BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.8 Kerangka Konsep
IL-2,IL-4,IL-6,IL-8,IL-12 TNF α, IFN ɤ
PENGHANCURA
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara cross-sectional. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, dimana jumlah sampel dibatasi minimal sesuai perkiraan jumlah sampel atau sampai batas waktu pengumpulan sampel yang ditetapkan. Pengukuran variabel dilakukan hanya satu kali.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU RSUP H. Adam Malik Medan bekerjasama dengan Departemen Ilmu Anestesiologi dan terapi FK USU/RSUP H. Adam Malik, dimulai dari Departemen Januari 2019 sampai dengan Maret 2019.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Kelompok kasus adalah pasien dengan sepsis dan sepsis berat yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat dan yang dirawat di Instalasi gawat darurat serta Intensive Care Unit (ICU) di RSUP H. Adam Malik Medan.
3.4 Kriteria Penelitian 3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Bersedia ikut dalam penelitian 2. Sepsis
3. Syok Sepsis
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Tidak bersedia ikut dalam penelitian
2. Kelainan penyakit hati kronik (sepsis berat MODS bisa kena ke hati juga) 3. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (Immune Thrombocytopenia) 4. Dengue Hemorrhaghic Fever
5. Pemakaian obat aspilet dan NSAID 6. Malaria
7. Anemia
3.5 Identifikasi Variabel 3.5.1 Variabel Bebas
1. RDW 2. PDW
3. Hitung Limfosit dan Monosit 3.5.2 Variabel Terikat
1. Sepsis 2. Syok Sepsis
3.6 Identifikasi Variabel
Dalam penentuan besar sampel yang akan diteliti secara consecutive sampling dengan perkiraan besar sampel minimal 30 karena sampai saat ini secara arbitrary besar sampel tersebut berdistribusi normal.
3.7 Defenisi Operasional Sepsis
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M, 2016, SSC 2016).
Syok Sepsis
Syok septik dapat diidentifikasi dengan gambaran klinis sepsis dengan hipotensi yang menetap, yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP 65 mmHg dan memiliki kadar laktat serum > 2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun ada resusitasi volume yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit lebih dari 40% (Singer M, 2016, SSC 2016).
RDW
RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi. RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah.
Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW, yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation) (Yčas JW, 2015).
PDW
Platelet distribution width (PDW) adalah variasi ukuran diameter trombosit yang beredar dalam darah perifer. Nilai normal PDW adalah 10,0-18, fl. Trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil.
Sehingga, dalam sirkulasi darah terdapat trombosit bifasik trombosit muda mempunyai ukuran yang lebih besar. Sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan ukuran diameter rata rata trombosit yang beredar dalam darah perifer. Nilai normal MPV adalah 6,5-11,0 fl. Oleh karena trombosit muda berukuran lebih besar maka MPV yang tinggi merupakan petanda peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi lebih cepatnya penghancuran platelet. Pada populasi sehat, PDW dan MPV berada dalam hubungan terbalik dengan jumlah trombosit (Ates S, 2015).
Limfosit
Limfosit berdasarkan fungsi dan penanda permukaannya dibedakan menjadi dua kelas, yaitu limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral, dan limfosit T yang berperan dalam imunitas selular. Adapun kedua kelas limfosit ini tidak dapat dibedakan secara morfologis. Limfosit B dapat dibedakan berdasarkan adanya imunoglobulin, MHC kelas II, serta reseptor C3b dan C3d pada permukaannya.
Pada bagian hapusan yang tebal limfosit akan terlihat lebih kecil dan tebal.
Berdasarkan ukurannya, umumnya limfosit yang berukuran kecil merupakan limfosit T, sedangkan limfosit yang berukuran besar pada umumnya merupakan limfosit B.
Namun untuk memastikan kelas limfosit dengan pasti diperlukan petanda yang telah disebutkan sebelumnya (Sridianti F, 2014).
Monosit
Jumlah monosit kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit. Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme (khususnya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun (Kiswari,2014). Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu sekitar 18 μm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma tidak mengandung granula dengan masa hidup 20-40 jam dalam sirkulasi. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit terdapat dalam darah, jaringan ikat dan rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya (Swirski FK, 2009).
