• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Bagi sejawat dokter

Memberikan sebagai informasi bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter deteksi sepsis, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam tatalaksana pasien sepsis.

2. Bagi dunia pendidikan

Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan tentang bahwa nilai RDW, PDW dan hitung limfosit dan monosit dapat sebagai parameter deteksi sepsis, sehingga dapat menambah kepustakaan dan pengetahuan tentang hal tersebut.

3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai pentingnya deteksi yang lebih murah dan mudah diakses sebagai parameter deteksi pasien sepsis.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sarana untuk melatih cara berfikir dan membuat suatu penelitian berdasarkan metodologi yang baik dan benar dalam proses pendidikan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis 2.1.1 Definisi

Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016, Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat dijabarkan bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian di rumah sakit >10%

(Singer M, 2016, SSC 2016).

Syok septik didefinisikan sebagai subset dari sepsis yang mendasari gangguan peredaran darah dan kelainan selular metabolisme yang sangat parah dan secara substansial meningkatkan angka kematian (SSC, 2016). Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan gambaran klinis sepsis dengan hipotensi yang menetap, yang membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP 65 mmHg dan memiliki kadar laktat serum > 2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun ada resusitasi volume yang adekuat. Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit lebih dari 40%

(Singer M, 2016, SSC 2016).

The Concensus Conferrence on American Collage of Chest Physicians /Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) menggambarkan sepsis seperti pada Gambar 2.1 (Khafaji, 2017).

Gambar 1

Hubungan antara Systemic Inflamatory Response Syndromes (SIRS), sepsis, severe sepsis dan infeksi (Khafaji, 2017)

Kriteria Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SRIS) adalah bila didapatkan 2 gejala atau lebih dari keadaan berikut: (Napolitano, 2018)

1. Suhu badan >38°C atau <36°C.

2. Frekuensi pernafasan >20 nafas/menit.

3. Frekuensi denyut jantung >90 kali/menit.

4. Hitung Leukosit >12,000/μL, <4,000/μL, atau >10% sel darah putih muda (bands).

Sedangkan definisi sepsis berat (severe sepsis) adalah sepsis dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, yaitu (Rhodes et al, 2017):

1. Kardiovaskuler: tekanan darah sistolik arteri ≤90 mmHg atau tekanan nadi rerata (mean arterial pressure) ≤70 mmHg yang tidak respon terhadap pemberian cairan intravena.

2. Ginjal: produksi urine <0.5 mL/kg per jam selama 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan dengan adekuat.

3. Pernafasan: PaO2/FIO2 ≤250 atau, bila paru-paru merupakan satu-satunya yang mengalami disfungsi organ PaO2/FIO2 ≤200.

4. Hematologi: Hitung trombosit <80,000/L atau penurunan hitung rombosit 50%

dari nilai tertinggi yang tercatat dalam 3 hari terakhir.

5. Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan pH ≤7.30 atau kekurangan basa (base deficit) ≥ 5.0 mEq/L dan konsentrasi laktat plasma >1.5 kali nilai batas atas normal.

6. Resusitasi cairan yang adekuat: Pulmonary artery wedge pressure ≥12 mmHg atau tekanan vena sentral ≤ 8 mmHg.

Syok septik ditentukan oleh kriteria klinissepsis dan dibutuhkan terapi vasopressor untuk mengangkat arterial rata-ratatekanan ≥ 65mmHg dan laktat > 2 mmol/L (18 mg/dL)meskipun resusitasi cairan sudah adekuat (Napolitano, 2018).

Syok Sepsis Refrakter adalah syok sepsis yang telahberlangsung > 1 jam dan tidak respon terhadap pemberian cairan atau vasopresor. Sindrom disfungsi organ multipel (Multiple organ dysfunction syndrome/MODS)adalah disfungsi lebih dari 1 organ dan memerlukan intervensi untukmenjaga homeostasis (Rhodes et al, 2017).

2.1.2 Kriteria Sepsis

Menurut European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat pada tabel dibawah ini (Singer M, 2016).

