, dan berperan penting dalam menandakan infeksi. Zahorec pertama kali mengusulkan penggunaan hitung neutrofil dan limfosit-neutrophil sebagai penanda infeksi pada aplikasi klinis. Limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10 µm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak

(27)

berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung granula azuropilik (Zahorec R, 2011).

Monosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki ukuran paling besar.

Monosit berjumlah sekitar 200-800 sel/ per mm3 dalam aliran darah. Jenis sel darah putih ini memiliki sedikit butiran pada sitoplasma. Monosit dapat meninggalkan aliran darah dan masuk ke jaringan lain dalam tubuh dan berubah menjadi makrofag.

Setelah menjadi mafrofag jaringan, monosit melakukan fagositosis atau memakan sel mati serta menyerang mikroorganisme. Hal tersebut dikarenakan ukuran monosit yang besar, sehingga mampu mencerna partikel asing berukuran besar pada luka tidak seperti jenis sel darah putih lainnya. Monosit juga mampu menggantikan kandungan lisosomalnya dan dianggap memiliki umur yang jauh lebih lama dibandingkan neutrofil. Monosit memiliki bentuk bermacam-macam, dimana biasanya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (de Jager CP,2010). Peningkatan limfosit dan monosit menunjukkan aktivasi pertahanan dan sistem kekebalan tubuh dan menunjukkan ada peradangan

(28)

pada jaringan. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi atau proses inflamasi.

Inflamasi adalah respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang bervaskularisasi akibat rangsangan endogen dan eksogen. Inflamasi bisa terjadi akut dan kronik.

Radang akut terjadi pada onset dini, dalam hitungan menit hingga beberapa jam dan terdapat migrasi sel leukosit terutama netrofil, limfosit, monosit dan eosinofil (de Jager CP, 2010). Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya sepsis dan syok sepsis. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi (Cawcutt, K.A, 2014).

Dari data penelitian sebelumnya, belum pernah ada di lakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Oleh sebab itu penelitian penggunaan nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit diharapkan dapat digunakan sebagai parameter deteksi sepsis.

Penelitian ini dilaksanakan ICU RSUP H. Adam Malik Medan, dengan mempertimbangkan bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter untuk deteksi sepsis.

(29)

1.3 Hipotesis Penelitian

Nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter untuk deteksi sepsis.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter deteksi sepsis.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai RDW pada pasien sepsis 2. Mengetahui nilai PDW pada pasien sepsis

3. Mengetahui nilai hitung limfosit dan monosit pada pasien sepsis 4. Mengetahui nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat

sebagai parameter deteksi sepsis.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Bagi sejawat dokter

Memberikan sebagai informasi bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter deteksi sepsis, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam tatalaksana pasien sepsis.

(30)

2. Bagi dunia pendidikan

Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan tentang bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter deteksi sepsis, sehingga dapat menambah kepustakaan dan pengetahuan tentang hal tersebut.

3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai pentingnya deteksi yang lebih murah dan mudah diakses sebagai parameter deteksi pasien sepsis.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sarana untuk melatih cara berfikir dan membuat suatu penelitian berdasarkan metodologi yang baik dan benar dalam proses pendidikan.

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis 2.1.1 Definisi

Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016, Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat dijabarkan bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian di rumah sakit >10%

(Singer M, 2016, SSC 2016).

Syok septik didefinisikan sebagai subset dari sepsis yang mendasari gangguan peredaran darah dan kelainan selular metabolisme yang sangat parah dan secara substansial meningkatkan angka kematian (SSC, 2016). Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan gambaran klinis sepsis dengan hipotensi yang menetap, yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP 65 mmHg dan memiliki kadar laktat serum > 2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun ada resusitasi volume yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit lebih dari 40%

(Singer M, 2016, SSC 2016).

(32)

The Concensus Conferrence on American Collage of Chest Physicians /Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) menggambarkan sepsis seperti pada Gambar 2.1 (Khafaji, 2017).

Gambar 1

Hubungan antara Systemic Inflamatory Response Syndromes (SIRS), sepsis, severe sepsis dan infeksi (Khafaji, 2017)

Kriteria Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SRIS) adalah bila didapatkan 2 gejala atau lebih dari keadaan berikut: (Napolitano, 2018)

1. Suhu badan >38°C atau <36°C.

2. Frekuensi pernafasan >20 nafas/menit.

3. Frekuensi denyut jantung >90 kali/menit.

4. Hitung Leukosit >12,000/μL, <4,000/μL, atau >10% sel darah putih muda (bands).

Sedangkan definisi sepsis berat (severe sepsis) adalah sepsis dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, yaitu (Rhodes et al, 2017):

(33)

1. Kardiovaskuler: tekanan darah sistolik arteri ≤90 mmHg atau tekanan nadi rerata (mean arterial pressure) ≤70 mmHg yang tidak respon terhadap pemberian cairan intravena.