3.8 Bahan dan Cara Kerja 3.8.1 Pengambilan Sampel
1. Darah diambil dari vena antekubital atau vena lain yang terlihat pada lengan bagian atas dengan menggunakan spuit.
2. Kulit pada lokasi pengambilan darah dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70% (seperti isopropanol) atau chlorhexidine 0.5.
3. Disinfektan diusapkan pada seluruh lokasi tersebut selama 30 detik dan dibiarkan untuk kering dengan sempurna selama 30 detik.
4. Tourniquet dipasang tepat di atas lokasi punksi dan dilepaskan segera setelah darah mulai mengalir ke dalam spuit.
5. Darah diambil sebanyak 3 mL dan dimasukkan kedalam tabung K2EDTA.
3.8.2 Pengolahan Sampel
Pemeriksaan darah rutin termasuk RDW, PDW, limfosit dan monosit dengan menggunakan alat automotic cell counter analyzer Sysmex XN-1000 dengan metode flow cytometry.
Analitik Pemeriksaan RDW, PDW, dan hitung Monosit - Limfosit
Sebelum menjalankan sampel pada alat hematology analyzer Sysmex XN-1000, maka terlebih dahulu dilakukan control kualitas terhadap alat. Quality Control (QC) alat hematology analyzer Sysmex XN-1000 dapat dilakukan dengan menggunakan reagen kontrol dari perusahaan. Reagen kontrol dari perusahaan tersedia dalam 3 level (level 1, 2 dan 3). Level 1 merupakan kontrol dengan nilai rendah, level 2 kontrol dengan nilai normal, dan level 3 kontrol dengan nilai tinggi.
Hasil pemeriksaan QC akan ditunjukan di dalam bentuk grafik. Apabila nilai QC berada di luar standard deviasi (SD) maka akan muncul tanda “X” yang berwarna merah pada grafik. Hasil QC yang berada di luar SD menunjukan adanya masalah.
Masalah yang dimaksud dapat berasal dari alat, reagen, ataupun reagen kontrol.
Apabila tidak dijumpai salah satu dari masalah-masalah tersebut maka harus dilakukan kalibrasi dengan menggunakan kalibrator dan pemeriksaan presisi (Sysmex Corporation, 2014).
Prosedur analisa kualitas kontrol
1. Vial e-Check dikeluarkan dari kulkas dan biarkan di suhu ruangan (18-250C) selama±15 menit.
2. Vial dicampur dengan perlahan end to end inversion sampai benar-benar tercampur homogen.
3. Campur vial-vial kontrol di rak dengan label barcode yang menghadap ke instrument, ditempatkan pada suhu ruangan
4. Klik “ Sampler” kemudian “Sampler Start” dari kotak dialog dan (OK) 5. Setelah kontrol dianalisa,klikan ikon “QC” di IPU.
6. Klik pada tab kontrol untuk menampilkan grafik L-J 7. Klik pada(∇) diasamping Level, dan pilih tingkat 1-3 8. Klik pada (∇) disamping mode ,dan pilih“ Closed”
9. Klik pada (∇) disamping Lot dan pilih “New” atau “Current”.
10. Scroll bar digunakan disebelah kanan grafik untuk melihat semua parameter grafik.
11. Semua parameter dipastikan berada dalam batas-batas yang ditentukan laboratorium.
Setelah melakukan control kualitas pada alat, maka pemeriksaan RDW dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah rutin dengan prinsip pemeriksaan Automated hematology analyzer flowcytometry dan alat Sysmex XN-1000.
Cara kerja:
a. Sampel darah pada tabung EDTA yang telah dilabel diperiksa dengan menggunakan Sysmex XN-1000.
b. Pastikan alat Sysmex XN-1000 dalam keadaan ready.
c. Sampel diletakkan pada rak sampler loader.
d. Sample dianalisa dengan metode flowcytometry untuk memperoleh nilai Hb, Ht, dan jumlah eritrosit. RDW didapatkan menggunakan perhitungan dengan menggunakan indeks-indeks eritrosit.
Cytometry digunakan untuk menganalisa karakteristik fisiologis dan kimiawi dari sel-sel dan partikel-partikel biologis lainnya. Sedangkan flow cytometry digunakan untuk menganalisa sel-sel dan partikel-partikel tersebut ketika melewati flow cell yang sangat kecil (Sysmex Corporation, 2014).