Tabel 2.1

Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (Dikutip dari Singer M, 2016, SSC 2016)

Kriteria Lama Kriteria Baru

infeksi+ 2 dari 3 tanda SOFA yaitu Hipotensi (tekanan darah sistol ≤ 100 mmHg)

penurunan kesadaran (GCS≤13)

takipnea (≥22x/menit) atau Peningkatan skor SOFA > 2 Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi organ

Laktat > 2 mmol/L

Syok Sepsis Sepsis+Hipotensi setelah

mendapatkan resusitasi cairan yang

2.1.3 Epidemiologi Sepsis

Kasus sepsis di Amerika Serikat meningkat dalam 20 tahun terakhir, dimana setiap tahunnya dijumpai sebanyak 400.000-500.000 kasus.Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa kasus sepsis mengalami peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Sepsis merupakan penyebab tertinggi kematian di UPI dan menempati urutan ke-10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan dengan angka mortalitas 28,6% untuk sepsis, 32,2% untuk sepsis berat, dan 54% untuk syok sepsis (Oncel dkk, 2012).

Beberapa peneliti menguji hubungan antara usia dengan sepsis dan menunjukkan bahwa resiko relatif untuk terjadinya sepsis bagi individu yang berusia

≥ 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang berusia

< 65 tahun. Secara keseluruhan, individu yang berusia ≥ 65 tahun menyumbang 64,9%

dari total kasus sepsis yang ada. Angka insidensi sepsis meningkat dikarenakan adanya populasi yang berusia tua, bertambahnya jumlah pasien immunocompromised, dan meningkatnya prosedur tindakan invasif, serta berbagai jenis kuman yang saat ini resisten terhadap antibiotik. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan pasien dengan sakit kritis, lebih dari 210.000 pasien tercatat meninggal dengan sepsis berat setiap tahunnya. Berikut merupakan perbandingan angka insidensi dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lainnya (Gambar 2.1) (Hommes dkk, 2012).

2.1.4 Etiologi Sepsis

Dari seluruh kasus sepsis hampir seluruhnya disebabkan oleh organisme patogen bakteri dan jamur.Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus species, Streptococcus pneumonia, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, spesies-spesies family Klebsiella dan Candida terhitung sebagai spesies patogen yang paling umum dijumpai (Cawcutt & Peters, 2014).

Lokasi terjadinya infeksi primer yang paling sering dijumpai adalah infeksi saluran pernafasan, diikuti infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pencernaan.

Akhir-akhir ini terdapat peningkatan laporan infeksi bakteri pada pasien yang dirawat di rumah sakit akibat infeksi nosokomial dari kateterisasi dan terapi imunosupresi yang meningkatkan penyebab infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Jin & Khan, 2010)

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu: (Yan, 2017) 1. Infeksi paru-paru (pneumonia)

2. Appendiksitis

3. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

4. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

5. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

6. Infeksi pasca operasi

7. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi (Yan, S.T, 2017).

2.1.5 Patofisiologi Sepsis

Sepsis, sever sepsis, septic shock dan multiple organ failure adalah proses kompleks yang meliputi keterlibatan pro-inflamasi, anti-inflamasi, humoral, seluler dan peredaran darah yang diakibatkan karena kegagalan respon imun tubuh terhadap infeksi. Proses patofisiologi ini juga berhubungan dengan apoptosis atau programmed cell death yang mungkin memiliki peranan penting dalam terjadinya disfungsi organ.

Patogenesis sepsis melibatkan interaksi yang kompleks antara sistem kekebalan tubuh host dan mikroorganisme. Bakteri dan produknya memicu cascades respon seluler dalam tubuh host yang melibatkan beberapa jenis sel (leukosit, sel mast, sel-sel endotel dan trombosit), dan beberapa cellular pathways (pro-inflammatory, anti-inflammatory, coagulation cascades, complement activation, adhesion and apoptosis) (Kumar, K., 2011).

Respon imun terhadap infeksi merupakan proses inflamatori yang kompleks yang berusaha menentukan lokasi dan membatasi penyebaran infeksi dan melakukan perbaikan jaringan yang rusak. Respon ini akan melibatkan proses aktivasi fagosit dan sel-sel endothelial untuk memproduksi mediator pro-inflamatori dan anti-inflamatori. Adanya keseimbangan kedua mediator ini akan memberikan perlindungan terhadap host dari infeksi pathogen dan memfasilitasi penyembuhan jaringan yang rusak. Sepsis akan terjadi apabila keseimbangan kedua mediator ini terganggu, yang mana respon inflamatori akan dihasilkan secara berlebihan dan akan

meluas di luar area yang terinfeksi sehingga akan menyebabkan perubahan fungsional umum. Karena respon imun berlebihan terhadap infeksi pathogen, maka mediator inflamatori dan vasodilator akan dilepaskan secara berlebihan. Sitokin inflamatori seperti TNFα, IL-1β, dan IL-6, yang diskresikan oleh monosit dan makrofag.