2. Ginjal: produksi urine <0.5 mL/kg per jam selama 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan dengan adekuat.

3. Pernafasan: PaO2/FIO2 ≤250 atau, bila paru-paru merupakan satu-satunya yang mengalami disfungsi organ PaO2/FIO2 ≤200.

4. Hematologi: Hitung trombosit <80,000/L atau penurunan hitung rombosit 50%

dari nilai tertinggi yang tercatat dalam 3 hari terakhir.

5. Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan pH ≤7.30 atau kekurangan basa (base deficit) ≥ 5.0 mEq/L dan konsentrasi laktat plasma >1.5 kali nilai batas atas normal.

6. Resusitasi cairan yang adekuat: Pulmonary artery wedge pressure ≥12 mmHg atau tekanan vena sentral ≤ 8 mmHg.

Syok septik ditentukan oleh kriteria klinissepsis dan dibutuhkan terapi vasopressor untuk mengangkat arterial rata-ratatekanan ≥ 65mmHg dan laktat > 2 mmol/L (18 mg/dL)meskipun resusitasi cairan sudah adekuat (Napolitano, 2018).

Syok Sepsis Refrakter adalah syok sepsis yang telahberlangsung > 1 jam dan tidak respon terhadap pemberian cairan atau vasopresor. Sindrom disfungsi organ multipel (Multiple organ dysfunction syndrome/MODS)adalah disfungsi lebih dari 1 organ dan memerlukan intervensi untukmenjaga homeostasis (Rhodes et al, 2017).

(34)

2.1.2 Kriteria Sepsis

Menurut European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat pada tabel dibawah ini (Singer M, 2016).

Tabel 2.1

Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (Dikutip dari Singer M, 2016, SSC 2016)

Kriteria Lama Kriteria Baru SIRS Takikardi (>90x/menit)

Takipnea (> 20x/menit)

Temperatur (<36°c atau >38°c) Peningkatan leukosit > 11.000 μL-1 atau < 4.000μL-1

-

Sepsis SIRS + Fokal Infeksi Suspek atau dengan

infeksi+ 2 dari 3 tanda SOFA yaitu Hipotensi (tekanan darah sistol ≤ 100 mmHg)

penurunan kesadaran (GCS≤13)

takipnea (≥22x/menit) atau Peningkatan skor SOFA > 2 Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi organ

Laktat > 2 mmol/L Kreatinin > 2 mg/dL Bilirubin > 2 mg/dL Trombosit <100.000 μL Koagulopati (INR > 1.5)

-

Syok Sepsis Sepsis+Hipotensi setelah

mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat.

Sepsis + Vasopresor untuk Mencapai MAP > 65mmHg +Laktat > 2 mmol/L.setelah resusitasi cairan yang adekuat

(35)

2.1.3 Epidemiologi Sepsis

Kasus sepsis di Amerika Serikat meningkat dalam 20 tahun terakhir, dimana setiap tahunnya dijumpai sebanyak 400.000-500.000 kasus.Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa kasus sepsis mengalami peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Sepsis merupakan penyebab tertinggi kematian di UPI dan menempati urutan ke-10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan dengan angka mortalitas 28,6% untuk sepsis, 32,2% untuk sepsis berat, dan 54% untuk syok sepsis (Oncel dkk, 2012).

Beberapa peneliti menguji hubungan antara usia dengan sepsis dan menunjukkan bahwa resiko relatif untuk terjadinya sepsis bagi individu yang berusia

≥ 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang berusia

< 65 tahun. Secara keseluruhan, individu yang berusia ≥ 65 tahun menyumbang 64,9%

dari total kasus sepsis yang ada. Angka insidensi sepsis meningkat dikarenakan adanya populasi yang berusia tua, bertambahnya jumlah pasien immunocompromised, dan meningkatnya prosedur tindakan invasif, serta berbagai jenis kuman yang saat ini resisten terhadap antibiotik. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan pasien dengan sakit kritis, lebih dari 210.000 pasien tercatat meninggal dengan sepsis berat setiap tahunnya. Berikut merupakan perbandingan angka insidensi dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lainnya (Gambar 2.1) (Hommes dkk, 2012).

