• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan lebih mencerminkan aspirasi, potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan dengan pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan ekonomi di masing-masing kabupaten/kota telah menghasilkan pencapaian yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota serta potensi perekonomiannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan di Indonesia maupun di wilayah koridor ekonomi lainnya dalam skala apapun telah menghasilkan perbedaan-perbedaan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi sebagai implikasi dari proses pembangunan dapat dilakukan dengan pengukuran indeks Theils.

Pada hakekatnya, output suatu wilayah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda, maka patut dipertanyakan apakah ada kaitan antara kekayaan wilayah dan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan berdampak terhadap tingginya kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antar daerah yang dijalankan pemerintah. Terutama melalui instrument fiskal, seperti transfer dari pusat, transfer antar daerah dan kebijakan lain, serta pembangunan infrastruktur wilayah.

Salah satu alat untuk mengukur pemerataan pembangunan adalah dengan Indeks Theil. Berdasarkan indeks theil tahun 2006-2010, terlihat bahwa tingkat pemerataan aktifitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB per kapita antar kabupaten/kota dalam (intra) koridor ekonomi masih rendah. Namun perkembangannya menunjukkan kondisi yang lebih baik yaitu berada pada range 0,609 dan 0,587. Perkembangan disparitas pembangunan yang dihitung dengan Indeks Theil menunjukkan penurunan dari tahun 2006 sebesar 0,746 turun menjadi 0,717 pada tahun 2010 (Gambar 17). Disparitas antar koridor ekonomi

(berada pada range 0,518 dan 0,512) lebih rendah dibandingkan dengan disparitas dalam koridor ekonomi.

Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga karena adanya perbedaan sumber daya. Demikian pula disparitas pembangunan di Indonesia masih tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson di Indonesia berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 yang artinya pendapatan antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia masih sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian. (Tabel 5).

0,7500 0,8000 0,5000 0,5500 0,6000 0,6500 0,7000 2006 2007 2008 2009 2010

Disparitas antar koridor Disparitas dalam koridor Disparitas total (Indeks Theil)

Gambar 17 Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010

Disparitas kabupaten/kota dalam (intra) koridor ekonomi relatif lebih rendah dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Disparitas paling tinggi terjadi di korodor ekonomi Papua-Kep Maluku yaitu pada kisaran antara 0,91 sampai 0,96. Angka ini masih sangat tinggi disparitas pendapatan di koridor ekonomi Papua-Kep Maluku dikarenakan di koridor tersebut masih dalam tahap awal pembangunan dimana masih mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga

disparitas masih tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan yang tinggi antar kabupaten/kota di koridor Papua-Kep. Maluku dalam hal pendapatan wilayah. Jika dilihat dari PDRB per kapita paling tinggi terjadi di kabupaten Mimika di tahun 2010 dengan PDRB per kapita sebesar 324.716 miliar rupiah, hal ini nisa disebabkan di wilayah tersebut banyak penambangan. Namun disisi lain terdapat pendapatan wilayah yang sangat jauh kesenjangannya yaitu Kabupaten Nduga dengan PDRB per kapita hanya sebesar 2.016 miliar rupiah. Namun demikian, angka tersebut terus mengalami penurunan hingga tahun 2010. Disparitas yang tertinggi setelah koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku adalah koridor ekonomi Jawa, dimana koefisien variasi Williamson berada pada kisaran antara 0,88 sampai dengan 0,91, artinya pendapatan antar wilayah kabupaten/kota di koridor ekonomi Jawa masih sangat timpang. Hal ini disebabkan terdapat kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita terlalu tinggi yaitu Kota Jakarta Pusat sebesar 251.814 miliar rupiah, namun ditemukan juga wilayah yang mempunyai PDRB per kapita sangat rendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 4.966 miliar rupiah. Keadaan inilah yang membuat tingkat disparitas di koridor Jawa masih tinggi, namun demikian angka ini mengalami kecenderungan menurun selama periode penelitian.

Disparitas terendah terjadi di koridor ekonomi Sulawesi, berada pada kisaran antara 0,32 sampai dengan 0,38 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah kabupaten/kota semakin kecil, keadaan ini dapat ditunjukkan dengan PDRB per kapita antar kabupaten/kota yang tidak terlalu senjang misalnya kabupaten yang dengan pendapatan wilayah atau PDRB per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2010 paling kecil adalah kabupaten Gorontalo Utara sebesar 5.595 miliar rupiah sedangkan kabupaten yang dengan PDRB paling besar adalah Luwu Timur sebesar 34.289 miliar rupiah. Hal ini hampir serupa dengan wilayah koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Kalimantan. Koefisien variasi Williamson koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara berada pada kisaran antara 0,33 sampai dengan 0,35, sedangkan koridor ekonomi berada pada kisaran antara 0,48 sampai dengan 0,50 dan mengalami tren menurun. Keadaan ini sangat berbeda jauh jika

dibandingkan dengan koridor Papua-Kep. Maluku dan koridor Jawa yang kesenjangannya masih tinggi antar kabupaten/kota di dalam koridor.