Tissue factor (TF) diekspresikan oleh monosit dan jaringan endothelium vaskular yang rusak. Masalah peredaran darah diakibatkan adanya vasidilatasi, kebocoran kapiler dan berkurangnya kontraktilitas myocardial. Organ failure mungkin menjadi tanda klinis pertama dari sepsis berat, sebagai konsekuensi dari produk berlebihan mediator inflamasi. Gambaran klinis sepsis merupakan akibat dari mediator-mediator yang disekresi melalui respon imun seluler terhadap pathogen seperti LPS (endotoxin) yang dihasilkan oleh bakteri (Drumheller, B.B.C,2012).

LPS bebas yang dibentuk dari degradasi dinding sel bakteri gram negative, didalam sirkulasi akan berikatan dengan LPS binding protein (LBP) membentuk suatu kompleks. Ikatan kompleks ini kemudian akan berikatan dengan monocyte/macrophage cell surface receptor, CD14 dan TLR4, yang akan mengaktifasi respon imun seluler dan sekresi sitokin inflamatori. Pada awal proses sepsis TH1 phenotype, yang menghasilkan mediator pro-inflamatori dalam jumlah besar diantaranya IF-γ, TNF-α, and IL-2. Limfosit T akan berkembang menjadi TH2 phenotype, dimana limfosit CD4 menghasilkan anti-proinflamatori termasuk IL-10, IL-4, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini meredam respon imun dan dapat menyebabkan deaktivasi monosit (Drumheller, B.B.C, 2012).

Gambar 2 Patofisiologi Sepsis (Oncel, M.Y, 2012)

Gambar 3 Respon Imun Sepsis (Bratawidjaja, 2012)

2.1.6 Disfungsi Mikrosirkulasi Sepsis

Gangguan mikrosirkulasi merupakan pertanda terjadinya sepsis. Jenis sel utama yang berperan dalam mikrosirkulasi diantaranya sel endotel, sel otot polos, sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Sel endotel merupakan lapisan luar dari pembuluh darah. Sel endotel pada jaringan vaskular memegang peranan penting untuk menjaga suplai darah yang adekuat ke organ vital. Endotelium terdiri dari sekitar 1013 sel dan memiliki berat sekitar 1 kg dengan luas area meliputi 4000-7000 m2. Selain menjaga suplai ke organ vital, sel endotel juga penting dalam meregulasi tonus vaskular, menjaga sirkulasi nutrisi antara intravaskular dan ekstravaskular, serta menjaga fungsi koagulasi. Proses inflamasi menyebabkan kerusakan sel endotel, gangguan fungsi, serta terjadinya apoptosis yang akhirnya menyebabkan edema subendotel pada daerah yang rusak dan gangguan pada permeabilitas endotelium (Kotsovolis, 2010; Ait-oufella, 2010).

Sepsis menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik dengan mengaktifkan leukosit yang memproduksi reactive oxygen species (ROS). ROS dapat membantu melawan patogen, tetapi juga berdifusi dan mengaktifkan sel-sel endotel sehingga menyebabkan migrasi P-selectin ke dalam membran endotel. Sitokin proinflamasi dapat langsung mengaktifkan sel-sel endotel dan mencetuskan produksi ROS oleh mitokondria, xanthine oxidase (XO), dan NADPH oxidase (NADPH-ox).ROS juga dapat secara langsung merangsang migrasi cadangan P-selectin ke dalam membran sel atau mengaktifkan nuclear factor-kappa B (NF-kB). Adhesi protein expression (P-selectin dan E-selectin), intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan vascular

adhesion molecule-1 (VCAM-1) menyebabkan adhesi leukosit yang dapat memproduksi ROS secara lokal. Produksi ROS secara intraselular dapat menetralkan NO dan menurunkan ketersediaannya yang mengaktifkan gangguan tonus pembuluh darah. ROS juga dapat mempengaruhi keseimbangan antara prostanoid vasokonstriktor dan vasodilator dengan memodifikasi aktivitas cyclooxygenase (COX). Kadar glutathione (GSH) menurun selama sepsis, demikian juga dengan superoxide dismutase (SOD) yang menyebabkan berkurangnya kemampuan detoksifikasi (Kumar, 2012).

Sepsis dapat merusak proses homeostasis antara mekanisme prokoagulan dan antikoagulan. Faktor-faktor proteksi jaringan ditingkatkan ekspresinya untuk meningkatkan produksi protrombin yang akan diubah menjadi trombinsehingga fibrin dapat diubah menjadi fibrinogen. Bersamaan dengan itu peningkatan plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) menyebabkan kegagalan produksi plasmin sehingga mekanisme fibrinolitik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fibrin yang seharusnya diubah menjadi fibrinogen akan berubah menjadi fibrin degradation products (FDP).