(36)

2.1.4 Etiologi Sepsis

Dari seluruh kasus sepsis hampir seluruhnya disebabkan oleh organisme patogen bakteri dan jamur.Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus species, Streptococcus pneumonia, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, spesies-spesies family Klebsiella dan Candida terhitung sebagai spesies patogen yang paling umum dijumpai (Cawcutt & Peters, 2014).

Lokasi terjadinya infeksi primer yang paling sering dijumpai adalah infeksi saluran pernafasan, diikuti infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pencernaan.

Akhir-akhir ini terdapat peningkatan laporan infeksi bakteri pada pasien yang dirawat di rumah sakit akibat infeksi nosokomial dari kateterisasi dan terapi imunosupresi yang meningkatkan penyebab infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Jin & Khan, 2010)

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu: (Yan, 2017) 1. Infeksi paru-paru (pneumonia)

2. Appendiksitis

3. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

4. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

5. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

6. Infeksi pasca operasi

7. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

(37)

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi (Yan, S.T, 2017).

2.1.5 Patofisiologi Sepsis

Sepsis, sever sepsis, septic shock dan multiple organ failure adalah proses kompleks yang meliputi keterlibatan pro-inflamasi, anti-inflamasi, humoral, seluler dan peredaran darah yang diakibatkan karena kegagalan respon imun tubuh terhadap infeksi. Proses patofisiologi ini juga berhubungan dengan apoptosis atau programmed cell death yang mungkin memiliki peranan penting dalam terjadinya disfungsi organ.

Patogenesis sepsis melibatkan interaksi yang kompleks antara sistem kekebalan tubuh host dan mikroorganisme. Bakteri dan produknya memicu cascades respon seluler dalam tubuh host yang melibatkan beberapa jenis sel (leukosit, sel mast, sel-sel endotel dan trombosit), dan beberapa cellular pathways (pro-inflammatory, anti- inflammatory, coagulation cascades, complement activation, adhesion and apoptosis) (Kumar, K., 2011).

Respon imun terhadap infeksi merupakan proses inflamatori yang kompleks yang berusaha menentukan lokasi dan membatasi penyebaran infeksi dan melakukan perbaikan jaringan yang rusak. Respon ini akan melibatkan proses aktivasi fagosit dan sel-sel endothelial untuk memproduksi mediator pro-inflamatori dan anti-inflamatori. Adanya keseimbangan kedua mediator ini akan memberikan perlindungan terhadap host dari infeksi pathogen dan memfasilitasi penyembuhan jaringan yang rusak. Sepsis akan terjadi apabila keseimbangan kedua mediator ini terganggu, yang mana respon inflamatori akan dihasilkan secara berlebihan dan akan

(38)

meluas di luar area yang terinfeksi sehingga akan menyebabkan perubahan fungsional umum. Karena respon imun berlebihan terhadap infeksi pathogen, maka mediator inflamatori dan vasodilator akan dilepaskan secara berlebihan. Sitokin inflamatori seperti TNFα, IL-1β, dan IL-6, yang diskresikan oleh monosit dan makrofag.

Tissue factor (TF) diekspresikan oleh monosit dan jaringan endothelium vaskular yang rusak. Masalah peredaran darah diakibatkan adanya vasidilatasi, kebocoran kapiler dan berkurangnya kontraktilitas myocardial. Organ failure mungkin menjadi tanda klinis pertama dari sepsis berat, sebagai konsekuensi dari produk berlebihan mediator inflamasi. Gambaran klinis sepsis merupakan akibat dari mediator-mediator yang disekresi melalui respon imun seluler terhadap pathogen seperti LPS (endotoxin) yang dihasilkan oleh bakteri (Drumheller, B.B.C,2012).

LPS bebas yang dibentuk dari degradasi dinding sel bakteri gram negative, didalam sirkulasi akan berikatan dengan LPS binding protein (LBP) membentuk suatu kompleks. Ikatan kompleks ini kemudian akan berikatan dengan monocyte/macrophage cell surface receptor, CD14 dan TLR4, yang akan mengaktifasi respon imun seluler dan sekresi sitokin inflamatori. Pada awal proses sepsis TH1 phenotype, yang menghasilkan mediator pro-inflamatori dalam jumlah besar diantaranya IF-γ, TNF-α, and IL-2. Limfosit T akan berkembang menjadi TH2 phenotype, dimana limfosit CD4 menghasilkan anti-proinflamatori termasuk IL-10, IL-4, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini meredam respon imun dan dapat menyebabkan deaktivasi monosit (Drumheller, B.B.C, 2012).

