BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan salah satu indikasi paling sering untuk rawatan di intensive care unit (ICU) di seluruh dunia, merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary Intensive Care Unit (ICU). Seperempat dari total pasien yang mengalami sepsis akan meninggal selama perawatan, sedangkan syok septik dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 50% (Maraghi LSH et al, 2014).
Sepsis menyebabkan mortalitas dan biaya kesehatan yang tinggi. Saat ini, sepsis masih merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Setiap tahunnya diperkirakan sekitar 400.000 sampai 500.000 pasien mengalami sepsis di seluruh Eropa dan Amerika Serikat dan biaya rata-rata per kasus individu adalah sekitar US$ 22.000. Sepsis merupakan suatu keadaan yang dimulai dengan kejadian sistemic inflamation respiration syndrome (SIRS) sampai syok septik dan multiple organ disfunction syndrome (MODS) dengan angka mortalitas 26% pada SIRS sampai mencapai 82% pada syok septik (Singer M, 2016, Donald JM, 2013).
Data kasus sepsis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, pada tahun 2015 dijumpai sebanyak 233
kasus
(Medical Record RSUP HAM, 2015).Sedangkan data yang kami peroleh dari Medical Record ICU RSUP Haji Adam Malik periode Januari – Juli 2017, angka kematian pasien sepsis di ICU masih tinggi, setiap bulannya ditemukan 5-7 kasus pasien sepsis dan 2-3 pasien meninggal setiap bulannya setelah di diagnosis maupun mulai dirawat di Intensive Care Unit (Medical Record ICU RSUP HAM, Januari - Juli 2017).
Pada sepsis, sering terjadi gangguan hemodinamik dan mikrosirkulasi, yang pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan. Diagnosis dini dan stratifikasi derajat keparahan sepsis sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut tersebut, yang merupakan parameter objektif terhadap status biologis, sering digunakan untuk parameter keadaan sepsis, menentukan derajat keparahan, serta membedakan berbagai kemungkinan penyebab sepsis. Ketersediaan
pemeriksaan biomarker sepsis di beberapa fasilitas kesehatan masih terbatas (Angus Derek C, 2013).
Untuk menilai tingkat keparahan penyakit berdasarkan derajat disfungsi organ secara serial setiap waktu digunakan suatu skor yaitu Sequential Organ Failure Assesment (SOFA). Skor SOFA digunakan oleh karena memiliki komponen yang lebih sederhana dibandingkan skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II and Simplified Acute Physiology Evaluation (SAPS) II (Irwan, 2012)
Skor SOFA memungkinkan para klinisi untuk memantau keseluruhan proses penyakit dibandingkan dengan skor lainnya (Afthab et al, 2014).
Sistem skor SOFA ini dihitung berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkan sistim skor tersebut adalah banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa dan juga akan meningkatkan pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di ICU. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lain yang lebih sederhana dan biaya murah dimana dapat menggantikan sistem skor tersebut (Yan et al, 2017).
Dari hasil penelitian Zhang HB dkk, data dikumpulkan secara prospektif sebanyak 120 pasien sepsis yang kultur darahnya positif dan dibandingkan dengan pasien sepsis tanpa kultur darah dari Januari 2014 - Maret 2015. Dari penelitian ini didapatkan bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit meningkat secara significant pada pasien sepsis yang dikultur dibandingkan yang tidak dikultur (Zhang HB, 2015).
Berdasarkan konsep di atas maka peneliti ingin mengetahui nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat digunakan sebagai parameter untuk deteksi sepsis.
Pada pasien sepsis Pemeriksaan Red cell distribution width (RDW), Platelet distibution Width (PDW), Hitung limfosit-monosit yang merupakan bagian dari panel pemeriksaan darah lengkap, sering dilakukan untuk mengevaluasi beberapa penyebab sepsis.
Red cell distribution width (RDW), adalah sarana untuk mengevaluasi variabilitas dalam ukuran eritrosit dan telah digunakan secara luas dalam diagnosis banding anemia. Beberapa penelitian yang berkembang pada orang dewasa belakangan ini melaporkan tentang peran nilai RDW sebagai faktor prognostik pada beberapa keadaan sakit kritis, termasuk sepsis. Berbeda dengan studi pada orang dewasa, peran nilai RDW sebagai faktor prognostik masih belum sepenuhnya terbukti. Peningkatan nilai RDW setelah 72 jam rawatan dilaporkan dapat memprediksi terjadinya mortalitas. Namun, sebuah studi kohort prospektif melaporkan tidak ada hubungan antara peningkatan nilai RDW dengan derajat keparahan penyakit dan mortalitas pada anak dengan sepsis. Hal ini menjadi latar belakang dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai RDW dengan mortalitas pada pasien sepsis di unit perawatan intensif (Loonen AJ, 2014).