Tabel 5 Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan PDRB Per Kapita di Indonesia, 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 0,77 0,76 0,76 0,76 0,75 1. Sumatera 0,51 0,50 0,50 0,50 0,50 2. Jawa 0,91 0,90 0,89 0,89 0,88 3. Kalimantan 0,50 0,49 0,49 0,49 0,48 4. Sulawesi 0,38 0,36 0,35 0,33 0,32 5. Bali-Nusa Tenggara 0,35 0,35 0,34 0,33 0,33 6. Papua-Kep. Maluku 0,96 0,95 0,94 0,93 0,91 Wilayah Koridor Ekonomi

Disparitas pendapatan yang tinggi tidak serta merta disebabkan karena PDRB per kapita di setiap koridor ekonomi yang rendah pula. Keadaan ini bisa dibuktikan dengan melihat perkembangan PDRB per kapita di koridor ekonomi Kalimantan dari 2006-2010 yang tinggi, yaitu berkisar antara 12 sampai 13 juta rupiah. Dimana disparitasnya termasuk rendah yang masih dibawah disparitas nasional yaitu berkisar antara 0,48 sampai 0,50. Lain halnya dengan koridor Papua-Kep. Maluku diparitasnya tertinggi diatas disparitas nasional antara 0,91 sampai 0,96. Demikian pula dengan koridor Jawa, dimana disparitasnya tinggi namun PDRB per kapita masih di bawah koridor Kalimantan. (Tabel 5.1).

Terkait adanya kebijakan DAU 2008 yaitu kebijakan “Hold Harmless”,

disebutkan dalam kebijakan tersebut bahwa wilayah yang menerima DAU tahun berikutnya minimal sama atau lebih dari tahun sebelumnya. Kebijakan ini ternyata malah berakibat pada tingginya disparitas, Akibatnya di beberapa koridor ekonomi disparitasnya masih tinggi.

Tabel 5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah)

2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 8 238 8 631 9 016 9 289 9 723 1. Sumatera 8 256 8 508 8 770 8 912 9 245 2. Jawa 8 214 8 620 9 032 9 356 9 839 3. Kalimantan 12 582 12 767 13 184 13 357 13 805 4. Sulawesi 4 837 5 091 5 436 5 723 6 100 5. Bali-Nusa Tenggara 4 069 4 215 4 672 4 566 4 756 6. Papua-Kep. Maluku 5 340 5 426 5 418 5 837 6 275 Wilayah Koridor Ekonomi Sumber: BPS, 2006-2010 (diolah)

Pertumbuhan ekonomi naik tahun 2006-2010 (BPS, 2011), namun pertumbuhan per kapita turun. Pertumbuhan per kapita turun disebabkan karena jumlah penduduk yang relative tinggi setiap tahun, karena pembaginya besar sehingga PDRB per kapitanya menjadi kecil/turun. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya ketidakmerataan antar wilayah sehingga mengakibatkan ketimpangan/disparitas pendapatan.

Kontribusi sektor pertanian di koridor ekonomi Sulawesi merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah koridor ekonomi lainnya di Indonesia. Koridor ekonomi Sulawesi memainkan peranan penting pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 29,35 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2010. Oleh karena itu kegiatan industri di koridor ekonomi Sulawesi lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKKR (Industri Kerajinan Rumah Tangga).

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 2006 2007 2008 2009 2010 1. Sumatera 2. Jawa 3. Kalimantan 4. Sulawesi

5. Bali‐Nusa Tenggara 6. Papua‐Kep‐Maluku

Gambar 18 Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia, Tahun 2006-2010 (Persen)

Selanjutnya disparitas antar wilayah kabupaten/kota di koridor ekonomi Sumatera berada pada kisaran antara 0,50 sampai dengan 0,51. Angka ini cenderung stagnan dalam periode penelitian.

0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2006 2007 2008 2009 2010

1. Sumatera 2. Jawa 3. Kalimantan

4. Sulawesi 5. Bali‐Nusa Tenggara 6. Papua‐Kep‐Maluku

Gambar 19 Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan KV Williamson, 2006-2010

Adanya sejumlah koridor ekonomi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di wilayah

tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar koridor ekonomi di Indonesia. Keadaan ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah. Koefisien variasi Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas wilayah. Hasil perhitungan koefisien variasi Williamson antar koridor ekonomi di Indonesia pada kurun waktu 2006 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 19.