(39)

Gambar 2 Patofisiologi Sepsis (Oncel, M.Y, 2012)

Gambar 3 Respon Imun Sepsis (Bratawidjaja, 2012)

(40)

2.1.6 Disfungsi Mikrosirkulasi Sepsis

Gangguan mikrosirkulasi merupakan pertanda terjadinya sepsis. Jenis sel utama yang berperan dalam mikrosirkulasi diantaranya sel endotel, sel otot polos, sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Sel endotel merupakan lapisan luar dari pembuluh darah. Sel endotel pada jaringan vaskular memegang peranan penting untuk menjaga suplai darah yang adekuat ke organ vital. Endotelium terdiri dari sekitar 1013 sel dan memiliki berat sekitar 1 kg dengan luas area meliputi 4000-7000 m2. Selain menjaga suplai ke organ vital, sel endotel juga penting dalam meregulasi tonus vaskular, menjaga sirkulasi nutrisi antara intravaskular dan ekstravaskular, serta menjaga fungsi koagulasi. Proses inflamasi menyebabkan kerusakan sel endotel, gangguan fungsi, serta terjadinya apoptosis yang akhirnya menyebabkan edema subendotel pada daerah yang rusak dan gangguan pada permeabilitas endotelium (Kotsovolis, 2010; Ait-oufella, 2010).

Sepsis menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik dengan mengaktifkan leukosit yang memproduksi reactive oxygen species (ROS). ROS dapat membantu melawan patogen, tetapi juga berdifusi dan mengaktifkan sel-sel endotel sehingga menyebabkan migrasi P-selectin ke dalam membran endotel. Sitokin proinflamasi dapat langsung mengaktifkan sel-sel endotel dan mencetuskan produksi ROS oleh mitokondria, xanthine oxidase (XO), dan NADPH oxidase (NADPH-ox).ROS juga dapat secara langsung merangsang migrasi cadangan P-selectin ke dalam membran sel atau mengaktifkan nuclear factor-kappa B (NF-kB). Adhesi protein expression (P-selectin dan E-selectin), intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan vascular

(41)

adhesion molecule-1 (VCAM-1) menyebabkan adhesi leukosit yang dapat memproduksi ROS secara lokal. Produksi ROS secara intraselular dapat menetralkan NO dan menurunkan ketersediaannya yang mengaktifkan gangguan tonus pembuluh darah. ROS juga dapat mempengaruhi keseimbangan antara prostanoid vasokonstriktor dan vasodilator dengan memodifikasi aktivitas cyclooxygenase (COX). Kadar glutathione (GSH) menurun selama sepsis, demikian juga dengan superoxide dismutase (SOD) yang menyebabkan berkurangnya kemampuan detoksifikasi (Kumar, 2012).

Sepsis dapat merusak proses homeostasis antara mekanisme prokoagulan dan antikoagulan. Faktor-faktor proteksi jaringan ditingkatkan ekspresinya untuk meningkatkan produksi protrombin yang akan diubah menjadi trombinsehingga fibrin dapat diubah menjadi fibrinogen. Bersamaan dengan itu peningkatan plasminogen- activator inhibitor-1 (PAI-1) menyebabkan kegagalan produksi plasmin sehingga mekanisme fibrinolitik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fibrin yang seharusnya diubah menjadi fibrinogen akan berubah menjadi fibrin degradation products (FDP).

Sepsis juga mengurangi produksi dari antikoagulan natural protein C. Protein C yang teraktivasi (aPC) akan terlepas dari reseptor endotelnya untuk menghambat faktor Va dan VIIa serta menghambat aktivitas PAI-1 sehingga kadar protein C yang berkurang akan meningkatkan efek prokoagulan.

Hasil akhir dari proses ini adalah pembentukan klot fibrin pada sistem mikrosirkulasi yang menyebabkan disfungsi oksigenasi jaringan dan kerusakan sel (Kumar, 2012).

(42)

2.1.7 Diagnosis Sepsis

Sepsis saat ini sering dianggap sebagai suatu respon inflamasi yang berlebihan terhadap suatu infeksi. Diagnosis sepsis ditegakan apabila dijumpai tanda SIRS ditambah bukti infeksi (seperti bakteremia). (Higgins, 2010). Metode tradisional untuk menegakan sepsis yang masih digunakan sampai saat ini adalah dengan kultur darah, urin dan cairan otak atau cairan bronkial dan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama (24-48 jam) (Jin & Khan, 2010). Kultur darah diperiksakan secara rutin pada pasien yang dicurigai dengan infeksi pada unit gawat darurat, namun sensitivitasnya untuk bakteriemia rendah. Hanya <10% kultur menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri (Hommes, T.J, 2009).