Flow cytometry merupakan metode dari mekanisme Hydro Dynamic Focusing yang meningkatkan akurasi dan kemampuan pengulangan untuk menghitung sel-sel.
Sampel darah akan diaspirasi dan diukur, dilarutkan ke dalam rasio yang spesifik dan diwarnai. Sebuah cahaya laser semikonduktor (panjang gelombang: 633 nm) diemisikan ke sel-sel darah yang melewati flow cell. Terdapat dua cahaya yaitu forward scattered dan side scattered yang akan ditangkap oleh photodiode dan satu cahaya side fluorescent yang akan ditangkap oleh avalanche photodiode. Cahaya ini akan diubah menjadi aliran listrik sehingga dapat memperoleh informasi mengenai sel darah (Sysmex Corporation, 2014)
Post Analitik Pemeriksaan RDW, PDW dan Monosit - Limfosit
Catat hasil yang keluar dari hematology analyzer sesuai dengan nomor label yang telah ditentukan sebelumnya.
3.9 Ethical Clearance dan Informed Concent
Usulan penelitian ini diajukan agar dapat memperoleh ethical clearance dari Komite Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan izin penelitian dari Instalasi Litbang RSUP Haji Adam Malik, Medan.
Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang menyatakan bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian ini.
3.10 Analisis Data
Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences, Chicago, IL, USA) untuk Windows. Gambaran karakteristik pada subjek penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan. Korelasi kadar RDW,PDW, hitung monosit dan limfosit digunakan uji korelasi Pearson bila data berdistribusi normal. Bila data tidak berdistribusi normal, digunakan Spearman rank test. Semua uji statistik dengan nilai p < 0,005 dianggap bermakna.
3.11 Perkiraan Biaya Penelitian
Pengadaan alat tulis Rp. 1.000.000,-
Pengadaan reagensia Rp. 22.000.000,-
Pengadaan alat-alat disposible Rp. 500.000,-
Pengolahan hasil statistik Rp. 1.000.000,-
Biaya tak terduga Rp. 500.000,-
Total Biaya Rp 25.000.000,-
3.12 Jadwal Penelitian
Kegiatan Jan – 2019 Feb - 2019 Mar - 2019 Apr - 2019 Proposal
Pengumpulan data Analisis Data
3.13 Alur Penelitian
PASIEN MASUK : RUANG UGD, A RAWAT INAP, HCU,HDU,ICU
PENGAMBILAN DARAH VENA 3 ML
SEPSIS SCC 2016
Skor SOFA
RDW PDW
LIMFOSIT/MONOSIT
ANALISIS DATA
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan bekerjasama dengan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan sejak Januari 2019 sampai Maret 2019, terhadap 30 pasien yang telah melalui proses inklusi dan eksklusi. Jumlah pasien yang menjadi sampel penelitian sebanyak 30 pasien (18 laki-laki dan 12 perempuan).
Dari 30 orang pasien sepsis yang ikut dalam penelitian, 18 orang dari keseluruhan sampel adalah laki-laki (60 %) dan sisanya 12 orang (40%) adalah perempuan. Dari keseluruhan peserta penelitian memiliki median usia 53 tahun.
Usia termuda yaitu 18 tahun dan tertua yaitu 65 tahun (Tabel 4.1).
Tabel 4.1
Analisis Karakteristik Sampel Penelitian (Jenis Kelamin dan Usia)
Variabel N (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 (60%)
Perempuan 12 (40%)
Umur (Median/Min - Max) 53 (18 – 65)
Pada Tabel 4.1.1 dapat dilihat jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu sebanyak 18 orang (60%), sisanya adalah perempuan sebanyak 12 orang (40%), dari keseluruhan sampel penelitian memiliki median usia 53 tahun, dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua 65 tahun.
Setelah dilakukan uji distribusi data dengan shapiro-wilk diperoleh hasil p<0,005 yang menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal dan data ditampilkan dalam parameter bentuk Median (Tabel 4.2).