Sepsis juga mengurangi produksi dari antikoagulan natural protein C. Protein C yang teraktivasi (aPC) akan terlepas dari reseptor endotelnya untuk menghambat faktor Va dan VIIa serta menghambat aktivitas PAI-1 sehingga kadar protein C yang berkurang akan meningkatkan efek prokoagulan.

Hasil akhir dari proses ini adalah pembentukan klot fibrin pada sistem mikrosirkulasi yang menyebabkan disfungsi oksigenasi jaringan dan kerusakan sel (Kumar, 2012).

2.1.7 Diagnosis Sepsis

Sepsis saat ini sering dianggap sebagai suatu respon inflamasi yang berlebihan terhadap suatu infeksi. Diagnosis sepsis ditegakan apabila dijumpai tanda SIRS ditambah bukti infeksi (seperti bakteremia). (Higgins, 2010). Metode tradisional untuk menegakan sepsis yang masih digunakan sampai saat ini adalah dengan kultur darah, urin dan cairan otak atau cairan bronkial dan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama (24-48 jam) (Jin & Khan, 2010). Kultur darah diperiksakan secara rutin pada pasien yang dicurigai dengan infeksi pada unit gawat darurat, namun sensitivitasnya untuk bakteriemia rendah. Hanya <10% kultur menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri (Hommes, T.J, 2009).

Menurut the American College of Chest Physicians (ACCP) and the Society of Critical Care Medicine (SCCM), kriteria SIRS adalah adanya 2 dari 4 kriteria berikut: (Munford, R.S., 2012)

Temperatur >38ᵒC atau <36ᵒC

 Nadi >90 per menit

 Hiperventilasi dengan bukti peningkatan pernafasan >20/menit atau CO2 arteri lebih rendah dari 32 mmHg.

 Jumlah leukosit >12,000 sel/µL atau lebih rendah dari 4000 sel/µL atau >10%

leukosit imatur.

Tabel 2.2

Kriteria Diagnosis Sepsis Variable Umum

 Demam (>38.3 ᵒC)

 Hipotermia (<36ᵒC)

 Nadi > 90 kali/menit (atau lebih dari dua di atas SD dari batas normal sesuai usia)

 Tachypnea

 Perubahan status mental

 Edema yang jelas atau keseimbangan cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)

 Hiperglikemia (glukosa plasma >140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes

Variabel Inflamasi

 Leukositosis (jumlah leukosit >12,000 µL)

 Leukopenia (jumlah leukosit < 4,000 µL)

 Leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur

 C-reactive protein plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal

 PCT plasma lebih dari 2 SD di atas nilai normal

Variabel Haemodinamic

 Hipotensi arteri (Tekanan darah sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg pada orang dewasa atau kurang dari dua SD di bawah nilai normal sesuai usia)

Variabel Disfungsi Organ

 Hipoksemia arteri PaO2/FiO2 < 300

 Oligouria akut (urine output< 0.5ml/kg/jam selama paling sedikit 2 jam walaupun asupan cairan adekuat)

 Peningkatan kreatinin >0.5mg/dl atau 44.2µmol/L

 Kelainan koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60 detik)

 Ileus (tidak ada suara peristaltik)

 Trombositopenia (jumlah trombosit <100,000µL)

 Hiperbilirubinemia (total bilirubin plasma >4 mg/dL atau 70 µmol/L) Variabel Perfusi Jaringan

 Penurunan aliran kapiler Keterangan:

MAP = mean arterial pressure INR = international normalized ratio aPTT = activated partial thromboplastin

Variabel-variabel di atas merupakan variabel yang digunakan untuk menegakan SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012 (Dellinger et al., 2013).

2.2 Red Cell Distribution Width (RDW)

RDW merupakan suatu hitungan matematis yang menggambarkan jumlah anisositosis (variasi ukuran sel) dan pada tingkat tertentu menggambarkan poikilositosis (variasi bentuk sel) sel darah merah pada pemeriksaan darah tepi.

RDW adalah cerminan dari nilai koefisien variasi dari distribusi volume sel darah merah. Baik MCV dan RDW keduanya dinilai dari histogram eritrosit (RBC). MCV dihitung dari seluruh luas area dibawah kurva, sedangkan RDW dihitung hanya dari basis tengah histogram. Ada 2 metode yang dikenal untuk mengukur nilai RDW,

yaitu RDW-CV (Coefficient Variation) dan RDW-SD (Standard Deviation) (Yčas JW, 2015).