Menurut the American College of Chest Physicians (ACCP) and the Society of Critical Care Medicine (SCCM), kriteria SIRS adalah adanya 2 dari 4 kriteria berikut: (Munford, R.S., 2012)

Temperatur >38ᵒC atau <36ᵒC

 Nadi >90 per menit

 Hiperventilasi dengan bukti peningkatan pernafasan >20/menit atau CO2 arteri lebih rendah dari 32 mmHg.

 Jumlah leukosit >12,000 sel/µL atau lebih rendah dari 4000 sel/µL atau >10%

leukosit imatur.

(43)

Tabel 2.2

Kriteria Diagnosis Sepsis Variable Umum

 Demam (>38.3 ᵒC)

 Hipotermia (<36ᵒC)

 Nadi > 90 kali/menit (atau lebih dari dua di atas SD dari batas normal sesuai usia)

 Tachypnea

 Perubahan status mental

 Edema yang jelas atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)

 Hiperglikemia (glukosa plasma >140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes

Variabel Inflamasi

 Leukositosis (jumlah leukosit >12,000 µL)

 Leukopenia (jumlah leukosit < 4,000 µL)

 Leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur

 C-reactive protein plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal

 PCT plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal

Variabel Haemodinamic

 Hipotensi arteri (Tekanan darah sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari dua SD di bawah nilai normal sesuai usia)

Variabel Disfungsi Organ

 Hipoksemia arteri PaO2/FiO2 < 300

 Oligouria akut (urine output< 0.5ml/kg/jam selama paling sedikit 2 jam walaupun asupan cairan adekuat)

 Peningkatan kreatinin >0.5mg/dl atau 44.2µmol/L

 Kelainan koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60 detik)

 Ileus (tidak ada suara peristaltik)

 Trombositopenia (jumlah trombosit <100,000µL)

 Hiperbilirubinemia (total bilirubin plasma >4 mg/dL atau 70 µmol/L) Variabel Perfusi Jaringan

 Penurunan aliran kapiler Keterangan:

MAP = mean arterial pressure INR = international normalized ratio aPTT = activated partial thromboplastin

(44)

Variabel-variabel di atas merupakan variabel yang digunakan untuk menegakan SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012 (Dellinger et al., 2013).

2.2 Red Cell Distribution Width (RDW)

RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi.

RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah. Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW,

yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation) (Yčas JW, 2015).

Nilai normal berkisar antara 11.5%-14.5%. Sedangkan RDW-SD merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%.

Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL. Semakin tinggi nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel.17 Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi, namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi.

Sebaliknya nilai RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDWSD pada pemeriksaan hitung darah lengkapnya (Lippi G, 2009).

(45)

Gambar 4

Histogram Penilaian RDW (Bazick HS, 2011)

RDW pada awalnya diperkenalkan sebagai alat bantu diagnosa kerja dari anemia normositik. Penyebab umum yang mendasari terjadinya peningkatan RDW adalah defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat, dimana eritrosit yang normal akan bercampur dengan yang ukurannya lebih kecil atau yang lebih besar yang terbentuk saat terjadi defisiensi. Kenaikan serupa juga terjadi selama mendapatkan terapi pengganti besi, B12, dan folat ketika jumlah retikulosit meningkat. Nilai RDW juga meningkat setelah mendapatkan tranfusi darah, seperti halnya juga pada penderita anemia hemolitik dan trombotik dimana eritrosit terfragmentasi dalam sirkulasi. Peningkatan RDW juga berhubungan dengan penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal, namun mekanisme dibalik timbulnya variasi eritrosit ini masih sangat kompleks (Perlstein TS, 2009).

(46)

Tabel 2.3

Hubungan RDW dengan MCV

Sumber: Tonelli M, 2008

2.3 Platelet Cell Distribution Width (PDW)

Platelet distribution width (PDW) adalah variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil.

Trombosit merupakan sel diskoid tidak berinti yang beredar di dalam darah dengan diameter 2 sampai 3 μm yang berasal dari sel prekursor raksasa, yang disebut megakariosit. Megakariosit merupakan sel induk utama trombosit yang diproduksi di sumsum tulang sekitar 85 sampai 90% dan di paru-paru 10 sampai 15%.

Setiap megakariosit dapat menghasilkan 1000 sampai 5000 trombosit dan sekitar 1 x 1011 trombosit per hari yang dihasilkan dalam kondisi normal (Dewi, SR, 2015).