Platelet Distribution Width (PDW) adalah bagian dari jumlah darah lengkap rutin. PDW adalah ukuran variasi dalam ukuran trombosit, yang mungkin merupakan indikator pelepasan platelet aktif. Selain itu, salah satu gambaran klinis sepsis adalah penurunan trombosit darah. Hal ini berkaitan dengan kondisi DIC. Dimana secara patofisiologis dimulai dari interaksi antigen dengan sistem imun. Interaksi ini akan mengaktifkan set T CD4 dan sel T sitoktoksik (CD8), kemudian akan teraktivasi sitokin pro inflamasi seperti IL-1.IL-2.IL-6,IL-8,TNF α, IFNɤ, sitokin ini akan mengaktivasi proliferasi limfosit T, limfosit B, Neutrofil, makrofag, eosinofil yang akan menginfiltrasi daerah yang terinfeksi, akan memicu pelepasan Tissue Factor.
Pelepasan TF akan merangsang aktivasi factor-faktor pembekuan yang dapat
menimbulkan thrombosis dan hipoperfusi, menimbulkan peningkatan penggunaan trombosit dan penekanan factor antikoagulan alamiah, seperti antitrombin 3, protein c dan protein s, sehingga dapat memicu perdarahan atau DIC pada sepsis. Sehingga pada sepsis dengan DIC trombosit yang beredar di sirkulasi adalah trombosit muda (Casserly B, 2015). Platelet Distribution Width (PDW) berkorelasi dengan hitung trombosit. PDW mengindikasikan tingkat anisosistosis dari trombosit. Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan trombositopenia.
Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum tulang akan mengeluarkan megakariosit muda yang berukuran lebih besar sebagai kompensasi dari keadaan trombositopenia yang berlangsung secara terus-menerus, sehingga terjadi variasi ukuran diameter trombosit di sirkulasi (Allen LA, 2010).
Limfosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh dan sangat berperan dalam imunitas humoral. Imunitas humoral merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan produksi antibodi. Limfosit terdiri atas sel B dan sel T yang memiliki fungsi berbeda, dan berperan penting dalam menandakan infeksi. Zahorec pertama kali mengusulkan penggunaan hitung neutrofil dan limfosit-neutrophil sebagai penanda infeksi pada aplikasi klinis. Limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10 µm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak
berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung granula azuropilik (Zahorec R, 2011).
Monosit adalah jenis sel darah putih yang memiliki ukuran paling besar.
Monosit berjumlah sekitar 200-800 sel/ per mm3 dalam aliran darah. Jenis sel darah putih ini memiliki sedikit butiran pada sitoplasma. Monosit dapat meninggalkan aliran darah dan masuk ke jaringan lain dalam tubuh dan berubah menjadi makrofag.
Setelah menjadi mafrofag jaringan, monosit melakukan fagositosis atau memakan sel mati serta menyerang mikroorganisme. Hal tersebut dikarenakan ukuran monosit yang besar, sehingga mampu mencerna partikel asing berukuran besar pada luka tidak seperti jenis sel darah putih lainnya. Monosit juga mampu menggantikan kandungan lisosomalnya dan dianggap memiliki umur yang jauh lebih lama dibandingkan neutrofil. Monosit memiliki bentuk bermacam-macam, dimana biasanya lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 µm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (de Jager CP,2010). Peningkatan limfosit dan monosit menunjukkan aktivasi pertahanan dan sistem kekebalan tubuh dan menunjukkan ada peradangan
pada jaringan. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi atau proses inflamasi.
Inflamasi adalah respon lokal (reaksi) dari jaringan hidup yang bervaskularisasi akibat rangsangan endogen dan eksogen. Inflamasi bisa terjadi akut dan kronik.
Radang akut terjadi pada onset dini, dalam hitungan menit hingga beberapa jam dan terdapat migrasi sel leukosit terutama netrofil, limfosit, monosit dan eosinofil (de Jager CP, 2010). Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya sepsis dan syok sepsis. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi (Cawcutt, K.A, 2014).
Dari data penelitian sebelumnya, belum pernah ada di lakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Oleh sebab itu penelitian penggunaan nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit diharapkan dapat digunakan sebagai parameter deteksi sepsis.
Penelitian ini dilaksanakan ICU RSUP H. Adam Malik Medan, dengan mempertimbangkan bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan sekitarnya.