Nilai normal berkisar antara 11.5%-14.5%. Sedangkan RDW-SD merupakan nilai aritmatika lebar dari kurva distribusi yang diukur pada frekwensi 20%.

Nilai normal RDW-SD adalah 39 sampai 47 fL. Semakin tinggi nilai RDW maka semakin besar variasi ukuran sel.17 Nilai RDW-CV sangat baik digunakan sebagai indikator anisositosis ketika nilai MCV adalah rendah atau normal dan anisositosis sulit dideteksi, namun kurang akurat digunakan pada nilai MCV yang tinggi.

Sebaliknya nilai RDW-SD secara teori lebih akurat untuk menilai anisositosis terhadap berbagai nilai MCV. Namun tidak semua laboratorium kesehatan mengukur nilai RDWSD pada pemeriksaan hitung darah lengkapnya (Lippi G, 2009).

Gambar 4

Histogram Penilaian RDW (Bazick HS, 2011)

RDW pada awalnya diperkenalkan sebagai alat bantu diagnosa kerja dari anemia normositik. Penyebab umum yang mendasari terjadinya peningkatan RDW adalah defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam folat, dimana eritrosit yang normal akan bercampur dengan yang ukurannya lebih kecil atau yang lebih besar yang terbentuk saat terjadi defisiensi. Kenaikan serupa juga terjadi selama mendapatkan terapi pengganti besi, B12, dan folat ketika jumlah retikulosit meningkat. Nilai RDW juga meningkat setelah mendapatkan tranfusi darah, seperti halnya juga pada penderita anemia hemolitik dan trombotik dimana eritrosit terfragmentasi dalam sirkulasi. Peningkatan RDW juga berhubungan dengan penyakit hati, pecandu alkohol, keadaan inflamasi, dan penyakit ginjal, namun mekanisme dibalik timbulnya variasi eritrosit ini masih sangat kompleks (Perlstein TS, 2009).

Tabel 2.3

Hubungan RDW dengan MCV

Sumber: Tonelli M, 2008

2.3 Platelet Cell Distribution Width (PDW)

Platelet distribution width (PDW) adalah variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil.

Trombosit merupakan sel diskoid tidak berinti yang beredar di dalam darah dengan diameter 2 sampai 3 μm yang berasal dari sel prekursor raksasa, yang disebut megakariosit. Megakariosit merupakan sel induk utama trombosit yang diproduksi di sumsum tulang sekitar 85 sampai 90% dan di paru-paru 10 sampai 15%.

Setiap megakariosit dapat menghasilkan 1000 sampai 5000 trombosit dan sekitar 1 x 1011 trombosit per hari yang dihasilkan dalam kondisi normal (Dewi, SR, 2015).

Produksi trombosit dikendalikan oleh sitokin trombopoietin. Jumlah normal trombosit dalam darah manusia adalah 150 sampai 350 x 109 /l dan memiliki umur sekitar 8 sampai 10 hari, yang kemudian mengalami proses penuaan yang ditandai dengan hilangnya reseptor permukaan dan penghapusan berikutnya oleh sel fagosit dari sistem retikuloendotelial. Peran trombosit in vivo dalam hemostasis adalah membentuk sumbat trombosit yang terjadi melalui 3 proses yaitu adhesi, aktivasi trombosit dan agregasi. Perlekatan trombosit dengan pembuluh darah yang melibatkan reseptor glikoprotein Ib (GP1b) dan faktor von Willebrand disebut sebagai proses adesi. Setelah itu terjadi aktivasi trombosit yang menimbulkan perubahan bentuk trombosit yang menyebabkan terjadinya penglepasan isi granula α dan dense granules seperti adenosine diphosphate (ADP), serotonin, katekolamin serta ekspresi dari reseptor GPIIb-IIIa. Tahap terakhir pada proses pembentukan sumbat trombosit adalah terjadinya agregasi trombosit yang melibatkan fibrinogen atau faktor von Willebrand (Dewi, SR, 2015).

Platelet distribution width mengukur variasi ukuran trombosit yang beredar dalam darah perifer, trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil, sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan MPV. Mean platelet volume adalah ukuran rata-rata trombosit yang ditemui dalam sampel darah. Platelet distribution width dan MPV merupakan biomarker fungsi dan aktivasi trombosit. Aktivasi trombosit

menyebabkan perubahan ukuran trombosit sehingga meningkatan MPV dan PDW.