(47)

Produksi trombosit dikendalikan oleh sitokin trombopoietin. Jumlah normal trombosit dalam darah manusia adalah 150 sampai 350 x 109 /l dan memiliki umur sekitar 8 sampai 10 hari, yang kemudian mengalami proses penuaan yang ditandai dengan hilangnya reseptor permukaan dan penghapusan berikutnya oleh sel fagosit dari sistem retikuloendotelial. Peran trombosit in vivo dalam hemostasis adalah membentuk sumbat trombosit yang terjadi melalui 3 proses yaitu adhesi, aktivasi trombosit dan agregasi. Perlekatan trombosit dengan pembuluh darah yang melibatkan reseptor glikoprotein Ib (GP1b) dan faktor von Willebrand disebut sebagai proses adesi. Setelah itu terjadi aktivasi trombosit yang menimbulkan perubahan bentuk trombosit yang menyebabkan terjadinya penglepasan isi granula α dan dense granules seperti adenosine diphosphate (ADP), serotonin, katekolamin serta ekspresi dari reseptor GPIIb-IIIa. Tahap terakhir pada proses pembentukan sumbat trombosit adalah terjadinya agregasi trombosit yang melibatkan fibrinogen atau faktor von Willebrand (Dewi, SR, 2015).

Platelet distribution width mengukur variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil, sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan MPV. Mean platelet volume adalah ukuran rata-rata trombosit yang ditemui dalam sampel darah. Platelet distribution width dan MPV merupakan biomarker fungsi dan aktivasi trombosit. Aktivasi trombosit

(48)

menyebabkan perubahan ukuran trombosit sehingga meningkatan MPV dan PDW.

Ukuran trombosit ditentukan dan diatur pada saat produksi trombosit dari

megakariosit. Mean platelet volume telah terbukti berhubungan dengan fungsi dan aktivasi trombosit sebagai agregasi, sintesis tromboksan, pelepasan β-thromboglobulin, fungsi prokoagulan atau ekspresi molekul adesi (S, Islam MS, 2016).

Nilai normal PDW adalah 10,0-18, fl. Trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil. Sehingga, dalam sirkulasi darah terdapat trombosit bifasik trombosit muda mempunyai ukuran yang lebih besar.

Sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan ukuran diameter rata rata trombosit yang beredar dalam darah perifer. Nilai normal MPV adalah 6,5-11,0 fl. Oleh karena trombosit muda berukuran lebih besar maka MPV yang tinggi merupakan petanda peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi lebih cepatnya penghancuran platelet. Pada populasi sehat, PDW dan MPV berada dalam hubungan terbalik dengan jumlah trombosit (Ates S, 2015).

Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan

trombositopenia. Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum (Ates S, 2006).

(49)

2.4 Limfosit 2.4.1 Morfologi

Dua puluh persen dari total jumlah leukosit manusia merupakan limfosit.

Bertanggung jawab terhadap kontrol sistem imun adaptif, limfosit berdasarkan fungsi dan penanda permukaannya dibedakan menjadi dua kelas, yaitu limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral, dan limfosit T yang berperan dalam imunitas selular. Adapun kedua kelas limfosit ini tidak dapat dibedakan secara morfologis.

Limfosit B dapat dibedakan berdasarkan adanya imunoglobulin, MHC kelas II, serta reseptor C3b dan C3d pada permukaannya. Limfosit T dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk membentuk rosette pada eritrosit domba melalui molekul CD2 dan juga ekspresi TCR pada permukaannya. Selain kedua kelas tersebut terdapat sel limfoid yang bukan termasuk dalam limfosit B maupun limfosit T, yaitu sel NK atau yang sering disebut large granularlymphocyte (LGL) yang tergolong dalam innate lymphoid cells (ILC). Sel NK memiliki fungsi sebagai imunitas bawaan terhadap virus dan bakteri intraseluler (Hartawan, 2011).

Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi limfosit berukuran kecil dan besar. Limfosit berukuran kecil memiliki diameter 9-12 µm, dan limfosit berukuran besar memiliki diameter 12-16 µm. Perbedaan ukuran ini disebabkan oleh aktivitas dan posisi pada preparat hapusan darah tepi. Pada bagian hapusan yang tebal limfosit akan terlihat lebih kecil dan tebal. Berdasarkan ukurannya, umumnya

(50)

limfosit yang berukuran kecil merupakan limfosit T, sedangkan limfosit yang berukuran besar pada umumnya merupakan limfosit B. Namun untuk memastikan kelas limfosit dengan pasti diperlukan petanda yang telah disebutkan sebelumnya (Sridianti F, 2014).