Tabel 4.2
Analisis Deskriptif RDW, PDW, Limfosit, Monosit, dan Skor SOFA
Variabel Median(Min-Max)
RDW 16,9(12,2 – 22,9)
PDW 10,35(8,10 – 16,4)
Limfosit 5,9(0,3 – 28,6)
Monosit 4,2(0,8 – 12)
Skor SOFA 4,0(1,0-11)
*) Digunakan nilai median dikarenakan seluruh variabel tidak berdistribusi normal
Pada analisis statistik di peroleh nilai median RDW 16,9 (12,2-22,9) Sedangkan nilai median PDW 10,35 (8,10-16,4) dan Nilai median limfosit 5,9 (0,3-28,6) Nilai median monosit 4,2 (0,8-12) dengan nilai minimum 0,8 dan maksimum 12. Skor SOFA yang didapatkan sangat bervariasi dengan nilai median 4,0 (1-11).
4.2 Analisis Hubungan RDW, PDW, Limfosit, Monosit dengan Skor SOFA Uji statistik spearman correlation test menunjukkan kadar RDW tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = 0,064) dan (p = 0,736). Kadar PDW tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = -0,140) dan (p = 0,461). Kadar Limfosit terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = 0,760) dan (p = 0,001). Sedangkan kadar monosit terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = 0,0760) dan (p = 0,001). (Tabel 4.1.3)
Tabel 4.3
Tabel Uji Korelasi Spearman RDW, PDW, Limfosit, dan Monosit dengan Skor SOFA
Variabel
Skor SOFA
N R p
RDW
30
0,064 0,736
PDW -0,140 0,461
Limfosit 0,760 0,001
Monosit 0,760 0,001
*) p<0,05= dianggap bermakna secara statistik
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 30 pasien sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdiri atas laki-laki 18 orang (60%) dan perempuan 12 orang (40%).
Usia pasien pada penelitian ini bervariasi dengan populasi termuda 18 tahun dan tertua 65 tahun. Median usia 53 (18-65) tahun dan dilaksanakan selama 3 bulan.
penelitian sebelumnya oleh Fonda Dkk di Rumah Sakit Hasan Sadikin, September 2017 sampai Agustus 2018 dengan rata-rata usia pada sepsis 54,39 tahun dan terdiri dari 51 pasien sepsis dengan ratio laki-laki dan perempuan 3:2 selama setahun.
Berbeda dengan penelitian Kim HM dkk 2015 usia rata-rata pasien sepsis yang ikut dalam penelitian adalah 65 tahun, dan laki-laki lebih banyak menderita sepsis jika dibandingkan dengan perempuan sebanyak 352 pasien (52,54%) pada penelitian yang dilakukan selama 3 bulan. Dari data-data di atas tampak bahwa laki-laki lebih banyak menderita sepsis dibandingkan dengan perempuan, kemungkinan karena laki-laki lebih banyak beraktifitas di luar rumah, sehingga lebih sering terpapar oleh bakteri patogen. Meskipun ada beberapa variasi dalam distribusi jenis kelamin dalam prevalensi sepsis, Jenis kelamin laki-laki secara konsisten dikaitkan dengan insiden sepsis yang lebih tinggi. Ada beberapa faktor risiko yang dianggap berperan pada kejadian sepsis diantaranya usia, jenis kelamin, ras, penyakit komorbid, genetik,
terapi kortikosteroid, kemoterapi, dan obesitas. Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia tua. Resiko sepsis memiliki distribusi usia bimodal, dengan peningkatan insiden yang disesuaikan dengan usia, dimana pada resikonya pada bayi menurun dan masa kanak-kanak menurun, kemudian meningkat lagi pada usia dewasa dengan peningkatan resiko sekitar usia 50-80 tahun.
5.2 Analisis Hubungan Limfosit, Monosit, RDW, PDW, dengan Skor SOFA Skor SOFA yang terdiri atas 6 parameter klinis dengan laboratorium harus digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap strategi terapi dan memungkinkan klinisi untuk memantau kemajuan harian dan memberikan evaluasi obyektif mengenai respons pengobatan. Sebagai contoh, mengetahui skor SOFA dari waktu ke waktu dapat memfasilitasi pembuatan keputusan terapi, mengetahui bahwa skor SOFA yang meningkat dikaitan dengan semakin memburuknya, maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas (Raith EP, 2017).