Ukuran trombosit ditentukan dan diatur pada saat produksi trombosit dari

megakariosit. Mean platelet volume telah terbukti berhubungan dengan fungsi dan aktivasi trombosit sebagai agregasi, sintesis tromboksan, pelepasan β-thromboglobulin, fungsi prokoagulan atau ekspresi molekul adesi (S, Islam MS, 2016).

Nilai normal PDW adalah 10,0-18, fl. Trombosit muda berukuran lebih besar dan trombosit tua mempunyai ukuran yang lebih kecil. Sehingga, dalam sirkulasi darah terdapat trombosit bifasik trombosit muda mempunyai ukuran yang lebih besar.

Sebagai akibat meningkatnya proporsi trombosit muda maka juga terjadi peningkatan ukuran diameter rata rata trombosit yang beredar dalam darah perifer. Nilai normal MPV adalah 6,5-11,0 fl. Oleh karena trombosit muda berukuran lebih besar maka MPV yang tinggi merupakan petanda peningkatan produksi trombosit atau mungkin sebagai kompensasi lebih cepatnya penghancuran platelet. Pada populasi sehat, PDW dan MPV berada dalam hubungan terbalik dengan jumlah trombosit (Ates S, 2015).

Pemeriksaan PDW merupakan gambaran dari masa hidup trombosit yang pendek yang timbul akibat peningkatan aktivitas destruksi trombosit. Sebagai kompensasi atas terjadinya aktivitas destruksi trombosit, maka akan terjadi proses trombopoietik atau pembentukan trombosit yang baru untuk mengatasi keadaan

trombositopenia. Apabila proses trombositopenia terus berlangsung maka sumsum (Ates S, 2006).

2.4 Limfosit 2.4.1 Morfologi

Dua puluh persen dari total jumlah leukosit manusia merupakan limfosit.

Bertanggung jawab terhadap kontrol sistem imun adaptif, limfosit berdasarkan fungsi dan penanda permukaannya dibedakan menjadi dua kelas, yaitu limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral, dan limfosit T yang berperan dalam imunitas selular. Adapun kedua kelas limfosit ini tidak dapat dibedakan secara morfologis.

Limfosit B dapat dibedakan berdasarkan adanya imunoglobulin, MHC kelas II, serta reseptor C3b dan C3d pada permukaannya. Limfosit T dibedakan berdasarkan kemampuannya untuk membentuk rosette pada eritrosit domba melalui molekul CD2 dan juga ekspresi TCR pada permukaannya. Selain kedua kelas tersebut terdapat sel limfoid yang bukan termasuk dalam limfosit B maupun limfosit T, yaitu sel NK atau yang sering disebut large granularlymphocyte (LGL) yang tergolong dalam innate lymphoid cells (ILC). Sel NK memiliki fungsi sebagai imunitas bawaan terhadap virus dan bakteri intraseluler (Hartawan, 2011).

Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi limfosit berukuran kecil dan besar. Limfosit berukuran kecil memiliki diameter 9-12 µm, dan limfosit berukuran besar memiliki diameter 12-16 µm. Perbedaan ukuran ini disebabkan oleh aktivitas dan posisi pada preparat hapusan darah tepi. Pada bagian hapusan yang tebal limfosit akan terlihat lebih kecil dan tebal. Berdasarkan ukurannya, umumnya

limfosit yang berukuran kecil merupakan limfosit T, sedangkan limfosit yang berukuran besar pada umumnya merupakan limfosit B. Namun untuk memastikan kelas limfosit dengan pasti diperlukan petanda yang telah disebutkan sebelumnya (Sridianti F, 2014).

Gambar 5

Morfologi Limfosit (Sridianti F, 2014)

Nukleus pada limfosit berbentuk bulat atau oval, dan terdapat celah.

Pada nukleus tidak ditemukan nukleolus, terutama pada pengecatan Giemsa, dan terdapat kromatin yang padat dan menggumpal. Sitoplasma berjumlah sangat sedikit pada limfosit berukuran kecil dan meningkat jumlahnya sebanding dengan ukuran limfosit. Rasio nukleus-sitoplasma pada limfosit berukuran kecil, sedang, dan besar berturut-turut, 4:1, 3:1, dan 2:1.

Pada sitoplasma limfosit kadang terdapat beberapa granula azurofilik

Pada sitoplasma limfosit kadang terdapat beberapa granula azurofilik