Gambar 5

Morfologi Limfosit (Sridianti F, 2014)

Nukleus pada limfosit berbentuk bulat atau oval, dan terdapat celah.

Pada nukleus tidak ditemukan nukleolus, terutama pada pengecatan Giemsa, dan terdapat kromatin yang padat dan menggumpal. Sitoplasma berjumlah sangat sedikit pada limfosit berukuran kecil dan meningkat jumlahnya sebanding dengan ukuran limfosit. Rasio nukleus-sitoplasma pada limfosit berukuran kecil, sedang, dan besar berturut-turut, 4:1, 3:1, dan 2:1.

Pada sitoplasma limfosit kadang terdapat beberapa granula azurofilik yang pada limfosit berukuran besar cenderung terpusat pada bagian tertentu.

Pada pengecatan Wright sitoplasma berwana biru terang (Sridianti F, 2014).

(51)

2.4.2 Fungsi Limfosit

Imunitas Terhadap Bakteri Intraselular

Mikroorganisme fakultatif intraseluler memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan bahkan bereplikasi di dalam sel fagosit yang merupakan salah satu bagian dari sistem imun bawaan. Oleh sebab itu diperlukan aktivasi dari sistem imun seluler terutama yang dimediasi oleh sel T melalui dua jalur yaitu dengan perantaraan sel T sitotoksik atau sel T CD8+ dan melalui aktivasi sel yang terinfeksi oleh sel T helper atau sel T CD4+.

Pada aktivasi sistem imun bawaan, bakteri intraseluler resisten terhadap degradasi oleh fagosit. Hal ini menyebabkan induksi ekspresi ligan sel NK pada sel yang terinfeksi, yang kemudian akan mengaktivasi sel NK. Mekanisme lain aktivasi sel NK terjadi melalui stimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL-12 dan IL-15 yang dapat mengaktivasi sel NK oleh sel yang terinfeksi. Sel NK yang teraktivasi akan memproduksi IFN-γ yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh bakteri yang terfagositosis (Purwono, 2009).

Sistem imun adaptif, yaitu sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan berespon terhadap antigen dari mikroba yang terfagositosis yang terekspresi sebagai peptida yang terikat pada MHC kelas II dan kelas I. Selanjutnya IL-12 yang diproduksi makrofag dan sel dendritik akan mendorong diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel efektor TH1. Kemudian sel T akan mngekspresikan CD40 dan mensekresikan IFN-γ, yang keduanya akan mengaktifkan makrofag untuk memproduksi substansi

(52)

mikrobisidal, termasuk ROS, NO dan enzim lizosimal. Lebih lanjut terjadi produksi isotype antibodi (IgG2 pada tikus) yang akan mengopsonisasi bakteri dan mengaktivasi sistem komplen. Respon ini juga distimulasi oleh IFN-γ . Respon imun yang dimediasi oleh sel T CD8+ akan teraktivasi apabila bakteri yang berada pada fagosom dapat menghindari ingesti oleh fagosom dan berada di sitoplasma sel yang terinfeksi. Respon mikrobisidal tidak dapat mengeliminasi bakteri yang berada di sitosol, sehingga perlu adanya aktivasi limfosit T sitotoksik. Sehingga dapat disimpulkan dalam mekanisme pertahanan terhadap bakteri intraseluler sel T CD4+

dan sel T CD8+ harus saling bekerjasama (Purwono, 2009).

2.5 Monosit 2.5.1 Morfologi

Jumlah monosit kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit. Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme (khusunya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun (Kiswari, 2014). Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu sekitar 18 μm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma tidak mengandung granula dengan masa hidup 20-40 jam dalam sirkulasi. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tetapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan

(53)

mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit terdapat dalam darah, jaringan ikat dan rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya (Swirski FK, 2009).

Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar ditengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (Swirski FK, 2009).

2.5.2 Fungsi Monosit

Permukaan monosit yang tidak mulus karena memiliki protein spesifik di atasnya yang memungkinkan untuk mengikat bakteri atau sel virus. Fungsi monosit adalah untuk bergerak menuju sel patogen tertentu dan akhirnya mengikuti ketika itu cukup dekat. Menempelkan untuk patogen merangsang produksi pseudopodium.

Hal ini terjadi karena monosit menekuk menjadi bentuk C sekitar patogen, dan ujung pertemuan C, sehingga patogen tersebut ditelan. Patogen tersebut kemudian terjebak dalam dalam fagosom monosit tersebut. Melanda sel-sel patogen atau mati atau rusak hanya salah satu bagian dari fungsi monosit. Setelah sel atau puing-puing telah ditelan, mereka dipecah dalam fagosom (Gandosoebrata, R, 2010).