Koridor Jawa dan Papua disparitasnya tinggi melalui penghitungan dengan Indeks Williamson disebabkan karena pembangunan perekonomian yang kurang merata di koridor tersebut. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kab/kota yang PDRB per kapita yang sangat tinggi, namun ada kab/kota di koridor tersebut yang sangat rendah, sehingga disparitasnya tinggi. Terkait juga dengan kebijakan DAU, dimana di Kaltim, DKI, Riau tidak mendapat DAU karena dianggap wilayah tersebut sudah mampu dari penghitungan PDRB dan faktor lainnya. Dilihat dari partumbuhan ekonominya Koridor Jawa naik tapi kemiskinannya juga naik. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang tinggi di Jawa, juga karena urbanisasi yang tidak diimbangi dengan keahlian yang sesuai dan pada akhirnya berakibat di Koridor Jawa kemiskinan menjadi tinggi.

Tabel 6 Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 0,32 0,31 0,34 0,31 0,30 1. Sumatera 0,28 0,27 0,28 0,27 0,27 2. Jawa 0,33 0,32 0,34 0,31 0,30 3. Kalimantan 0,26 0,26 0,28 0,26 0,25 4. Sulawesi 0,23 0,22 0,24 0,19 0,17 5. Bali-Nusa Tenggara 0,21 0,20 0,22 0,19 0,18 6. Papua-Kep-Maluku 0,38 0,37 0,38 0,35 0,33 Wilayah Koridor Ekonomi

Disparitas wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan disparitas dengan menggunakan PDRB per kapita. Disparitas tertinggi dan

terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Indonesia tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,17 sampai dengan 0,38. Disparitas dalam wilayah selama periode penelitian relatif menurun dibandingkan dengan disparitas dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita (Tabel 6).

0,70 0,80 0,90 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 20 Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2006-2010 Tingkat disparitas yang dihitung dengan pendekatan rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Meskipun dalam penghitungan inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun 2000. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan disparitas pada tahun 2008. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008 berdampak terhadap peningkatan disparitas yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia dan wilayah-wilayah koridor ekonomi.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 21 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2006-2010

Jika disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia dibandingkan, selisih terbesar adanya perbedaan tingkat ketimpangan dengan dua pendekatan terjadi di koridor ekonomi Papua-Kep. Maluku dan koridor Jawa. Disparitas wilayah berdasarkan pengeluaran rumah tangga di koridor ekonomi Sulawesi lebih rendah dibandingkan koridor-koridor ekonomi lainnya, artinya kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah relatif merata. Disparitas wilayah dengan pendekatan PDRB per kapita di koridor ekonomi Papua merupakan yang terbesar dibandingkan koridor-koridor ekonomi lainnya di Indonesia. Disparitas dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga juga relatif tinggi, namun selisih perbedaan ketimpangan dengan dua pendekatan tersebut juga besar.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 22 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010

Perbedaan hasil penghitungan koefisien variasi Williamson dengan dua pendekatan dapat menggambarkan bagaimana pendapatan wilayah didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Perbandingan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Indonesia dan beberapa koridor di Indonesia dengan pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 20-26. Semakin besar selisih hasil penghitungan dengan dua pendekatan, menunjukkan bahwa semakin besar pula pendapatan yang digunakan oleh orang lain yang tidak tinggal di wilayah tersebut atau dapat dikatakan terjadi transfer pendapatan ke wilayah lain. Adanya investasi yang berasal dari luar daerah juga menjadi pemicu utama terjadinya transfer pendapatan karena pemiliknya akan mengambil pendapatan yang diperoleh dari wilayah tersebut dan dibelanjakan di luar daerah. Oleh karena itu penanaman modal dari luar daerah perlu mengkaji pengaruh negatif adanya pengurasan sumber daya lokal dan aliran pendapatan pemilik ke luar wilayah.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 23 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010

Perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Kalimantan dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,48 sampai 0,5, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,25 sampai 0,28 (Gambar 23).

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 24 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010

Pada gambar 24 memperlihatkan perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Sulawesi dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,32 sampai 0,38, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,17 sampai 0,23

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 25 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010

Perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,33 sampai 0,35, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,18 sampai 0,22 (Gambar 25).

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 2006 2007 2008 2009 2010

Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga

Gambar 26 Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Papua-Kep.Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010

Pada gambar 26 memperlihatkan perbandingan disparitas berdasarkan koefisien variasi Williamson kabupaten/kota di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan pendekatan PDRB per kapita lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rumah tangga. Disparitas dengan PDRB per kapita berada pada range 0,91 sampai 0,96, sedangkan dengan pengeluaran rumah tangga berada pada range 0,33 sampai 0,38. Disparitas kabupaten/kota di koridor tersebut merupakan tertinggi dibandingkan koridor ekonomi lainnya dalam MP3EI.

4.2 Dinamika Pembangunan Infrastruktur