Berdasarkan uji korelasi spearman test pada penelitian ini terdapat hubungan yang kuat antara kadar limfosit dengan skor SOFA (r=0,760,p=0,001), dimana terjadi penurunan jumlah limfosit, penurunan ini mungkin terjadi karena populasi sel limfosit pada pasien sepsis, berperan penting dalam respons inflamasi sistemik terhadap infeksi berat. Fase hiperdinamik pada awal infeksi ditandai dengan status pro inflamasi yang dimediasi oleh neutrofil, makrofag, limfosit dan monosit yang diikuti
pelepasan sitokin inflamasi, seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin (IL) 1 dan IL6. Respon inflamasi sistemik ini dikaitkan dengan penundaan apoptosis neutrofil untuk meningkatkan pembunuhan patogen yang dimediasi oleh neutrofil sebagai bagian dari respons imun bawaan. Neutrofilia selama inflamasi sistemik disebabkan oleh demarginasi neutrofil, penundaan apoptosis neutrofil, dan stimulasi sel punca oleh faktor pertumbuhan (G-CSF). Pada saat yang bersamaan, apoptosis limfosit pada kelenjar timus dan di limpa meningkat sehingga terjadi penurunan limfosit. Limfositopenia sebelumnya telah dideskripsikan sebagai penanda bakteremia tetapi tidak mendapat penerimaan luas sebagai penanda infeksi.
Mekanisme yang bertanggung jawab untuk limfositopenia pada sepsis dan syok septik karena marginasi dan redistribusi limfosit dalam sistem limfatik dan ditandai percepatan apoptosis. begitu juga yang dilakukan penelitian Dalam sebuah studi prospektif, Zahorec mengamati limfositopenia pada pasien ICU onkologi dengan operasi besar, sepsis dan syok septik. Ada korelasi keparahan perjalanan klinis dan beratnya limfositopenia. Wyllie dan rekan menyoroti penggunaan klinis limfositopenia untuk marker diagnostik bakteremia pada orang dewasa perawatan darurat medis.
Pada penelitian ini juga terdapat hubungan yang kuat antara kadar Monosit dengan skor SOFA (r=0,760,p=0,001), dimana pasien dalam 24 jam pertama diperiksa darah lengkap dan diperoleh hasil bahwa kadar monosit pada sepsis meningkat dibandingkan dengan kondisi SIRS (area under the curve, 0.79; 95% CI,
0.76–0.82). Pada pasien sepsis dapat terjadi, monositosis maupun penurunan monosit atau pun normal, peningkatan jumlah monosit terjadi sebagai penanda adanya infeksi, inflamasi, trauma, Sedangkan penurunan pada monosit dapat terjadi karena kebutuhan terhadap monosit meningkat,namun terjadi penurunan produksi sumsum tulang.
Pada keadaan awal sepsis terjadi peningkatan jumlah monosit akibat interaksi sistem innate dengan bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel luar yang khas terdiri dari lipopolisakarida yang dikenal sebagai endotoksin.
Toksin akan direspon oleh sitokin yang mengaktivasi respon imun. Pada fase awal tumor necrosis factor (TNF) α, Interleukin -1, Interleukin -6, Interleukin -8 dan platelet activating factor (PAF) berperan dalam proses terjadinya respon imun sistemik.
Dan Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi antara RDW dengan Skor SOFA, dimana (r = 0,064, p=.0.764), penelitian yang sama juga dilaporkan berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fonda dkk 2019, Penelitian pada pasien dewasa dengan sepsis dan syok septik di Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin periode September 2017 sampai dengan januari 2018. RDW mempunyai hubungan bermakna untuk memprediksi terjadinya mortalitas. RDW dapat dijadikan prediktor untuk kejadian mortalitas pada pasien sepsis dan syok septik. Pada sepsis terjadi pelepasan mediator pro inflamasi seperti Tumor Necroting Factor-α (TNF- α), Interleukin-1 (IL-1), IL-6 yang menyebabkan gangguan bentuk, destruksi dan pembentukan eritrosit. Gangguan bentuk tersebut akan menyebabkan variabilitas eritrosit meningkat yang dinilai dengan peningkatan RDW.