(54)

Gambar 6

Morfologi Monosit (Swirski FK, 2009)

Lisosom adalah jenis organel seluler yang ditemukan dalam monosit.

Ketika fagosom terbentuk, lisosom menempel dan melepaskan enzim pencernaan, yang disebut enzim litik, ke fagosom. Enzim ini memecah sel dalam fagosom, dan produk yang tetap diserap oleh monosit. Peradangan terjadi di lokasi di mana infeksi terjadi fagositosis. Fungsi monosit dan sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan peradangan.

Misalnya, panas dan pembengkakan yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel ini.

Selain itu, nanah terbentuk dari bakteri mati dan fagosit, termasuk monosit, yang terlibat dalam memerangi infeksi (Swirski FK, 2009).

2.6 Hubungan RDW, PDW, Limfosit dan Monosit dengan Sepsis

Pemeriksaan red cell distribution width (RDW), yang merupakan bagian dari panel pemeriksaan darah lengkap, sering dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penyebab anemia. RDW adalah sarana untuk mengevaluasi variabilitas dalam ukuran

(55)

eritrosit dan telah digunakan secara luas dalam diagnosis banding anemia. Beberapa penelitian yang berkembang pada orang dewasa belakangan ini melaporkan tentang peran nilai RDW sebagai faktor prognostik pada beberapa keadaan sakit kritis, termasuk sepsis. Berbeda dengan studi pada orang dewasa, peran nilai RDW sebagai faktor prognostik masih belum sepenuhnya terbukti. Peningkatan nilai RDW setelah 72 jam rawatan dilaporkan dapat memprediksi terjadinya mortalitas. Namun, sebuah studi kohort prospektif melaporkan tidak ada hubungan antara peningkatan nilai RDW dengan derajat keparahan penyakit dan mortalitas pada anak dengan sepsis.

Hal ini menjadi latar belakang dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai RDW dengan mortalitas pada pasien sepsis di unit perawatan intensif (Loonen AJ, 2014).

Platelet Distribution Width (PDW) adalah bagian dari jumlah darah lengkap yang rutin. PDW adalah ukuran variasi dalam ukuran trombosit, yang mungkin merupakan indikator pelepasan platelet aktif. Salah satu gambaran klinis sepsis adalah penurunan trombosit darah, hal ini berkaitan dengan kondisi DIC. Dimana secara patofisiologis dimulai dari interaksi antigen dengan system imun. Interaksi ini akan mengaktifkan set T CD4 dan sel T sitoktoksik (CD8), kemudian akan teraktivasi sitokin pro inflamasi seperti IL-1.IL-2.IL-6,IL-8,TNF α, IFNɤ, sitokin ini akan mengaktivasi proliferasi limfosit T, limfosit B, Neutrofil, makrofag, eosinofil yang akan menginfiltrasi daerah yang terinfeksi, akan memicu pelepasan Tissue Factor.

Pelepasan TF akan merangsang aktivasi factor-faktor pembekuan yang dapat

Gambar

Gambar 2 Patofisiologi Sepsis (Oncel, M.Y, 2012)
Tabel 2.4  Skor SOFA

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Akta Makanan 1983 dan Peraturan-Peraturan Makanan 1985, aktivitas Pengawasan Impor Makanan pda utamanya dilakukan di pintu masuk impor yang meliputi

Pasar produk perawatan rambut dalam lima tahun terakhir (2010 – 2014) menunjukkan trend pertumbuhan positif, impor produk perawatan ram- but di Malaysia mengalami pertumbuhan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa Madrasah Aliyah di Kabupaten Magetan tergolong kurang. Hal

“ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar PKn Materi Mengenal Pemerintahan Tingkat Pusat Melalui Pembelajaran Kooperatif Group Investigation Pada Siswa Kela s IV

Himpuan bilangan real, tidak bisa dinyatakan dengan penyajian menyebutkan anggota dari suatu himpunan, tetapi bisa disajikan dengan notasi pembentuk himpunan dan disajikan

Pendidikan ketaatan dan keteladanan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Siti Mahmudah di dalam mendidik agama pada anaknya. Karena dengan melalui pendidikan

Salah satu jenis dari alat penukar kalor ialah alat penukar kalor pipa ganda (Double Pipe Heat Exchanger, DPHE), di bedakan menurut arah aliran fluidanya, berlawanan

Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan praktik penggunaan sarung tangan dengan praktik pencegahan kejadian SIRS pada perawat Di RSU Siaga Medika Pemalang.. Hubungan Pengetahuan