Platelet distribution width (PDW) pada penelitian ini tidak ada korelasi dengan skor SOFA. (r =140, p= 0,461), Platelet distribution width (PDW) adalah variasi ukuran diameter trombosit yang beredar dalam darah perifer, hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan andi dkk 2016, penelitian dilakukan secara potong lintang di ICU RSUP H. Adam Malik Medan, dari 50 pasien sepsis dan 50 pasien non sepsis ditemukan perbedaan signifikan nilai PDW dan MPV antara pasien sepsis dan pasien infeksi non sepsis dengan p <0,001. Dan didapatkan juga korelasi yang kuat antara PDW, MPV dengan skor SOFA. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa pada sepsis terjadi kompensasi akibat percepatan dekstruksi trombosit akibat interaksi langsung dengan sitokin pro inflamasi dan akibat penekanan sitokin di sumsum tulang. Sehingga pada sepsis dijumpai peningkatan PDW. Perbedaan hasil ini kemungkinan karena jumlah trombosit pada penelitian ini sebagian besar pasien trombositnya masih normal.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kadar limfosit dan monosit terdapat hubungan yang signifikan dengan skor SOFA dengan (r = 0.760 dan p = 0,001).
2. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara RDW, PDW dan skor SOFA.
3. Limfosit dan monosit dapat dipakai sebagai parameter deteksi sepsis.
6.2 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan antara peningkatan RDW, PDW terhadap skor SOFA secara kontinue dan penelitian yang lebih selektif dalam pengambilan dan penentuan pasien sepsis di ICU.
DAFTAR PUSTAKA
Angus Derek C, Tom Van Der Poll. Severe sepsis and Septic Shock. the New England Journal of Medicine. 2013;369:840-51.
Allen LA, Felker GM, Mehra MR, Chiong JR, Dunlap SH, Ghali JK, Lenihan DJ, Oren RM, Wagoner LE, Schwartz TA and Adams KF Jr: Validation and potential mechanisms of red cell distribution width as a prognostic marker in heart failure. J Card Fail 16: 230-238, 2010.
Ates S, Oksuz H, Dogu B, Bozkus F, Ucmak H, Yanıt F. 2015. Can mean platelet volume and mean platelet volume/platelet count ratio be used as a diagnostic marker for sepsis and systemic inflammatory response syndrome?. Saudi Med J. 36(10): 1186-90.
Bazick HS, Chang D, Mahadevappa K, Gibbons FK, Christopher KB. Red cell distribution width and all-cause mortality in critically ill patients. Crit Care Med. 2011;39:1913–21.
Becchi C, Al Malyan M, Fabbri LP, Marsili M, Boddi V, Boncinelli S. 2006. Mean platelet volume trend in sepsis: is it a useful parameter? Minerva Anestesiologica. Anestesiol.72:749-56.
Buyukkocak, U., Gencay, I., Ates, G., & Caglayan, O. (2014). Red Blood Cell Distribution Width and Mortality in ICU Patients ; A Cross Sectional Retrospective Analysis Red Blood Cell Distribution Width and Mortality in ICU Patients, 1(4).
Casserly B, Phillips GS, Schorr C, Dellinger RP, Townsend SR, Osborn TM, et al.
Lactate measurements in sepsis-induced tissue hypoperfusion: results from the Surviving Sepsis Campaign database. Critical Care Medicine.
2015;43(3):567–573
Cawcutt, K.A. dan Peters, S.G., 2014. Severe Sepsis and Septic Shock: Clinical Overview and Update on Management. Mayo Clinic Proceedings.
89(11):1572-1578
Donald JM, Galley HF, Webster NR.Oxidative stress and gene expression in sepsis.
Br J Anaesth. 2013;90:221–32.
De Jager CP, van Wijk PT, Mathoera RB, de Jongh-Leuvenink J, van der Poll T and Wever PC: Lymphocytopenia and neutrophil-lymphocyte count ratio predict bacteremia better than conventional infection markers in an emergency care unit. Crit Care 14: R192, 2010.
Djordjevic D, Rondovic G, Surbatovic M , Stanojevic I,Udovicic I,Andjelic T et al.
Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio, Monocyte-to-Lymphocyte Ratio, Platelet-to-Lymphocyte Ratio, and Mean Platelet Volumeto-Platelet Count Ratio as
Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio, Monocyte-to-Lymphocyte Ratio, Platelet-to-Lymphocyte Ratio, and Mean Platelet Volumeto-Platelet Count Ratio as